"Suruh siapa menolak permintaannya. Sekarang rasakan saja itu."
***
Mario meneguk ludahnya melihat pohon mangga di depannya ini. Belum pernah dia mencoba tak tik mencuri ini. Tapi, demi istrinya dia rela melakukannnya. Dari jauh istrinya melihat dirinya itu membuatnya benar-benar sangat menyesal sudah ingin merasakan rasanya Veni nyidam. Mungkin saat istrinya hamil pertama sampai keempat sama sekali tidak ada tanda-tanda muntah atau nyidam. Tapi, kenapa mendekati lahiran istrinya baru nyidam. Mana aneh-aneh pula.
Dari jauh itu Veni menunjuk ke buah mangga yang lumayan tinggi dari Mario. Dengan bibirnya mengatakan ayo, sepertinya begitu.
"Ayo, Mario bisa demi anak nanti kalau enggak anakmu ngiler belum lagi Veni yang pasti akan mendiamkannya sangat lama." Akhirnya Mario pasrah untuk manjat. Seumur-umur bahkan dia belum pernah memanjat.
Tapi, demi istrinya yang sedang hamil itu akan dia turuti. Bagaimana imagenya sebagai orang terpandang harus rusak jika ada yang tahu dia mencuri bahkan bukan mencuri lagi dia akan dilihat tidak mampu membelinya.
Mario tidak mau berlama-lama lagi dia langsung mengambil mangga yang ditunjuk istrinya dari atas rumah mereka. Setelah itu dia langsung saja mengambilnya.
"HEY!!! NGAPAIN KAMU!!!"
"MAMPUS KETAHUAN." Mario langsung saja mengambil banyak lalu segera lari.
"Heh! Kamu mencuri mangga saya! Kembali kamu," teriak dia tapi dia tidak peduli. Dia tetap berlari.
Sampai di rumah Mario langsung saja menaruh mangga tersebut dan ngos-ngosan karena harus lari. Veni baru datang menyambutnya.
"Gimana, Mar dapet kan?"
"Nih, Ven," ucap Mario sambil menyodorkan mangga tersebut kepada Veni.
"Kamu kok keringetan gitu," ucap Veni. Mario memutar bola matanya malas. Bisa-bisanya istrinya bilang seperti itu. Padahal, karena ulahnya membuat dirinya jadi seperti ini.
"Kan ini gara-gara kamu. Tadi ketahuan tahu, Ven. Aku sampe dikejar yang punya rumah."
"Oh jadi gara-gara aku nih," ucap Veni lagi dengan menunduk.
"Eh engga-enggak. Udah ayo dimakan tadi katanya minta."
"Kamu juga harus makan," ucap Veni lagi.
"Hah. Tapi, tadi 'kan kamu yang minta ini, Ven. Kenapa aku juga makan," ucap Mario. Masalahnya ini masih muda banget kebayang rasa masam yang akan dimunculkan dari mangga tersebut.
"Ish. Masa aku makan sendiri. Di mana-mana kalau ngerujak itu makannya bareng. Ayo masuk aku buatin sambelnya," ucap Veni lantas masuk ke dalam untung saja di rumahnya sedang tidak ada orang jadi aman saja. Sebenarnya ada Mama atau Arum saja sih cuma lebih nyaman kalau mereka berdua.
Sedangkan Mario meneguk ludahnya, dia melihat ke arah mangga tersebut. Sudah terbayang pasti rasanya akan membuat dia menangis setelah ini.
***
Veni sedang mengulek bumbu rujak, sedangkan Mario mengupas buah mangganya. Bau asam menyeruak masuk ke hiding Mario. Sudah kebayang rasanya pasti seasam apa.
"Mar ini pasti enak banget. Baunya seger gini," ucap Veni lagi mencium bau mangga tersebut. Entah kenapa memang baunya benar-benar enak sekali.
"Ven kamu lagi hamil gini enggak papa makan asem-asem?" tanya Mario lagi.
"Enggak papa kok. Banyak lho Ibu hamil di luar sana pada makan yang asem-asem gini karena nyidam. Aku sebelum hamil juga enggak suka, Mar tapi hari ini kepengen banget."
"Tapi, ini mangga hasil nyolong, Ven kenapa tadi enggak bilang aja. Masa anak kita makan bekas colongan," ucap Mario lagi dengan lesu. Veni pun akhirnya tertawa.
"Kok, malah ketawa. Ini hasil curian lho, Ven. Aku jadi ngerasa bersalah sama ini."
"Wkwkw ... tenang, Mario. Ini aku sebenernya tadi udah bilang kok ke yang punya Bu Wati."
"Hah? Kok kamu kenal? Terus kamu bilangnya kapan? Terus tadi kenapa dia juga ngejar-ngejar aku kayak gitu."
"Hahahaha ... aku pengen kayak di film-film aja, Mar lebih menjiwai terus aku bilang ke Bu Wati juga suruh akting kayak tadi. Makanya aku santai aja lihat kamu pulang lari-lari gitu."
"Astaga, Veni. Aku sampe udah takut kalau dia lempar aku pake apa atau gimana. Kamu ini bener-bener ada aja kok," ucap Mario menggelengkan kepalanya melihat kelakukan istrinya itu yang selalu membuat dirinya tak habis pikir.
"Hahaha ... kamu 'kan dulu ya minta biar bisa aku nyidam sekarang-sekarang kamu nyidam ngoceh mulu."
"Iyasih. Cuma nyidamnya Ibu hamil kok jadi aneh-aneh. Ngeri akutuh."
"Hahaha. Udah ah ayo kita makan." Veni mengambil mangga yang sudah dibersihkan itu lalu memakannnya.
Mario masih melihat istrinya yang lahap makan mangga muda itu. Betapa dia ingin meneguk ludahnya berkali-kali karna tingkah istrinya itu.
"Enak, Ven?"
"Ahhh ... seger banget, Mar. Kamu enggak mau coba? Ini tu enak banget."
"Asem enggak?"
"Enggak kok. Makanya cobain dulu ini seger banget loh," ucap Veni lagi.
Mario mengambil mangga yang warnanya sudah agak mulai menguning berharap rasanya akan manis. Tapi, untuk masuk mulut saja rasanya susah sekali.
"Ayo makan, Mar. Enak kok seger banget."
"Asem enggak?"
"Enggak. Manis banget 'kan sambelnya ini pake gula merah. Makanya kamu cocol-cocol ke sambelnya ini rasanya Manis kok." Veni menarik tangan Mario yang memegang mangga tersebut lalu mencocolinya ke sambal tersebut.
"Dah, makan enak kok," ucap Veni untuk segera menyuruh Mario makan.
Mario pun memasukkan mangga tersebut ke mulutnya. Waktu sudah tergigit mangga itu. Rasanya benar-benar membuat Mario mereka. Dan ingin melepehkannya lagi. Tapi, Veni yang sadar hal itu melarang Mario melepehkan lagi.
"Mario ih jangan di lepeh. Di kunyah perlahan-lahan, terus telen ntar baru dapet sensasinya. Ayo kamu telen," ucap Mario lagi.
"As ... shem, Ven," ucap Mario terbata-bata. Dia sudah berusaha mengunyah tapi setiap kunyahannya membuat dia benar-benar tidak bisa lagi menelan.
"Enggak papa coba dulu. Kalau enggak dicoba enggak bisa, Mar. Ayo telen," ucap Veni pun sambil mengunyah mangga tersebut. Padahal rasanya segar. Campuran asam, Manis, pedas menjadi satu.
"Assalamualaikum," ucap seseorang. Mereka berdua menengok ke belakang saat melihat seseorang memberikan salam kepada mereka.
"Eh, Mbak Bhiya."
"Wah lagi pada makan apa ni?" tanya Bhiya ikut duduk di samping Veni. Mario yang kedatangan Bhiya jadi malu karna matanya meneteskan air mata kala dirinya makan mangga muda ini.
"Ini, Mbak aku lagi pengen banget makan rujak mangga muda terus aku suruh ambil aja punya tetangga."
"Mario yang kamu suruh ambil?" tanya Bhiya lagi.
"Iya, dia aku suruh ambil sampe dikejar yang punya rumah."
"Astaga kamu ini," ucap Bhiya menggelengkan kepalanya.
"Dia lari-lari, Mbak. Padahal, aku emang udah izin sama yang punya rumah pengen mangga muda karena lagi nyidam. Terus dia bolehin. Tapi, aku suruh dia pura-pura marahin Mario sampe dikejar padahal cuma akting hahaha...." Veni tertawa puas sedangkan Bhiya hanya tersenyum.
"Terus sekarang kamu ikut makan juga suka, Mar?" tanya Bhiya lagi.
"Terpaksa, Bhiy, eh, Mbak." Veni mengerutkan keningnya. Entah kenapa Veni merasa ada kedekatan antara mereka tapi Veni berusaha menggelengkan kepalanya.
"Terpaksa? Pasti disuruh Veni?"
"Enggak kok, Mbak. Ini kepengenan anaknya juga." Bhiya pun tertawa. Sambil membayangkan apakah nanti saat dia hamil dia akan merasakan saat-saat itu juga. Dan apakah saat dirinya hamil Marvel akan sabar menghadapinya juga.
"Hahaha ... selalu gitu ya kalau hamil itu pasti anaknya yang mau."
"Hehehe ... bener anaknya kok, Mbak."
"Ven kamu sama Mbak Bhiya aja ya. Aku udah enggak kuat ini. Perutku udah mules padahal cuma makan satu." Mario pun langsung meletakkan mangga segigitan yang sudah dia makan. Perutnya langsung mules setelah makan itu.
"Ahhh ... Mario kamu mau ke mana. Baru juga segigitan masa udah pergi."
"Mules, Ven enggak kuat." Mario tetap lantas meninggalkan Veni dan Bhiya karena perutnya yang mules.
"Ah Mario enggak asik." Veni mendumel setelah kepergian Mario dengan kesal. Bisa-bisanya dia harus makan sendiri untung saja ada Kakak ipar yang menemaninya.
"Oiya, Ven kemarin aku dari balik ini ke sini mau anter oleh-oleh." Bhiya menyodorkan oleh-oleh ke Veni.
"Wah makasih, Mbak. Pantes lagi jarang ke sini pergi ke Bali tho."
"Emang kamu enggak tahu padahal aku update di status loh."
"Udah jarang megang hp, Mbak rasanya pusing kalau megang hp paling aku tidur atau baca-baca buku tentang kehamilan dan jadi orang tua buat anak nanti, Mbak."
"Wahhh produktif ya, Bun," ucap Bhiya. Veni pun tertawa. Memang dia menyibukkan diri dengan hal itu saja karena kalau terlalu lama melihat HP juga kepalanya yang pusing.
"Gimana anaknya udah tahu jenis kelaminya?"
"Alhamdulillah setiap periksa cowo, Mbak. Semoga aja ya sesuai mau Mama sama Mas Mario. Kalau aku sih sebenernya apa aja asal sehat, terus selamet itu udah cukup buat aku," ucap Veni lagi.
"Iya kita sebagai Ibu pasti lah pengennya kayak gini. Yaudah banyak-banyakin berdoa aja, Ven. Semoga aja emang cowo."
"Aamiin, Mbak. Padahal, cowo sama cewe sebenernya sama aja kok."
"Iya, cuma kan almarhum Papa juga maunya anak cowo, Ven yang pertama. Nanti kamu bisa kok buat lagi hehe...."
"Mbak ni ada-ada aja. Oiya aku mau nanya, Mbak. Mbak kenal Arum itu deket banget ya?" tanya Veni. Pertanyaan Veni mengenai Arum jadi membuat Bhiya rasanya serba salah.
"Emm ... kenapa emangnya?"
"Enggak papa kok nanya aja, Mbak."
"Oalah. Ya kenal waktu nikahan kan dateng terus dikenalin Mama sama Mas Marvel," ucap Bhiya. Bhiya kenal jauh dengan Arum begitupun dengan Arum yang kenal dirinya bahkan saat statusnya masih bersama Mario. Tapi, dia sudah tidak ingin membahas tentang hal itu. Dia ingin melupakannya.
"Oh gitu kayaknya kok kelihatannya Arum kenal banget sama Mario ya, Mbak. Bahkan dia bilang sama aku Mario kayak enggak yakin sama aku. Soalnya dia sempet gagal move on sama satu perempuan. Mbak tahu enggak? Cewe itu juga yang bikin Mario jadi playboy padahal udah tulus. Tapi, malah ditinggal sama cewenya yang nikah sama orang lain pas Mario lagi kuliah." Bhiya terdiam. Dia mengigit bibir bawahnya.
"Terus, Arum bilang siapa cewenya?" tanya Bhiya lagi.
"Enggak, Mbak. Dia bilang aku kenal dia. Masa sih. Apa temenku ada yang pernah sama Mario ya sampe aku gatau. Tapi, setahu aku kayaknya enggak kok," ucap Veni lagi. Dia selalu mencari tahu siapa sebenarnya orang yang membuat Mario gagal move on itu dan dia ingin memastikan kalau Mario benar-benar sudah melupakanmya.
"Ya udah enggak usah dipikirin. Lagian si Arum 'kan di Jepang masa lalu atau perjalanan cinta Mario kan enggak mungkin dia tahu semua. Orang dia pas di Jepang juga masih jaman sekolah SMP atau akhir SMP dia pindah ke sana kok. Sampe kuliah. Pokoknya udah lama jadi enggak mungkin dia tahu."
"Oh Mbak lebih tahu juga ya sama Arum hehe. Apa Mbak udah deket juga sama Arum? Soalnya setiap aku deket sama Arum kok bawaannya kesel, cemburu gitu terus ya. Padahal, jelas itu cuma sepupunya." Veni jujur saja jika Arum sudah caper dengan Mario dia rasanya kesal plus cemburu juga.
"Wkwkw mungkin karena dia caper ya sama Mario?"
"Ih pol, Mbak. Aku kadang gedek tapi kayak harus ngalah dan maklum gitu. Ya gimana aku kadang enggak suka ribut atau debat. Rasanya pengen ngalah aja. Apalagi enggak enak juga Mama rasanya sayang banget ke dia."
"Yaudah enggak usah terlalu dipikirin. Mama emang gitu kalau sama keluarganya. Kamu lihat sendiri kalau sama aku juga. Gara-gara sampe sekarang aku belum hamil juga 'kan. Padahal, pas dicek ya emang enggak ada masalah apa-apa. Emang Allah belum kasih aja," ucap Bhiya lagi.
"Iya ya. Padahal, Mbak udah enggak kerja ngikutin mau suami sama Mama tapi masih aja. Sabar ya, Mbak. Semoga aja nular sebentar lagi. Atau Mbak mau bulan madu lagi gitu?" tanya Veni.
"Aku udah ngajak, Ven coba ayo kita jalan-jalan lagi. Siapa tahu dengan quality time bisa jadi celah buat kita saling deket juga. Aku udah bilang gitu."
"Terus respon Mas Marvel gimana?"
"Dia bilang sibuk sama kerjaan terus. Malah nyalahin aku yang inilah yang itulah. Padahal aku juga udah enggak kerja kok. Tapi, tetap aja kena terus."
"Sabar ya, Mbak. Mungkin aku belum ngerasain banget rasanya. Semoga aja jangan tapi, semoga aja rumah tanggaku selalu damai kalau ada kerikil-kerikil biar dihadapin sama-sama." Bhiya mengangguk.
"Iya, Aamiin. Btw, Ven kamu dari tadi sambil makan itu mangga sendiri enggak asem banget atau pedes gitu. Aku lho lihatin kamu rasanya udah kayak gimana gitu." Veni tersenyum entah kenapa rasanya malah nagih. Veni jadi tidak ingin berhenti makan mangga ini.
"Enak tahu, Mbak. Mbak coba dulu makanya. Masa dari tadi aku makan sendiri aja." Veni menyodorkan mangganya ke Bhiya. Bhiya pun menganbilnya sedikit lalu mencocolinya ke sambal yang dibuat Veni. Setelah itu dia masukkan makanannya ke mulut.
"Ahhh ... Asemm, Venn...." Bhiya langsung bangkit dan mengambil air putih. Baru segigitan aja rasanya udah asem banget. Gimana bisa bumil itu makan asem sendirian dari tadi selama pembicaraan.
"Wkwkwk ... emang asem to, Mbak? Perasaan enak banget kok seger." Bhiya mengambil minum sedangkan Veni hanya tertawa saja.
Mario lalu datang menghampiri mereka,"Bhiya kenapa?" tanya Mario tanpa mengucapkan kata Mbak. Padahal, tadi menggunakan Mbak. Entah kenapa Veni malah semakin bingung kenapa kadang Mario manggil Bhiya dengan sebutan nama tapi kadang juga menggunakan Mbak.
"Kamu kalau manggil Mbak Bhiya yang sopan atuh, Mar. Masa manggil nama aja sih."
"Ya soalnya tua aku kok. Lagian enggak nyaman manggil Mbak kalau tuaan aku," ucap Mario lagi dengan tawanya. Padahal, dia menutupi kegugupannya takut Veni merasa kalau antara mereka ada hubungan.
"Ya tapi, enggak sopan tahu. Dia 'kan udah kakak ipar kamu masa manggilnya Nama. Kayak manggil temen aja," ucap Veni lagi mengingatkan kepada suaminya.
"Iya-iya, Mbak Bhiya kenapa?" tanya Mario lagi.
"Astaga, Veni kamu bener-bener loh ya. Ini asem banget loh padahal. Kok kamu bisa si setahan itu."
"Kemauannya Dede, Mbak. Kalau enggak hamil juga kayaknya sama kayak, Mbak karena lagi hamil aja jadi kayak enak gitu. Seger banget. Aku aja enggak ngerasa asem dari tadi malah seger banget," ucap Veni lagi.
"Mario-Mario istri kamu bener-bener."
"Emang, Mbak hamilnya Veni bikin geleng kepala. Apa semua orang hamil kayak Istriku ya. Hadeuh," ucap Mario lagi.
"Ck. Mario iiih kamu tu ngoceh aja kok. Kesel aku."
"Iya-iya sayang enggak kok." Mario mengelus kepala Veni dengan sayang. Bhiya tersenyum melihat mereka. Bukan karena dia menyesal meninggalkan Mario tapi kenapa suaminya yang sekarang-sekarang ini benar-benar berubah kepadanya.
"Assalamualaikum...." ucap seseorang. Ternyata Dian sudah kembali.
"Waalaikumsalam," ucap mereka semua.
"Mama udah pulang?" tanya Veni menyalimi tangan Mamanya. Bhiya mendekat dan menyalimi tangan Mamanya juga tapi lagi-lagi respon tidak baik dari Mamanya.
"Kamu makan apa ini?" tanya Dian tanpa mempedulikan Bhiya.
"Mangga muda, Ma. Seger banget." Veni pun menunjukkan sisa mangga yang tersisa. Dia masih ingin melanjutkan makannya tapi sudah kenyang.
"Dapet dari mana mangganya?" tanya Mamanya lalu duduk di samping Veni. Dia pun menyomot mangga muda itu lalu mencocolnya dengan sambal.
"Itu, Ma punya Bu Wati lucu deh Mario sampe dikejar-kejar cuma karena akting padahal ya aku udah bilang. Ngerjain Mario itu enak banget."
"Astaga kamu ada-ada aja. Terus Mario diomelin?"
"Iya dia lari-lari terus pas Mario bilang masa buat anak hasil nyuri ya aku bilang udah bilang duluan ke By Watinya cuma suruh akting aja dulu."
"Astaga kamu ini ada aja loh nak-nak. Ini sambelnya yang buat siapa? Kok enak banget."
"Veni, Ma. Masa Mario yang buat. Orang suruh ambilin mangga aja tadi ngoceh kok, Ma."
"Enggak ngoceh sayang...."
"Bohong tadi bilangnya anshdkdkdgdjd...." Dian malah tertawa mendengar kata-kata menantunya itu.
"Ini dari siapa?" tanya Dian membuka plastik yang berisi banyak makanan.
"Wah ini siapa yang dari Bali?" tanya Mamanya lagi.
"Mbak Bhiya, Ma. Ini tadi Mbak Bhiya yang bawain soalnya dari Bali." Dian pun sepertinya tidak suka sehingga dia langsung menutup plastik tersebut.
"Yaudah, Mama mau ke kamar dulu ya. Kamu jangan makan banyak-banyak loh, Ven."
"Enggak kok, Ma. Ini udah selesai. Enggak kenyang juga." Mamanya pun mengangguk lalu dia beralih berjalan ke kamar tanpa mempedulikan Bhiya. Bhiya tahu masalahnya tapi rasanya dia juga tidak enak dengan keadaan seperti ini.
"Sini, Mbak ngapain di situ." Veni memanggil Bhiya untuk duduk bersama lagi dan bercengkerama bersama. Bhiya pun tersenyum tipis. Tidak enak rasanya tidak diakui oleh Mama mertuanya. Padahal, waktu dia sempat hamil dia merasakannya.
"Emmm ... aku pulang dulu deh ya, Ven, Mar. Kayaknya ada kerjaan di rumah yang belum aku kerjain." Bhiya memilih pamit pulang karena Dian sudah pulang. Dia tidak mau nanti dia semakin dibandingkan atau ada kata-kata yang membuatnya kepikiran.
"Lho kok mau pulang, padahal kita ngobrolnya belum selesai."
"Kamu dong kali-kali rumah aku juga. Deket tahu Dari sini. Sengaja Mas Marvel beli rumah."
"Hahaha iya, Mbak. Mbak ke sini naik apa?"
"Jalan kaki sekalian olahraga."
"Oalah."
"Yaudah ya, Mbak pulang dulu." Veni pun ikut bangkit berdiri.
"Ven kamu aja ya yang anterin Bhiya. Aku mau ke Mama dulu."
"Oh gitu. Okedeh."
"Halah enggak usah dianterin kayak ama siapa aja si," ucap Bhiya lagi.
"Ya enggak papa dong 'kan tamu." Bhiya pun tersenyum. Untung saja adik iparnya ini benar-benar orang yang pengertian juga. Bukan suka memonjokkan dirinya.
"Haha kamu ini," ucap Bhiya lagi. Mario pun langsung berjalan ke kamar Mamanya. Setelah itu Veni mengantarkan Bhiya ke depan rumah.
***
Mario mengetuk pintunya lebih dulu, setelah Mamanya dari dalam membolehkannya masuk dia lantas masuk ke dalam.
"Ada apa, Mar? Tumben ke kamar Mama."
"Mama kenapa sih sama Bhiya kayak gitu. Mama itu kelihatan banget kalau enggak suka sama dia."
"Kamu ini ngomong apa sih, Mar?" tanya Mamanya pura-pura tidak mengerti.
"Respon Mama ke Veni Bagus sedangkan respon Mama ke Bhiya enggak bagus. Padahal, mereka berdua juga menantu Mama."
"Suruh siapa dia enggak nurutin kata Mama. Udah dibilang dari dulu pas hamil buat jaga kandungan. Eh malah kayak gitu. Sekarang ya lihat kan dia belum hamil juga udah Mama bilang. Mama jadi malu. Orang-orang malah bilang kakak kamu yang mandul lah, dia yang mandul lah."
"Ma tapi caranya enggak gini. Jadi, mungkin Bhiyanya itu kepikiran terus jadi susah hamil lagi. Lagian kalau Veni ngomong ke aku kenapa Mama gitu jadi akunya juga bingung loh." Mario memang bingung setiap ditanya Veni kenapa.Mamanya tidak suka dengan Veni.
"Ya tinggal bilang karena enggak nurut jadi enggak hamil gampang."
"Aduh, Mama ... Mama iya kalau itu doang kalau sampe Veni yang curiga gimana coba? Kalau sampe Veni tahu Bhiya pernah ada hubungan sama aku gimana?" Mario juga menghawatirkan masalah itu.
"Enggak usah dipikirin udah kamu ke kamar kamu aja. Mama mau istirahat capek jangan kamu ajarin tentang ini itu." mamanya menyuruh Mario untuk ke luar dari kamarnya. Mario pun menghembuskan napasnya kasar. Dia tidak mau Veni tahu hubungannya Mario dengan dirinya di masa lalu apalagi Arum sudah mengatakan kepada Veni kalau dirinya pernah gagal move on karena perempuan. Jangan sampai Veni tahu perempuan itu adalah Bhiya.
"Ma tolonglah ngertiin posisi aku."
"Mario, Mama mau istirahat udah buruan kamu ke luar." Mario dengan pasrah pun akhirnya ke luar.
Dian tidak perduli dengan kemauan anaknya itu. Dia tetap kesal dengan menantu pertamanya. Seandainya saja menantunya itu mau diajak kompromi dari awal pasti tidak akan terjadi keguguran seperti ini. Semua karena menantu pertamanya itu gila kerja.