"Mereka tidak sabar untuk menanti kehadirannya."
*
"Gimana, Dok USG nya?" tanya Dian terburu-buru. Veni hanya diam saja. Setiap dirinya periksa memang pasti selalu yang akan lebih bertanya itu Mama mertuanya. Sedangkan Mario menggenggam tangan istrinya dan tersenyum.
"Ini, bu hasilnya. Kalau dilihat masih sama seperti sebelumnya ya. Jenis kelaminya laki-laki dan mungkin saat lahiran nanti anaknya laki-laki."
"Ahhh ... akhirnya cucu laki-laki yang diharapkan keluarga."
"Laki-laki dan perempuan sama saja, Bu. Asalkan anak dan Ibunya baik-baik saja."
"Enggak dong, Dok. Laki-laki itu lebih berwibawa nanti bisa meneruskan perusahaan keluarga saya. Kalau perempuan mana bisa, Dok."
"Tapi, 'kan Ibu juga seorang perempuan dan Ibu memiliki.perusahaan itu bukan?"
"Saya menggantikan suami saya yang sudah tidak ada. Udahlah, Dok. Kok jadi ngurusin keluarga saya. Veni, Mario kamu lanjutin sana kalau mau tanya sama Dokternya, Mama mau ke kamar mandi terus nanti nunggu di Mobil." Veni menghembuskan napasnya kasar. Kali ini Mamanya benar-benar memaksa yang berlebihan. Mendekati hari kelahiran yang tidak lama lagi malah membuat Veni semakin terus kepikiran. Dokter sudah meyakinkan bahwa bayi mereka akan laki-laki tapi entah kenapa perasaannya ada rasa takut.
"Dok saya izin bertanya ada 'kah kemungkinan nantinya anak yang lahir berbeda dari usg?"
"Untuk masalah itu saya tidak bisa memastika secara pasti, Bu Veni. Tapi, karena ini usg bulan ke delapan bisa dipastikan anaknya tetap laki-laki. Tapi, kembali lagi semua kepada sang pencipta, Bu."
"Apa yang harus Veni makan biar kelahirannya nanti tetap lancar."
"Masih seperti saran-saran sebelumnya, Pak."
"Mar udah yuk pulang. Perut aku udah mulai enggak enak lagi," ucap Veni.
"Iya. Yaudah, Dok saya pamit. Terimakasih ya...." Mario lantas mengajak Veni untuk bangkit kemudian pulang.
*
"Anak Bunda, lagi ngapain?" Veni mengelus perutnya.
Dug....
"Aduh, udah ngerti ya anak Bunda. Bunda enggak sabar, nak ketemu kamu." Veni mengelus perutnya yang bahkan sudah mulai turun ini. Veni tersenyum simpul, sebenarnya bagi dirinya saat ini apa pun jenis kelaminnya, selama bayi ini sehat semua sudah cukup baginya.
Namun tidak untuk mertuanya itu, laki-laki adalah cucu yang sangat ia harapkan dan malah membuat Veni merasa sedikit terbebani. Hingga secara tak sadar Veni melamun, Mario yang tadinya sedang mengambilkan s**u kehamilan untuk istrinya melihat Veni melamun.
“Bumil lagi ngelamunin apa?” tanya Mario sambil memeluk Veni dari samping. Veni sedikit terkejut karena interupsi suaminya itu kemudian tersenyum simpul. Ia mengelus tangan Mario yang sedang mengelus perutnya yang sudah membesar ini.
“Enggak papa, aku cuma enggak sabar ada dedek di sini,” kata Veni sambil mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Mario. Veni melihat ke Mario sambil memeluk suaminya itu, mencari kenyamanan dan keamanan berharap semua ke khawatirannya sirna.
“Jangan kebanyakan pikiran, kasihan si dedek nanti bingung. Kok bundanya bukannya seneng malah sedih dia mau lahir,” kata Mario sambil mengelus rambut Veni yang lembut itu. Veni mengangguk, tak lama ia pun meminum s**u yang sudah Mario siapkan.
“Latihan jadi Ayah siaga ya?” tanya Veni kepada Mario yang memperhatikan Veni minum. Mario mengangguk.
“Kalau anaknya perempuan gimana?” tanya Veni pada Mario yang sibuk dengan mengelus anak yang ada di dalam perut Veni.
“Jangan mikir gitu, kan udah dibilang sama dokternya kalau anaknya cowo,” kata Mario sambil mengelus kepala Veni memberikan kenyamanan agar Veni tidak khawatir.
“Tapi aku takut,” lirih Veni ingin sekali menangis rasanya.
“Aku yakin dia bakalan cowo, jadi kamu harus tenang biar bayinya enggak stress,” kata Mario sambil menatap istrinya itu dengan penuh kasih sayang.
“Iya,” balas Veni sambil mengangguk. Karena mengantuk, akhirnya Veni memutuskan untuk berbaring ditemani Mario yang juga belum mau beranjak dari tempat tidur.
Perlahan waktu pun berjalan tak Veni sadari, dia bangun dengan keadaan semua hampir gelap. Veni bangun dan beranjak dari tempat tidurnya yang sudah tidak ada Mario. Veni pun hendak mencari keberadaan Mario, namun sebelum itu ia memutuskan untuk pergi terlebih dahulu ke kamar mandi untuk mandi.
Mario saat itu tengah berbincang dengan ibunya, Dian. Mereka berbincang sambil menyiapkan makanan untuk Veni makan. Terlebih lagi Dian yang tak sabar dengan penerus keluarga mereka, ia pun memasakkan Veni seafood karena sebelumnya Veni menyebutkan masakan yang ingin ia makan.
“Mario….” Panggil Veni sesaat sebelum ia mengetahui dimana keberadaan suaminya itu. Mario menoleh, melihat Veni masih mencarinya. Padahal dia sudah jelas-jelas di pantry dengan ibunya.
“Aku di dapur,” kata Mario sambil menyiapkan kursi yang nyaman untuk istrinya, lebih tepatnya untuk calon bayinya.
“Aduh,” sebelum sampai ke pantry, Veni memegangi perutnya yang sudah mulai turun itu sambil mengaduh. Mario dan Dian tentu saja panik, takut terjadi apa-apa. Mereka langsung menyerbu Veni tanpa ba bi bu.
“Kenapa?” tanya Mario panik sambil memegangi perut Veni.
“Dedenya nendang kekencengan,” lirih Veni sambil merasakan kebas pada perutnya akibat pergerakan anaknya sendiri.
“Astaga, Mama kira ada apa. Cucunya Mama mau jadi pemain bola kah?” tanya Dian sambil mengelus perut Veni.
Dian pun merasakan pergerakan aktif si bayi, ia tersenyum kegirangan karena mendapatkan pergerakan dari cucunya itu. Veni tersenyum melihat senyum yang keluar dari bibir mertuanya itu. Mario pun ikut mengelus perut Veni.
“Eh masakan Mama! Nanti cucu Mama enggak bisa nyicipin lagi!” ucap Dian sembari berlalu untuk meneruskan acara memasaknya.
Veni akhirnya menunggu dengan Mario, bahkan Mario mengupaskan buah terlebih dahulu untuknya sembari menunggu Dian yang tengah memasak. Veni seperti putri raja yang dilayani oleh suami dan mertuanya. Apa saja yang ia mau selalu terpenuhi tanpa terkecuali, ia pun tak pernah dibuat untuk mengerjakan pekerjaan yang berat.
Namun di samping itu semua, sebenarnya perasaan takut Veni belum juga berlalu atau pun hilang. Entah kenapa ia memiliki firasat lain dari apa yang dikatakan oleh dokter kandungan tadi. Ia takut firasat ini menjadi benar dan mereka semua perlahan berubah.
Entah apa yang akan dilakukan olehnya ketika nanti memang keadaan memaksakan mereka berubah. Veni hanya takut kepada hal dimana keberadaan anaknya tak dianggap lagi oleh mereka jika memang anak ini perempuan. Veni diam, sambil mengelus perutnya itu, berharap-harap jika dia adalah laki-laki.
Sebenarnya dalam hati kecil Veni yang paling dalam, ia tak berharap banyak untuk bayinya perempuan atau laki-laki, yang terpenting adalah kesehatan bayinya. Namun di sisi lain, Veni berharap anaknya laki-laki. Dia serba salah, sebagai ibu dia tak memperdulikan jenis kelamin anaknya walaupun sudah ditetapkan oleh dokter sekalipun. Namun sebagai menantu dan istri, tentu saja ia menginginkan anaknya sesuai dengan ekspektasi yang suami dan mertuanya miliki.
Di dalam hatinya Veni berharap bahwa semua akan baik-baik saja, namun dalam hatinya lagi ia merasakan bahwa semua ini takkan baik-baik saja. Ingin sekali Veni melarikan diri sejauh mungkin dari masalah yang akan datang.