"Tidak terasa sudah memasuki bukan ketujuh."
***
Tidak terasa kehamilan Veni sudah memasuki bulan ke tujuh. Selama itu pula Mario harus sabar menghadapi permintaan aneh-aneh, Veni.
"Mario ke Bali yuk."
"Ha?"
"Kenapa?" tanya Veni lagi dengan wajah yang berubah murung kala Mario menyentakknya langsung.
"Eh maaf-maaf. Maksud aku iya kapan kita ke Bali?"
"Sekarang."
"Veni ini jam 2 malem bahkan kamu belum tidur dari tadi."
"Aku masih belum bisa tidur lagian tadi aku tidurnya udah kesorean jadi jam segini enggak bisa tidur deh."
"Yaudah sekarang tidur dulu. Besok kita ke Bali."
"Tapi, pengennya sekarang."
"Besok waktunya periksa kandungan sayang. Mama aja udah excited buat anter lagi."
"Huft ... iyasih. Yaudah deh aku pengen makan aja. Laper," ucap Veni menahan keinginannya untuk ke Bali karena besok waktunya mereka periksa kandungan lagi.
"Yaudah sebentar ya aku ambilin kamu diem di sini aja."
"Aku pengen makan empal genthong tapi kamu yang buat," ucap Veni lagi.
"Hah? Empal genthong? Aku enggak bisa buatnya, Ven. Besok aja ya kita cari."
"Enggak aku maunya sekarang kok. Tadi ke Bali udah enggak boleh masa sekarang mau makan enggak boleh juga. Ini yang minta anak kamu loh, Mar." Veni lantas menjadikan anaknya sebagai alasan. Dia mengelus perutnya seakan anaknya yang benar-benar minta. Walaupun yaiya cuma entah kenapa dia juga ingin. Tapi, dibuatkan oleh suaminya.
"Ya tapi aku enggak bisa, Ven. Apalagi kita enggak tahu juga bahannya ada di kulkas enggak."
"Kamu kebanyakan alasan. 'Kan bisa cari di google caranya. Pasar ada kok kalau malem."
"Jadi kamu mau aku ke pasar buat belanja terus masak empal genthong?" tanya Mario lagi.
"Yaps betul. Dah yuk sekarang kita siap-siap terus belanja. Laper banget ini aku."
"Justru kamu laper mending kita cari makan yang ada aja." Veni langsung terhenti berjalan kala suaminya mengatakan itu. Dia lantas berbalik lagi dengan muka yang melas lagi. Membuat Mario akhirnya merasa bersalah lagi dengan istrinya.
"Maksudnya gini, kamu udah laper jadi ya kita cari empal genthong yang jualan atau kamu mau sate taichan aja kesukaan kamu?" tawar Mario.
"Kamu enggak mau masak ya? Padahal, ini yang minta anak kamu lho. Masa kamu enggak mau masakin nanti kalau anak kamu ngiler gimana?" tanya Veni lagi. Selalu saja kata-kata itu yang keluar ketika Mario memberikan sebuah option.
Tak ada pilihan lain selain memasak untuk Veni. Sekarang ia hanya mampu berpasrah dan meminta Veni tetap tinggal di rumah. Karena masih sangat pagi dan tidak seharusnya Veni keluar ke pasar untuk berbelanja.
"Oke, kamu di rumah aja. Biar aku yang belanja. Aku akan masakin empal genthong yang kamu mau itu."
Veni mengernyit. Ia seolah menatap Mario dengan tatapan remeh dan tak percaya. Kemudian berkacak pinggang dan berkata, "Emangnya kamu bisa? Tadi katanya nggak bisa masak?"
Ingin rasanya Mario mengumpat dan melontarkan ribuan kata hewa di seluruh dunia. Tapi ia menahannya. Ia tak mau menyakiti Veni dengan kata-kata nya yang sarkas.
"Sayang, kamu jangan remehin aku dong. Aku pasti bisa. Tadi aku cuma ragu aja." Mario berusaha tersenyum setulus mungkin dan membuat Veni percaya. Padahal sebenarnya ia punya misi lain agar Veni tetap bisa makan empal genthong buatannya tapi dengan bumbu instan.
"Tapi kamu serius bisa nggak? Kalau nggak enak, kamu yang harus habisin."
"Siap! Nanti biar aku yang habisin kalau nggak enak. Jadi, lebih baik sekarang kamu tiduran aja di rumah. Biar aku yang belanja. Kalau sendirian, aku bisa cepet naik motornya."
Veni masih menatap Mario dengan heran. "Yakin?"
"Kalau kamu ragu, mending aku nggak jadi masak aja deh."
Veni mencekal tangan Mario yang hampir berbalik kembali. "Eh, oke. Aku mau deh. Aku di rumah. Nunggu kamu selesai belanja terus masakin aku Empal Genthong."
"Serius?"
Anggukan Veni membuat Mario tersenyum lebar.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa, Sayang?"
"Masaknya harus pakai bumbu asli. Jangan pakai bumbu instan."
Mario menepuk jidatnya kesal. Ia berbalik dan langsung merebahkan diri ke ranjang. "Skip aja ya, Sayang. Aku capek."
Veni mengerutkan dahinya. "Loh, Mar? Kenapa kamu malah rebahan sih? Katanya mau belanja beli bahan buat masak empal?"
"Sesekali anak kita biar nggak manja. Udah, ya. Aku mau tidur dulu."
"Mariooo!"
***
Karena subuh tadi Mario sudah cari perkara, ia harus menanggung akibat nya di pagi hari. Veni mendiamkannya. Sangat tumben sekali Veni tidak menyapa atau meliriknya sama sekali. Benar-benar tampak kesal dan marah. Mario sadar apa salahnya. Tapi ia juga tak bisa memaksakan diri untuk menuruti keinginan istri yang aneh-aneh setiap harinya.
"Ven? Kamu marah ya?"
Pertanyaan yang salah. Jelas-jelas istrinya marah seribu kali lipat seperti biasa. Tapi dengan bodohnya Matio bertanya. Apalagi ditambah keadaan Veni sebagai ibu hamil yang sensitif. Mario hanya mendapatkan lirikan sekilas yang mematikan.
"Maafin aku. Aku beliin empal genthong yang ada di restoran deket alun-alun deh. Enak banget. Daripada aku masakin ntar rasanya nano-nano. Nggak jelas mau diajak kemana rasanya."
"Nggak lucu."
Veni beranjak dari kursi ruang tamu ke dapur untuk mengambil minum.
"Emh, gimana kalau kita ke Bali? Kamu pengen ke Bali kan?"
Masih diam yang Mario dapatkan dari sang istri. Memang sangat butuh extra kesabaran menghadapi seorang ibu hamil.
"Oke, deh. Aku nyerah. Kamu maunya gimana? Mau apa? Aku pasti bakal turutin."
Lagi-lagi Veni hanya terdiam membisu. Seolah tak percaya lagi dengan ucapan sang suami yang selalu menolak keinginan ngidamnya. Wajar saja ia kesal. Karena keinginan wanita hamil itu memang keinginan yang sulit dibantah. Tapi Mario tak sadar akan hal itu dan justru membuat Veni sangat kesal.
"Sayang? Aku beli option, mau ke Bali atau aku turutin apa mau kamu? Kalau kamu diem, aku anggap kamu nggak mau apa-apa nih."
Ucapan Mario yang terdengar seperti ancaman itu membuat Veni menghela napas pelan. Terlihat dari raut wajah Veni, bisa ditebak oleh Mario kalau Veni pasti akan mengatakan keinginannya yang super aneh.
Bibir sang istri mendadak manyun. Matanya menatap Mario sendu dan membuat Mario memalingkan wajah. Karena itu adalah jurus maut Veni agar Mario menuruti apapun keinginannya. Perasaannya sudah tak enak. Ia mencium bau-bau ngidam Veni yang aneh bin ajaib dan penuh dengan kejutan. Dalam hati ia berdoa agar Veni tak meminta hal aneh-aneh lagi.
"Mario." Akhirnya Veni melontarkan nama Mario dengan manja.
Mario berusaha mengatur napas dan degupan jantungnya agar bisa fokus memberi alasan jika Veni meminta hal yang aneh-aneh lagi.
"Mariooo." Veni makin memanjakan nadanya memanggil sang suami.
Mario pun luluh. Ia menatap Veni dengan senyuman dan mengusap pucuk kepala sang istri dengan lembut.
"Ada apa, Sayang?" tanya Mario yang sebenarnya tak ingin ia lontarkan.
"Kamu janji kan mau nurutin permintaan aku yang sekarang?"
Glup~
Rasanya sangat sulit menelan ludahnya sendiri. Terasa kerongkongannya yang kering dan menyempit karena gugup.
"I—iya, tapi jangan yang aneh-aneh ya, Sayang."
Veni mengerucutkan bibirnya kesal. "Ih, belum juga ngomong udah digituin. Males ah!"
"Eh, eh. Jangan ngambek lagi dong." Mario menarik wajah Veni yang hampir melengos lagi. "Oke, apapun yang kamu minta pasti aku kabulkan. Demi anak kita. Iya, kan, Sayang?" Mario mengelus lembut perut Veni dan tersenyum.
"Oke." Veni menatap Mario dengan sumringah. Ia senang karena akhirnya Mario mengatakan sanggup memenuhi ngidamnya yang sekarang.
"Jadi, kamu sekarang pengen apa?"
"Aku ... pengen mangga muda. Gampang, kan?"
Mendengar permintaan Veni, rasanya Mario sangat lega. Akhirnya permintaan Veni yang lagi ngidam nggak neko-neko.
"Oke, aku beliin mangga muda sekarang ya. Udah itu doang kan?"
Veni mengangguk dengan senyumannya. "Tapi ... "
Mario terhenti sejenak. Perasaannya mulai khawatir. Kata "tapi" adalah sebuah kata yang membuat jantungnya berdenyut menyakitkan jika akan terjadi sebuah hal yang tak diinginkan. Misalnya ... ngidam mangga muda yang dibeli dari Arab langsung.
"Ta—tapi apa, Sayang?"
"Tapi mangga muda nya harus dari pohon tetangga. Dan kamu ... harus manjat sendiri dan tetangga kita nggak boleh tau kalau kamu ambil mangga dia."
Mario membulatkan mata. "Maksudnya, kamu pengen mangga hasil curian gitu?"
Veni tersenyum lebar. "That's right!"
Sudah cukup. Mario tidak tahu harus berbuat apa lagi sekarang.
***