"Mereka terlihat amat bahagia dengan berita yang hadir."
***
Setiap kontrol kehamilan ke rumah sakit memang pasti Mamanya akan selalu ikut. Dia mendengarkan semua arahan dokter bahkan dia pun sampai rumah akan protektif kepada Veni.
"Ah, Mama seneng banget lho kalau nanti cucu Mama bakal cowo, pasti Papa kamu, Mar bangga di sana."
"Tapi 'kan itu masih prediksi, Ma. Jangan terlalu berharap juga nanti takutnya ga sesuai sama—"
"Enggak, Ven. Marvel sama Mario dulu juga gitu kok. Prediksi tapi beneran yang lahir cowo," potong Dian lagi.
"Ya semoga aja sih, Ma. Kita berdoa aja. Sebenernya siapapun yang lahir asalkan dia sehat dan sempurna seharusnya kita bersyukur, Ma."
"Iya emang bersyukur tapi 'kan harus usaha juga ama dokter. Dan dokter juga udah bilang kayak gitu tadi ya mungkin aja emang bener kok. Udah kamu itu ikutin apa kata dokter aja. Makan-makanan yang amis kayak ikan-ikan gitu, kacang-kacangan. Ah satu lagi, Mario kalau kamu mau ituan sama Veni juga Inget kata Dokter tadi posisinya." Veni menahan senyumnya. Dia jadi malu sendiri mendengar ucapan Mamanya.
"Ck, Ma. Iya-iya aku tahu. Masa iya mau aku omongin sama Mama juga 'kan enggak lucu. Atau Mama mau menyaksikan," ucap Mario lagi. Veni langsung memukul paha suaminya itu. Bisa-bisanya Mario mengatakan hal tersebut yang membuatnya malu.
"Ya enggak lah kamu itu aneh-aneh aja tahu enggak?!"
"Ya habisan Mama juga ngomong kayak gitu."
"Iya-iya, enggak lagi. Ven kita makan dulu yuk. Em kamu suka gurame aja enggak? Mama lagi pengen makan gurame bakar nih."
"Sebenernya, Veni agak kurang suka beberapa ikan sih, Ma."
"Duh jangan gitu justru kamu harus sering makan ikan sekarang. Apalagi tadi bilangnya gitu kan, Dokternya kalau mau punya anak cowo jadi harus dibiasin dari sekarang. Enggak lama kok, Ven cuma sampe kamu lahiran aja. Cuma sembilan Bulan. Dulu, Mama juga enggak suka tapi Mama paksa." Veni menghembuskan napasnya kasar.
"Yaudah, Ma."
"Nah gitu. Mario ke tempat langganan kita ya. Biar kita bisa makan seafood," ucap Mamanya lagi.
"Ya, Ma."
***
Makanan sudah datang dan sudah disajikan entah kenapa rasanya dia malah mual. Baunya itu membuat dia enek seketika.
"Veni ayo di makan, ini enak lho."
"I ... iya, Ma." Veni menjawab dengan terbata-bata. Baunya benar-benar membuatnya mual. Sepertinya dia tidak bisa makan ini sekarang.
Baru masuk satu gigitan. Veni buru-buru untuk ke toilet. Perutnya benar-benar mual.
"Ven ... Veni kamu mau ke mana?" tanya Mario. Dia langsung saja mengejar Veni. Dian yang melihat mereka pun menggelengkan kepalanya. Lalu, dia lanjut lagi makan. Toh, nanti juga mereka balik lagi.
***
Huek ... Huek....
Orang-orang yang ada di westafel itu pun langsung ke luar saat Veni memuntahkan makanannya. Mario yang tadinya menunggu di luar pun akhirnya tidak tega. Istrinya di dalam kamar mandi wanita muntah-muntah sendiri.
Akhirnya, dia pun menyuruh seorang office girl agar wanita yang ada di dalam kamar mandi semua ke luar atau Cek apakah ada perempuan lain. Karena dia tidak tega dengan istrinya di dalam kamar mandi sendiri.
"Mbak tolong Cek di dalem ada wanita lain selain istri saya yang lagi muntah-muntah gak. Buruan, Mbak saya mau masuk soalnya."
"Baik, Mas sebentar." Mario menunggu office girl itu mengecek beberapa saat kemudian office girl itu pun ke luar.
"Udah kosong enggak ada cewe lain selain yang perempuan lagi muntah, Mas. Keliatan mukanya pucet banget juga."
"Yaudah makasih, Mbak. Jagain di sini dulu jangan ada cewe yang masuk saya mau iniin istri saya dulu," ucap Mario terburu-buru lalu masuk ke dalam kamar mandi tersebut.
"Veni kamu enggak papa?"
Huek ... Huek....
Mario memijit tengkuk istrinya itu, setelah sudah agak mendingan. Veni seperti tidak kuat menahan tubuhnya. Sungguh kemarin-kemarin dia merasa tubuhnya masih sehat dan bingung kenapa tidak ada tanda-tanda mual atau hal lain tapi setelah merasakan ini dia malah rasanya ingin bersyukur kemarin tidak merasakannya.
"Udah mendingan?" tanya Mario. Veni mengangguk, untuk menjawab lebih bahkan dia sudah tidak mampu lagi.
"Yaudah sekarang kita pulang ya." Veni mengangguk lagim Mario membawa Veni tapi Veni sudah tidak kuat berdiri lagi. Kakinya benar-benar tidak kuat untuk menopang tubuhnya.
"Kamu aku gendong aja ya. Soalnya udah kelihatan lemes kayak gitu." Veni pun mengangguk lagian dia benar-benar sudah tidak kuat lagi bangun apalagi berjalan.
Orang-orang yang melihatnya jadi iri dengan Veni. Mario yang gagah ganteng menggendong seorang perempuan dengan balutan gamis dan hijab yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Mereka jadi iri melihat kemesraan itu.
"Ih suaminya romantis ya."
"Pasti istrinya beruntung deh."
"Mana ganteng banget lagi cowonya."
"Tapi, istrinya enggak begitu cantik loh padahal tadi aku lihat." Orang-orang menyeletuk sesuka meraka. Mario ingin menghampirinya tapi langsung saja Veni berbisik.
"Mar aku udah lemes," bisik Veni. Mario yang tadinya ingin melabrak wanita itu pun tidak jadi. Dia langsung membawa Veni ke mobil.
Setelah sampai di Mobil Veni langsung ditidurkan dengan bangkunya yang dimundurkan. "Kamu masih lemes?"
"Heem," jawab Veni lemah. Perutnya belum benar-benar mendingan. Ingin muntah tapi tidak bisa lagi.
"Yaudah aku panggil, Mama dulu aja ya. Kamu di sini sendiri enggak papa 'kan?"
Veni menggelengkan kepalanya. Dia butuh Mario di sini. Mario pun akhirnya menyetujuinya. Dia mengambil telepon dan menelepon Mamanya.
"Halo, Ma."
"...."
"Ma aku pulang duluan ya? Mukanya Veni pucet banget. Mama mau pulang bareng aku atau nanti aja."
"...."
"Tapi, ini Veni udah pucet banget nanti kalau enggak aku telepon Marvel aja suruh jemput, Mama ya."
"...."
"Yaudah makasih, Ma aku pulang duluan. Mama hati-hati ya."
Mario langsung mematikan ponselnya, dia menutup pintu mobilnya Veni lantas memutar arah ke bangku kemudi.
"Mama gimana, Mar?"
"Mama mau naik taksi aja katanya. Yang penting kamu istirahat."
"Aku jadi enggak enak sama, Mama. Nanti kalau Mama marah sama aku gimana?" tanya Veni lagi dengan raut wajah pucat.
"Mama bilang enggak papa kok. Yang penting kamu istirahat aja. Kamu tidur aja kalau enggak nanti kalau udah sampe aku bangunin ya."
"Heem." Veni pun memejamkan matanya berusaha untuk tidur saja. Dia mengelus perutnya sambil dalam hati mengatakan kepada calon buah hatinya agar lebih tenang.
Mario yang melihat itupun langsung ikut mengelus perut Veni. Veni melek lagi melihat tangan Mario di perutnya.
"Anak Papa jangan nakal ya, nak. Biarin Mama istirahat dulu," ucap Mario sambil tetap fokus menyetir. Veni tersenyum.
"Makasih ya, Mar."
"Aku yang seharusnya makasih dan maaf juga dulu pengen kamu nyidam dan nanya kenapa enggak mual-mual tapi sekarang kamu mual malah aku kasihan sama kamu."
"Gapapa, Mar malah aku juga merasa seneng kok satu sisi dengan ini aku ngerasain nikmat Ibu hamil yang dirasain wanita lain juga kan. Walaupun, rasanya ya gitu. Tapi, aku bahagia kok."
"Aku bener-bener enggak salah pilih istri ya."
"Tapi tadi ada yang bilang kalau—"
"Udah enggak usah kamu fikirin yang penting kita yang jalanin dan kita bahagia ngapain juga dipikirin." Mario gantian mengelus kepala istrinya. Dia jadi merasa bahagia dengan Veni apa karena Veni hamil dia jadi semakin mencintai Veni.