"Kekesalan itu memuncak karena rasa kesal membuatnya harus tetap aktivitas."
***
Badan Veni jadi sakit semua sekarang. Tidurnya juga tidak bisa tenang lagi seperti sebelumnya. Entah kenapa hamilnya belum besar tapi dia ingin mengeluh saja. Pasti dulu Ibunya mengandung dirinya pun susah payah.
"Veni muka kamu pucet, nak," ucap Dian melihat wajah Veni yang pucat seperti sakit.
"Em? Enggak kok, Ma biasa kalau Ibu hamil 'kan kadang gitu," ucap Veni lagi. Kepalanya sangat muter-muter saat ini. Tapi, untungnya dia masih kuat menahan.
"Mar kamu enggak apa-apain, Veni 'kan semalem? Jangan-jangan kamu paksa ya buat—"
"Ck engga, Ma kata Dokter kemaren 'kan belum boleh jadi ya aku enggak kok." Mario memotong ucapannya karena ada Arum di sana.
"Buat apa, Tan?" tanya Arum.
"Ah enggak buat apa-apa, kok." Arum pun yang curiga akhirnya mengangguk.
"Kak Veni. Kak Veni kan dulu pernah juga jadi sekretaris sama keuangan gitu kan. Nanti aku minta ajarin dulu ya aku ada tugas dari kantor. Biar ngerjainnya cepet gitu," ucap Arum sambil melahap makanannya. Dia menyuruh Veni seperti tanpa rasa bersalah padahal jelas sekali Veni dengan raut wajahnya yang pucet.
"Arum kamu enggak lihat Istriku itu pucet mukanya mau aku suruh istirahat."
"Cuma sebentar doang kok. Lagian juga apa salahnya bantu. Tante Dian masa Kak Veni pinter enggak mau bantuin Arum."
"Emmm ... Veni kamu kalau bantuin Arum sebentar mau?" tanya Dian lagi.
"Ma—"
"Mario maaf. Tapi kamu tahu adik sepupu kamu kalau belajar masuknya cepet kok jadi ya biarin aja dia belajar dulu. Lagian istri kamu pinter kok."
"Iya, Ma nanti aku pasti ajarin Arum kok setelah makan." Veni malas mendengarkan perdebatan di mejan makan. Karena hampir setiap hari pasti Arum selalu saja meresahkan jam makannya jika bersama.
"Oiya ini, Ven di makan yang ikan-ikanan ini biar kamu juga sehat. Kamu harus makan ini biar anaknya cowo juga si."
"Iya, Ma." Veni setiap hari yang harus menahan masalah karena Arum. Padahal, hari ini adalah hari minggu tapi Arum itu selalu saja membuat masalah yang rasanya ingin dia tampol.
***
Veni berusaha menjelaskan materi di kantornya yang tidak bisa dibuat oleh Arum
Materi segampang ini saja gadis itu tidak bisa pantas saja masuk lewat jalur dalam.
"Veni udah ya kamu butuh istirahat kamu makin pucet." Mario datang sebagai penyelamatnya karena dia memang sudah lelah sekali tapi gadis menyebalkan itu tidak juga mengerti.
"Yah kok, Kak Mario aku masih belum ngerti sama materi ini. Besok aku kerja, Kak."
"Udah hampir sejam Arum dan kamu enggak ngerti terus. Sebenernya kamu belajar enggak sih. Katanya nerima materi gampang, katanya lulusan Jepang."
"Ya emang materinya yang susah kok. Di Jepang enggak diajarin kayak gini, Kak ya jadi wajar aku enggak paham."
"Karena kamu emang enggak mau belajar makanya enggak bisa. Udah, Veni waktunya istirahat enggak usah banyak alesan."
"Ada apa ini, kenapa berisik banget. Mario kamu juga kenapa si ngomongnya kenceng-kenceng banget," ucap Mamanya yang baru datang. Ah ... Veni sudah lemas apakah Mamanya akan menuruti Arum lagi. Veni ingin istirahat sekarang.
"Ini, Ma. Masa Arum enggak paham-paham dari tadi sedangkan ini udah hampir sejam. Aku mau Veni istirahat dari tadi aja dia udah lemes," ucap Mario lagi. Veni tetap diam dengan buku di tangannya itu. Kalaupun dia memang di suruh lanjut oleh mertuanya itu dia akan ngomong dengan mertuanya itu.
"Arum kamu enggak paham juga sama yang diajarin Kakak ipar mu?"
"Ya emang enggak paham, Tan. Susah banget, di Jepang enggak diajarin ini masa Kak Mario marah-marah."
"Kamu yang emang enggak paham-paham. Seharusnya kamu lebih pinter dong orang kamu lulusan Jepang. Masa suruh ajarin Istriku dan dia lebih pinter dari kamu."
"Ya karena Kak Veni udah kerja duluan sedangkan aku 'kan belum wajar Kak Veni lebih pinter," ucap Arum lagi nyolot. Kepala Veni semakin cenat-cenut mendengar mereka saling berdebat.
Hingga akhirnya, pandangannya pun menggelap. Terakhir yang dia dengan hanyalah Mario dan Mama mertuanya memanggil nama dirinya. Setelah itu dia tidak sadarkan diri.
***
Mario terkejut tiba-tiba Veni jatuh di pelukannya untung saja Mario dengan sigap memegangnya. Mamanya dan Arum pun sama terkejutnya kalau melihat Veni terjatuh di pelukan anaknya.
"Veni kamu kenapa, Ven! Bangun, Veni!!!" Mario menepuk pipi Veni membiarkan gadis itu bangun. Tapi, gadis itu sama sekali tidak bangun. Sepertinya, memang pingsan.
"Ini semua gara-gara kamu Arum!"
"Loh kok aku sih. Aku aja enggak tahu apa-apa kenapa yang disalahin malah aku." Sudah kayak gitu Arum masih saja tidak mau disalahkan pula rasanya ingin membentak gadis itu. Tapi, Mamanya langsung menyuruh Mario angkat Veni ke kamarnya.
"Udah-udah enggak usah berantem. Mario udah ayo bawa Veni ke kamarnya. Mama biar telepon dokter biar dia enggak kenapa-kenapa." Mario pun mengangguk dan membawa Veni ke kamarnya. Sedangkan Dian langsung mencari hpnya untuk menelepon Dokter.
***
Dokter sudah selesai memerika Veni, mereka sangat amat cemas dengan kondisi Veni yang masih pucat. Dian dan Mario pun demikian sedangkan Arum malah santai saja.
"Saudara Veni tidak apa-apa. Kandungannya juga baik hanya saja dia memang terlihat kelelahan dan juga kurang tidur. Apakah beberapa hari ini istri bapak jarang tidur?" tanya Dokter itu.
"Iya, Dok. Cuma mungkin karena anaknya yang dikandung ya, Dok."
"Iya, betul. Tapi, sebisa mungkin suruh istirahat total ya. Bayinya untungnya juga baik-baik tidak ada masalah serius."
"Baik terimakasih ya, Dok."
"Ini resep obatnya nanti di kasihkan ke Apotek terdekat untuk ditebus ya. Ini juga ada obat penguat kandungan jadi kalau terjadi sesuatu semoga tidak apa." Dokter menyodorkan itu kepada Mario dan Mario pun menerimanya. Dia melihat kertas itu tapi sama sekali tidak paham dengan apa yang dituliskan di sana.
"Yaudah saya, pamit permisi dulu ya, Tuan Mario." Mario pun mengangguk. Dokter itupun ke luar dari dekat kamar istrinya. Mario masuk lagi ke dalam. Ternyata Istrinya sudah siuman.
"Sayang kamu udah bangun? Ada yang sakit atau apa?" tanya Mario dengan overprotective.
"Wkwkw ... enggak papa kok aku, Mar. Aku tadi tiba-tiba pingsan kenapa ya?"
"Kamu kecapekan lagian kamu itu udah dibilangin berapa kali istirahat yang cukup juga tapi kamu ngeyel." Veni tertawa jika diomelin suaminya. Wajah suaminya itu terlihat seperti bayi.
"Kok malah ketawa aku lagi marah-marah lho."
"Wkwkwkw ... iya-iya. Lagian aku juga bingung harus respon apa." Mario memutar bola matanya malas.