Kepergian Marvel dan Bhiya dari rumah sakit membuat mereka membicarakan keadaan Veni dan Mario yang tengah berduka. Memang belum ada kejelasan secara pasti bagaimana nasib anak dalam kandungan Veni. Apalagi Veni sudah hamil tua. Mereka pasti amat sangat khawatir. Apalagi mamanya juga sangat mencintai anak itu. Rasanya Marvel hanya mampu diam dan tak merespon apa-apa. Ia cukup merasa puas tapi juga kasian. Entahlah, rasanya tak bisa ia deskripsi kan dengan kata-kata.
Sedangkan Bhiya terus menggersah. Mengeluh kasihan pada Veni yang harus menanggung nasib seburuk ini. Bagaimana bisa seorang wanita hamil tua jatuh dari ayunan. Begitu ceroboh nya sang suami.
"Kamu nggak usah mikirin mereka. Fokus aja sama hubungan rumah tangga kita. Kamu tadi lihat sendiri mama kayak gimana kan?"
Bhiya hanya mengangguk lemah. Ia tak bisa menjawab apapun karena bibirnya terasa kelu. Lidah nya terasa kaku. Seorang wanita yang ingin dihadirkan seorang buah hati dalam rahim, tapi tak kunjung datang. Sedangkan melihat Veni yang terluka saat hamil membuatnya sangat sedih.
Ia melihat ke arah luar jendela mobil. Melihat rentetan gedung pencakar langit yang penuh dengan lampu terang. Indah seperti bintang yang bertaburan. Tapi mengerikan ketika dilihat dari ujung bawah hingga atas. Sangat amat tinggi menjulang. Membuatnya harus merasa seperti kerdil yang berdiri di sebelah tembok raksasa.
Perjalanan mereka akhirnya berlangsung cepat. Karena malam hari lalu linta juga tak begitu padat. Jadi mereka bisa seenak hati menggunakan jalanan untuk mobil mereka melaju. Setidaknya tidak seramai saat pagi atau siang hari. Di saat jam kerja seperti itu pasti akan sangat sulit mencari celah untuk menyelip kendaraan yang ada di depan. Tapi untuk malam ini mereka berjalan mulus tanpa harus ada halangan di depan.
Hingga mereka tiba di rumah dan kembali tidur dengan nyenyak. Tak memikirkan perasaan saudara yang tengah khawatir akan terjadi hal buruk tentang Veni dan kandungannya. Bagi Marvel, itu tak begitu penting. Apalagi mamanya selalu mencintai Mario ketimbang dirinya. Sungguh pilih kasih. Tapi ia tetap mencoba bersabar meski kadang habis rasa sabar itu.
***
Sedangkan di rumah sakit, Veni masih tertidur pulas. Begitupun dengan Dian yang juga tertidur di sofa. Keadaan malam sangat sunyi. Hal itu membuat isakan tangis Mario terdengar samar. Ia menangis dalam sendiri. Melihat sang istri yang terluka karenanya. Ia hanya takut jika ada yang terjadi pada sang anak. Tapi ia berharap takkan terjadi hal buruk. Sebab, setelah mengingat apa ucapan dokter tadi membuatnya sangat frustasi dan belum bisa mengatakan keadaan Veni pada sang mama secara detail. Ia hanya mengatakan bahwa Veni akan baik-baik saja. Padahal sebenarnya, Veni sedang dalam bahaya.
Flashback on ...
Setelah jatuh dari ayunan dan membuat Mario kalang kabut membawa Veni ke rumah sakit, Mario berharap bahwa tak ada hal buruk terjadi pada anak lelakinya. Ia terus berdoa agar apa yang sudah menjadi kesalahannya tidak berdampak besar dan merugikan. Apalagi keadaan Veni yang tak sadar. Hal itu sangat membuat Mario merasa akan putus asa.
Pada tim medis juga tengah menangani keadaan Veni di ruang instalasi gawat darurat. Beberapa dari mereka terus keluar masuk untuk mengambil alat medis atau beberapa obat seperti cairan infus hingga membawa kotak es yang biasa dibuat untuk membawa kantong darah. Melihat hal itu membuat Mario makin merasa cemas. Hingga ia tak basa-badi mencegat seorang tenaga medis yang menggunakan jas putih lengkap dengan masker medis dan handscoon.
"Mbak, maaf. Istri saya nggak kenapa-kenapa kan? Nggak perdarahan kan?" tanya Mario dengan begitu panik. Sedangkan tenaga medis yang dicegat itu hanya menggeleng pelan.
"Masih diperiksa dokter, Pak. Tenang dulu ya. Saya tadi hanya ambil sampel darah untuk di cek ke laboratorium agar bisa mengetahui kondisi klinis pasien."
"Kenapa harus di cek laboratorium? Anak saya kenapa-kenapa ya, Mbak? Atau istri saya kenapa, Mbak? Tolong dijelaskan, Mbak. Saya nggak bisa tenang."
"Nanti dijelaskan sama dokter kalau hasilnya sudah keluar, ya, Pak."
"Sekitar berapa menit, Mbak? Pemeriksaannya apa aja, Mbak? Istri saya beneran nggak ada apa-apa kan, Mbak? Luka-luka dalam gitu, Mbak."
Melihat kepanikan Mario, tenaga medis itu menghela napas pelan. Sebab pertanyaan Mario sebenarnya tidak bisa ia jawab tanpa ijin dokter. Apalagi ia juga hanya bertugas mengambil sampel darah dan akan ia periksa dengan segera.
"Mohon maaf, Pak. Nanti semua akan dijelaskan oleh dokter yang bertanggung jawab. Untuk sekarang bapak duduk dulu. Tenangkan pikiran dan banyak berdoa saja. Saya harus segera membawa sample ke laboratorium dan memeriksa bagaimana keadaan istri bapak. Permisi, ya, Pak."
Mario hanya terdiam. Ia tahu bahwa yang berwenang memberitahu keadaan pasien pada pihak keluarga adalah dokter uang tengah menangani istrinya. Ia pun terduduk kembali dan mengacak rambutnya frustasi. Benar-benar sangat mengkhawatirkan. Ia hanya berharap dan terus berdoa agar sang dokter cepat keluar.
Ia melihat kepergian petugas lab itu hingga tak terlihat di sebuah tikungan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan terjadi. Siapa yang harus disalahkan. Untuk menyalahkan diri sendiri membuat nya sedikit tidak adil. Sebab, Veni juga memaksa ingin menaiki ayunan itu. Andai saja Veni tidak kolot dan menerima apa kata suami, sudah pasti tidak akan terjadi.
Akan tetapi, ia juga tak kuasa menahan keinginan Veni tadi. Ia tak kuasa melihat Veni harus sedih dan berlinang air mata karena gagal mendapatkan es krim. Makanya ia menerima apapun yang diinginkan sang istri. Tanpa tahu bahwa nasib akan berkata buruk.
Lagi-lagi Mario kembali meredam pikirannya. Sekarang bukan saatnya untuk menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain. Apalagi sampai menyalahkan keinginan seorang ibu hamil yang bisa saja berasal dari keinginan sang buah hati.
Ia tetap menunggu untuk konfirmasi dokter sekarang. Detik demi detik berlalu, rasanya seperti melakukan aktivitas lari maraton karena jantungnya terus berdebar tak karuan dan membuat keringat dingin terus bercucuran. Apalagi di dalam koridor yang menuju ruang instalasi gawat darurat yang berdampingan dengan ruang bersalin itu terasa sangat dingin meskipun tidak ada pendingin ruangan di sana. Mungkin karena dirinya sangat cemas sehingga aura yang tercipta di sisinya juga sangat dingin.
Beberapa waktu berlalu terasa sangat lama. Ia melihat jam yang terus berdenting. Rasanya satu detik yang berlalu seperti terasa ratusan tahun ia harus menunggu. Memang terdengar lebay. Tapi waktu melambat seketika saat ada sebuah kepedihan di d**a. Rasanya seperti tak ingin lekas pergi padahal hati sudah sangat ingin kepedihan itu sirna.
Krieett
Akhirnya, suara pintu terbuka. Pintu dari ruangan yang terus ia harapkan muncul dari seseorang di sana. Seorang lelaki berpakaian jas putih dan berkacamata itu keluar sembari bercakap dengan seorang perawat dan tenaga medis lain yang masih tertinggal di dalam ruangan.
Sontak melihat kedatangan sang dokter, Mario pun langsung bangkit dari duduknya. Ia menghampiri sang dokter dan langsung melimpahkan semua pertanyaan yang tergantung di pikirannya sejak tadi.
"Dok, bagaimana keadaan istri saya?"
Pertanyaan satu belum terjawab, Mario sudah kembali menghujani dokter itu dengan pertanyaan lain.
"Dok, ada yang luka nggak sama anak saya? Istri saya keadaannya parah nggak, dok? Bisa sembuh kan, dok? Nggak ada apa-apa kan, dok? Saya khawatir, dok."
Dokter hanya terkekeh. Ia menepuk bahu Mario dengan tertawa. "Sabar dulu, Pak. Keadaan istri bapak sudah saya tangani dan sekarang sudah tidak apa-apa. Hanya saja, ada satu hal yang aneh tadi, Pak. Tapi bukan masalah besar, jadi yang tenang saja, Pak. Jangan terlalu khawatir dan membuat diri sendiri menjadi bingung. Saya tau posisi bapak pasti sangat terpukul mengalami keadaan yang tiba-tiba seperti ini. Tapi tenang saja, Pak. Kandungannya baik-baik saja. Bayi bapak dan ibu sangat kuat."
"Tapi bagaimana kalau terjadi apa-apa, dok?" tanya Mario dengan khawatir lagi.
"Kita tunggu hasil laboratorium nya keluar dulu ya, Pak. Sekarang saya hanya bisa memeriksa fisik dan kandungan. Untuk secara klinis, belum bisa memberitahukan kepada bapak jika hasil laboratorium belum keluar. Bapak tunggu di sini dulu, jika hasil laboratorium sudah keluar, ada perawat yang membawa bapak ke ruangan saya."
"Iya, dok. Tapi tadi keadaan aneh itu maksudnya bagaimana ya, dok? Istri saya kenapa? Atau anak saya, dok?" Mario kembali bertanya meski sebenarnya sang dokter sudah bersiap pergi.
"Begini, Pak. Tadi saya periksa kandungannya dengan USG untuk mengecek keadaan bayi dalam rahim ibu. Ternyata baik-baik saja tapi jenis kelaminnya tidak terlihat begitu jelas. Sebelumnya sudah periksa ke dokter kandungan di mana, Pak?"
"Di rumah sakit ini juga, dok."
"Tapi sudah tau ya jenis kelaminnya apa?"
"Iya, dok. Jenis kelaminnya laki-laki."
"Oh, begitu. Ya, baguslah. Soalnya saya heran saja. Kaki bayi yang ada dalam rahim Ibu Veni sekarang merapat. Posisinya sudah kepala di atas. Kemungkinan saat melahirkan akan kesulitan karena posisi kaki yang ada di jalur lahir."
"Apa harus melakukan operasi, dok?"
"Tidak perlu, Pak. Akan ada waktu di mana bayinya akan memposisikan diri. Jika itu memungkinkan. Tapi nanti setelah masuk bulan sembilan, atau trimester ketiga akhir, coba di konsulkan lagi bagusnya bagaimana."
Mario terdiam sejenak. "Baik, dok. Terima kasih. Saya boleh ketemu istri saya nggak, dok?"
"Tapi hanya sebentar dulu, ya, Pak. Pasien perlu istirahat."
"Iya, dok."
Setelah melihat ke dalam untuk memastikan sang istri baik-baik saja, Mario langsung keluar kembali karena ia ingin memberitahu mamanya tentang keadaan Veni. Keluarganya pun datang. Tapi tak lama, mereka pergi kembali dan hanya menyisakan dirinya dan mama untuk menemani Veni yang masih terlelap.
Saat Dian sibuk melihat keadaan Veni, Mario dipanggil oleh perawat dan diantar ke ruangan dokter. Di sana ia melihat sang dokter penanggung jawab Veni tadi sedang membaca hasil laboratorium.
Menyadari akan kehadiran Mario, dokter itu pun mempersilakan Mario untuk duduk di depannya.
"Silakan duduk, Pak."
Mario mengangguk. Ia melihat name tag di jas putih bersih itu. Dr. Ricardo, SpOG.
"Hasil laboratorium atas nama Ibu Veni yang tadi masuk ruang IGD sudah selesai. Hasilnya menunjukkan kalau kadar Hb (Haemoglobin) turun dari nilai normal. Memang wajar untuk seorang ibu hamil. Turunnya tidak begitu berbahaya. Tensi Bu Veni tadi juga naik. Bisa karena Bu Veni terkejut karena akan jatuh dan pingsan. Hasil yang lainnya juga normal dan baik-baik saja. Ini hasil eritrosit, trombosit, lekosit juga baik-baik saja. Normal semuanya, Pak. Bu Veni juga tidak mengalami perdarahan yang begitu parah. Beruntung kandungannya kuat, Pak. Jadi, masih bisa melahirkan sesuai dengan HPL atau Hari Perkiraan Lahirnya."
Mario menghela napas pelan dan merasakan kelegaan. Setidaknya istri dan anaknya baik-baik saja. Ia hanya takut karena istrinya terjatuh dan langsung pingsan. Membuatnya berpikir yang tidak-tidak.
"Lalu, sekarang apa boleh pulang, dok?"
"Nanti saya akan periksa lagi setelah dua jam. Jika tensinya masih tinggi, Bu Veni harus dirawat di sini dulu, Pak. Takutnya akan terjadi preeklamsia di mana tekanan darah ibu tinggi dan mengakibatkan cairannya menumpuk. Hal itu akan berbahaya bagi kandungan maupun Bu Veni."
"Oh, gitu, dok. Saya juga sudah memindahkan ke ruang rawat inap."
"Baik, Pak. Nanti dua jam lagi akan saya kunjungi."
Mario mengangguk, setidaknya ia bisa lega. Tak apa jika Veni di rawat di rumah sakit beberapa hari dulu. Agar Veni benar-benar sembuh dan tidak ada hal yang membuatnya panik kembali.
"Saya permisi dulu, dok."
"Iya, silakan, Pak."
Setelah keluar dari ruangan dokter, Mario langsung bergegas kembali ke ruang rawat inap sang istri. Ia hanya ingin memberi kabar ibunya bahwa Veni baik-baik saja. Tapi untuk jenis kelamin anaknya yang tiba-tiba samar atau diragukan karena tidak terlihat di USG, ia akan menyembunyikan nya terlebih dulu. Takutnya jika mamanya akan terkejut dan tekanan darahnya melonjak tinggi seperti dulu. Mamanya pernah didiagnosa stroke. Jadi, Mario sangat berhati-hati. Ia tak mau jika mamanya sakit karena hal ini. Ia juga tetap berharap dan yakin bahwa anaknya tetap seorang lelaki. Tidak akan mungkin bayi umur delapan bulan yang sudah di USG beberapa kali sebagai anak lelaki akan lahir sebagai anak perempuan. Itu takkan mungkin. Memang takdir itu ada. Tapi Mario punya keyakinan diri bahwa Tuhan menghendaki bayi mereka adalah bayi laki-laki.
Ia menyakinkan diri hingga akhirnya sampai di ruangan sang istri. Terlihat mamanya tengah menyelimuti Veni dan kemudian bergegas merebahkan diri ke sofa.
Flashback off ...
"Semoga bayi kita tetap terlahir laki-laki, Ven. Aku nggak mau mama kenapa-kenapa. Pokoknya semua harus sesuai dengan keinginan mama." Mario menggumamkan suara hatinya. Ia mengusap air mata dan kemudian beranjak dari duduk. Ia pindah ke kasur lantai yang tipis. Kasur yang dibawa oleh satpamnya ke sana tadi.
Setidaknya ia bisa merebahkan diri. Tidak tidur dengan duduk atau tidur di lantai yang dingin.
Matanya masih terus menatap langit. Membayangkan anaknya akan lahir dan melihat dunia. Ia tetap bersabar meski Veni harus dirawat selama satu minggu di rumah sakit karena setelah dua jam tadi dokter datang dan melihat tekanan darah Veni yang masih sama. Pertanda bahwa Veni harus menerima perawatan dari rumah sakit untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.
Tak lama setelah itu, matanya mulai berat. Ia sudah melihat jarum jam bertengger di angka dua pagi. Lebih lima belas menit. Di mana ia hanya akan tidur selama dua jam lalu bangun subuh dan sudah pasti tak bisa tidur kembali. Tapi itu lebih baik daripada ia terus menangisi keadaan. Jiwa lelakinya yang lemah membuatnya kadang merasa malu. Tapi ia berusaha untuk tetap terlihat kuat. Ya, semua itu demi sang mama. Sang mama adalah tempatnya untuk terus bersikap kuat sebagai lelaki.
Tak terasa, ia sudah jatuh ke alam mimpi yang gelap. Pertanda bahwa tidurnya sangat lelap. Ia tak memimpikan apapun, hanya kosong dan gelap semata.
Begitu nyenyak dan nyaman. Semua kepedihan yang sempat hinggap pun tak hadir dalam mimpi. Mungkin karena ia telah berhasil menenangkan pikirannya sebelum terjatuh ke alam mimpi. Bagaimanapun juga, ia tetap yakin bahwa semua akan baik-baik saja. Bahkan besok Veni akan mengikuti senam ibu hamil yang di adakan eh rumah sakit. Untuk membantu menghindari pertambahan berat badan berlebihan, membuat tidur lebih nyenyak, memperkuat jantung dan paru, memperkuat sendi, mengencangkan otot, meredakan nyeri dan sakit yang dirasakan di masa kehamilan, meringankan nyeri akibat pertambahan beban pada tulang belakang. Hal itu semua sangat bermanfaat bagi Veni. Maka dari itu, Mario sebagai suami sangat mendukung agar Veni ikut acara senam ibu hamil.
Seperti baru saja tertidur lima belas menit, Mario sudah dibangunkan oleh suara Veni. Samar-samar ia mendengar suara Veni dan membuatnya langsung berusaha untuk membuka matanya. Saat ia membuka mata, Veni sudah ditemani oleh Dian. Dian memberikan minum untuk Veni. Ia berusaha untuk bangkit dari tidurnya dan matanya berkedip nyeri karena terkena sinar mentari. Ternyata sudah terbit mentari. Ia sampai ketinggalan khusyuk nya sholat subuh. Dengan segera ia berwudhu dan sholat subuh yang tertinggal. Sedangkan Dian menyuapi Veni dengan makanan dari rumah sakit yang terasa hambar.
Seusai menunaikan kewajibannya yang terlambat, Mario langsung mendekati Veni yang enggan untuk makan buburnya.
"Kenapa nggak mau makan? Makan aja, biar cepet sembuh."
Dian mendesah. "Buburnya itu nggak ada rasanya, Mar. Coba kamu sana ke bagian nutrisi. Protes kenapa makanan menantuku nggak ada rasa sama sekali. Kalau gini gimana mau sembuh? Dia aja nggak mau makan gegara nggak ada rasa. Hambar. Nggak enak. Orang sakit kok dikasih makanan nggak enak."
"Sabar dulu, Ma. Bentar, aku ke bagian perawat jaga dulu."
"Iya sana." Dian langsung menaruh mangkok buburnya itu kembali ke meja. Sedangkan Veni hanya diam tak berani membantah apapun yang dikatakan oleh sang mama.
Wajar saja bila Dian kesal. Karena Veni memang tak napsu makan jika tak ada rasa. Ia yang ada rasanya enak saja kadang malas untuk makan. Rasanya mual dan ingin memuntahkan. Ini justru tak ada rasa. Sudah tak ada selera.
Sedangkan Mario yang pagi-pagi buta sudah mengunjungi perawat jaga pun mulai protesnya.
"Maaf, Pak, ada yang bisa kami bantu?" tanya sang perawat dengan sopan meski masih terlalu pagi untuk mendapatkan kunjungan dari keluarga pasien.
"Mbak, kenapa makanan atas nama Veni di ruang nomor 4 VVIP itu rasanya hambar? Istri saya jadi nggak mau makan. Katanya harus sehat, kenapa ini malah dikasih makanan yang nggak ada rasanya? Ayam juga hambar, nggak ada rasanya. Lidah orang sakit itu nggak enak, Mbak. Kalau ditambah makanan yang nggak ada rasanya atau hambar kayak gitu gimana mau napsu makan? Nanti istri saya malah nggak sembuh-sembuh. Saya mau usulkan ganti saja. Atau saya mau pesen makanan di luar boleh, kan?"
Perawat itu hanya diam mendengarkan. Setelah Mario selesai bicara, baru perawat itu mulai menjelaskan.
"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Pasien atas nama Bu Veni ini diagnosa nya adalah hipertensi tekanan darah tinggi yang kemungkinan bisa memicu terjadinya preeklamsia pada ibu hamil. Hal tersebut membuat pihak Gizi atau Nutrisi untuk mengatur pola makan Bu Veni selama rawat inap di sini. Kadar garam yang terkandung dalam makanan Bu Veni sudah sangat di hitung dengan baik. Di minimalisir, Pak. Jadi wajar saja kalau makanan dari rumah sakit untuk Bu Veni terasa hambar. Sebab, hal itu memang sesuai dengan nutrisi yang harus diterima oleh Bu Veni."
Mario terdiam seketika. Ia tak bisa membantah jika sudah berhubungan dengan ilmu. Apalagi ilmu yang sekarang ia terima adalah ilmu medis yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Rasanya malu seperti seekor kedelai yang melolong tanpa dalih yang tepat.
Ia berdeham dan kemudian mengalihkan pembicaraan. "Memangnya tensi istri saya itu berapa, Mbak? Kalau dia mau makan makanan dari rumah sakit, bisa langsung sembuh?"
Perawat itu tersenyum. "Tensi terakhir Bu Veni pagi tadi masih tinggi, Pak. Seratus empat puluh per sembilan puluh, Pak. Dan itu masih tergolong tinggi. Sehingga kami memberikan obat penurun tensi yang harus diminum setelah memakan makanan yang sudah kami siapkan juga."
"Oh gitu, Mbak. Ya udah, makasih, Mbak. Saya coba kasih tau istri saya dulu."
Meski masih ada rasa malu, tapi Mario tetap stay cool. Ia hanya seorang yang awam akan hal seperti itu. Jadi ia membuat wajar dirinya sendiri.
Setelah perjalanan sampai di ruangan, Dian terlihat memberikan makanan lain yang entah berasal dari mana. Ada ayam geprek dengan sambal yang begitu menantang. Sudah terlahap habis oleh Veni dan menyisakan dua siap atau tiga suap nasi. Dian tersenyum melihat menantunya sangat lahap memakan makanan itu. Padahal baru saja ia tinggal belum ada lima menit.
"Kamu dapet makanan itu dari mana?" Tanya Mario pada Veni yang tengah meminum air putihnya hingga habis.
"Dari mama."
"Tadi pagi mama udah beli. Terus belum mama makan, makanan Veni udah dateng. Ya udah mama suapi Veni dulu. Eh, malah nggak enak rasanya. Ya udah, ayam geprek mama, mama kasih ke Veni."
Mario menepuk jidatnya. "Aduh, Ven. Kamu itu tensinya tinggi banget loh. Kamu harus makan makanan dari rumah sakit. Kadar garamnya udah di minimalisir. Kalau nanti kamu kena preeklamsia gimana? Bahaya, Ven!"
"Tapi nggak enak, Mar. Kamu nggak ngerasain sih." Veni tak mau kalah.
"Yang namanya sakit itu emang nggak enak, Ven. Makanya sekarang kamu nurut aja sama dokter. Di makan buburnya, abis itu minum obat."
Veni menggeleng. "Aku kenyang makan nasi sama ayam geprek. Aku mau langsung minum obat aja."
Mario mendengkus kesal. Istrinya itu memang sangat bebal selama hamil tapi ia juga tak bisa membantah apa kemauan sang istri. "Terserah. Sana minum obat. Katanya nanti dua jam lagi, kamu mau diambil darahnya."
"Perasaan tadi udah diambil sampel darah kok. Pas kamu masih tidur, ada mbak-mbak pakai jas lab datang ke sini ambil darah."
"Lah? Kok mau diambil lagi tadi katanya?" Mario kembali bingung.
"Kalau darahnya Veni diambil terus, dia bisa kurus loh, Mar. Coba sana kamu tanya ke perawat. Kenapa harus diambil lagi. Padahal tadi udah diambil."
"Ma, aku malu. Tadi aku tanya ke perawat tentang bubur ini aja aku malu banget rasanya."
"Kenapa kamu malu? Kamu tanya gimana emang? Jangan-jangan kamu sampai sana marah-marah nggak jelas tanpa ilmu. Iya kan?"
Mario terkekeh sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Kan emang nggak tau, Ma."
"Pokoknya sana kamu tanya, kenapa dia harus diambil darahnya lagi."
"Permisi ... selamat pagi, Bu Veni. Bagaimana keadaannya?" seorang dokter masuk bersama dengan seorang rekam medis yang siap mencatat semua tentang keadaan Veni tiap harinya.
"Pagi, dok. Keadaannya baik-baik aja kok, dok." Dian menjawab untuk mewakili Veni.
"Wah, kok saya cium bau ayam geprek ya?"
Veni terkekeh. "Kenyang satu porsi, dok." Dengan pede Veni menjawab dengan jujur. Sembari mengelus perutnya yang membesar itu.
Dokter itu tertawa heran. "Bu Veni nggak makan makanan dari rumah sakit? Pihak gizi sudah memberikan hidangan terbaik dengan komposisi gizi yang seimbang loh, Bu. Di beri sayur sop untuk vitamin, ayam untuk protein, dan nasi bubur yang cocok untuk pencernaan dan kadar gula maupun kadar garam dalam tubuh ibu."
"Itu dia, dok. Dia nggak suka dan nggak mau makan. Terus malah makan sekotak nasi ayam geprek tadi."
Dokter itu kembali terkekeh. "Bu Veni, sebaiknya ibu hindari dulu makanan luar. Karena kami sarankan sangat untuk makan makanan dari rumah sakit yang gizinya sudah diseimbangkan dengan keadaan ibu sekarang. Tensi terakhir ibu tadi masih tinggi, Bu. Saya khawatir kalau ibu sampai terkena preeklamsia. Snagat berbahaya bagi ibu hamil maupun janinnya."
"Oh, gitu ya, dok. Aduh, saya nggak tau, dok." Veni menjadi merasa bersalah. Ia makin takut jika dirinya akan kenapa-kenapa setelah melanggar perintah dokter.
"Jadi, nanti siang makan makana dari kami ya, Bu. Agar bayi dan ibunya tetap sehat sampai hari perkiraan lahir tiba."
"Iya, dok."
"Oh, ya, dok. Kenapa menantu saya nanti diambil darah lagi? Padahal tadi udah diambil darah. Terus tadi kata mbak-mbaknya mau diambil lagi dua jam setelah makan."
"Untuk mengecek kadar gula dalam darah sebelum dan sesudah makan, Bu. Jadi, tadi saya mendapat laporan kalau kadar gula Bu Veni tergolong tinggi untuk seorang yang belum makan apapun alias sudah puasa sejak semalam. Nah, karena itu saya memerintahkan untuk kembali memeriksa kadar gula setelah makan. Sehingga kami juga akan memberikan obat agar gula darah Bu Veni kembali normal. Pada umunya, ibu hamil itu justru kadar gulanya akan turun, jadi kami meminimalisir adanya hal yang tidak enak untuk terjadi."
Veni, Dian, dan Mario mengangguk paham. "Baik, dok. Terima kasih arahannya."
"Bu Veni ada yang dikeluhkan lagi? Bagaimana dengan perutnya? Apakah pergerakan janinnya normal atau berkurang?"
Veni meraba perutnya. Ia tak merasa sakit atau apapun. Hanya saja, ia merasa kakinya sedikit bengkak.
"Perut saya nggak sakit sih, dok. Tapi kaki saya kayak agak bengkak sedikit."
Dokter mengangguk paham. "Pusing atau d**a berdebar kencang? Kram perut?"
"Badan malah terasa enteng banget, dok. Terus rasanya ya sedikit berdebar-debar sih, dok. Oh, ya, dok, kemarin anak saya nggak apa-apa, kan, dok?"
"Alhamdulillah sehat, Bu. Untung saja bayi ibu kuat. Jika tidak, kami harus melakukan operasi Caesar saat itu juga."
"Alhamdulillah." Veni menghela napas pelan. Ia hanya takut jika anaknya dalam bahaya.
"Jenis kelaminnya tetap laki-laki kan, dok?" tanya Dian tiba-tiba. Membuat Mario langsung tersentak kaget.
"Untuk masalah itu, sekarang kami kesulitan melihatnya lagi di USG, Bu. Kemungkinan saat Bu Veni terjatuh, posisi bayi ikut berubah posisi. Di USG kami tidak bisa melihat jenis kelamin dengan jelas. Jika diagnosa awal adalah laki-laki kemungkinan yang lahir juga seorang anak lelaki. Tapi kembali lagi pada Yang Maha Kuasa, Bu."
"Ya semoga aja tetap laki-laki, dok. Terus ini menantu saya mau kapan di USG lagi, dok? Kali aja posisi bayinya udah berubah."
"Nanti siang akan kami USG, Bu. Sekarang istirahat saja dulu. Kalau begitu, saya permisi, Bu. Mari Bu Veni dan Pak Mario."
"Iya, silakan, dok."
Dokter itupun keluar dari kamar. Membuat Dian langsung menatap Mario dengan tajam. "Kenapa kamu nggak bilang sama mama tentang bayi Veni yang nggak keliatan jenis kelaminnya di USG?"
"Ma, buat apa mikir pusing sih? Kalau awalnya udah cowok ya udah ntar yang keluar juga cowok. Nggak mungkin yang keluar cewek kan? Masa mama gitu aja bingung sih."
"Lagian cewek atau cowok kalau sehat juga nggak masalah, kan, Ma?" Veni menimpali sebuah kalimat yang membuat Dian melotot kaget.
"Kamu tau sendiri kan kalau mama pengen cucu laki-laki. Kenapa kamu bisa dengan enteng ngomong kayak gitu? Pokoknya mama maunya ya cucu laki-laki."
"Iya, Ma. Dokter kan juga udah diagnosa kalau anak kami nanti itu laki-laki. Udahlah, Ma. Santai aja. Jangan bikin Veni tambah pikiran nanti malah tensinya makin tinggi."
Dian terdiam sesaat. Rasanya seperti kesal dan wajahnya memerah.
"Kamu sih, aneh-aneh minta naik ayunan. Alhasil sekarang kamu jatuh dan bayi kamu jadi diragukan kan?"
"Aku minta maaf, Ma. Tadinya emang pengen banget main ayunan tapi ya nggak tau kalau nasibnya bakal kayak gini, Ma." Veni mencoba untuk meminta maaf atas kesalahannya.
"Udahlah, Ma. Pasti anak kami itu cowok kok. Mama nggak perlu khawatir. Aku percaya. Tuhan itu berpihak pada kita. Mario juga udah lakuin semua yang dianjurkan dokter selama program hamil biar anak kami cowok kok."
Dian kembali terdiam. Rasanya masih kesal dan marahnya belum padam.
"Gini aja deh, Ma. Nanti siang biar aku sama mama yang masuk ke ruang USG. Biar mama seneng liat dedeknya yang cowok ini." Veni mencoba untuk merayu mama mertuanya agar tidak marah lagi. Meski ia juga sebenarnya takut kalau takdir sedang mempermainkan mereka.
"Ya udah. Nanti mama ikut kalian ke ruangan USG."
Berhasil. Kini mereka pun kembali membicarakan hal lain. Meraka menghindari pembicaraan tentang jenis kelamin anak Veni yang sekarang justru diragukan. Tapi diagnosa awal masih tetap berlaku.
Tak terasa sudah dua jam berlalu. Ada seorang perawat datang dan mengatakan bahwa ia harus membawa Veni ke ruang dokter untuk segera dilakukan USG.
"Saya boleh ikut, Mbak?" tanya Dian.
"Boleh, Bu. Tapi hanya satu orang saja. Ibu atau Bapaknya."
"Saya aja. Suaminya biar di luar dulu."
Perawat itu mengangguk. Ia langsung mendorong kursi roda Veni dan membawa wanita itu ke ruangan seorang dokter obsgyn.
Di sana ia dibantu untuk naik ke katil dan melakukan pemeriksaan USG.
Dian yang melihat pun terlihat cemas. Ia takut jika jenis kelamin anak Veni masih belum terlihat lagi.
"Sebelumya saya mau mengatakan kalau hasil dari gula darah dua jam setelah makan milik Bu Veni tergolong tinggi. Kemungkinan Bu Veni akan di rawat inap dulu hingga gula darah dan tensinya normal ya, Bu."
Veni yang telentang di katil hanya mengangguk pelan.
Dokter pun persiapan untuk melakukan USG terhadap perut Veni. Beberapa saat menanti, Dian yang tak bisa menerka-nerka gambar di monitor USG itu hanya diam.
"Bayinya sehat. Detak jantungnya juga normal. Tapi ibunya tetap harus mendapat perawatan ya biar bayinya juga lahir selamat dan normal."
"Bagaimana sama jenis kelamin anaknya, dok?"
"Masih belum terlihat, Bu. Mungkin karena Bu Veni jatuh dan posisi bayi sekarang masih tak terlihat jenis kelaminnya. Lalu kepalanya di atas sedangkan kakinya di posisi jalan lahir. Kemungkinan jika tidak ada perubahan setelah senam hamil nanti, Bu Veni dianjurkan untuk melakukan operasi Caesar."
"Kalau bisa ke posisi semula dan normal berati bisa bersalin secara normal, dok?" tanya Veni.
"Dok, tapi bayi menantu saya ini kemungkinan lahir laki-laki, kan?" tanya Dian menyela percakapan mereka.
"Kemungkinan besar iya, Bu. Tapi kembali lagi ke kodrat dari Tuhan."
Dian tercenung. Hal itu membuat Veni merasa heran.
"Kamu sih, pakai jatuh segala." Dian langsung bangkit dari duduk dan keluar tanpa permisi.