"Harapan akan sebuah kasih sayang yang takkan pernah berubah apapun yang terjadi hanyalah sebuah jarum yang siap menusuk kapanpun."
***
Melihat mama mertua dan suaminya asyik di dapur untuk menyiapkan makanan, Veni merasa bahagia. Ia melihat ada sebuah keluarga yang harmonis. Keluarga yang penuh kasih dan perhatian. Ia sangat mencintai mereka. Mama mertua dan suami yang selalu menjaganya.
Sebentar, sejenak pikirannya melayang. Tangannya mengelus sang buah hati yang masih dalam kandungan. Senyumannya luntur dan membuat hatinya mendadak sakit. Seperti tertusuk seribu jarum. Luka dalam yang entah datang karena apa. Pasti karena pikirannya yang mendadak overthiking.
Ia memikirkan bahwa kasih sayang yang ia dapatkan itu hanya karena ia sedang mengandung. Apalagi dokter mengatakan hasil USG adalah seorang anak lelaki. Sesuai dengan harapan mereka.
Ribuan kali ia mencoba bahwa bukan karena hal itu saja. Tapi karena memang keduanya sangat menyayangi Veni sebagai istri dan anak mantu. Hanya itu harapannya. Akan tetapi, overthiking atau berpikiran yang berlebih itu memang selalu menempel dalam benaknya.
Selama hamil, ia menjadi seorang yang sensitif. Rasanya ingin sekali memikirkan hal-hal yang tak penting. Semua omongan ia masukkan dalam hati. Terasa pikirannya penuh dengan komentar orang. Mencoba lupa tapi rasanya tak bisa. Ia hanya berusaha untuk mengalihkan semua pikirannya ke hal lain. Ke hal seperti kebaikan suami dan mertuanya. Misalnya begitu. Atau ... ia mengalihkan ke sesuatu hal yang lebih asyik untuk dipikirkan. Misalnya membayangkan anaknya ketika lahir dan tumbuh besar. Tumbuh dengan kasih sayang yang berlebihan dari dirinya, ayahnya, bahkan neneknya. Pasti anaknya akan menjadi anak yang paling bahagia. Dia bisa sombong atau memamerkan hal itu pada semua teman-temannya. Terkadang pikiran itu membuatnya tersenyum seorang diri. Tak peduli apa yang dilihat orang lain jika melihatnya senyum-senyum sendiri. Seperti sekarang, ia tak menyadari kalau Dina menatapnya heran karena senyumannya terlalu lebar.
"Kamu ngapain, Ven? Senyum-senyum sendiri?"
Veni tersadar akan lamunannya sejak tadi hingga tak menyadari jika Dina sudah duduk di depannya.
"Ah, Veni hanya membayangkan anak Veni kalau udah lahir pasti bahagia banget. Dapet kasih sayang dari nenek dan papanya yang begitu sayang sama dia sejak dalam kandungan. Terus, dia bisa sombong ke temen-temennya dan membanggakan keluarga bahagianya."
Dina terbahak. Begitupun dengan Mario yang juga terkekeh mendengar bayangan Veni yang terdengar lucu dan menggemaskan itu.
"Tapi bener juga yang diomongin Veni. Kalau cucu mama nanti laki-laki, mama nggak akan pernah biarin dia diganggu sama temen-temen nya. Mama akan jaga dia terusss. Jangan sampai lecet!" Dina mengambil piring sembari menekankan kata 'terus' yang terdengar sedikit berlebihan.
"Tapi kan anak Mario itu laki-laki, Ma. Kalau dibiarin manja nanti jadi laki-laki yang menye-menye gimana coba?" Mario sedikit tidak Terima dengan apa yang akan dilakukan sang mama pada anaknya kelak. Penjagaan yang terlalu ketat hanya akan membuat anak laki-laki nya menjadi anak manja yang menye-menye. Begitu yang dipikirkan Mario.
Akan tetapi berbeda dengan Veni. Meski anaknya kelak adalah anak laki-laki, ia juga tetap akan menjaga sang anak dengan sepenuh hati dan takkan membiarkannya terluka seujung jari pun.
"Eh, itu cucu mama ya. Jangan sampai terluka dong. Meskipun laki-laki, tapi dia kan calon pengusaha. Bukan calon preman, Mario." Dian kembali membantah omongan anaknya.
Percakapan di ruang makan menjadi lebih panas. Perdebatan antara Mario dan Dian yang terdengar debat pendapat biasa itu sebenarnya akan berakhir parah jika Veni tidak segera mengakhiri.
"Emh, Ma, Mario, kita makan dengan tenang dulu yuk. Daripada keselek nanti makan sambil ngobrol kayak gini."
Dian melirik Mario yang akan menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya. "Iya, deh. Mario ngalah."
Veni terkekeh melihat Mario yang pada akhirnya mau mengalah dengan sang mama.
"Kamu nggak tau aja sih, Mar. Mama itu juga jagain kamu sampai kamu dewasa gini. Inget nggak? Masa kecil kamu pernah dirundung sama temen-temen kamu. Terus mama yang maju. Akhirnya kamu ditakutin sama mereka kan? Terus kamu inget juga nggak? Pas kamu dipalak sama preman gang rumah kita yang dulu itu, kamu nangis minta bantuan mama. Akhirnya preman itu nggak mau lagi malak kamu. Iya kan? Inget nggak kamu?"
Veni menyenggol Mario yang duduk di sisinya dengan memberi isyarat harus mengiyakan saja apa kata sang mama. Karena hal itu akan membuat ucapan sang mama merasa diiyakan dan berakhir. Sehingga mereka akan makan dengan tenang.
Mario akhirnya mengangguk. "Iya, Ma. Aku inget kok. Emang aku dulu itu dilindungi mama banget. Makasih ya mamaku yang cantik luar biasa."
Veni terkekeh. Begitupun dengan Dian yang juga menahan senyum melihat Mario pasrah dengan keadaan di mana Dian menggeledah semua masa lalu menggelikan itu. Masa-masa saat Mario dirundung dan dipalak preman tapi pada akhirnya yang merundung dan preman itu takut padanya karena takut jika Mario akan mengadu lagi pada Dian. Sebab, Dian memang terkenal galak dan gila di lingkungan saat itu. Mereka takkan berani menyentuh Dian secuilpun jika tidak mau menjadi daging yang membusuk tanpa ampun.
"Nah, makanya, Mario. Jangan halangi mama buat jagain anak kamu nanti. Meskipun anak kamu itu laki-laki. Karena laki-laki juga punya titik lemah. Apalagi dia keturunan kamu. Pasti dia juga menye-menye."
"Aku menye-menye tapi kan pinter cari uang, Ma."
"Mama kan juga pengen anak kamu nanti juga kayak kamu. Lelaki berwibawa yang gagah dan pinter cari uang."
Mario mengangguk saja. "Iya, iya, mamaku sayang."
"Awh." Veni mendadak memegangi perutnya. Ia merasakan perutnya mengencang dan begitu sakit. Hingga ia meletakkan alat makannya dan berusaha fokus mengelus perutnya yang entah mengapa tiba-tiba menjadi kencang itu. Rasanya sakit dan ia beberapa kali harus menghela dan menarik napas yang teratur.
Melihat Veni yang berusaha meredakan rasa sakit kencang di perutnya, Dian langsung berpindah tempat duduk dan mendekati Veni.
"Kamu kenapa, Ven? Dedeknya nendang lagi? Cucu mama kenapa, Ven?" tanya Dian yang bingung dan khawatir akan terjadi hal buruk pada cucunya.
Veni menggeleng dan tak bisa menjawab. Ia fokus menarik dan menghela napas untuk meredakan rasa sakit.
"Kita ke rumah sakit? Atau gimana, Ven?" tanya Mario yang gelagapan karena khawatir juga akan terjadi hal buruk pada sang anak. Ia tak mau ekspektasi nya terpecahkan jika sang anak akan lahir dengan tidak baik-baik saja.
"Nggak usah, Mar, Ma. Aku baik-baik aja. Cuma agak kenceng aja tadi. Ini udah jadi lebih baik."
"Kamu makan yang banyak dong, Ven. Makannya jangan dikit-dikit gitu. Apa masakan mama nggak enak? Kamu mau dibeliin apa? Bilang aja, Ven. Mama nggak mau cucu mama terluka atau kenapa-kenapa. Jangan sampai dia kekurangan gizi. Kamu itu harus makan enak yang banyak biar anak kamu sehat, Ven."
Mendengar ocehan Dian, Veni hanya diam membisu dan tak mengatakan apapun. Ia tau jika Dian sangat khawatir. Jadi ia tan membalas ucapannya yang hanya akan menambah rasa khawatir sang mama.
Perutnya mengencang bukan karena dirinya makan sedikit. Tapi sepertinya karena memikirkan perasaannya yang takut jika dua orang itu kecewa akan dirinya kelak. Banyak yang ia pikirkan. Akankah mereka memaklumi jika suatu saat akan terjadi hal yang tak diinginkan. Atau jangan-jangan ia akan dibuang jika ada sebuah hal yang mengecewakan.
"Kamu tidur aja di kamar. Biar aku beliin makanan sehat di luar. Kamu nggak cocok masakan ini kan?" Mario berusaha membuat Veni lebih tenang dengan ingin membelikan makanan. Akan tetapi Veni menolak.
"Nggak. Aku pengen makan masakan mama aja. Enak kok. Aku suka. Cuma tadi perutku emang mendadak kenceng aja. Biasalah, Sayang."
Dian menghela napas pelan. "Istri kamu ini bener-beber bandel ya. Disuruh makan di luar aja yang dia suka. Nggak usah maksain diri kalau emang nggak suka masakan mama. Mama nggak apa-apa kok. Asal cucu mama itu sehat! Mending sekarang sana deh, kamu ajak istri kamu beli makanan seafood. Biasanya kalau istri hamil anak laki-laki itu sukanya seafood. Biar makannya banyak dan anak kamu sehat. Cucu mama harus bergizi kalau lahir nanti." Dian bangkit dari duduk dan langsung kembali ke posisi semua. Ia berniat menyantap makanannya lagi yang masih belum habis tadi.
"Gimana, Ven? Mau?"
Veni terdiam sejenak. Ia mengangguk saja. Padahal ia sedang tidak ingin makan seafood. Tapi melihat mama mertuanya sudah mengomel yang tidak jelas, akhirnya ia menurut saja.
"Aku siap-siap dulu ya, Mar." Veni pun bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan makanan yang masih tersisa di piring dan langsung ke kamar untuk berganti pakaian dan mengambil tas.
Sedangkan Mario ternyata membuntutinya.
"Kamu beneran mau makan seafood kan? Nggak terpaksa kan?"
Veni memasang wajah sendu. Menatap Mario dengan penuh kesedihan. "Sebenernya aku nggak lagi pengen makan seafood. Tapi aku nggak mau ngecewain mama kamu, Mar. Tapi ya udahlah nggak masalah. Nanti aku makan aja biar anak kita sehat dan bergizi. Biar mama kamu juga suka dan bahagia."
"Beneran?"
"Beneran. Ya udah, aku ganti baju dulu ya. Nggak lama kok."
Mario mengangguk. Akhirnya Mario langsung mempersiapkan mobil dan akan membawa Sang Istri untuk makan makanan seafood yang menjadi langganannya dengan sang mama. Tak lama kemudian, terlihat Veni sudah keluar dari rumah dengan membawa perut yang sudah membesar. Ia berjalan dengan lambat karena membawa seseorang lain dalam tubuhnya. Mario tersenyum melihat itu. Ia kemudian membantu dang istri untuk berjalan lebih cepat dan membukakan pintu mobil untuk sang istri. Setelah itu ia duduk di kursi sopir dan tak lupa memasang sabuk pengaman untuk sang istri.
"Kita berangkat. Jangan lupa nanti makan yang banyak ya, Sayang."
"Iya, Sayang."
Dalam setiap perjalanan dari rumah ke Alun-alun yang dekat dengan restoran seafood, Veni hanya mampu melamun dan melihat ke arah luar jendela. Malam hari yang terasa penuh dengan bintang dan ramai dengan para warga kota yang berlalu lalang. Rasanya seperti ia juga ingin terbang. Melihat seisi kota untuk menikmati malam yang indah.
Bayangannya kembali pada sebuah keinginan. Ia berandai-andai akan bisa mengajak sang buah hati jalan-jalan ke pelosok kota. Menikmati makanan enak dan bermain sampai puas di taman kota. Pasti ia akan memiliki banyak teman karena sifatnya yang ceria dan ramah.
Veni tersenyum sembari mengelus perutnya. "Sayang, nanti anak kita mau dikasih nama siapa?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari mulut Veni tanpa Veni memandang dang suami yang asyik menyetir dengan hati-hati.
"Emh, siapa ya? Yang penting bagus dan artinya juga bagus. Nanti aku pikirin deh."
Veni mengangguk. "Sekarang kayaknya manggil dedeknya pakai sebutan Baby V dulu ya."
"Kok Baby V? Harusnya Baby M dong. Kan itu anakku. Cowok pula."
"Ih, tapi yang mengandung kan aku."
"Tapi kan itu bibitku. Mario Junior, Sayang."
"Nggak. Pokoknya anakku."
"Eh, nggak boleh dong. Karena dia cowok makanya harus Baby M."
"Bagusan Baby V, Mario."
"Nggak. Pokoknya Baby M."
Veni langsung cemberut. Melirik Mario dengan kesal.
"Kenapa? Kesel? Nggak usah dibuat badmood lah, Sayang. Kan sebutannya bebas. Kamu boleh deh sebut dia Baby V. Kalau aku tetep Baby M."
"Nggak. Pokoknya harus Baby V."
"Nggak. Nanti dia jadi cewek. Aku nggak mau."
Veni langsung terperajat. "Sayang! Anak itu sama aja. Mau cewek atau cowok. Kenapa kamu jadi rasis gini sih?"
"Kan aku pengennya cowok, Ven. Yang bisa jadi penerus ku kelak."
"Cewek sekarang juga bisa jadi bos!" Veni tak terima. Tapi Mario juga makin tak mau kalah.
"Cewek itu kodratnya di rumah. Jadi ibu rumah tangga. Bersih-bersih rumah, masak, melayani suami, nurut sama suami. Cowok itu kodratnya mencari nafkah dan memberi nafkah. Jadi, harus cowok aja. Biar dia bisa berguna bagi keluarga."
"Hah? Maksud kamu cewek nggak berguna buat keluarga gitu?"
"Aku nggak bilang gitu."
"Tadi kamu bilang, cowok aja biar berguna bagi keluarga kan? Terus maksud kamu berati kalau cewek nggak ada gunanya buat keluarga?"
"Ah, udahlah. Daripada ribut. Mending kamu diem aja. Perjalanannya juga bentar lagi sampai."
"Kok jadi aku yang salah?" Veni makin kesal karena Mario seolah selalu menyalahkannya.
"Nggak nyalahin kamu kok. Tapi lebih baik bukannya diem aja kan? Daripada memperdebatkan hal yang tidak penting?"
Veni pun terdiam. Sebenarnya ia mulai kesal dengan sikap Mario yang seolah sangat Rasis terhadap anak perempuan. Ia takut. Hatinya gelisah. Ia tetap berharap semoga anaknya yang benar-benar akan lahir adalah berjenis kelamin lelaki. Jika tidak, ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Tak lama mereka melakukan perjalan menuju rumah makan seafood, akhirnya mereka sampai di sana. Mereka terus saja saling diam hingga masuk ke resto. Setelah memesan tempat dan ada sebuah tempat yang kebetulan kosong, mereka pun langsung ke sana dan merehatkan diri sembari menunggu pesanan makanan datang.
Veni hanya memesan cumi-cumi yang dimasak dengan saos tiram kemudian disertai dengan bawang bombai dan rasa-rasa nikmat lainnya. Itu adalah masakan favorit Veni yang mampu membuatnya nafsu makan meski sebenarnya tidak berniat untuk makan.
Sedangkan Mario memesan kepiting jumbo dengan masakan khas nusantara. Kepiting kecap yang dibumbui dengan bumbu nusantara khas restoran tersebut. Menu itu adalah menu favorit Mario saat kecil dulu. Ia sangat suka daging kepiting yang gurih. Memakannya pun penuh perjuangan tapi menghasilkan rasa yang mantab.
Sembari menunggu makanan mereka datang, mereka tidak saling bicara sama sekali. Hanya fokus dengan kepentingan masing-masing yang dibuat secara sengaja. Mario sibuk dengan ponselnya. Ia sengaja menelepon beberapa teman kerjanya hanya untuk menanyakan apa saja yang akan ia lakukan besok atau sekadar menanyakan keluhan atau hambatan yang terjadi pada perusahaan. Sebab, akhir-akhir ini memang terjadi krisis yang membuat perusahaan nya harus tetap berhati-hati agar tidak gulung tikar.
Sedangkan Veni sibuk melihat seisi restoran. Di mana sebagian besar pengunjung adalah beberapa kekuarga. Anak, ibu, dan Ayah yang tampak bahagia. Ia melihat di sudut ruangan, ada seorang ayah yang sangat bahagia melihat anak perempuannya makan dengan lahap. Di sisi lain ada seorang ayah yang sedang membukakan cangkang kepiting untuk anak perempuannya juga. Di lain sisi lagi ada seorang ibu yang sedang menyuapi anak lelakinya yang sibuk berlarian kesana dan kemari. Membuat suasana restoran makin ramai karena kehadiran anak-anak itu. Rasanya seperti bahagia sendiri melihatnya. Ia sebentar lagi juga akan menjadi seorang ibu. Baginya, laki-laki atau perempuan tidak masalah. Yang terpenting lahir dengan sehat tanpa kekurangan sedikitpun. Tapi mengingat mama mertua dan suaminya yang sangat ingin seorang anak lelaki membuatnya takut jika takdir mendadak mengubah jalannya. Ia memang percaya bahwa alat tak mungkin berbohong. Tapi ia lebih percaya akan mukjizat Tuhan yang bisa saja mengubah gender anaknya dalam satu kedipan.
"Apa? Jangan sampai lengah dong! Kalau kamu lengah, perusahaan saya bisa bangkrut. Kamu paham nggak sih? Atau mau saya pecat, hah?"
Veni terlonjak kaget melihat Mario yang marah-marah dengan seseorang yang ada di balik telepon. Hal itu membuat Veni mengernyit dan menebak apa yang sedang terjadi. Sebenarnya ia tak mau menanyakannya karena masih kesal pada suaminya itu. Akan tetapi, rasa keponya lebih besar dari rasa kesalnya.
"Ada apa sih, Mar?" Tanya Veni dengan heran.
Setelah Mario menutup teleponnya dengan sosok itu, Mario melihat ke arah Veni dan menghela napas pelan. "Hampir aja perusahaan ku kehilangan uang satu koma lima milyar. Semua itu karena kecerobohan pegawai itu. Minta dipecat saja kayaknya dia."
"Jangan dulu. Mungkin dia nggak sengaja melakukannya. Namanya juga kesalahan kan?"
"Tapi itu hampir loh, Ven. Argh! Untungnya nggak kejadian. Kalau sampai rugi besar, bisa bangkrut aku!"
Veni menyentuh tangan Mario dan tersenyum. "Sabar ya, Sayang. Untungnya udah aman kan? Sekarang tenangin dulu. Jangan sampai kebawa emosi dan bikin nggak napsu makan."
Mario menghela napas pelan. Entah mengapa hatinya selalu luluh jika melihat senyuman Veni. Selama wanita itu hamil, Mario melihatnya sebagai wanita tercantik. Mario menjadi lebih menyayangi Veni.
"Makasih ya, aku juga bersyukurnya nggak jadi rugi. Kalau jadi, bisa nggak tau lah gimana nanti jadinya."
Veni mengangguk. "Besok adain rapat aja. Biar mereka menjadi lebih hati-hati lagi. Nggak kayak kejadian ini."
"Iya, besok mau rapat seluruh anggota perusahaan. Biar aku kasih hukuman juga yang udah lalai. Biar kapok!"
"Iya. Sekarang tenang dulu. Baby V takut kalau papanya marah-marah."
Mario tersenyum. "Baby M jangan takut. Papa nggak marah sama Baby M ya."
"Baby V, Mar."
"Terserah aku dong."
Veni terdiam. Ia tak mau berdebat lagi. Rasanya sudah lelah berdebat dengan si keras kepala yang penuh dengan emosi saat ini. Suaminya si Mario.
Tak lama menunggu, akhirnya pesanan mereka tiba. Kepiting dan cumi. Mereka melahap dengan nikmat. Sesekali Mario melihat Veni yang makan begitu lahap. Ia tersenyum senang. Karena jika Veni makan dengan lahap, sudah pasti anaknya yang masih dalam kandungan juga bernutrisi yang baik.
Mario melihat ada satu nasi yang tersangkut di sudut bibir sang istri. Tangannya meraih nasi itu kemudian memakannya. Membuat Veni terkejut dan bersemu merah. "Tumben banget kamu romantis?"
"Kan aku emang selalu romantis?"
"Nggak tuh." Venu menjulurkan lidahnya.
"Semenjak kamu hamil, rasanya seperti kecantikan kamu makin bertambah banyak. Aku makin sayang rasanya. Apalagi pas tau kalau anak kita laki-laki, aku bahagia banget."
Veni hanya tersenyum. Jika ia membantah lagi tentang jenis kelamin anaknya, napsu makannya pasti akan hilang. Begitu pula dengan napsu makan Mario yang bisa menghilang.
"Ya udah, makan yang banyak ya. Biar anak kita sehat terus. Kamu kalau mau apa-apa bilang ke aku aja. Biar aku yang cariin."
Veni mencibir. "Kemarin aja aku minta empal genthong nggak kamu kasih."
"Eh, tapi kan kamu minta yang lainnya. Kamu ngeyel sih. Kan aku nggak bisa masak empal. Kamu pakai nyuruh masak. Ntar kalau nggak enak, kamu nggak mau makan. Kan bingung."
Veni terkekeh. "Ya udah, gini aja. Abis ini aku minta jalan-jalan boleh nggak?"
"Ke mana?"
"Ke taman kota gitu."
"Kamu nggak capek?"
Veni menggeleng. "Nggak kok. Pengen jalan-jalan biar kakiku nggak bengkak gitu."
"Ya udah, nanti abis ini ya. Kita makan dulu. Kamu makan dulu yang banyak terus nanti aku ajak ke taman kota. Kita jalan-jalan. Pasti anak kita yang pengen kan?"
Veni mengangguk dengan polos dan seperti anak kecil yang mengiyakan bahwa dirinya memang benar.
Sedangkan Mario terkekeh gemas melihat kelakuan sang istri selama hamil. Memang ada-ada saja yang dilakukan oleh Veni. Minta ini itu juga terkadang Veni sangat tidak normal. Seperti kemarin tiba-tiba minta empal genthong jam dua pagi dan harus dia yang masak. Kalau tidak, Veni tidak mau makan. Lalu gantinya, Veni ngambek dan ingin buah mangga muda tapi harus mencuri di pohon mangga tetangganya. Memang lucu bin ajaib. Tapi Mario memaklumi itu.
Mereka pun melanjutkan makan dengan nikmat. Tak lama kemudian, mereka akhirnya selesai melahap makanan yang ada di piring. Tak tersisa apapun di sana. Hanya cangkang kepiting saja yang terlihat. Kemudian, setelah membayar tagihan, mereka langsung bergegas ke taman kota.
Perjalanan yang lumayan hening itu membuat Veni selalu bergulat dengan pikirannya. Ia ingin melakukan hal-hal apa saja saat di taman kota nanti. Seperti main ayunan atau makan es krim. Tapi sepertinya akan sangat sulit mendapat ijin Mario untuk melakukannya. Karena ia tahu, pasti Mario sangat berhati-hati. Ia tak akan membiarkan Veni bermain mainan yang bisa saja membuatnya jatuh hingga kandungannya terluka. Atau memakan makanan ringan di pinggir jalan yang dianggap Mario tidak higienis padahal tetap higienis dan yang berlebihan itu hanya Mario.
Sesampainya di taman kota, di sana sangat ramai dengan kunjungan para keluarga yang bahagia. Anakanak mereka berlarian ke sana kemari. Kemudian terkihat ada yang bermain ayunan, perosotan, atau sekadar bermain mobil remote. Kemudian banyak juga penjual makanan kaki lima yang menggoda perut setiap orang. Bukan hanya perut anak-anak tapi juga perut orang dewasa. Tak lupa, ada cilok yang menjadi favorit Veni.
"Mario, aku pengen cilok."
"Hah?" Mario yang berjalan di sisinya terkejut mendengar permintaan Veni.
"Aku pengen cilok." Veni mengulangi ucapannya. Padahal Mario bukan tidak dengar, tapi kaget mendengar Veni meminta cilok.
"Hah?"
"Kamu nggak denger? Aku minta cilok."
"Bukan itu. Kamu tau kan kalau Kamu lagi hamil?" tanya Mario memastikan.
"Tau lah. Perut segede gini masa nggak tau sih kalau aku hamil."
"Terus kenapa kamu minta cilok?"
"Hah?"
"Terus kenapa kamu minta cilok?"
"Ck! Aku denger kok. Aku cuma kaget aja kenapa kamu nanya gitu."
Veni menghentikan langkah kakinya. Diikuti dengan Mario yang juga berhenti di samping sang istri.
"Aku pengen cilok."
"Kamu hamil, Ven. Kamu nggak boleh makan makanan pinggir jalan. Kenapa kamu minta yang aneh-aneh sih? Nanti aku beliin burger di resto aja ya. Atau aku beliin makanan enak di resto. Yang lebih higienis dan terjamin gizinya."
"Ish, Mario. Aku itu pengennya cilok. Bukan yang lain. Lagian pasti higienis kok. Tuh liat, Anak-anak banyak yang makan dan mereka nggak sakit perut. Jadi, jangan khawatir. Pasti itu higienis."
"Nggak, Ven. Aku bilang nggak boleh ya nggak boleh. Lagipula saosnya itu saos yang nggak sehatn. Paham nggak?"
Veni berdecak kesal. "Ya udah, nanti nggak pakai saos."
"Tetep nggak boleh."
"Kenapa sih? Aman kok, Mar. Nggak beracun. Anak kamu yang minta nih."
Veni merajuk. Mencoba untuk membujuk suaminya agar memperbolehkannya makan cilok. Entah mengapa rasanya ia sangat ingin makan cilok dengan kecap yang banyak dan sedikit saos sambil menikmati suasana malam yang indah di taman kota.
"Nggak boleh. Kita pulang aja kalau kamu nekat beli cilok padahal aku udah bilang kalau nggak boleh beli cilok."
Daripada harus pulang lebih awal, ia pun mematuhi sang suami yang tidak membolehkannya makan cilok.
Tapi matanya tidak bisa berhenti untuk mengelilingi taman kota yang penuh dengan jajanan anak kecil itu. Hingga akhirnya ia menangkap sebuah kedai mini yang menjual es krim karena ada logo es krim yang sangat besar dan mencolok. Terlihat di sana banyak yang mengantri demi mendapatkan satu cup es krim yang entah selezat apa rasanya. Hal itu semakin membuat Veni penasaran dan ingin mencoba es krim yang sepertinya sangat menarik.
"Kalau gitu, aku minta es krim itu aja." Veni menujuk kedai es krim itu dengan semangat. Melihat antrian yang begitu panjang, Mario menggeleng kuat.
"Nggak. Jangan makan es krim dulu ya. Apalagi di pinggir jalan gini. Nanti nggak baik buat—"
"Kata dokter, lebih bagus makan es krim saat hamil."
Mario terdiam.
"Kamu nggak denger apa dokter? Makan es krim itu nggak apa-apa buat ibu hamil."
"Tapi itu di pinggir jalan, Ven. Pasti nggak higienis buat bayi kita."
Veni kembali membujuk. "Tadi cilok nggak boleh. Sekarang es krim juga nggak boleh? Kamu sayang nggak sih sama anak kamu? Katanya kamu pengen anak ini lahir sehat? Kalau keinginan dia aja nggak kamu kasih, gimana dia bisa lahir dengan sehat? Kamu tuh jangan egois dong, Mar."
"Hei, bukan gitu—"
"Udahlah! Kalau kamu nggak mau ngasih es krim, aku nggak mau pulang. Biar aku di sini sampai sakit."
Mario mendesah pelan. Ia melihat Veni yang melipat tangannya di atas perut dan cemberut. Membuat perhatian beberapa orang di sisi mereka heran melihat kelakuan Veni.
"Huft!" Mario mengacak rambutnya kesal. Menuruti permintaan ibu hamil ternyata sangat merepotkan baginya. Tapi ia pahami, itulah karakter ibu hamil. Tak apa, demi anaknya lahir dengan begitu sempurna, ia pun memutuskan untuk menuruti keinginan sang istri.
"Ya udah."
Mendengar Mario pasrah, Veni menahan senyum.
"Ya udah apa?"
"Kamu duduk di sana." Mario menunjuk sebuah bangku yang kosong. "Aku mau antri es krim dulu buat anak kita."
Veni tersenyum lebar. "Aaaaa! Makasih, Mario!" Setelah melihat Veni dengan semangat berjalan ke bangku, Mario menghela napas pelan melihat antrian yang luar biasa panjang.