Setelah meninggalkan Veni di rumah Bhiya dan Marvel, Mario langsung ke perusahaan untuk meeting bersama dengan klien penting dari Singapura. Mereka akan menjadi kerjasama yang sangat menguntungkan bagi perusahaan Mario maupun si Klien. Jadi, Mario tidak bisa kehilangan kesempatan begitu saja.
Selama di perjalanan, ia teringat apakah Veni baik-baik saja jika ia ditinggal bersama dengan Bhiya dan Marvel yang ada di rumah. Sekilas ia melihat Marvel mengintipnya dari jendela saat ia pergi dari rumah Marvel tadi. Tatapannya begitu tajam. Akan tetapi, Mario tak menggubrisnya. Jika ada yang terjadi pada Veni, dan kandungannya terkena imbas, sudah pasti Mario akan menghajar Marvel hingga tak berupa manusia lagi.
Kandungan Veni adalah yang terpenting baginya. Ia tak ingin ada siapapun yang membuat kandungan Veni maupun Veni terluka. Jika ada, ia takkan memandang siapapun ia dan akan menghajarnya habis-habisan.
Sesampainya di perusahaan, Mario langsung disambut oleh sekretarisnya. Semua bahan presentasi untuk meeting sudah siap. Semua yang akan dibahas juga sudah matang. Mario yakin jika klien pasti akan menyetujui niatnya untuk bekerja sama. Hal itu akan meningkatkan performa perusahaan dan menjadi lebih baik lagi. Pemasukan juga pasti akan berjalan dengan lancar. Semua aktivitas akan terkendali.
Ya, harapan yang sangat ia ingin kabulkan. Bekerja sama dengan perusahaan yang sekarang telah datang ke perusahaannya. Seorang CEO yang berwajah Chinese itu memasuki kantor. Tersenyum ramah padanya. Ia pun mengulurkan tangan dan membungkuk tiga puluh derajat untuk menghormati sosok yang bernama Mr. Lee Hua itu.
Sebagai pemilik perusahaan, Mario jelas menyewa seorang translator agar semua berjalan dengan baik. Setelah Mr. Lee Hua berbicara, penerjemah yang ada di sisinya mengatakan apa yang dikatakan oleh Mr. Lee. Setelah itu, ia akan menjawab dan sang penerjemah akan menerjemahkannya untuk Mr. Lee. Ia memang sengaja menyewa penerjemah yang bagus karena Mr. Lee dikabarkan tidak bisa berbahasa Inggris aktif. Sehingga itu menyulitkannya jika harus berbicara dengan bahasa china. Sebab, Mr. Lee memang asli keturunan Tionghoa, China. Di mana Mr. Lee sukses membangun sebuah perusahaan di Singapore.
Mereka pun berjalan sembari bercakap menuju ke ruang rapat yang sudah disediakan dengan begitu rapi. Sesampainya di sana, meeting siap di mulai.
Baru saja layar presentasi disiapkan, mereka ngobrol juga belum lama, jamuan baru saja datang. Mereka langsung memulai acara presentasi. Semua berlanjut normal dan lancar.
Mr. Lee Hua juga terlihat sangat menikmati meeting. Jamuan yang disediakan juga berupa makanan khas Indonesia yang cocok dengan Mr. Lee. Hingga mereka merasa akan mendapatkan lampu hijau untuk penandatanganan kontrak yang berhasil.
Setelah presentasi usai, mereka berdiskusi kembali. Tapi tak ada yang membuat Mr. Lee berbicara untuk mengarah ke penolakan kontrak. Melainkan semua mengarah ke perjanjian yang harus segera ditandatangani. Hal itu sungguh membuat pihak Mario senang. Dengan senang hati, Mario pun mengeluarkan kontrak perjanjian yang sudah dibuatnya.
Sekretarisnya menyodorkan perjanjian itu ke Mr. Lee. Semua hampir berjalan lancar.
"Apa?!" Mario yang sempat menerima panggilan itu membuat Mr. Lee terkejut dengan suaranya. "Gila lo! Anjing! Lo apain istri gue, hah!" Nada suara yang membentak dengan begitu mengejutkan. Bahkan kata-kata yang kotor semua keluar dari mulutnya, membuat Mr. Lee ragu ingin membubuhkan tanda tangan ke selembar kertas yang ada di depannya. Tangannya tertahan hingga si penerjemah yang bersamanya itu menerjemahkan semua kata-kata Mario yang terlontar tidak pantas didengar.
Setelah Mario menutup panggilan, ia tersadar jika masih ada klien penting berada di sisinya. Ia terkejut bukan main dengan ekspresi para karyawan yang menghela napas berat. Rasanya seperti kecewa.
Sontak ia melihat ke arah Mr. Lee. Sosok itu menggeleng pelan. Ia berbicara dengan nada tinggi dan kemudian bangkit dari duduk.
Penerjemah yang ia sewa langsung menerjemahkan ucapan Mr. Lee. Dimana Mr. Lee mengatakan jika ia tak sudi memiliki klien yang bersikap buruk. Tidak punya attitude dan tata krama. Apalagi omongannya tidak bisa dijaga untuk mengatakan hal-hal yang baik saja. Awalnya Mr. Lee setuju karena sikap Mario yang ramah dan sopan santun dengan tutur kata yang lembut dan berwibawa. Akan tetapi, setelah mendengar Mario berbicara lewat telepon. Hal itu mengejutkan Mr. Lee dan membuat keputusan yang awalnya sudah bulat untuk tanda tangan menjadi enggan untuk membubuhkan tanda tangan.
Kepergian Mr. Lee membuat Mario membanting gelas yang ada di meja.
"Arrrghh! Sialan!"
Tanpa mempedulikan karyawannya yang masih kecewa, Mario langsung pergi untuk ke rumah sakit. Ia ingin melihat keadaan istrinya.
Dalam perjalanan, ia selalu mengutuk Marvel. Mati-matian ia mengutuk sosok itu. Ia menganggap bahwa Marvel memang pembawa sial. Setiap kali berhubungan dengan Marvel selalu saja ada kekacauan yang terjadi.
Veni masuk rumah sakit juga pasti karena Marvel. Perjanjiannya dengan perusahaan Singapore gagal juga karena Marvel. Marvel memang pembawa siang bagi Mario.
Hatinya menggebu. Ia langsung menginjak gas dengan kecepatan penuh. Tak peduli apapun yang akan terjadi. Jika ia kehilangan kesempatan emas untuk menunjang performa perushaaan, ia tak mau kehilangan anak yang ada dalam kandungan Veni. Anak yang akan ia jadikan penerus perusahaan agar lebih dan tetap jaya sampai kapanpun.
Tak sadar, ternyata perjalanannya sudah berakhir. Di depannya sudah terpampang nyata gedung rumah sakit yang besar dan luas. Ia langsung masuk ke rumah sakit dan. Memarkirkan mobilnya dengan asal.
Ia masuk ke ruang instalasi gawat darurat. Kemudian bertanya pada perawat jaga dengan menanyakan nama lengkap istrinya. Perawat itu pun langsung memberitahu bahwa pasien atas nama yang disebutkan oleh Mario sudah dibawa ke ruang rawat inap.
Dahlia VVIP nomor tiga puluh enam. Itulah kamar rawat inap yang dikatakan oleh perawat. Sontak Mario langsung saja pergi ke sana. Menyusul sang istri yang pasti sudah menunggunya. Jika ia masih bertemu dengan Marvel, hantamannya akan melayang begitu kejam di muka sosok itu.
Tangannya mengepal. Hingga uratnya terlihat dengan begitu jelas. Giginya pun merapat. Membuat rahangnya yang seksi makin tampak keras. Jika bisa terlihat sebongkah api dalam mata amarah seorang Mario, sudah pasti akan terlihat dengan begitu jelas. Ia sangat marah sekarang. Rasanya sudah akan membakar rumah sakit dengan kemarahannya itu.
Pintu lift yang membawanya dari lantai instalasi gawat darurat pun akhirnya terbuka. Tepat di ruangan dahila VVIP. Ia tinggal mencari nomor tiga puluh sembilan dimana istrinya dirawat di sana.
Kakinya melangkah dengan hentakan yang pasti. Hingga akhirnya ia berhenti di sebuah ruangan yang dimaksud oleh perawat.
Brak!
Suara pintu tergebrak. Ia melihat Marvel dan Bhiya masih ada di sana untuk menemani Veni. Tapi hatinya terasa sangat amat panas. Langkahnya pun tergerak mendekati Marvel. Tanpa aba-aba atau banyak bicara, Mario langsung melayangkan sebuah hantaman tepat ke tulang pipi Marvel.
Bugh!
"Astaghfirullah! Marvel!"
"Mario!"
Veni dan Bhiya sontak terkejut dengan apa yang terjadi. Mereka beradu tonjok di kamar Veni. Mario yang sudah menindih Marvel itu terus menghujani Marvel dengan hantaman yang bertubi-tubi hingga pelipis dan sudut bibir Marvel tampak mengeluarkan bercak darah. Sedangkan Marvel juga tak tinggal diam. Ia terus berusaha melawan balik dengan meninju perut Mario hingga tak terpungkiri sosok itu juga merasa kesakitan.
"Cukup! Cukup!" Veni berteriak dengan harapan Mario akan menghentikan pertikaian itu. "Mario!"
"Marvel! Udah cukup!" Bhiya juga terus berusaha untuk melerai pertikaian dengan masuk ke antara dua orang itu. Tapi sayangnya ...
Buagh!
Bukan pipi Marvel yang terhantam oleh tinjuan Mario. Akan tetapi, pipi Bhiya yang menjadi sasaran. Sontak Bhiya langsung tersungkur. Membuat Mario akhirnya terdiam kaget melihat Bhiya yang tersungkur karena tinjuannya yang nyasar.
"Bhiya!" Marvel langsung mendorong tubuh Mario dari atasnya dan langsung membantu Bhiya untuk bangkit. "Sialan! Lo nyakitin istri gue hah!"
"Lo yang nyakitin istri gue!"
"Gue nggak apa-apain istri lo!"
Bantah membantah terus berlangsung. Sedangkan Veni sudah merasa sangat pusing. Kepalanya memutar dan perutnya terasa sakit. Kram kembali. Kali ini terasa begitu kencang dan sakit.
"Awh!" Akhirnya melucut sebuah pekikan sakit dari mulut Veni. Mario menoleh. Melihat istrinya yang sudah terpasang jarum infus itu mengeluh kesakitan sembari terus memegangi perutnya.
Mario pun mendekat. Khawatir akan terjadi hal tidak bagus pada kandungan Veni.
Sedangkan Marvel membantu Bhiya untuk bangkit dan duduk di sofa sembari melihat luka lebam di pipi kiri wanita cantik itu.
"Awh! Mar, sakit.." Veni terus memekik kesakitan. Mario yang mendekat pun semakin bingung. Ia langsung saja menekan tombol bel darurat yang terhubung ke tempat perawat bangsal yang jaga di bangsal dahlia VVIP.
Tak lama kemudian, seorang perawat datang dan mengecek apa yang sudah terjadi.
Perawat itu tampak terkejut karena melihat luka lebam di wajah Marvel dan Mario bahkan Bhiya.
"Maaf, Pak. Sempat ada pertikaian di sini?" Perawat itu menebak sembari melihat keadaan Veni. Menekan-nekan perut wanita itu sembari menghela napas pelan.
Mario dan Marvel hanya diam. Setelah itu perawat langsung pergi dan tak lama kemudian datang kembali bersama dengan seorang dokter.
Veni masih merasakan perutnya yang mengecang dan terasa begitu sakit. Tapi ia belum juga tampak adanya tanda-tanda melahirkan. Hal itu membuat dokter tau bahwa pikiran Veni yang menegang. Mengakibatkan perutnya terasa kencang dan sakit.
"Bu Veni, tenang ya, Bu. Tarik napas, buang. Tarik napas, buang. Jangan berpikir berat. Jangan memikirkan apapun." Dokter memberi arahan sembari memberi interupsi pada perawat agar mengecek tekanan darah Veni.
"Seratus empat puluh per seratus, dok."
Dokter menghela napas pelan. "Ayo, Bu. Tarik napas, buang. Tarik napa, lalu buang. Rileks aja ya, Bu. Ibu hanya tegang. Pikirannya tegang. Perutnya jadi ikut tegang. Tenang, Bu. Ikuti arahan saya, ya. Tarik napas lalu buang dalam beberapa kali."
Hingga beberapa saat kemudian pun, Veni sudah mulai tenang. Perutnya masih terasa kencang tapi tidak begitu sakit. Perlahan-lahan Veni memejamkan mata. Air matanya mengalir. Membuat dokter itu tau apa yang sudah terjadi. Kedua matanya langsung terarah ke Mario yang menatap panik pada sang istri.
"Pak Mario, bisakah saya minta bapak ikut saya ke ruangan saya? Ada hal yang ingin saya sampaikan tentang keadaan Bu Veni."
"Bisa, dok."
Setelah meninggalkan ruangan Veni dan mengekori dokter ke ruangannya, Mario pun sampai di sana dan dipersilakan duduk oleh sang dokter.
Sebelum mengatakan apa yang ingin disampaikan oleh sang dokter, dokter itu menghela napas pelan. "Begini, Pak. Saya selaku dokter penanggung jawab dari Bu Veni hanya ingin menyampaikan beberapa hal kepada bapak sebagai suami dari Bu Veni."
"Iya, dok."
"Bu Veni ini sedang mengandung. Umur kandungannya sudah menginjak tiga puluh enam minggu dan sebentar lagi Bu Veni juga akan menginjak hari persalinan. Bu Veni punya riwayat hipertensi selama kehamilan. Apalagi sekarang sering terjadi kram perut. Jika hak ini terjadi terus menerus akan berbahaya bagi janin dan ibunya, Pak. Saya takut jika Bu Veni akan mengalami preeklamsia. Hal itu sangat berbahaya, Pak. Jadi, sebagai dokter penanggung jawab, aya meminta bapak untuk bekerja sama dalam menjaga Bu Veni agar lebih rileks hingga hari persalinan tiba.
Sebenarnya saya sangat menyayangkan sikap Bapak dan kerabat bapak tadi. Membuat kegaduhan di rumah sakit bukan sebuah hal etis, Pak. Jika tadi saya memergoki langsung jika kalian bertengkar di rumah sakit, saya sudah meminta Bapak dan kerabat bapak tadi untuk meninggalkan rumah sakit. Karena pasien saya adalah tanggung jawab saya yang harus diberi ketenangan secara lahir dan batin. Jadi, bapak bisa bekerja sama dengan saya demi kebaikan Bu Veni?"
Mario terdiam. Mendengarkan dokter yang sepertinya sedang memarahinya tapi dengan nada yang lembut dan berwibawa.
"Pak Mario?"
"Iya, dok. Maaf saya sudah membuat kegaduhan di rumah sakit. Saya hanya kesal karena saudara saya membuat istri saya terluka."
"Emosi bapak harus dikontrol, Pak. Selama Bu Veni mengandung, jangan sampai menunjukkan kekerasan atau hal yang membuat Bu Veni kepikiran. Hal yang berat bisa membuat Bu Veni berpikir keras dan itu bisa membuat tensinya kembali tinggi."
"Iya, dok. Tapi ... Anak saya nggak ada masalah apa-apa, kan, dok?"
"Untuk kandungan Bu Veni tidak ada masalah apa-apa, Pak. Tapi jika Bu Veni terus menerus merasakan kram yang berkepanjangan, akan berbahaya bagi bayi dan jika nanti ketuban pecah sebelum waktunya, maka Bu Veni harus segera di operasi caesar."
Mario terdiam.
"Saya harap, Bu Veni bisa di rawat di sini lebih dulu. Agar saya bisa memantau keadaan Bu Veni hingga kembali normal."
"Kira-kira berapa hari ya, dok?"
"Tiga hari. Jika selama itu belum ada perkembangan baik dari Bu Veni, maka Bu Veni disarankan di rumah sakit selama satu minggu. Jika tidak ada perkembangan baik lagi, maka disarankan untuk segera melakukan operasi caesar."
"Apa usia kandungan Veni sudah cukup, dok?"
"Sudah cukup, Pak. Tapi jika hal itu memang benar-benar dibutuhkan. Tapi jika keadaan Bu Veni membaik, maka bisa melakukan persalinan jika sudah terjadi kontraksi normal."
Mario mengangguk paham. "Baik, dok. Nanti akan saya bicarakan dengan Veni agar Veni juga lebih tenang."
"Oh, ya, Pak. Tolong jangan ungkut masalah jenis kelamin bayi bapak pada Bu Veni. Sepertinya hal itu juga sangat sensitif jika didengar okeh Bu Veni."
"Tapi kenapa, dok?"
"Saya hanya mengantisipasi akan hal-hal yang bisa saja membuat Bu Veni kembali berpikir berat. Saya melihat, tentang jenis kelamin anak dalam kandungan Bu Veni juga menjadi salah satu pemicu Bu Veni kepikiran hingga stres."
"Begitu ya, dok. Saya usahakan untuk tidak mengungkit hal itu, dok."
"Nanti sudah saya beri resep sesuai dosis. Harap bapak bisa memantau keadaan Bu Veni setiap harinya ya, Pak."
"Iya, dok. Terima kasih. Saya permisi."
"Iya, Pak. Silakan."
***
Kepergian Bhiya dan Marvel membuat Veni merasa sepi. Kini ia tengah tertidur di katil sembari melihat atap kamar bangsal yang bersih. Tak ada noda sedikitpun. Rumah sakit ini memang terkenal dengan keprofesionalitasnya dalam menjaga kebersihan agar tidak terjadi infeksi nosokomial.
Dalam beberapa saat, Veni kembali teringat dengan ketakutannya akan jenis kelamin sang anak. Akan tetapi, ia buru-buru meredakan pikiran itu. Ia takut jika terjadi kram perut lagi karena ia stres memikirkan hal yang seharusnya tak ia takutkan.
"Mario ke mana sih? Lama banget." Gerutunya kesal karena sejak tadi Mario tak kunjung kembali. Ia sudah merasa sangat bersalah pada Bhiya karena Bhiya harus merasakan luka lebam karena ulah Mario.
Kriet..
Mendengar suara pintu terbuka, Veni langsung beralih melihat sosok itu.
"Mama?"
"Mama udah marahin Marvel habis-habisan. Bisa-bisanya dia bikin kamu terluka kayak gini. Nanti kalau mama tau kamu main ke rumah Bhiya lagi, mama nggak akan kasih ijin." Dian datang dengan marah-marah. Wajahnya tertekuk dan akhirnya duduk di sebelah Veni.
"Udah, Ma. Kak Marvel juga nggak sengaja kok."
"Halah! Dia itu iri, Ven. Iri sama kamu dan Mario. Makanya dia pengen celakain kamu. Mama tau sifat dia kayak gimana."
"Udah, Ma. Nggak usah dibahas lagi. Sekarang Veni juga udah nggak kenapa-kenapa kok. Udah baik-baik aja. Cuma kata dokter emang harus dirawat tiga hari dulu di rumah sakit. Semoga aja abis ini baikan dan boleh pang secepatnya."
"Kamu itu ya, mama tuh bingung deh. Kamu disakitin sama orang kok nggak ngelawan. Harusnya kamu lawan dong, Ven."
"Mereka juga nggak sengaja, Ma. Tadi malah Mario juga nonjok Bhiya sampe Bhiya lebam di pipinya."
Dian melengos. "Biarin aja. Mama nggak peduli. Yang penting kamu baik-baik aja dan cucu mama nggak terluka sedikitpun."
"Iya, Ma. Dia baik-baik aja kok." Veni mengatakan sembari mengusap perutnya.
Krieet
Suara pintu kembali terbuka. "Mama?" Mendengar suara yang familiar, Dian dan Veni langsung melihat ke orang yang baru saja datang.
"Kamu dari mana sih, Mar?" tanya Veni heran karena Mario sangat lama meninggalkannya.
"Tadi dokterau ngobrol sama aku tentang keadaan kamu. Ya, dokternya malah keasyikan cerita. Jadinya kebablasan deh." Mario tetkekeh sembari mendekati mamanya dan menciun tangan sang mama. "Mama sendirian ke sini? Arum nggak nganter mama?"
"Anak itu mana mau nganter mama ketemu sama Veni?" jawab mamanya dengan sedikit ketus.
"Iya juga sih. Ya udah ntar mama aku anterin pulang aja." Akhirnya Mario duduk di salah satu kursi lainnya. "Kamu masih sakit nggak perut nya?"
"Nggak kok, Mar. Udah baikan. Tadi aku cuma tegang aja. Bener kata dokter."
"Baguslah. Pokoknya tetep jaga kesehatan aja ya. Jangan sampai kamu kepikiran sesuatu yang seharusnya nggak kamu pikirin."
"Iya, Mar. Aku udah berusaha buat nggak mikir hal yang nggak penting kok. Tapi kamu minta maaf dulu sama Bhiya ya. Dia kasian karena pipinya sampai bonyok gitu."
Mario menghela napas pelan. "Biarin aja. Itu salah suaminya nggak bisa jagain dia. Lagipula suaminya duluan yang nyakitin kamu. Jadi impas lah."
Veni hanya menggeleng pelan, ia tak menyangka jika Mario akan sedendam itu hanya karena dirinya terluka saat bersama Marvel dan Bhiya.
Ia melihat kedua orang yang tengah bersamanya. Rasanya seperti orang yang sangat menyayanginya. Namun, di lain sisi mereka juga sangat berbahaya. Karena sekali tidak suka, akan tetap tidak suka. Meski itu adalah darah daging mereka.
"Kamu udah makan, Ven?" tanya Dian sembari mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. "Mama udah siapin makanan buat kamu. Tenang aja, ini nggak asin juga nggak hambar. Pas lah buat lidah kamu."
"Iya, Ma. Aku belum makan sih. Tadinya mau. Makan di rumah Bhiya tadi. Tapi nggak jadi."
"Ya udah, mama suapin aja ya."
Mendengar hal itu, Veni tersenyum lembut. Ia mengangguk. Siapa yang tak mau dimanja saat sakit. Di sana uminya sangat jauh, hanya ibu mertua dan suami yang ia punya. Ia tak mau kehilangan salah satu dari mereka. Jangankan mereka, kepercayaan mereka saja Veni takut kehilangan.
Sekarang Veni tengah disuapi oleh Dian dengan begitu lembut. Setidaknya Mario masih bisa melihat mamanya tenang setiap berada di dekat Veni. Jadi hal itu tidak membuat Veni kepikiran hingga kram kembali.
Ada satu hal yang sangat di sesali oleh Mario. Karena ia telah tak sengaja memukul wajah mulus Bhiya. Sebenarnya ia sangat ingin meminta maaf. Tapi ia tak mau jika Veni tau dan membuat Veni kembali kepikiran.
"Mar, kamu mikirin apa?" tanya Veni penasaran karena Mario terdiam melamun menatap jendela luar. "Kamu nggak dibilangin yang neko-neko sama dokter kan? Aku nggak ada penyakit apa-apa kan?"
"Nggak kok. Dokter cuma bilang kalau aku disuruh jagain kamu. Biar kamu nggak mimir yang berat-berat. Terus, aku disuruh memantau keadaan kamu selama di sini. Membaik atau nggak. Kalau membaik kita bisa pulang dan nunggu kontraksi di rumah. Tapi kalau belum juga membaik, aku disuruh minta kamu buat tetap di sini sampai hari lahir tiba."
"Oh, ya, Mar. Kamu tadi bukannya ada rapat sama klien ya? Gimana? Berhasil kerja samanya?"
Mario menghela napas pelan ketika ingat hal itu. "Gara-gara anak mama yang satunya tuh, kerja sama bareng Mr. Lee jadi gagal."
"Hah? Waduh! Kok bisa sih?"
"Iya dia nyakitin Veni, Ma. Mario emosi dan akhirnya klien membatalkan perjanjian. Nanti Mario cari lagi kok, Ma. Tenang aja. Perusahaan kita nggak akan bangkrut begitu aja. Mama tenang. Demi mama, Veni, dan anak yang ada di kandungan ini. Mario akan berusaha keras biar cepet bisa dapet pn."
"Ya udah, sekarang lanjut makan dulu aja, ya Ven. Biar cepet sembuh dan dedeknya bisa ketawa lagi bareng omanya.
"Makasih ya, Ma."
"Apapun buat kamu sih, mama bakal kasih."
Veni tersenyum. Ia beruntung berada di posisinya sekarang.