"Dia harus banyak-banyak bersabar dengan hal ini."
***
Keesokan harinya saat Mario sudah berangkat. Dan di rumah hanya ada Veni, Mamanya dan juga Arum. Hanya saja Mamanya sedang berada di kamar dan Veni masih menonton tv. Arum langsung menghampiri Veni duduk di seberang Veni.
"Eh, Arum kamu baru bangun?" tanya Veni saat melihat kedatangan Arum.
"Hm."
"Makan gih, di meja makan ada makanan tuh."
"Aku mau nanya Kak Veni."
"Nanya apa?" tanya Veni dengan ramah. Veni memang selalu tidak suka dengan Arum tapi dia tetap berusaha untuk ramah dengan gadis itu. Karena Veni bukanlah tipe orang yang pendendam juga.
"Dulu ketemu Kak Mario gimana sih? Soalnya semenjak aku pergi ke Jepang aku udah jarang tahu cewenya Kak Mario lagi."
"Dulu cewenya Kak Mario banyak ya, Rum?" tanya balik Veni. Mungkin jika Mario tidak mau menceritakannya Arum tahu tentang Mario.
"Gak. Dia setia sama satu cewe."
"Mana mungkin Mario gitu. Kamu jangan boong, Rum," ucap Veni lagi.
"Ya emang. Dia setia sama satu cewe terus baru dia berubah mainin banyak cewe. Setelah itu aku males denger kabar dari Kak Mario karena pasti cewe yang diberitahu selalu berubah."
"Lah emang cewe yang buat Mario setia itu dia ke mana?" tanya Veni. Sungguh, Aruk menjelaskan tidak jelas hingga membuatnya jadi bingung sendiri sebenarnya.
"Udahlah skip enggak usah dibahas, Kak. Aku nanya gimana dulu kenal sama Kak Mario kok bisa sampe nikah."
"Emm ... kenalan kita singkat, Rum. Enggak lama setelah itu menikah dan akhirnya sekarang aku hamil."
"Hamilnya di luar nikah? Makanya Kak Mario nikahin kamu?" tanya Arum membuat Veni jadi tersindir dan juga merasa kalau kata-kata Arum ini pedas.
"Astagfirullah, Rum ya enggak. Aku masih tahu agama enggak mungkin aku ngelakuin itu sebelum nikah."
"Oh gitu."
"Sekarang aku tanya, Rum apa Mario itu gagal move on sama seseorang atau gimana? Terus cewe yang kamu maksud itu siapa?" tanya Veni berturut-turut.
"Enggak usah dibahas. Aku mau ke kamar lagi."
"Arum...." Arum tidak peduli dengan kata-kata wanita itu. Malah membuat berbagai pertanyaan muncul di kepala Veni. Wanita? Setia? Suaminya pernah setia dengan satu wanita siapa? Bahkan Veni memang benar-benar sama sekali tidak tahu dengan masa lalu suaminya itu.
"Huft. Arum ngomongnya bener enggak sih. Aku jadi penasaran." Veni harus menayakan itu nanti saat Mario pulang.
***
Malam harinya, Veni sudah menyambut suaminya di depan pintu. Dia menunggu sang suami pulang. Kemudian beberapa saat mobil pun masuk ke dalam pekarangan rumah mereka. Veni tersenyuk melihat suaminya pulang. Setelah memarkirkan mobilnya Mario langsung menemui istrinya dan mengelus perut istrinya itu.
"Sore sayang. Udah mandi?" tanya Mario mengecup singkat kening istrinya.
"Udah. Tumben udah mau magrib kamu baru pulang? Kerjaan kantor lagi banyak ya?" tanya Veni lagi. Biasanya Mario pulang saat masih magrib tapi ini dia sudah hampir magrib Mario baru pulang.
"Iya sayang kerjaan aku lagi banyak tadi di kantor. Kamu 'kan udah aku bilangin kalau nunggu aku di dalem aja. Coba kalau aku enggak sempet lihat HP terus lupa ngabarin kamu masa kamu mau nunggu di teras terus."
"Ya habisan enak nunggu di sini adem juga. Lihat taneman fresh."
"Hmm ... yaudah yuk masuk udah mau magrib kita solat berjamaah."
"Iya, Mar. Sini aku bawa tasnya." Veni menawarkan tas Mario yang hendak dibawanya.
"Enggak usah biar aku aja yang bawa." Mario langsung memeluk pinggang istrinya dari samping dan mereka masuk ke dalam.
Di dalam Mario melepaskan pelukan pinggang istrinya dan menyalimi Mamanya seperti biasa jika Mamanya ada di ruang keluarga mereka. Ada Arum juga di sana.
"Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumsalam. Kamu kok pulangnya sore banget, Mar. Kasihan istri kamu udah nungguin lama pasti."
"Iya soalnya tadi banyak kerjaan, jalanan macet juga."
"Ya suruh kakak kamu aja lagian kalau kakak kamu pulang cepet juga ketemunya istrinya doang beda ama kamu yang punya istri hamil."
"Udah ah, Ma enggak usah dibahas. Nanti juga lama-lama hamil kalau Allah udah ngasih amanah ke mereka."
"Iya-iya. Tapi kamu sama istri kamu juga inget kata Dokter harus apa. Biar dapet anak cowo, Mar."
"Iya, Ma. Udah aku mau ke kamar dulu mau mandi." Mario pun berjalan lagi ke kamarnya bersama Veni.
Sampai di kamarnya, Veni membantu memberestan tas kerja Mario dan meletakknya di tempat yang biasa, "Ven handuk di mana ya? Kok enggak ada."
"Di gantungan deket kamar mandi, Mar."
"Di mana? Ini aku dah deket kamar mandi tapi enggak ada."
"Carinya yang bener deh. Tadi, pagi nyari sabun enggak ada padahal juga ada di tempat biasa." Veni kesal dengan suaminya itu. Entah bagaimana suaminya kalau mencari barang pasti tidak akan pernah ketemu padahal ada di tempat biasa.
"Ini lho aku udah nyari enggak ada. Cariin, dulu, Ven ini nanti kita solat magribnya telat." Veni pun akhirnya mengalah dan mencarikan handuk untuk Mario.
"Kamu tu kalau cari-cari gimana si, Mar? Dari pagi nyari sabun enggak ketemu padahal aku cari di lemari juga ada. Sekarang nyari handuk enggak ada."
"Kamu gantung di mana ini doang 'kan gantungan deket kamar mandi? Kan biasanya aku juga enggak nanya." Veni memutar bola matanya dia melihat ke arah gantungan.
"Mana ada gak?" tanya Mario lagi.
"Mana ya. Perasaan tadi ada kok di sini."
"Tuh geliran kamu yang pake perasaan enggak ngomel."
"Tadi emang ada di sini kok." Veni pun mencari handuknya. Perasaan dia sudah menyiapkan ditaruhnya di sini tadi pagi tapi kok enggak ada.
"Ahh ... ya...." Veni terkikik kala dia baru inget letak handuknya.
"Kenapa, Ven?" tanya Mario lagi mengikuti Veni dari belakang.
"Aku lupa tadi handuknya aku cuci. Bentar aku ambilin dulu di lemari." Mario menghembuskan napas sambil memutar bola matanya.
"Nih," ucap Veni membalikkan badannya.
"Muka kamu kenapa kayak gitu? Kamu marah cuma gara-gara aku lupa nyuci handuknya. Lagian kalau enggak aku cuci itu handuk mau sampe kapan, Mar? Kamu mau Marah gitu sama aku?" oceh istrinya. Haish Mario salah lagi padahal dia belum juga mengatakan apapun tapi istrinya Malay menyemburnya dengan ocehannya.
"Enggak sayang. Aku enggak marah kok. Makasih ya udah dicuciij handuk aku. Jadi, wangi deh." Mario mencium handuknya dan tersenyum dia tidak mungkin memarahi Veni yang ada nanti istrinya nangis lagi dan menyuruhnya tidur di luar.
"Yaudah buruan mandi. Ngapain masih di sini. Udah tahu mau magrib. Nanti magrib kita telat." Istrinya ini kalau ngoceh-ngoceh ingin rasanya dia bawa ke ranjang.
"Iya-iya sayang. Ini aku mau mandi kok." Mario pun akhirnya pasrah dan masuk ke kamar mandi.