Menjelang sore, Veni melarikan diri keluar rumah untuk sekadar jalan-jalan bersama dengan Enima—anak perempuan yang sangat ia cintai. Mereka berjalan santai entah menuju ke mana. Menikmati senja yang mulai terlihat dengan indah. Rasanya seperti lebih tenang. Ia bisa keluar dari rumah meski sejenak.
Hingga saat mereka sampai di perempatan, akhirnya Veni pun membawa Enima kembali ke rumah. Dengan menangguhkan hati, ia tetap mencoba untuk bersabar saat memasuki rumah megah yang di dalamnya ada dua orang. Ah ralat. Tiga orang yang sangat membencinya sekarang. Bukan hanya membencinya. Tiga orang itu juga sangat membenci Enima yang tak tahu salah apa. Bayi itu terlahir dengan begitu suci. Tapi saat ia terlahir di dunia, dia sudah dibenci oleh tiga orang yang seharusnya menyayangi dirinya. Itulah yang membuat Veni merasa miris sekali.
Baru saja ia masuk ke rumah, sambutan tepuk tangan dari seseorang mengejutkannya.
"Bagus!" Suara itu memberitahunya siapa yang menepukkan tangan untuknya. Veni terkejut. Ia melengos dan mendesah pelan. Dalam hati ia mewanti-wanti agar hatinya tetap tegar dan teguh.
"Tenang, Ven. Tenang." Ia menenangkan hatinya sendiri. Dalam hati ia terus mengatakannya secara berulang. Saat sebelum melahirkan, tensinya naik. Ia tak mau jika setelah melahirkan, tensinya juga masih di tempat yang sama. Hal itu akan sangat membuatnya frustasi. Ia tak mau beroenyakitan sebelum Enima besar. Sebab, hanya dirinya yang bisa membuat Enima tumbuh dengan sehat sekarang.
"Mau kabur ya? Hah?" tanya Dian dengan mata yang melotot. Seperti hampir keluar dari kelopak.
"Cuma jalan-jalan keluar bentar kok, Ma. Lagipula biar Enima juga menghirup udara sehat di luaran sana."
"Halah alasan. Pasti kamu mau bilang ke tetangga-tetangga komplek kalau perilaku saya dan Mario ke kamu itu nggak baik kan?" cetus Dian menuduh.
"Ma, nggak gitu. Aku nggak ada niatan gitu. Lagipula, aku tau kalau mama sama Mario lagi kesel aja karena aku melahirkan anak perempuan. Bukan laki-laki sesuai sama yang dipengen sama mama dan Mario."
"Iya emang gitu. Saya kesel karena kamu nggak mau nurutin saya."
"Tapi ini udah takdir Allah, Ma." Veni tetap saja membantah.
"Ya udah kalau gitu. Anak itu emang udah terlanjur lahir. Tapi mama minta kamu hamil lagi sekarang. Kali ini kamu harus melahirkan anak laki-laki."
"Tapi aku belum sembuh total, Ma."
"Setelah nifas kan bisa! Anak kaju itu biarin aja. Kalau kamu mau hamil lagi, program hamil anak laki-laki, nanti saya carikan babysitter buat anak itu. Selesai kan?"
"Nggak semudah itu, Ma. Enima ini masih butuh ASIku."
"Kan bisa pakai pompa ASI. Kamu itu jangan bantah terus dong, Ven! Mama tuh capek kasih tau ke kamu. Kamu itu nggak pernah nurut sama mama sekarang."
Veni mendesah pelan. "Bukannya nggak nurut, Ma. Veni mau kok hamil lagi. Tapi nunggu Enima umur setahun atau dua tahun dulu. Kalau udah bisa lepas ASI dulu. Biar nggak kasihan Enima nya. Veni takut kalau Enima nanti kekurangan kasih sayang karena Veni sibuk fokus program hamil, Ma."
"Sstt! Diam kamu! Kamu itu harusnya cukup nurut sama saya, Ven! Anak itu bisa dipegang sama orang lain. Dia juga nggak rewel kalau dipegang orang lain. Pokoknya setelah kamu selesai nifas, mama Minta kamu program hamil lagi. Program hamil anak laki-laki. Nanti mama carikan dokter yang terbaik biar berhasil. Dan kamu hanya perlu nurut sama mama. Kamu itu sadar nggak? Kamu itu satu-satunya harapan kami. Kalau kamu bisa melahirkan anak laki-laki, kamu bakal bisa dapet warisan juga! Kamu nggak mau warisan?"
Veni terdiam. Untuk masalah warisan, sebenarnya Veni tidak terlalu memikirkannya. Ia hanya butuh pengakuan bahwa Enima itu adalah anak dan cucu dari keluarga Mario. Untuk masalah warisan, harta Mario sebenarnya juga harus turun ke tangan Enima kelak. Meski kepadanya juga tidak begitu ia pikirkan, tapi Enima berhak mendapatkan warisan meski ia adalah cucu perempuan yang tak diharapkan.
"Ma, warisan itu hanya harta. Kalau Enima ini cucu mama. Cucu yang bakal merawat mama. Cucu kalau nanti aku sama Mario udah nggak ada, dia yang bakal urus mama. Tapi kenapa sih, mama harus membedakan Enima karena dia perempuan? Kesuksesan itu nggak dilihat dari jenis kelamin, Ma. Enima juga kelak pasti bisa jadi pemimpin yang profesional."
"Nggak peduli. Mama lebih percaya kalau dia bakal nyusahin keluarga kita." Dian melengos pergi. "Kalau tau dia perempuan, saya sudah minta kamu menggugurkan kandungan kamu."
Hatinya langsung tertusuk ribuan belati. Mendengar ucapan mama mertuanya yang terakhir membuat Veni merasa ingin bertetiak dan memukul merobek mulut mama mertuanya sekarang juga tapi ia tak mampu. Ia hanya mampu menahan sesak dalam d**a.
"Astaghfirullah.." Begitulah yang terlontar dari mulutnya. Abinya selalu mengajarkan akan arti kesabaran. Selalu memberitahu bahwa kesabaran akan berbalas kebaikan di akhirat maupun di dunia. Jika ia tidak mendapatkan hadiah kesabaran di dunia, maka di akhirat ia akan disiapkan hal menakjubkan atas kesabarannya selama ini.
Veni langsung memeluk erat Enima yang ada dalam gendongannya. Ia berharap bahwa Enima tidak mengerti apa yang dikatakan oleh neneknya tadi.
"Maafin nenek, ya, En. Nenek cuma lagi capek aja mikirin harapannya nggak kunjung terkabul."
Setelah itu Veni langsung kembali bergegas ke kamar. Ia meletakkan Enima ke box bayi dan membiarkannya tidur di sana. Tidur dengan lelap dan dengan damai.
Veni langsung turun kembali untuk membantu Mbak membersihkan rumah di sore hari. sebab, ia tak mau jika nanti mama mertuanya ngomel lagi karena ia dianggap enak-enakan di rumah.
Saat ia menyapu lantai tumah, Arum datang dengan seenaknya. Kemudian menertawai Veni dengan tertawa mengejek yang menyebalkan. Sosok itu menuang minuman ke gelas tapi sengaja dit tumpah kan ke lantai yang sedang disapu oleh Veni.
"Ups! Sorry!" Arum langsung saja pergi meninggalkan Veni yang melihat ke arah air yang tumpah berceceran di lantai. Saat ia ingin menegur kelakuan Arum, Arum sudah pergi begitu saja.
Veni menghela napas pelan. "Anak itu makin menjadi-jadi aja."
"Biar saya bersihin aja, Bu." Mbak datang dan langsung membawa pel. Ia melihat apa yang sudah dilakukan oleh Arum.
"Nggak usah, Mbak. Biar saya aja. Nanti kalau dilihat mama, mbak bisa dimarahin lagi."
Mendengar kalimat itu, Mbak langsung terdiam. Ia pasrah saja saat Veni merebut pelnya. Kemudian mengepel tumpahan air itu dengan cepat. Sebab, jika sampai terlihat oleh mamanya sudah pasti akan kembali marah-marah ndan perang Dunia.
Semua pekerjaan rumah telah selesai. Untuk bagian memasak awalnya memang bagian Dian dan Mario saat ia hamil. Tapi sekarang, gantian Mbak yang memasak untuk keluarga.
Tak lama setelah masakan siap, Mario datang. Tidak seperti kemarin yang datang sangat larut malam. Mereka langsung bersiap untuk mekana bersama. Akan tetapi Veni tidak diperkenankan untuk makan bersama lebih dulu. Karena mamanya masih sangat kesal dan kecewa, jadi Veni makan di dapur bersama dengan Mbak sebelum Enima terbangun.
"Makannya jangan cepet-cepet, Bu. Nanti keselek."
"Keburu Enima bangun, Mbak. Aku juga mau nyusuin Enima juga, udah dua jam lebih aku tinggal. Takutnya kalau kuning."
"Iya tapi hati-hati, Bu. Takutnya keselek nanti."
"Engak kok. Santai aja, Mbak." Setelah mengatakan hal itu, makanan yang ada di piring Veni sudah ludes. Veni langsung meneguk minum dengan cepat dan bergegas pergi.
"Aku ke kamar dulu ya, Mbak. Mau nyusuin Enima."
"Iya, Bu."
Langkahnya terangkat cepat menuju kamar. Ia langsung menggendong Enima dengan pelan-pelan dan memangkunya di ranjang. Ia mulai menyusui untuk Enima. Sebab, jika selama dua jam belum diberi ASI, ia takut jika nanti badan atau mata Enima menjadi kuning. Memang hal yang biasa untuk bayi, tapi jika dibiarkan begitu saja juga akan membuat hal yang tida bagus terjadi. Jadi, Veni sangat mewanti-wanti agar tidak terjadi hal tersebut pada Enima.
Kling
Saat asyik menyusui Enima sembari terus bergumam seorang diri, ponselnya terdengar berbunyi. Veni pun meraih ponsel yang ada di dekatnya itu.
"Umi?"
Ada sebuah pesan dari uminya yang membuat Veni terdiam sejenak.
Kemudian jemarinya mengetik kembali untuk membalas pesan dari uminya. Tapi sebelum pesan itu terkirim, umi sudah menelponnya.
Dengan cepat dan tanggap, Veni langsung mengangkat panggilan itu.
"Assalamu'alaikum, Um. Apa kabar?"
"Waalaikumsalam, Ven. Umi baik. Kamu sama Enima gimana?"
Veni tersenyum menatap Enima yang tengah menyusu dan terlelap. "Enima sehat-sehat aja kok, Um. Veni juga sama."
"Umi pengen banget ketemu sama Enima. Kamu sama Mario ada rencana main ke sini nggak? Soalnya mobil Abi lagi diservis. Belum tau mau diambil kapan."
Veni terdiam sesaat. Ia mencari alasan untuk memberitahu Umi nya bahwa dirinya tidak bisa ke sana karena Mario sedang sibuk.
"Emh, gini, Um. Sebenernya Mario itu lagi kesulitan sama perusahaan. Jadi, dia nggak bisa antar aku ke sana. Terus ... Aku mau ke sana sendiri juga nggak boleh sama mama. Takutnya ntar ada apa-apa di jalan gitu, Um. Kayaknya aku bisa main ke rumah abi sama umi itu nanti kalau Enima udah sekitar tiga bulanan. Bisa aku ajak naik taksi ke sana kalau Mario nggak bisa."
Terdengar suara helaan napas panjang seolah kecewa. Tapi Veni hanya bisa diam. Dia belum bisa pergi sekarang. Karena kondisi rumah sedang tidak baik-baik saja. Ia hanya perlu waktu dan alasan yang tepat agar bisa keluar dari rumah. Walau hanya sekadar keluar untuk pergi ke rumah umi dan abinya.
"Ven?"
"Iya, Umi?"
"Kamu nggak ada masalah apa-apa, kan?"
Veni mengernyitkan dahinya. Pertanyaan uminya yang secara tiba-tiba itu membuat Veni terheran. Seingatnya tadi ia tak membicarakan soal masalah keluarga nya sekarang. Tapi kenapa pertanyaan itu tiba-tiba muncul.
"Nggak ada kok, Um. Semua baik-baik aja. Sebentar ya, Um, Veni mau taruh Enima ke ranjang dulu. Ini udah selesai aku susuin."
"Iya, Ven."
Veni pun meletakkan ponselnya ke meja. Ia membopong Enima dan meletakkannya ke ranjangnya. Tepat di sisinya. Ia pun merebahkan dirinya juga ke sisi Enima. Setelah itu, ia berniat menyambar ponselnya kembali.
Brak!
Pintu kamar terbuka dengan keras. Membuat Enima terbangun kaget dan menangis. Sedangkan yang membuka pintu, Mario, melotot kw arah Veni dengan tajam.
"Kamu kebiasaan ya, Ven! Aku ini masih suami kamu! Masih butuh kamu urusin. Kamu ngapain ngurusin anak itu terus, hah? Aku kapan?!" Mario berteriak lantang sedangkan suara tangisan Enima juga terdengar tak kalah lantang.
Karena takut uminya mendengar suara Mario yang marah-marah, Veni pun mematikan panggilan secara sepihak, ia berharap bahwa uminya hanya mendengar suara tangisan Enima. Bukan suara Mario yang membentaknya.
"Mar, kalau masuk bisa ketuk pintu dulu nggak? Enima tadi baru aja tidur."
"Terus apa peduli ku? Aku capek semua nih! Pijitin sekarang."
"Nggak bisa, Mar. Aku harus tidurin Enima dulu. Baru nanti kamu kupijitin. Kasian kalau dia nangis terus."
Mario berdecak kesal. "Istri nggak berguna!" Selepas mengatakan serentet kalimat yang sungguh mengejutkan, Mario langsung pergi kembali dan menutup pintu dengan kencang seolah engsel dari pintu itu hampir lepas dari tempatnya.
Veni menggeleng pelan dan mencoba untuk abai. Mario memang berubah sekarang. Ah, tidak. Mungkin Mario masih tetap Mario yang dulu. Mario tidak pernah berubah. Tapi Mario memang memiliki sifat asli yang menyeramkan seperti tadi.
"Cup, cup, Enima.. Tidur lagi ya, Sayangnya Mama." Veni pun menggendong Enima kembali. Menimang-nimang anak itu hingga kembali tidur dengan tenang.
Ini adalah resiko menajdi orang tua. Harus siap direpotkan oleh anaknya setiap saat. Apalagi masih bayi mungil danntak mampu melakukan apapun. Tapi ... orang tua bukan hanya satu. Bukan hanya mama. Tapi juga papa. Hanya saja, sekarang justru Veni merasa kalau dia adalah single parent. Mengandung sendiri, melahirkan sendiri, membesarkan sendiri, hingga merawat pun juga sendiri.
"Nggak apa-apa, Mama bakal selalu ada buat kamu. Kamu tenang aja ya, Enima. Mama nggak akan pernah ninggalin kamu."
***
"Kita kapan mau jenguk anaknya Veni, Vel?" tanya Bhiya pada suaminya yang tengah fokus menyetir itu.
Marvel hanya diam membisu. Ia tak tahu apa yang harus menjadi jawaban dari pertanyaan sangat istri.
"Kalau kamu nggak mau jenguk bayinya Veni, biar aku aja gimana?"
"Kamu yakin?"
Bhiya mengangguk. "Veni itu udah aku anggep adik aku sendiri. Jadi, boleh kan?"
"Sebenernya nggak boleh sih. Kamu tau sendiri kan mama samaa Mario kayak apa? Mereka itu manusia bertanduk. Iblis nggak berwujud manusia."
"Hust! Kamu nggak boleh ngomong gitu, Vel. Bagaimanapun juga, Mario sama Mama itu keluarga kamu. Darah daging kamu."
"Tapi mereka udah kayak ngebuang aku. Kamu pasti tau sendiri lah."
"Ya udah, gini aja. Aku bentar doang jenguk Veni nya. Kali aja aku bisa ketularan hamil kan?"
"Terserah deh."
Tak bisa lagi membantah Bhiya, akhirnya Marvel menyetujui keinginan istrinya itu.
Selepas pulang dari tempat mereka makan malam, Bhiya langsung meminta Marvel untuk mampir ke toko baju bayi yang tak jauh dari komplek rumah mereka.
Karena sudah mendengar bahwa anak yang dilahirkan Veni adalah bayi perempuan, Bhiya langsung membeli pakaian dan alat makan serba pink untuk Baby Girl.
Semua barang yang ia butuhkan untuk diberikan pada Veni sudah terkumpul. Mereka juga sudah membungkusnya dengan rapi. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan pulang.
"Bayinya Veni kan cewek, Kira-kira mama sama Mario reaksinya gimana ya?"
Marvel mengedikkan bahunya. "Udah pasti Veni bakal dibuang."
"Hah? Seriusan kamu, Vel?"
"Dari awal mama itu pengen banget cucu laki-laki. Kalau yang lahir perempuan, tanya aja sama Veni, pasti anaknya nggak dianggep sama mama atau Mario. Kemungkinan terburuk, Veni juga bakal di buang kalau dia nggak bisa kasih keturunan laki-laki lagi. Nyatanya kita juga dibuang kan?"
Bhiya langsung terdiam membisu tak merespon apapun.
"Kalau nanti kamu mau main ke rumah Veni, jangan lama-lama. Aku nggak suka kamu lama-lama deket sama keluarga Mario."
"Iya, Vel."
Percakapan mereka pun terhenri. Namun apa yang ada di pikiran Bhiya belum berhenti. Bhiya masih memikirkan nasib Veni jika memang apa yang dikatakan oleh Marvel ifu benar. Kasihan jika Veni harus dibuang setelah gagal melahirkan seorang anak laki-laki. Padahal penentu takdir bukanlah manusia, melainkan Yang Maha Kuasa.
Terkadang terbesit dalam benaknya, mengapa mama mertuanya itu sangat menginginkan cucu laki-laki. Padahal pada jaman sekarang, semua gender juga bisa meraih kesuksesan masing-masing. Banyak juga untuk prosesi CEO yang dipegang oleh para wanita dan tak sedikit yang berhasil suskes membangun perusahaan. Mungkin karena mama mertuanya itu masih kolot. Terpaku pada masa lalu. Dimana pikiran bahwa hanya pria yang sanggup dan handal memegang sebuah jabatan pemimpin.
***
Tepat jam dua pagi, Veni terbangun kembali. Ia mendengar bayinya merengek. Setelah ia periksa ternyata Enima sedang buang air besar. Ia pun langsung mengganti popok dan memberi ASI pada Enima kembali.
Selang sepuluh menit, Veni menggendong Enima dengan posisi tersampir di pundak dan Veni menepuk-nepuk punggung Enima agar bayi itu bisa sendawa dan tidak kembung.
Tak lama kemudian Enima kembali tertidur. Melihat anaknya ksmbali terlelap, Veni tidak langsung tidur kembali. Ia mengambil wudhu dan memanjatkan sholat tahajud seperti biasa. Hanya dengan merintih pada Tuhan, perasaan Veni bisa lega. Ia mencurabkan semua lara dalam doa. Berdoa agar Mario dan Dian bisa terketuk hatinya untuk menerima kehadiran Enima.
Detik terus berlalu hingga akhirnya ke menit dan menggeser jam. Tak terasa suara adzan subuh sudah terdengar, karena belum batal wudhu, Veni pun emlanjut sholat dunah dua rakaat sebelum subuh kemudian melanjutkan sholat wajib.
Matahari yang terbit secara perlahan membuat Veni juga langsung melakukan semua pekerjaan rumah tangga untuk membantu Mbak. Mereka seperti kolaborasi sebagai asisten rumah tangga di rumah mertuanya sendiri. Tapi itu tak masalah. Setidaknya mamanya tidak membuang Enima saja sudah cukup.
Saat asyik menata makanan ke meja. Tiba-tiba Enima menangis. Suaranya terdengar hingga keluar kamar. Ia langsung berlari ke kamar dan menggendongnya. Sebab, jika tidak segera berhenti menabgis, pasti mama dan Mario akan marah-marah lagi.
Akan tetapi Enima yang sudah dalam gendongan mamanya itu masih belum menghentikan tangisnya. Bayi itu seolah sengaja membangunkan nenek dan papanya. Tak lama kemudian, Mario datang ke kamar Veni dan langsung menatap Veni dengan kejam.
"Pagi-pagi gini bisa nggak bikin ribut, hah? Kalau bayi nangis itu langsung dikasih s**u! Biar dia diem!"
"Nanti malah keselek, Mar. Kayaknya Enima demam deh. Lihat nih, badannya kerasa anget gitu."
"Emangnya aku peduli? Urus aja sendiri! Sana bawa ke rumah sakit. Aku mau kerja! Pusing di rumah dengerin bayi itu nangis terus!"
Setelah Mario pergi. Datanglah mama mertuanya yang sudah siap memaki-maki.
"Anak nggak tau diri emang. Pagi-pagi udah bikin sakit kepala. Lama-lama aku taruh juga anak itu ke panti asuhan. Biar nggak ngerepotin orang serumah."
"Astaghfirullah, Ma. Enima masih punya aku! Kenapa mama mau taruh dia ke panti asuhan?"
"Kalau nggak mau anak itu aku buang, jangan sampai dia itu bikin kepala pusing di pagi-pagi gini!"
"Maaf, Ma. Tapi kayaknya Enima lagi sakit. Badannya meriang. Jadi kayaknya gara-gara—"
"Halaaah! Nggak peduli. Pokoknya bayi itu harus segera berhenti nangis!"
Mama mertuanya bergegas pergi. Veni pun langsung menutup pintu dan menguncinya. Ia berusaha sendiri untuk menenangkan Enima yang menangis entah karena apa. Tapi suhu badannya juga belum terlalu tinggi. Kemungkinan badan Enima menghangat karena menangis begitu kencang.
Veni terus memeluk anaknya itu. Sesekali ia memberinya ASI. Tapi Enima selalu menolak dan hanya meminum sebentar. Seolah tak ingin berhenti menangis.
Di lain sisi, Mario dan Dian yang sudah bersiap untuk sarapan itu masih terlalu kesal mendengar suara tangisan Enima.
Seolah bayi itu memang bayi pengganggu yang membuat. Mereka tak nyaman melakukan aktivitas apapun. Mereka pun sarapan dengan suasana jengkel.
"Pak, Bu, ada orang tua Bu Veni datang."
"Assalamu'alaikum.." Belum juga Mario memanggil Veni untuk segera bergabung di ruang makan, orang tua Veni sudah sampai di sana. Mereka tampak sedikit heran karena tidak ada Veni di meja makan seperti biasa. Tapi mereka mencoba untuk berpikir positif.
"Veni sedang mengurus Enima ya?" Tanya Uminya.
"Waalaikumsalam Umi, Abi. Kok mendadak banget?" Mario sebenarnya masih bingung harus berkata apa. Tapi ia langsung saja menyalami mertuanya itu.
Dian juga langsung disenggol oleh Mario untuk menyambut besannya. "Waalaikumsalam, Bu, Pak. Wah, nggak nyangka banget bakal dateng sepagi ini. Mari ikut sarapan. Kami makan seadanya seperti ini." Dian menyambut kedua besannya itu dengan senyuman yang bingung.
Umi dan abi juga langsung duduk di meja makan tapi tidak berniat untuk ikut bergabung sarapan.
"Veni di mana ya?" Tanya uminya mencair kan suasana yang sempat terlihat aneh.
"Ah, Veni sedang menyusui di ruang bayi, Mi. Umi tunggu di sini sebantar, biar Mario yang panggilkan." Mario langsung bergegas ke kamar di mana Veni tidur. Saat ke sana, pintunya terkunci. Hal itu membuat Mario makin kesal karena Veni melakukannya hal yang seharusnya tak dilakukan.
"Ven! Ada orang tua kamu! Buka pintunya cepet!"
Saat mendengar ada orang tuanya datang, Veni langsung saja membukakan pintu dan Mario masuk ke dalam.
"Sekarang kamu ganti baju kamu sama yang bagus! Aku nggak mau umi sama abi ngira kalau aku bikin kamu kecapekan ngurus Enima sendirian. Pokoknya dandan yang cantik! Jangan cerita aneh-aneh!"
"Cerita tentang apa, Mar?" Seseorang menyambar dari belakang. Membuat Mario membeku seketika. Sedangkan Veni hanya diam membisu melihat uminya yang baru saja datang. Entah uminya itu mendengar kalimat yang dikatakan Mario sebelumnya atau tidak, tapi keadaan kamarnya yang penuh dengan barang-barangnya sudah pasti akan membawa banyak pertanyaan.