Petra berada di dalam ruangan yang begitu gelap, sampai-sampai yang dilakukan hanya lari dengan perasaan ketakutan mendalam. Seolah ada yang mengejarnya, dia berlari tiada henti. Bahkan nafasnya sudah kian menipis, tapi tetap saja tak ada jalan keluar sama sekali.
Begitu melihat sebuah cahaya, kakinya langsung dipercepat agar segera sampai. Namun siapa sangka seseorang menarik kaosnya dari belakang. Badan Pertra langsung terangkat dengan mudah.
“Lepaskan aku!” teriaknya dengan wajah penuh dengan keringat.
“Tidak akan.”
Suara itu, Petra sangat mengenalnya. Saat mata mereka bertemu, dia terkejut bukan main karena orang yang sedang berada dihadapannya adalah Zack.
“Kau!Bagaimana masih bisa berdiri?” Wajah Petra sangat pucat pasi.
“Aku akan menghukummu.” Di tangan Zack ada sebuah bola api muncul sebesar bola kasti. Petra meronta, minta untuk dilepaskan. Tapi pria itu tak bergeming sama sekali, hendak membakar tubuhnya begitu saja.
“Jangan....!” teriak Petra menutup kedua matanya, lalu terbuka lebar. Pria itu ;angsung bangkit dengan nafas memburu. Dia terlihat cemas, bingung dan juga khawatir campur aduk jadi satu. Matanya melihat sekeliling ruangan, lalu tangannya mengelus d**a.
“Ternyata hanya mimpi,” kata Petra lega. Lega karena apa yang terjadi hanya sebuah mimpi belaka yang tidak patut dicemaskan, tapi tetap saja sangat menakutkan.
Petra pun bangkit, segera menuju ke kamar mandi. Dalam mimpinya pun, dia diganggu oleh Zack. “Aku harus segera membunuhnya agar tenang.”
Dia tak puas kalau Zack tidak mati. Makanya Petra berusaha keras untuk melenyapkannya segera mungkin. “Aku akan cari orang lain.” Pria itu membasuk mukanya dengan kasar, seolah membuah kesialan dalam hidupnya karena mimpi yang baru saja di alami. Tahukah dia bahwa sebuah mimpi adalah pertanda akan terjadinya sesuatu? Sayangnya Petra tak tahu sama sekali, dan masih mencoba untuk berbuat jahat.
Sementara itu di ruangan Zack, pria itu sudah duduk di atas ranjang, menatap matahari yang sudah mulai muncul perlahan. Ekspresi yang ditunjukkan begitu dingin, sampai menusuk kulit. Perawat yang sedang patroli pun tak bisa masuk ke dalam ruangan karena takut.
Begitu Steve masuk, sontak mata Zack langsung menatapnya tajam. “Kau seperti ingin membunuhku.”
“Keluar! Aku tak ingin melihat wajahmu!” Zack sedang diliputi emosi yang mendalam, sehingga menebarkan aura pemrusuhan yang kuat.
“Tak tahu terimakasih. Kau hampir mati untuk kedua kalinya. Kalua bukan aku dan Justin. Nyawamu akan melayang.” Steve duduk dengan santai. “Terus membencilah sampai ke ulu hati. Itu yang kami mau.”
“Apa maksudmu?” tanya Zack sambil mengetatkan otot rahanyanya sehingga muncul otot-otot di sana.
“Dengar Zack, maksudku Ares. Ada alasan kenapa Justin membuatmu menjadikan asistennya. Dia ingin kau memiliki perasaan.” Kalau Steve diam saja, pasti Zack salah paham.
Tentu saja pria itu penasaran dan langsung menanggapi. “Kenapa harus?”
“Keberadaan kekuatanmu akan timbul jika kau mengalami perasaan itu. Tapi untuk sekarang karena jiwamu baru saja menyesuaikan diri, emosimu belu mencapai target.” Steve bangkit menuju ke jendela kaca.
“Kalau bukan karena Justin, aku tak mau kembali ke planet terkutuk itu.” Jika mengingat perjuangan mereka melawan pemberontak, Steve enggan pulang.
“Kenapa kau bisa berubah pikiran speerti itu?” Terkadang Zack tak mengerti sama sekali pola pikiran manusia.
“Kalau kau penasaran, kau harus memiliki perasaan itu.” Steve sudah cukup bicara, lalu melangkahkan kaki hendak keluar ruangan.
“Tunggu!” Zack turun dari ranjang. “Tangkap Petra Collin hidup-hidup. Apakah kau bisa?”
Tawa Steve seketika, “Apakah kau ingin balas dendam. Tenang saja, aku sudah menyuruh orang untuk menyergapnya. Jangan kira dia diam melihat Zack diperlakukan buruk, pria itu bahkan sudah bergerak sebelum si naga memberi perintah.
Bicara tentang Petra, pria itu keluar apartemen dengan santai menuju ke lift. Begitu benda besi itu terbuka, dua orang pria berbadab besar langsung menyergapnya.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Petra. “Kalian melanggar hukum dan bisa ditangkap polisi.”
Dua orang itu hanya diam, menyeret Petra keluar lift dengan kasar. “Lepaskan aku!” teriak pria itu berulang kali.
“Berisik!” Sebuah pukulan cukup keras dihantam ke tengkuk leher Petra sekuat tenaga hingga pingsan.
“Kenapa kau memukulnya?” Karena aku tak tahan mendnegar ocehannya. Kita pergi sekarang.” Mereka melajukan mobil dengan kecepatan penuh setelah berhasil membawa serta Petra.
Kantor Polisi
Liana datang ke kantor polisi untuk melaporkan sebuah kasus pembunuhan berencana. Dia bahkan sampai membawa beberapa bukti untuk memperkuat laporan itu. Saat menerima berkas dari detektif yang disewa, gadis tersebut tak menyangka kalau Petra telah berbuat keji.
“Ada yang bisa kami bantu?” tanya petugas yang kerja hari itu.
“Aku melaporkan seseorang.” Liana memberikan sebuah amplop berwarna cokalt. Sang petugas lalu membukanya. “Bukti ini cukup kuat. Kita bisa menangkapnya sekarang.”
Liana sangat senang, dan bahagia karena Petra akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dari perbuatannya.
“Sebaiknya Anda pulang terlebih duku. Kami akan menagkapnya segera.” Sang polisi bangkit untuk mempersilahkan Liana pergi.
“Apakah saya tidka boleh ikut?” tanya Liana karena ingin ikut menangkap Petra.
“Sangat berbahaya bila Anda ikut, Nona.” SI polisi bersekeras dengan pendiriannya. Akhirnya Liana pun memutuskan untuk pergi setelah memberikan nomor pribadi miliknya.
“Aku harap semua berjalan dengan baik.” Gadis itu mengingat kembali pertemuannya dengan Petra yang berkesan sangat baik. Hanya saja, dia tak menyangka kalau pria itu bertindak di luar dugaan. Apa alasan dibalik itu semua? Liana juga tak mengerti sama sekali.
Gadis itu menggunakan mobilnya dengan kecepatan penuh untuk segera bergegas ke rumah sakit. Dia akan memberitahu Zack perihal kejadian kecelakaan. Namun sampai di rumah sakit, saat masuk ke dalam ruang rawat inap pria itu tak ada satu orang pun. Semuanya tampak rapi dan bersih.
“Kemana Zack dibawa pergi?” Hati Liana cemas, lalu mencari keberadaan Zack. Gadis itu tak sengaja berpapasan dengan dokter yang ditugaskan untuk menangani pria itu. “Dok...!” panggilnya dengan nada tinggi.
Sang dokter menoleh, lalu tersenyum. “Anda pasti mencari Tuan Zack Winter. Beliau keluar rumah sakit karena sudah pulih. Saya permisi.”
Liana syok dicampur tak percaya atas semua yang didengarnya. Bukankah Zack dalam kondisi yang begitu parah? Bahkan pria itu melakukan operasi dibaguan kepalanya. “Aku lega, tapi aku juga kebingungan.”
Dia pun berjalan gontai ke luar rumah sakit. Perasaannya begitu rumit karena ingin mempertahankan cintanya. Namun, kenapa Zack sangat berbeda dengan dulu? Dulu, pria itu manis dan lembut. Sekarang terlihat cuek dan tak mau tahu.
“Apakah cintaku akan bertahan?” Liana menatap langit yang mendung. Begitu awan tak dapat menampung beratnya air, maka hujan pun turun perlahan. Ditengah parkiran mobil, dia berdiri mengingat masa lalu.
Angin berhembus sedikit kencang menerpa rambutnya hingga tertiup angin. Zack yang berada di dalam mobil bersama Justin dan Steve menatap gadis itu tanpa ekspresi.
“Sepertinya gadis itu sangat mencintaimu,” kata Steve membuka suara karena tak betah dengan keheningan.
“Dia akan menjadi beban jika ikut denganku,” ujar Zack merasakan sedikit nyeri dihatinya. Entah perasaannya atau perasaan si pemilik tubuh asli, dia tak tahu sama sekali.
“Suatu saat pasti kau membutuhkannya,” gumam Justin memandang Liana juga. Kasihan gadis itu harus terpisah oleh orang yang dicintai untuk selamanya.
Justin bisa merasakan bahwa cinta Liana begitu besar, sangat besar malah. Namun naas, orang yang dicintai sudah tiada dan diganti dengan naga kasar seperti Ares. Sangat tragis.
Bersambung