Bab 15

1224 Kata
Prancis, Pulau Reonion Pulau Reonion adalah pulau yang memiliki keindahan terkenal di Prancis. Banyak wisatawan berkunjung untuk menikmati fenomena alam tersebut. Tidak hanya pantai yang begitu mempesona, ada juga Gunung Piton De La Fournaise yang masih aktif dan bisa meletus kapan saja. Biru langit dan biru lautan memang perpaduan yang sempurna dan menyegarkan mata. Ketiga orang yang masih setia menikmati alam tercinta sedang asik berjemur. Mereka baru saja sampai, dan memutuskan untuk merilekskan tubuh. “Ini sangat menyegarkan,” kata Steve sambil menikmati jus jeruk yang ada di sampingnya. Dia tidur di pasir beralas tanpa alas. Di atas tubuhnya ada payung yang cukup lebar bisa melindungi dari sinar matahari. “Pengecut,”ujar Justin sambil keluar dari laut sambil membawa papan selancar di tangannya. Dia terlihat sangat hot sampai membuat mata para gadis yang ada disekitarnya mulai merasakan panas di tubuhnya. [GILA] Di Planet Aques, semua ornag mengenalnya dengan sebutan bunga impian para waniat maupun gadis. Sayang sekali Justin tak pernah tertarik dengan pendamping hidup. Dia lebih suka sendiri menjalankan tugasnya sebagai Raja Adeus. “Mataku silau,” sindir Steve dengan membuang muka ke arah Zack. Pria itu menatap sang naga dengan serius. “Justin,” panggilnya tanpa menoleh. “Ada apa?” Justin pun mendekat. “Rasanya malam ini kita harus bergerak. Lihat saja naga itu sudah gatal dan tak bisa fokus sama sekali.” Zack bukanlah pria jelek, makanya dia dikelilingi banyak gadis. Semakin pria itu cuke dan dingin, maka mereka akan semakin menggila. “Hari liburku tidak akan pernah terjadi.” Steve pun bangkit berjalan menuju ke arah Zack. ‘hai ladies!” sapanya dengan wajah sumringah. Mereka pun diam seketika, menoleh serempak. Steve yang merasa ditanggapi langsung bicara. “Well, malam ini aku ada pesta. Kalian bisa datang.” Dia bicara omong kosong untuk mengalihkan perhatian. Ketika Steve membuka kaca matanya. Sontak salah satu dari mereka terpekik, “Steve Wilson.” Suara itu menggelegar sehingga membuat semua orang langsung mendekatinya. Ending, Zack pun tersingkir perlahan. “Steve aku tak menyangka kau ada di sini.” “Steve... aku mencintaimu!” “Steve... peluk aku.” Masih banyak lagi kata-kata yang keluar dari mulut para gadis itu, sampai-sampai membuat Steve jongkok, menerobos melalui celak kaki mereka. “Sialan...”geramnya tertahan, langsung melarikan diri ke tempat sepi. Salah sendiri. “Inilah yang tidak aku sukai karena menjadi terkenal.” Steve menyesal karena tak emmbawa pengawal. Seharusnya kemanapun dia pergi, pengawal harus ada. Ini semua karena si naga yang tidak tahu diri itu. Andai saja dia tidak mengganggu hidupnya, pikirnya dengan kesal. Ngomong soal naga, Zack terus memandangi gunung tempat batu kehidupan elemen api berada. Entah kenapa, perasaannya begitu gelisah. Tidak tenang secara bersamaan. Di samping itu, seperti akan ada yang terjadi malam ini. “Zack,” panggil Justin sedikit berteriak. Lamunan Zack berhenti seketika, langsung menoleh. Dia Justin, tampak sedang memamerkan otot tubuhnya yang terbentuk. Dia pun mendesah malas, tak mau memuji atau menanggapinya. “Kita tak bisa membuang waktu,” kata Zack sambil bangkit. “Kita naik ke gunung itu sekarang sebelum malam tiba.” “Kau benar... kita harus pergi sekarang.” Mengingat matahari sudah condong ke barat, waktu yang bergulir pun terus terbuang. Saatnya melakukan pekerjaan yang sesungguhnya. Di tempat lain, lokasi sama dengan Zack tapi sedikit jauh, tiga orang pria yang membawa sebuah radar berhenti seketika. Pria berkaos hitam menatap ke arah gunung yang terkenal aktif itu. “Dia ada di dekat sini.” “Haruskan kita menyerang sekarang, Tuan?” tanya pria berambut keriting. Dia Martin, sosok yang paling ditakuti karena terkenal kejam dengan siapapun. Selama menjadi pelatih, pria itu tak kenal ampun. Namun selama ini kinerjanya sangat memuaskan. Hasil dari buruan tak pernah bisa kabur. “Naga Ares terkenal kepintarannya. Dia berbeda dengan naga lainnya.” Martin terus menatap matahari yang kian condong ke barat itu. “Maxel, apapun yang terjadi nanti, kita harus menangkapnya. Jangan di bunuh.” “Tapi, Tuan. Pemimpin bilang untuk.” Belum sempat Maxel melanjutkan suara, pria berambut gondrong memegang lengannya untuk menghentikan aksi penolakan. “Apa yang kau lakukan, Leon? Aku harus melanjutkan bicaraku?” bisik Maxel dengan kesal. “Jangan bertindak gegabah.” Leon tersenyum profesional. “Sesuai intrusimu, Tuan.” Martin pun mengangguk, berjalan mendahului mereka. Kesempatan untuk menaklukan naga pelindung Planet Aques di depan mata. Ras campuran seperti mereka tak akan mudah bertemu dengannya. “Aku akan melihat, seberapa kuatnya dirimu, Ares,” gumam Martin sambil menyeringai. Biccara tentang naga, Zack sedang bersin-bersin sebanyak tiga kali. Karena tubuh manusia yang dimiliki, pria itu jadi merasakan kedinginan yang luar biasa. “Kau terlalu ceroboh. Tubuh itu begitu lemah. Seharusnya kau memakai jaket,” sindir Steve sambil bersiul, sengaja mengolok Zack. “Tutup mulutmu.” Zack berhenti mengambil botol air yang ada di atasnya. “Aku sangat haus.” Perjalanan masih panjang. Jika di ukur mungkin sepanjang rel kereta. “Kapan kita sampai? " “Sebentar lagi akan malam. Kita akan cepat sampai dengan kekuatanku,” tambah Justin dengan wajah ngos-ngosan. Kenapa juga Steve tidak menyewa helikopter? Kemungkinan pria itu sengaja membuat perjalanan yang menyulitkan untuk mereka. Jelas Justin sangat kesal sampai-sampai tak mau bicara dengannya. “Ada apa dengan Justin?” tanya Steve kepada Zack yang hendak mulai berjalan kembali. “Tidak tahu,” jawab pria itu cuek bebek.” Naga itu, geram Steve di dalam hatinya. Pria tersebut akhirnya menghela nafas panjang, menatap seluruh pemandangan yang ada di sekitarnya. Matahari yang hendak terbenam begitu cantik. Dna ada langit berwarn orange dan jingga. Steve sangat menyukai keadaan tenang seperti itu. Sayangnya aktivitas tenang harus terganggu lantaran ada penduduk desa yang sedang bersitegang bersama Justin. “Anda dilarang masuk ke kawasan ini, Tuan,” kata salah stau dari mereka. “Kenapa? Bukannya pendaki diperbolehkan karena area aman?” Justin tak mengerti kenapa para penduduk begitu kukuh tak memperbolehkan mereka masuk. “Saat ini kondisi gunung belum aman. Kemarin ada gempa, ditakutkan kalau benar-benar terjadi letusan.” Seorang pemuda angkat bicara. “Justin...!” teriak Zack terlihat kesal. “Kita tak boleh menundanya.” “Saya mohon anda semua kembali.” Dua orang penduduk desa itu saling tatap satu sama lain. Steve yang tak bisa melihat mereka terus berdebat akhirnya buka suara. “Lalu, kapan kami bisa masuk ke kawasan gunung.” “Medannya sangat licin karena baru saja hujan,” kata si pemuda terus menatap ke arah Steve yang tidak asing baginya. Zack menatap ke arah gunung lagi. “Kami akan menunda perjalanan. Bisakah kalian memberi kami tempat istirahat?” Mata Justin membulat sempurna. Bukankah tadi katanya bilang tak bisa menunda waktu? Kenapa jadi seperti itu? benar-benar plin plan. “Baiklah... ikuti kami.” Dua orang itu pun berjalan diluan, sementara mereka bertiga masih berada dibelakangnya. “Kenapa kau jadi ebrubah pikiran?” tanya Justin “Cuaca memang tidak stabil. Tapi tidak menyurutkan keinginanku untuk tetap melanjutkan perjalanan. Ikuti saja mereka dulu, lalu nanti malam kalau mereka sudah tidur kita bergerak,” jawab Zack tanpa jeda. Steve tak menyangka bahwa Zack sang naga sudah mempu menghadapi situasi dan keadaan. Dulu waktu berperang yang mengatur strategi selalu saja Justin. Tapi sekarang berbeda karena Ares menjadi manusia. “Kalau hujan, kau bisa menggunakan kekuatanmu dengan bebas, Justin,” tambah Steve karena setuju dengan pendapat Zack. “Semoga saja mereka cepat tidur dan kita bisa bergerak sesuai dengan rencanamu.” Justin merasa ada yang janggal, tapi dia berusaha berpikir positif. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN