4. Trap

1132 Kata
Tepukan pada pundak Nala sukses membuatnya terperanjat kaget. Gadis yang awalnya sedang melamun itu sontak memutar kepalanya beberapa derajat ke belakang untuk melihat wajah si pelaku yang baru saja membuat tangannya hampir menyenggol gelas berisi jus jeruk. “Bisa nggak sehari aja lo nggak ngagetin gue, Dan?” tanya Nala dengan nada galak. Seandainya bisa, sepertinya gadis itu juga berniat untuk melahap Danar hidup-hidup, terbukti dari tatapan yang dilayangkannya pada lelaki itu. “Kalau gue punya penyakit jantung, udah dari kapan hari gue meninggoy,” lanjut gadis itu misuh-misuh. Danar terkekeh kecil kemudian mendudukkan diri di kursi kosong yang berhadapan dengan Nala. “Habisnya muka lo lucu. Minta dikagetin,” balas lelaki itu. “Makanya nggak usah kebanyakan bengong kalau nggak mau gue kagetin. Lagian apa, sih, yang lo pikirin? Kayak banyak banget beban hidup lo,” tambahnya. “Iya, memang beban hidup gue kebanyakan. Lo mau nggak bantuin gue mikul setengahnya?” “Boleh, tapi lo mikul semua beban hidup gue kalau gitu. Deal?” Nala mendelik kemudian melempar tisu bekas pakainya pada Danar. “Sialan, ini tisu bekas ngelap apa yang lo lempar? Kok basah-basah gini?” tanya lelaki itu sembari menjepit tisu tersebut di antara jari jempol dan telunjuk, sementara ekspresi jijik tergambar jelas di wajahnya. “Bekas ngelap ingus gue,” jawab Nala kepalang santai sambil menaik turunkan kedua alisnya bergantian, menggoda Danar yang kini sudah menatapnya dengan tatapan setajam silet. “Jorok banget lo jadi cewek. Pantes aja masih jomblo dari orok sampai sekarang,” cibir Danar. Namun, ucapannya sama sekali tidak membuat Nala tersinggung. Gadis itu tahu kalau sang lawan bicara sedang dalam mode bercanda. “Jomblo berkualitas ini. Jangan dianggap remeh,” balas Nala sambil menepuk kecil dadanya beberapa kali seolah ucapannya ada hal yang patut untuk dibanggakan. “Salah makan obat, ya, lo hari ini?” tebak Danar sembari menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan tingkah gadis di hadapannya. “Jadi, coba kasih tau gue kenapa lo kelihatan letih, lesu, lelah tadi? Lagi mikirin apa?” “Gue ‘kan ke sini nebeng Mas Adriel, tapi kayaknya dia nggak bisa jemput nanti. Lembur,” jawab Tita kemudian mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi pria bernama Adriel itu. Adriel adalah abang kandung Adrian yang berprofesi sebagai dosen di kampus milik keluarga Riady, tetapi bukan di fakultas yang sama tempat Nala berkuliah. Pria itu sering sekali memberikan tumpangan pada Nala dan Elmira, mengingat rumah Adriel dan istrinya cukup dekat dengan rumah Elmira. “Halo, La,” sapa suara Adriel ketika panggilan tersambung. “Halo, Mas, gimana? Jadi lembur, ya?” tanya Nala. “Iya, hari ini Mas ada rapat sama dosen lain sekalian mau lanjutin penelitian bareng mahasiswa,” jawab Adriel. “Nanti Mas minta tolong Adrian biar barengan sama kamu, ya. Tunggu di lobi. Jangan pulang sendiri,” lanjut pria itu berpesan. “Nggak usah, Mas. Belum tentu jam pulang Adrian samaan sama aku. Takutnya dia masih ada kelas nanti,” balas Nala menolak. “Nggak boleh nolak.” Adriel berujuar tegas. Pria itu berhasil membungkam Nala. “Pokoknya jangan pulang sama orang lain selain Adrian. Jangan naik taksi. Tunggu Mas telepon Adrian, ya.” Setelah berkata demikian, Adriel langsung memutuskan panggilan tersebut tanpa mau menunggu balasan Nala. Begitu layar ponselnya kembali ke semula, Nala lantas menjauhkan benda pipih itu dari telinganya kemudian menatap Danar yang masih setia berdiri di tempatnya, mendengarkan percakapan Nala dengan Adriel dari awal. “Protektif banget keluarga lo,” komentar Danar sebelum terkekeh kecil. “Ya, begitulah,” balas Nala pasrah. Kedua anak manusia itu melangkah memasuki lift untuk menuju lobi kampus. Nala berjalan menuju sofa kosong yang berada di lobi, diikuti oleh Danar di belakangnya. Lelaki itu kemudian mendudukkan diri di sebelah Nala. “Lo nggak balik, Dan?” tanya Nala. Danar menggeleng kemudian menjawab, “Nggak. Nunggu lo dijemput dulu baru gue balik.” Nala tersenyum tipis. Gadis itu diam-diam berterima kasih pada Danar di dalam hati karena telah bersedia untuk menemaninya menunggu jemputan. * Tepat setelah melepaskan pandangannya dari jam yang melingkar di pergelangan tangannya, Nala akhirnya menemukan sosok Adrian yang berjalan memasuki area lobi fakultasnya. Kurang lebih sudah satu jam Nala menunggu kehadiran lelaki itu—sesuai perintah Adriel dan tentunya masih setia ditemani oleh Danar yang duduk di sebelahnya. “Yuk, pulang,” ajak Adrian sambil melirik Danar dengan tatapan tajam. Lelaki itu meneliti Danar seperti polisi yang sedang mengawasi penjahat. Namun, aksinya itu malah dibalas dengan senyum sopan dari Danar. Mendapati itu, ekspresi Adrian lantas melunak dan balas memberikan senyum tipis pada Danar. “Kenalan dulu kalian,” ujar Nala sambil bangkit berdiri dan diikuti oleh Danar di sebelahnya. “Dan, kenalin ini adik sepupu Elmira, Adrian,” lanjut gadis itu memperkenalkan sosok Adrian kepada Danar. Danar mengulurkan tangan sambil mengucapkan namanya. Uluran tangan lelaki itu lantas dibalas dengan jabatan oleh Adrian. “Adrian, sepupunya Elmira,” ujar Adrian dengan cepat kemudian melirik Nala. Belum sempat Danar membalas ucapannya, Adrian sudah lebih dulu melanjutkan, “Yuk, pulang.” Nada suara lelaki itu terdengar lebih tegas daripada sebelumnya. Nala mendengus melihat tingkah Adrian yang jauh dari kata bersahabat. Dia bergerak mendekati lelaki itu kemudian berdiri di sebelahnya. Adrian lantas melingkarkan tangannya pada pundak Nala kemudian mulai berjalan meninggalkan area lobi fakultas, sementara Danar mengikuti di belakang. “Dan, gue balik dulu, ya,” ujar Nala setelah memutar kepalanya beberapa derajat untuk menatap Danar yang masih berdiri di belakangnya dan Adrian.Nala bisa melihat kepala Danar yang mengangguk kemudian memberikan lambaian tangan padanya. “Melambai banget temanmu itu,” komentar Adrian dengan volume suara kecil begitu dirinya dan Nala sudah berjarak beberapa meter dari Danar. Nala memutar bola matanya lalu menjawab, “Yang penting baik.” Adrian hanya mengangguk tanpa membalas ucapan gadis itu lagi. Langkah kaki Nala melambat ketika indra penglihatannya menemukan sebuah mobil SUV hitam yang sangat dia kenali di area parkiran, tepat di depan pintu masuk lobi fakultasnya. Menyadari perubahan Nala, Adrian langsung berkata, “Kita nonton, ya, habis ini. Sama Mas Devgan juga.” Nala melayangkan tatapan melotot pada Adrian kemudian mendaratkan cubitan pada pinggang lelaki itu. “Nggak mau,” desis Nala menolak. Kedua mata gadis itu sudah mulai berkaca-kaca. “Aku mau pulang,” tambahnya. Namun, ucapan gadis itu diabaikan oleh Adrian. Dia malah menarik Nala untuk mendekat ke arah mobil Devgan. “Udah, nggak usah cengeng gitu. Ada aku yang nemenin di sana. Kalau kamu menghindar terus, kelihatan bangat kamu belum move on. Jadi, nggak usah pakai acara nangis di sini.” Nala ingin sekali memaki Adrian kalau tidak mengingat saat ini mereka sedang berada di tempat umum. Gadis itu menjauhkan diri dari Adrian secara tiba-tiba hingga lingkaran tangan di pundaknya sontak terlepas. Baru satu langkah Nala menjauh dari Adrian, kaca mobil SUV di depan mereka dibuka oleh Devgan. “Buruan!” seru pria itu sebelum menutup kembali kaca jendela mobilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN