Nala duduk di tepi kolam renang dengan kaki yang terendam di dalam air. Pandangan gadis itu menatap langsung pada area rumah utama yang sudah menjadi tempatnya untuk mencari kehangatan selama dua tahun terakhir.
Beberapa hari setelah kepergian ayahnya, Edgar dan Mia mengajak Nala untuk tinggal bersama mereka. Namun, Nala menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan kedua orang tua sahabatnya. Meskipun benar begitu, tetapi alasan tersebut bukanlah faktor utama dari penolakan Nala.
Dengan menerima tawaran Edgar dan Mia, otomatis Nala akan lebih sering bertemu dengan Devgan. Ia hanya ingin mengantisipasi rasa kikuk jika harus bertemu dengan pria itu dengan frekuensi yang lebih intens daripada sebelumnya.
Edgar dan Mia menerima keputusan Nala. Keduanya tidak memaksakan kehendak pada gadis itu, termasuk juga Elmira, padahal ia ingin sekali Nala tinggal bersama mereka karena ia menginginkan saudara perempuan sejak dulu.
Keluarga Elmira tidak mengingkari ucapan mereka. Semenjak kepergian ayahnya, Nala mendapatkan keluarga baru yang sangat menyayanginya. Meskipun tidak tinggal serumah, tetapi tidak jarang Edgar dan Mia mendatangi rumahnya hanya untuk sekadar mengecek keadaannya ataupun mengantarkan makanan hasil masakan Mia.
Setelah dua tahun berlalu, barulah Nala bisa membuka mata dengan benar. Gadis itu sadar bahwa setiap kehilangan pasti akan ada gantinya. Tuhan mengambil kedua orang tuanya, tetapi memberikan keluarga baru tanpa membuat Nala kekurangan kasih sayang. Nala tidak merasa sendiri dan kesepian lagi. Keluarga Elmira mampu memenuhi semua itu.
Nala tersentak ketika pundaknya tiba-tiba ditepuk dari arah belakang. Gadis itu hampir terjerembab masuk ke dalam kolam renang kalau refleksnya tidak bekerja dengan baik.
“Adrian!!!” pekik Nala pada lelaki yang dipanggilnya dengan nama Adrian itu. “Aku hampir jatuh ke dalam kolam!” lanjut gadis itu mengomel.
Adrian adalah sepupu Elmira dan Devgan. Ayah Adrian adalah kakak laki-laki Mia—ibu Elmira. Mengingat rumah mereka yang berdekatan, Adrian jadi sering bertandang ke rumah Elmira. Apalagi semenjak mengenal Nala, lelaki itu jadi semakin sering datang ke rumah Edgar karena memiliki bahan baru untuk dijahili.
Adrian terkekeh lalu duduk di sebelah Nala. Lelaki yang usianya satu tahun di bawah Nala itu menarik ujung rambutnya, seolah-olah mengagetkan gadis itu tidak cukup untuk memenuhi jiwa usilnya.
“Bisa nggak, sih, sehari aja kamu nggak usah jahil?! Kayak bocah baru puber aja!” ujar Nala dengan kesal.
“Nggak bisa!” balas Adrian dengan nada ngegas. “Makanya nggak usah bengong gitu. Udah bengong, mukanya melas minta dikasihani lagi. Kesambet baru tahu!”
Nala mendengus kemudian menarik telinga Adrian dengan gemas. “Mulutmu!” balas gadis itu tidak mau kalah.
“Ya, antisipasi aja. Mana tahu kamu ada pikiran mau bunuh diri.”
“Enak aja bunuh diri! Yang ada, kamu tuh yang bunuh aku, ngagetin sampai aku kecebur ke kolam,” cibir Nala kemudian melanjutkan, “Lagian aku juga masih mau nikah, punya anak, punya cucu dulu.”
Adrian menoleh lalu memasang ekspresi meledek di wajahnya. “Mau nikah sama siapa kamu? Mas Devgan? Memangnya dia mau sama kamu?”
Nala lantas mencubit pinggang Adrian setelah mendengar pertanyaan dilontarkan lelaki itu padanya. “Anjir, sakit! Tangan kamu itu tangan manusia atau besi, sih? Sakit banget kalau udah nyubit!” omel Adrian sambil mengaduh kesakitan.
Nala terbahak, merasa puas mampu membalas kejahilan Adrian. “Elmira mana?” tanya lelaki itu. “Aku nggak lihat dia dari tadi.”
“Lagi keluar. Sibuk organisasi dia.”
“Kamu masih belum move on dari Mas Devgan?” tebak Adrian.
Nala mendengus karena lawan bicaranya yang tiba-tiba mengganti topik pembicaraan. “Kata siapa? Sok tahu lo!” Nala membantah.
“Alah, alah … sok denial!”
“Beneran, Dri. Aku udah move on kok.”
“Kalau udah move on, nggak mungkin masih nguntit Mas Devgan diem-diem, stalking media sosialnya. Dari cara kamu natap dia aja udah ketahuan, kayak kucing kelaperan lihat ikan asin,” ledek Adrian menyuarakan fakta yang dilihatnya selama ini.
Nala tergelak sambil memukul lengan Adrian. “Udah kayak detektif aja kamu!” kata gadis itu tanpa bisa menyembunyikan kedua pipinya yang mulai memerah malu.
“Nggak usah malu. Usil-usil begini, aku peka dengan sekelilingku, Nala,” kata Adrian dengan nada serius. “Kalau kamu mau curhat, aku akan selalu ada buat dengerin. Kalau mau nangis, kamu bisa nangis di sini,” lanjut lelaki itu sembari menepuk pundaknya dengan salah satu tangan.
Nala menatap Adrian dengan mata yang berkaca-kaca, padahal sebelumnya ia masih tergelak malu-malu karena godaan lelaki itu. Nala spontan melingkarkan lengannya ke tubuh Adrian, memeluknya, sementara lelaki itu membalas dengan memberikan tepukan kecil pada punggung Nala.
“Kok kamu baik banget, sih, sama aku?” tanya Nala dengan suara yang mirip seperti bisikan karena teredam di pundak Adrian sambil menahan air mata yang sudah bersarang di pelupuk mata.
“Kamu itu udah aku anggap sama kayak Elmira, saudara gue. Orang-orang yang bakal aku jaga dan lindungi,” jawab Adrian jujur.
Nala melepaskan pelukan pada tubuh Adrian kemudian menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya. Sikap keluarga Elmira selalu sukses membuatnya terharu, sekaligus bahagia.
“Makasih, ya, Dri,” ucap Nala tulus. Senyum bangga langsung terbit di bibir Adrian setelah mendengar ucapan gadis itu, sementara Nala sendiri mendengus melihat senyum tersebut.
*
Nala berjalan memasuki area kampus yang sudah menjadi tempat menimba ilmu selama dua tahun terakhir. Meskipun universitas itu adalah milik keluarga Riady, tetapi Nala tetap menjalani tes seperti calon mahasiswa pada umumnya. Ia tidak pernah menggunakan nama Riady sebagai batu loncatan untuk mendapatkan keinginannya.
Pernah suatu hari Nala bertanya pada Elmira kenapa gadis itu tidak keberatan ketika Edgar dan Artemia melimpahkan kasih sayang mereka kepadanya dan jawaban gadis itu cukup mengharukan.
Elmira berkata bahwa ia sama sekali tidak pernah marah ataupun iri karena sudah menganggap Nala seperti adik perempuan yang tidak pernah dimilikinya selama ini. Dengan kehadiran Nala, kasih sayang yang kedua orang tua limpahkan padanya tidak berkurang sedikit pun.
Setelah mendengar jawaban gadis itu, air mata Nala sukses membasahi kedua pipinya. Rasanya semua sedih dan kesepiannya terbayarkan. Cukup dengan kehadiran keluarga Riady saja sudah melengkapi hidupnya. Nala tidak butuh orang lain lagi. Ia tidak lagi berharap Devgan menatap ke arahnya.
Nala sudah menghempaskan perasaannya pada pria itu, meskipun ia masih sering diam-diam menge-stalk akun media sosial Devgan untuk mendapatkan update terbaru mengenai kehidupan pria itu. Namum, Nala sudah tidak lagi mengejar Devgan seperti dulu.
Semenjak kejadian dua tahun yang lalu—tepatnya ketika Nla menyatakan perasaan pada Devgan, hubungan keduanya perlahan merenggang. Ia sudah jarang bertemu dengan Devgan karena pria itu memilih untuk tinggal di apartemen sendiri dengan alasan lebih dekat dengan tempat kerjanya.
Selama dua tahun terakhir, Nala berhasil melewatinya dengan baik. Gadis itu bersikap seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi antara dia dan Devgan. Ia menggunakan senyum ceria untuk menutupi apapun yang dirasakannya sebagai bentuk kamuflase. Selain untuk menghindari keluarga Riady khawatir akan keadaannya, Nala juga tidak ingin Devgan tahu bahwa ia masih diam-diam mengharapkan pria itu di lubuk hatinya yang terdalam.
Tidaklah mudah bagi Nala untuk menutupi perasaannya pada Devgan. Perasaan itu seolah tidak pernah mau padam, padahal ia sudah berusaha kuat untuk mengenyahkannya.
Sikap cuek yang Devgan tunjukkan sudah cukup menjadi bukti bahwa pria itu memang tidak memiliki perasaan apapun padanya. Bahkan setelah penolakan yang diberikan, ia juga tidak tampak bersalah dan malah semakin menarik diri dari Nala.
“Woi, ngelamun aja!”
Nala tersentak. Gadis itu lantas melayangkan tatapan protes pada temannya—Danar yang sudah membuatnya buku-buku di dalam gendongannya hampir meluruh ke bawah.
“Ngangetin aja lo!” gerutu Nala.
Danar terkekeh kecil kemudian mengganti posisi untuk berjalan bersisian dengan Nala. “Tumben rapi banget lo hari ini,” kata Danar memuji sambil meneliti pakaian yang dikenakan Nala dari atas sampai bawah.
Nala tertawa kecil kemudian membalas, “Idih, sok-sokan muji gue. Pasti minta traktiran makan siang, ya?”
Danar memukul kecil lengan Nala. Lelaki itu memang sedikit gemulai, tetapi Nala tahu kalau ia adalah orang yang baik. Oleh sebab itulah, pertemanannya dengan Danar dari awal masuk kuliah masih awet sampai sekarang.
“Sembarangan!” sergah Danar. “Gue bawa bekal hari ini,” tambah lelaki itu memberikan informasi.
“Terus ada nggak jatah gue?” tanya Nala sambil menadahkan salah satu tangannya.
“Oh, pasti ada dong. Gue ‘kan udah persiapan. Kalau jatah lo nggak dikasih, pasti lo malakin punya gue,” jawab Danar dengan senyum jumawa yang terbit di bibirnya.
Nala terkekeh kemudian mengangguk. Sepasang anak manusia itu kemudian berjalan beriringan menuju ruang kelas karena kurang dari lima belas menit lagi mata kuliah pertama akan segera dimulai.
Sesampainya di kelas, beruntung masih ada dua tempat kosong yang tersisa di bagian tengah sehingga Nala dan Danar langsung menempati kursi itu. Tangan Nala baru saja hendak mengeluarkan alat tulis dari dalam tas ketika mendengar bunyi notifikasi yang berasal dari ponselnya.
Ternyata notifikasi itu berasal dari salah satu media sosial yang memberitahu bahwa Devgan baru saja memposting sesuatu di akunnya. Ya, Nala memang sengaja mengaktifkan notifikasi tersebut agar selalu up to date mengenai pria itu.
Buru-buru Nala membuka sosial media karena penasaran dengan unggahan akun Devgan. Namun, gadis itu sontak tertegun begitu foto berbentuk persegi terpampang di layar ponselnya. Rasanya seperti ada palu besar yang menghantam telak dadanya, membuat nyeri, sekaligus sesak di sana.
Nala menatap layar ponselnya lekat-lekat, mensugesti diri sendiri bahwa apa yang sedang dilihatnya saat ini bukanlah halusinasi semata. Dalam foto itu, Devgan tampak sedang tersenyum lebar dengan seorang perempuan cantik yang berdiri di sebelahnya.
Long time no see and finally reunited. You know how much I miss you, Babe @rach_go
Dua kalimat itu yang menghiasi bagian bawah foto tersebut sebagai caption-nya.
Devgan tidak pernah menyunggingkan senyum selebar itu pada keluarganya, apalagi pada Nala. Seketika pandangan Nala kabur oleh serbuan air mata yang hendak merebak keluar, tetapi buru-buru ditahannya.
Nala terkesiap kaget ketika merasakan sentuhan lembut pada punggung tangannya. Ketika ia menoleh ke samping, Danar sedang menatap ke arahnya sambil bertanya, “Are you okay?” Lelaki itu bertanya dengan nada lembut dan justru membuat Nala semakin ingin menitikkan air matanya saat ini.
Sekuat tenaga Nala mengukir senyum di bibirnya sembari mengangguk kecil. Gadis itu sedang berusaha menahan isak tangis yang hendak keluar kemudian menjawab, “Don’t worry. I’m okay. Just got a little shocking news, but everything is fine.”