5. Meeting

1047 Kata
Mendengar seruan bernada tegas yang meluncur dari mulut Devgan sukses membuat Nala mencibir, sementara Adrian hanya mampu tersenyum tipis. Lelaki itu kembali merangkul pundak Nala kemudian membukakan pintu penumpang bagian belakang sebelum memberi titah pada gadis itu untuk masuk ke dalam. Sebelum Adrian menutup pintu penumpang di sisi Nala, gadis itu masih sempat melayangkan tatapan setajam silet. Namun, sepertinya tidak berefek apa-apa untuk Adrian. Lelaki itu malah tampak santai masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah kemudian. Nala mengomel di dalam hati begitu mobil Devgan mulai bergerak meninggalkan area parkiran gedung fakultasnya. Tidak lama setelah kendaraan beroda empat itu menyusuri jalan raya, ponsel yang berada di dalam saku celana Nala bergetar sekali, menandakan adanya pesan masuk. Adrian: Maaf, aku nggak ada maksud buat lo kesel, tapi kalau kamu terus-terusan menghindar, sama aja kayak pengecut. Nala mendengus membaca kalimat yang baru saja dikirimkan oleh Adrian. Tanpa mengetik apapun, gadis itu hanya membalas pesan tersebut dengan sebuah emoticon bergambar kotoran. Adrian: Sumpah, aku cuma mau kamu nggak menghindar terus. Katanya berani ngadepin dia, masa main kucing-kucingan mulu? Ini waktunya kamu buktiin kalau udah benar-benar move on, walaupun dekat-dekat sama dia. Udah dua tahun loh ini! Nala menghela napas setelah membaca sederetan kalimat dari Adrian. Tanpa bisa dicegah, indra penglihatan gadis itu bersirobrok dengan pandangan Devgan ketika ia tidak sengaja melirik pada kaca spion yang tergantung di tengah mobil. Nala buru-buru memutuskan tatapan itu kemudian menundukkan kepala untuk membalas pesan Adrian. Nala: Iya, aku ngerti, tapi nggak pakai acara mendadak kayak gini juga. Aku belum siapin mental untuk ketemu dia, Dodol! Selama ini, Nala pikir usahanya menghindari Devgan sudah berjalan sukses. Berdekatan dengan pria itu sama saja dengan mengorek kembali kenangan kelam saat dirinya ditolak mentah-mentah. Memikirkannya saja masih terasa menyakitkan bagi Nala hingga saat ini. Jika ada waktu dimana Nala harus berada di radius yang cukup dekat dengan Devgan, gadis itu akan berusaha menyibukkan diri dan mengabaikannya. Namun, kalau keadaannya seperti sekarang ini, apa yang harus Nala lakukan? Adrian: Kamu nggak akan pernah siap kalau nggak dipaksa, bahkan sampai ayam beranak sekalipun. Kalau kamu memang beneran mau move on, biasakan dekat-dekat sama dia. Pasti lama-lama akan terbiasa dan dia nggak akan jadi orang spesial lagi untukmu nanti. Percaya, deh, sama aku. Membaca itu, Nala akhirnya bisa tersenyum lebar. Rasanya seperti Adrian yang jauh lebih tua daripada dirinya, mengingat betapa dewasanya pemikiran lelaki itu. Nala: Sok iya banget, udah kayak Adrian Teguh aja Meskipun balasan Nala sarat akan ejekan, tetapi Nala diam-diam berterima kasih pada lelaki itu karena sudah mampu membuat dirinya sedikit lebih tenang, tidak lagi gelisah seperti sebelumnya. Di samping itu, baik Nala maupun Adrian sama-sama tidak menyadari bahwa Devgan sempat melirik ke belakang melalui spion tengah dan tersenyum amat sangat tipis setelahnya. * “Kita nonton film apa?” tanya Nala penasaran. Adrian yang diapit oleh gadis itu dan Devgan hanya mengedikkan pundak kemudian menjawab, “Yang jelas, sih, bukan nonton film cinta-cintaan menye kayak yang kamu nonton sama Elmira waktu itu.” “Enak aja film menye. Mendingan nonton film menye daripada kamu sok-sokan nonton film horor, tapi matanya ditutup waktu setannya keluar,” balas Nala mencibir sembari melayangkan tatapan ketidaksukaan pada Adrian. “Dih, sembarangan! Fitnah banget! Aku udah terlatih lihat setan, jadi mana mungkin takut lagi.” “Setan mana?” “Ini di sebelahku.” Jawaban Adrian sukses membuat Nala mendaratkan cubitan pedas di pinggangnya. Namun, bukannya membalas, lelaki itu malah tertawa setelah mengadu kesakitan lalu mengacak rambut Nala dengan gemas. Devgan tiba-tiba bersuara. “Kita makan dulu,” katanya. Ucapan pria itu sukses membuat Nala menoleh. Meskipun hanya sekilas menatap wajah Devgan, tetapi jantung gadis itu sudah berdebar kencang. Tidak ingin jantungnya memompa lebih cepat, Nala buru-buru memalingkan wajah, menatap ke arah manapun asal bukan wajah adonis Devgan. Tiga anak manusia itu berjalan beriringan menuju salah satu restoran Jepang yang ada di mall tersebut. “Bro!” Tiga kepala serempak menoleh ke arah teriakan yang berasal dari salah satu meja yang ada di restoran itu. Mata Nala melebar ketika melihat sosok sang pemilik suara yang kini menuju ke arah mereka. “Al!” Nala berjalan cepat menghampiri pria itu kemudian memeluknya dengan erat. Pria itu adalah Alvin, penyanyi yang dulu sering tampil di kafe milik Devgan. Sayangnya, Nala sudah lama tidak berjumpa dengan pria itu, mengingat ia yang selalu menghindar dari segala sesuatu yang berhubungan dengan Devgan. “Astaga, udah berapa lama gue nggak ketemu lo, ya, La?” tanya Alvin sembari membalas pelukan Nala. “Heh, ngapain lo meluk Nala kenceng banget?” Adrian segera menarik Nala hingga pelukannya dengan Alvin terlepas. “Lo mau buat dia mati sesak napas?” tambah lelaki itu. “Galak banget, sih, kayak singa betina lo,” balas Alvin sebelum menuntun Nala ke salah satu meja kosong, diikuti oleh Devgan dan Adrian di sisinya. “Lo sendirian aja, Al?” tanya Nala pada Alvin yang entah sejak kapan sudah duduk di sebelahnya, sementara Devgan dan Adrian duduk berhadapan dengannya. “Nggak, gue ada janji,” jawab Alvin. Kening Nala mengerut setelah mendengar pertanyaan pria itu. “Terus kenapa lo malah gabung sama kami di sini?” tanya gadis itu. Alvin mengerakkan dagunya, menunjuk salah satu sosok yang duduk di hadapan mereka, Devgan. “Gue sebenarnya janjian sama Devgan ketemuan di sini,” jawab pria itu memperjelas. Nala mengangguk sambil melirik Devgan yang sibuk dengan ponselnya sebelum kembali menatap sang lawan bicara, Alvin. “Eh, gue baru sadar kalau rambut lo udah nggak gondrong lagi, tapi lebih bagus yang sekarang. Lebih fresh dan buat lo kelihatan muda,” puji Nala sembari mengingat penampilan Alvin dua tahun silam. Alvin terkekeh lalu membalas, “Lah, emang gue masih muda. Lo aja yang selalu bilang gue tua.” Mendengar ucapan pria itu, Nala juga ikut terkekeh. “Lo juga makin cakep. Badan lo juga udah ideal kayak model-model Victoria’s Secret.” Alvin balas memuji. “Emang badan gue udah body goals dari dulu. Cuma mata lo aja yang ketutupan lumut sampai gue diejek gendut mulu,” balas Nala mencibir. “Iya, iya, maaf. Gue ‘kan cuma ngomongin faktanya dulu,” seloroh Alvin tanpa rasa bersalah. “Lo masih single ‘kan sekarang?” tambah pria itu bertanya. Alis Nala mengerut sambil balas bertanya, “Memangnya kenapa?” “Lo pacaran sama gue aja. Mau nggak?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN