Tok, tok, tok!
Suara ketukan pintu kamar membuat Zenith yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya pun mengalihkan perhatiannya, gadis itu mematikan layar ponselnya dan beranjak dari kasurnya.
Begitu ia membuka pintu, wajah Emma terlihat di luar sana seraya memakai celemek berwarna pink dengan motif bunga.
"Ada apa, Mom?" tanya Zenith malas, hari ini ia merasa begitu malas untuk melakukan segala aktifitas. Hingga akhirnya memilih seharian berada di kamar.
Sangat berbeda dengan sang ibu yang sedari pagi sudah sibuk dengan kegiatannya, walaupun di rumah ini terdapat banyak maid. Biasanya wanita itu memilih menyibukkan diri dengan menyiram taman.
"Ada Dito yang menunggumu di bawah, bersama seorang gadis kecil. Sepertinya itu adalah anaknya."
Ucapan ibunya barusan sontak membuat tubuh Zenith menegang sempurna, pasalnya terhitung sudah satu bulan sejak lamaran Dito datang padanya. Parahnya, gadis itu selalu saja menghindari Dito dengan berbagai alasan membuat Zenith meringis kecil.
"Turunlah, tidak baik seperti itu. Kalau kamu memang tidak menyukai Dito, lebih baik langsung kamu tolak daripada membuatnya menunggu," pinta Emma lembut seraya mengelus kepala putrinya.
Terdengar helaan napas panjang dari Zenith, ia pun menganggukkan kepalanya kecil. "Zenith ganti pakaian dulu, Mom. Minta Dito tunggu saja di bawah."
Kedua sudut bibir Emma tertarik ke atas membentuk senyuman begitu mendengar ucapan putrinya. "Cepatlah."
Wanita dengan rambut yang memutih sedikit itu pun beranjak keluar dari kamar Zenith dan turun ke bawah.
Sepeninggalan ibunya, Zenith pun lekas mengambil pakaian santainya di dalam lemari dan menukar pakaian tidurnya dengan pakaian santai yang ia ambil tadi. Tak lupa ia memoles tipis bedak dan liptint pada wajah dan bibirnya.
Setelah memastikan penampilannya sudah rapi dan tak seberantakan tadi, ia pun berlari kecil keluar dari kamarnya dan menuruni satu persatu anak tangga. Saking semangatnya, gadis itu bahkan melangkahi dua anak tangga yang membuat tubuhnya tak seimbang dan jatuh seketika.
Untung saja ia sudah berada di anak tangga terakhir yang membuat tubuhnya tak terluka terlalu parah, tetapi berhasil membuat kakinya terkilir.
"Aduh!" pekik Zenith menahan sakit.
"Astaga Zenith!"
Dito yang melihat Zenith jatuh pun bergegas menghampiri gadis itu dan memeriksa kakinya. Ia bernapas lega ketika tak ada lecet atau bagian yang parah di sana. "Kenapa bisa jatuh hm? Makanya kalau turun tangga itu jangan kayak bocah, pake lari-lari segala."
"Cih, udah jatuh malah dimarahin bukannya ditolongin," cibir Zenith dengan suara yang kecil bahkan menyerupai bisikan, tetapi Dito bisa mendengarnya dengan jelas.
Mendengar keributan yang diciptakan oleh putrinya, Emma berlari kecil keluar dari dapur dengan sarung tangan di kedua tangannya. Kedua mata wanita itu membulat melihat putri tunggalnya terduduk di lantai.
"Zenith, kamu kenapa astaga!"
"Ini, Zenith jatuh gara-gara lari-lari di tangga," ucap Dito santai.
Tanpa aba-aba pria itu langsung mengangkat tubuh gadis di hadapannya ala bridal style yang sontak membuat Zenith memekik keras. Tetapi, Dito tak memusingkan hal itu, ia menurunkan tubuh Zenith di atas sofa yang lumayan panjang.
"Ih! Om ini bikin jantungan aja!" omel Zenith kesal.
"Kakak cantik, kata papa kalau sudah ditolong halus bilang telima kasih, bukan malah-malah," celetuk Clarissa yang sontak mengundang tawa dari Emma yang mendengarnya.
"Tuh, anak kecil saja tau, Nith. Kamu ini bagaimana sih, masa dikalah sama anak kecil."
Zenith yang ditegur pun hanya meringis kecil dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Terima kasih, Om Dito!" Seulas senyum tak ikhlas Zenith berikan di wajahnya.
Dito terlihat tak acuh dengan ucapan terima kasih Zenith, membuat gadis itu mendengus kesal.
Sementara Dito terlihat sibuk mengurut pelan pergelangan kaki kanan Zenith yang terkilir dan membengkak sedikit, membuat gadis itu meringis kecil sesekali.
"Anak cantik namanya siapa?" tanya Emma pada Clarissa yang duduk di sebelah Zenith.
"Clalissa, Oma."
Dito menolehkan kepalanya sejenak. "Namanya Clarissa Tante, masih cadel jadi maklum aja."
Emma terlihat menganggukkan kepalanya kecil. "Rissa ikut sama Oma yuk? Kita masak kue bareng-bareng buat Kakak Zenith dan Papa-nya, mau nggak?"
Kedua mata Clarissa berbinar seketika mendengar, ia pun menganggukkan kepalanya antusias. Kedua wanita berbeda generasi itu pun berlalu ke dapur meninggalkan Dito dan Zenith berdua.
Merasa diberikan kesempatan berbicara berdua oleh ibu Zenith, Dito pun menegakkan kepalanya dan menghentikan pijatannya di kaki Zenith.
"Kenapa kamu ngga ada kabar selama satu bulan ini? Saya tahu kamu pasti sengaja menghindari saya kan?" ucap Dito tanpa basa-basi.
Zenith mengalihkan pandangannya, tak ingin menatap mata hitam kelam milik Dito yang seolah mengintimidasinya.
"Zenith, look at me. Saya butuh jawaban Zenith Greer, kalau kamu memang tidak menginginkan perjodohan ini, bilang lah. Jangan membuatku dan ayahmu menunggu yang tidak pasti."
Dito beranjak dari duduknya dan berjongkok tepat di depan wajah Zenith, pria itu meraih dagu Zenith dan membuatnya menatap wajahnya lekat.
"Diammu tidak memberikan jawaban apa pun bagi saya, Zenith. Saya tahu, sangat susah menerima pernikahan ini. Apalagi dengan status saya yang merupakan duda dengan satu anak. Kalau kamu memang berat, saya lepaskan kamu."
Sontak Zenith menatap wajah Dito lekat, ada perasaan campur aduk yang gadis itu rasakan begitu menatap kedua bola mata indah milik Dito.
Ia menggelengkan kepalanya pelan. "No. Jangan lepaskan aku."
"So? Apa maumu? Saya harus menunggu jawabanmu berapa lama lagi, Zenith? Waktu saya di sini hanya tiga bulan, setelah projek saya dan perusahaan ayahmu selesai, saya harus pulang ke Indonesia."
"Aku bingung, Om.... Aku bingung dengan hatiku sendiri." Kedua mata Zenith terlihat berkaca-kaca menahan tangis, membuat Dito mengalihkan pandangannya.
Bukannya tak ingin menatap wajah Zenith, pria itu seketika menjadi lemah ketika melihat wanita menangis. Apalagi jika itu adalah karena dirinya, ia merasa seperti pria yang sangat b******k di dunia.
"Don't cry, Zenith. Saya tidak bisa melihat wanita menangis," ucap Dito lemah.
"Aku bingung, Om. Sangat bingung. Aku merasa aku belum siap menjadi seorang istri, apalagi harus menjadi ibu. Aku takut, bagaimana jika nanti aku tak bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagi kamu dan Clarissa? Bagaimana jika nanti rumah tangga kita harus kandas di tengah jalan?"
Zenith menghela napas sejenak, menahan agar air matanya tak tumpah saat itu juga.
"Aku takut. Aku sama seperti gadis lain, Om. Aku ingin menikah sekali untuk seumur hidupku, dan bahagia dengan pernikahanku, dengan keluarga kecilku. Aku takut kalau semua itu tak bisa aku wujudkan."
Dito menggelengkan kepalanya, ia menghapus air mata Zenith yang sudah mengalir tanpa bisa gadis itu kendalikan. Pria itu sontak menarik Zenith ke dalam pelukannya.
"Jangan berpikir seperti itu Zenith, pernikahan ini bukan hanya kamu yang menjalani. Pernikahan ini bukan hanya tanggung jawabmu. Pernikahan ini menjadi tanggung jawab kita berdua bukan? Jadi jangan khawatir, aku akan selalu membantumu."
Zenith membalas pelukan Dito dengan erat, mendongakkan kepalanya menatap pria itu. "Janji?"
"Aku tak bisa janji, tapi aku akan berusaha semampuku. Janji bisa saja diingkari tanpa kita sadari kan? Walaupun lelah nantinya, aku akan berusaha menjadi rumah bagimu."
***