9. Air Mata Bahagia

1008 Kata
"Rissa, ayo buka mulutnya lebar-lebar," pinta Zenith seraya menyendokkan sepotong beef steak ke dalam mulut Clarissa.  Gadis kecil itu pun menerima suapan Zenith dengan cukup antusias dan membuka mulutnya dengan cukup lebar, membuat Zenith terkekeh melihatnya.  Kini mereka bertiga berada di restoran Eropa yang cukup mewah dan romantis, mayoritas yang mendatangi restauran tersebut adalah sepasang kekasih yang tengah berkencan.  Usai meluruskan segalanya dengan Zenith, Dito pun membawa gadis itu dan putrinya untuk makan siang sekaligus berjalan-jalan bertiga mengelilingi kota Los Angeles. Dengan senang hati Zenith menerimanya.  Bahkan sedari tadi senyum tak pernah luntur dari wajah Zenith maupun Clarissa, membuat rasa hangat menjalar di dalam hati Dito melihat kedua perempuan yang ia sayangi bahagia.  "Rissa, jangan merepotkan Kakak Zenith, makanlah sendiri. Kamu juga, makanlah Zenith," ucap Dito saat melihat makanan pesanan Zenith belum tersentuh sedikit pun, gadis itu malah sibuk menyuapi Clarissa.  "Biarkan saja, Om! Lagian Om ini kenapa sih protes mulu? Iri ya? Mau disuapi juga sama aku?" tutur Zenith santai.  "Saya ngga mau disuapin kamu, maunya saya makan kamu aja, Nith," ucap Dito yang tak kalah santai dengan senyum jahil. Sontak kedua mata Zenith melotot ke arah pria itu, untuk saja Clarissa tengah sibuk dengan ponsel di tangannya hingga tak memusingkan ucapan Dito barusan.  Tangan Zenith terulur untuk mencubit kecil pinggang Dito, membuat pria itu meringis kesakitan.  "Kok dicubit sih?!" protes Dito kesal, tangannya terlihat sibuk mengelus pinggangnya.  "Siapa suruh ngomong gitu di depan Clarissa?!" ucap Zenith dengan wajah yang memerah malu.  Melihat wajah Zenith yang sedang marah membuat Dito terkekeh kecil, bukannya terlihat menyeramkan gadis itu malah terlihat cukup menggemaskan. Apalagi kedua pipinya memerah bak kepiting rebus saat ini.  "Papa," panggil Clarissa yang tampak mulai bosan dengan ponselnya. "Bolehkan Rissa panggil kakak cantik dengan sebutan bunda?"  Tanpa bisa dihentikan, kedua sudut bibir Dito terangkat membentuk sebuah senyuman di sana. Pria itu menganggukkan kepalanya tipis sebagai jawaban.  "Tentu saja, Sayang. Kakak Zenith akan menjadi bundamu kan nantinya," ucap Dito. "Clarissa setelah ini papa titip ke Aunty Dea dulu gak apa-apa kan? Nanti Rissa bisa main dengan Iyus dan si kembar." Rissa yang mendengarnya hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, ia kembali fokus pada ponsel di tangannya.  Sementara Zenith yang mendengar mengernyitkan kening bingung, ia menghentikan kegiatannya memakan spaghetti.  "Kenapa Zenith harus dititip ke Kak Dea?" tanya Zenith tak terima.  "Sebentar saja, Nith. Lagipula nanti kamu akan bersama Clarissa setiap hari kan? Saya ingin bicara berdua sambil jalan-jalan dengan kamu," ucap Dito menjelaskan.  Ada desiran aneh di dalam hati Zenith saat menyadari bahwa sebenarnya lagi ia akan menikah dengan pria di hadapannya saat ini. Setelah menghabiskan makan siang mereka, seorang wanita terlihat memasuki restoran tersebut dan menghampiri meja Dito dan Zenith. Tampilan wanita itu sangat modis dengan seorang balita di gendongannya.  "Kak Dito! Zenith!"  Dito dan Zenith langsung menolehkan kepalanya begitu melihat Deandra datang dengan menggendong salah satu putra kembarnya. Bahkan Clarissa sudah beranjak dari tempatnya dan bermain dengan balita di gendongannya Dea itu. "Kenapa ke sini? Padahal aku baru mau ke hotel kamu," ucap Dito bingung.  "Sirius mau jalan-jalan ke time zone, jadi sekalian jemput Clarissa aja deh," ucap Dea, pandangan wanita itu beralih pada Zenith yang tersenyum kikuk. "Selamat kencan ya kalian berdua, aku duluan deh. Takut Kak Bagas dan Sirius tunggu lama." "Yaudah sana, hati-hati." Dea hanya menganggukkan kepalanya mendengar ucapan kakaknya itu, ia pun keluar dari restoran tersebut seraya menggandeng tangan kecil Clarissa dengan tangan kanannya.  Sepeninggalan adik satu-satunya, Dito pun menoleh pada Zenith yang terlihat baru saja menyelesaikan kegiatan makannya. "Sudah?" "Iya, Om." Terdengar helaan napas panjang dari Dito, mendengar panggilan Zenith yang masih belum berubah. Pria itu mendekatkan wajahnya pada Zenith, membuat gadis itu menahan napasnya tanpa sadar.  "Boleh aku meminta satu hal padamu?" tanya Dito. Tanpa sadar Zenith menganggukkan kepalanya saking gugupnya ditatap dengan intens oleh Dito.  "Jangan memanggilku dengan panggilan Om lagi, bisa? Terdengar aneh untuk seukuran pasangan yang hendak menikah." Kening Zenith mengernyit mendengar. "Jadi, aku harus memanggil apa? Aku rasa kalau dipanggil sayang Om tidak akan mau kan? Secara om ini bukan lagi remaja yang labil.," "Boleh juga. Panggil sayang saja deh, Nith," goda Dito diakhiri dengan kekehan geli. "Om ih! Jangan becanda deh!" ucap Zenith kesal. "Ayo serius dulu! Jadi, Om ingin dipanggil apa?" Dito terlihat berpikir sejenak. "Mas?" ucap Dito ragu.  "Boleh juga," ucap Zenith. Suara alunan gesekan biola terdengar mengalun di ruangan itu membuat suasana semakin romantis. Dito menatap Zenith dengan lekat dan meronggoh kantung celananya.  Pria itu mengelus sekotak kecil berwarna merah maroon kemudian membukanya. Terpampang lah sebuah cincin putih dengan berlian berbentuk love di tengahnya.  Kedua mata Zenith terpukau melihat cincin yang sangat indah itu, bahkan saat ini perutnya terasa mules melihat wajah Dito yang semakin serius.  "Mas.... Ini untuk apa?" tanya Zenith dengan suara yang sangat kecil. "Aku tahu bahwa aku tidaklah sempurna, tapi apa kamu mau menerima ketidaksempurnaan ini dan menyempurnakannya dengan kehadiranmu di hidupku? Zenith Greer, will you be my wife?"  Napas Zenith seperti tercekat di tenggorokan mendengar lamaran Dito yang begitu tiba-tiba, bahkan pria itu telah berlutut di hadapannya dengan begitu romantis. Layaknya seorang pangeran melamar putri di negeri dongeng impian Zenith.  Jantung Zenith berdegup dengan sangat kencang saat ini, rasanya suara gadis itu seperti tak bisa keluar untuk menjawab. Walaupun ia tahu akhirnya akan menikah dengan Dito, tetapi Zenith tak menyangka jika pria itu akan melamarnya dengan begitu romantis seperti saat ini.  "Zenith?" panggil Dito lagi.  Zenith menganggukkan kepalanya kecil sebagai jawaban. "Yes, i will!"  Mendengar jawaban Zenith membuat Dito menghela napas lega. Walaupun pria itu tahu Zenith akan menerimanya, tetapi rasanya berbeda jika mendengarnya di saat seperti ini.  Dito pun mengeluarkan cincin tadi dari dalam kotak dan memasukkannya dengan lembut ke jari manis Zenith. Gadis yang sebentar lagi resmi menjadi miliknya.  "Walaupun mencintai bukan hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi mari kita berusaha saling mencintai! Hari ini hingga akhir hayat," ucap Dito. Sontak air mata Zenith mengalir begitu deras dari kedua matanya, membuat Dito menjadi kelabakan sendiri. Tangannya hendak terulur untuk menghapus air mata di wajah gadisnya, tetapi segera ditolak oleh Zenith.  "Jangan dihapus. Kali ini adalah air mata bahagia, jadi biarkan air mata ini mengalir Mas." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN