Abizar tidak menyapa atau pun mengeluarkan suara, ia hanya memandangi Jelita dari tempatnya berdiri. “Ah, Pak Abizar?” sapa Jelita saat tanpa sebagai menoleh dan melihat suaminya hanya berdiri menatapnya.
Lamunan Abizar buyar mendengar suara Jelita yang menyapanya. Ia tersenyum.
“Bagiamana kabarmu?” tanyanya, ia memang sudah lama tidak bertemu atau hanya sekedar saling menyapa. Di samping sibuk dengan pekerjaan yang semakin menumpuk di kantor, Abizar juga memang sengaja memberi waktu dan pemulihan kepada Jelita untuk traumanya.
Akan tetapi sekarang, Abizar berpikir waktu Jelita untuk pulih sudah cukup. Ia juga terlihat sudah jauh lebih sehat.
“Saya baik-baik saja Pak, bagaimana dengan Bapak sendiri?” Jelita bertanya balik. Ia terlihat tidak terkejut lagi atau merasa tegang bertemu Abizar.
“Aku, aku sangat sibuk sekarang. Hampir tidak punya waktu untuk istirahat dengan benar. Bagaimana kabar ayahmu?”
“Oh, ayah sudah jauh lebih sehat sekarang, Pak. Minggu depan jadwal terakhir pengobatannya. Kata dokter setelah penyuntikan obat yang terakhir, dan observasi kondisi kesehatannya selesai, ayah akan dinyatakan sembuh total,” ucap Jelita dengan penuh kebahagiaan.
Abizar tersenyum mendengarnya, hatinya juga merasa senang mendengar kabar itu terlebih melihat senyum bahagia Jelita.
“Baguslah kalau begitu, ya sudah aku ke kamar dulu. Aku senang mendengarnya,” ucap Abizar.
“Terima kasih, Pak,” ucap Jelita sambil menatap dalam Abizar. Sesaat Abizar tenggelam.
“Jelita, apa boleh…” Abizar tak mampu meneruskan ucapannya. Kalimatnya seakan tertahan di tenggorokan. Jantungnya memburu.
“Iya, Pak?”
“Ah sudahlah, sampai jumpa,” ucap Abizar lalu melangkah meninggalkan Jelita yang hanya bisa menatapnya bingung hingga menghilang dari pandangan.
Jelita menghela nafas dalam dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Malam harinya, Jovanka memasuki kamar dan melihat suaminya masih berada di depan meja kerja dengan laptop yang menyala terang. Waktu menunjukkan pukul 10 malam.
Ia yang barus saja pulang dari acara pesta teman sosilita, dan langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Abizar melirik istrinya sebentar lalu kembali fokus dengan laptopnya.
“ Abi, aku pikir Jelita sudah cukup di beri waktu memulihkan diri. Aku juga melihat dia sudah baik-baik saja sekarang. Mungkin sekarang kamu bisa…”
“Jovanka, aku minta kali ini biarkanlah semuanya berjalan dengan alami. Kau jangan memaksaku lagi, trauma yang Jelita rasakan itu tidak akan hilang hanya dalam hitungan minggu atau bulan. Jika kau memaksakannya lagi maka hal itu justru akan semakin membuatnya trauma,” tolak Abizar.
“Tapi kan, ini sudah lebih dari sebulan. Lukanya itu hanya perlu waktu seminggu untuk sembuh, dan aku rasa dia tidak trauma kok. Buktinya dia baik-baik saja jika berpapasan denganmu.” Jovanka mulai kembali kekeh dengan pendapatnya seperti biasa.
“Aku jadi semakin tidak bisa mengajakmu berdiskusi sekarang Jovanka, semenjak kau mengingatkan obsesimu itu, kau seakan menjadi orang lain. kau suah berubah.” Abizar mulai kesal, ia menjadi tidak fokus lagi dengan pekerjaannya.
‘tapi..”
“sudahlah, sebaiknya kau tidur saja. kau baru pulang kan? Istirahat saja. ” ucap Abizar, ia juga menutup laptopnya lalu keluar dari kamar.
“Kau mau kemana sayang, Abizar jangan pergi dulu.” Jovanka dengan cepat beranjak dari rebahnya dan meraih tangan Abizar menahannya untuk pergi.
“Baiklah, aku minta maaf.” Jovanka memeluk Abizar sambil menatap wajah suaminya itu dengan penuh penyesalan.
Abizar menghela nafas dalam lalu mencium bibir Jovanka sekilas.
“Jangan pergi dalam keadaan marah. Aku tahu aku memang sudah sangat membuatmu tersiksa. Aku minta maaf, aku juga sebenarnya tidak berdaya. Aku… aku hanya tidak ingin kehilangan dirimu makanya aku melakukan ini semua. Andai kau tahu perasaanku saat ini, Abizar.” Jovanka terisak. Abizar terkejut menyadari jika istrinya menangis dalam pelukannya.
“Jovanka, kau tidak apa-apa kan? Kenapa menangis? Kau sedih karena aku marah?” tanya Abizar, ia membingkai wajah cantik istrinya itu dengan kedua tangannya dan menatapnya penuh khawatir.
Jovanka menggeleng. “Aku menangis bukan karena itu, aku hanya sedih jika membayangkan kau akan meninggalkanku suatu saat nanti. Aku tidak ingin itu terjadi, Abi. Aku tidak ingin berpisah denganmu. aku tidak mau kau membenciku suatu hari nanti. Aku..aku…”
“ssshhhtt, tenanglah sayang. Tidak akan terjadi apa-apa. Kita akan selamanya bersama sampai maut memisahkan. Itu janjiku,” ucap Abizar sambil mencium lembut kening Jovanka.
“Terima kasih, aku mencintaimu,” Ucap Jelita.
“Aku juga mencintaimu sayang, baiklah sekarang kau mandi setelah itu kita tidur.” ucap Abizar
‘Enggak ah, aku malas mandi. Aku hanya ingin langsung tidur saja,” tolak Jovanka merengek.
“Ya sudah, kita tidur kalau begitu.”
Keduanya pun merebahkan tubuh mereka di ranjang sambil berpelukan dengan penuh kehangatan.
***
Jelita berjalan di trotoar jalan menuju rumah sakit, ia tidak memakai motor karena semenjak menikah motor bututnya itu sudah ia simpan di rumah lamanya. Sedangkan ia belum sempat membeli motor baru karena tidak berani menggunakan kartu kredit yang di berikan Jovanka untuknya. setiap kali ia keluar rumah atau mengunjungi ayahnya, ia memakai taksi.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti di hadapannya. Langkah terhenti dan menatap ke arah mobil yang berhenti tadi.
Ketika kaca mobil diturunkan, Jelita melhat Arya tersenyum padanya.
“Jelita, aku ingin bicara denganmu.” ucap pria itu.
“Bicaralah, pak.” sahut Jelita.
“Jangan di sini, masuk dulu ke mobil. biar kita bicara sambil makan.”
“Maaf pak, saya sekarang mau mengunjungi ayahku di dalam. Hari ini jadwal beliau menjalani pengobatannya. Lain kali saja kalau begitu, saya permisi.” Ucap Jelita sambil melanjutkan langkahnya.
Arya dengan cepat mencari tempat parkir dan segera turun dari mobilnya menyusul jelita. Gadis itu terkejut melihat Arya sudah mengiringi langkahnya masuk ke area rumah sakit.
“Loh, kenapa Bapak malah ikut kemari?” tanyanya bingung.
“Aku juga ingin melihat kondisi ayahmu,” ucap Arya dengan senyum yang mengulas di bibirnya.
Jelita tersentuh, baru kali ini ada seseorang yang mau menjenguk ayahnya. Selama ini tidak pernah ada yang peduli dengan ayahnya. Ia dan ayahnya hanya hidup berdua semenjak ibunya meninggal. Kerabatnya tinggal jauh di kampung keran mereka yang merantau di kota dan akhirnya menetap sampai sekarang.
Jelita yang penyendiri membuatnya susah memiliki teman karib untuk berbagi suka atau duka. Sehingga ia hanya bisa melakukan semuanya sendiri. Ia juga menolak jika ada beberapa rekannya yang ingin membantunya.
Suami? Iya, ia memang memiliki suami tapi… sudahlah, lagipula ia tidak menganggap jika dirinya adalah seorang istri dari suaminya itu. ia hanya seorang yang bekerja diatas kontrak pernikahan. Tidak ada yang bisa ia katakana untuk menjelaskan jika pria itu adalah suaminya kecuali hanya menikahinya saja. jangankan menjenguk ayahnya, menanyakan keadaannya ayaghnya pun pria yang sudah menikahinya itu tidak pernsh lagi. mungkin sekarang suaminya itu juga sudah melupakannya.
“Terima kasih,” ucapnya sambil terus berjalan menuju ruangan rawat ayahnya.
“jelita, terus terang aku masih sangat penasaran tentang semua ucapanmu yang menggantung waktu itu. aku ingin membicarakan ini denganmu, aku minta kau luangkan sedikit saja waktumu untuk menjelaskan semuanya padaku.”
Ternyata Arya tidak bisa menahan isi pikirannya lagi, selama sebulan ini ia terus memikirkan kenapa Jelita menolaknya. Padahal ia sendiri sangat yakin jika gadis itu juga menyukainya.
Jelita menghentikan langkahnya, mereka sudah berada tepat di depan pintu ruangan rawat ayah jelita.
Jelita menatap Arya dengan serius. “Baiklah, kita bicarakan setelah pengobatan ayahku,” ucapnya lalu membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.
Senyum bahagia terpancar di wajah Jelita saat dokter mengatakan jika pengobatan ayahnya sudah berakhir.
“Pak Yadi hanya perlu beberapa hari lagi untuk pemulihan. Mungkin sekitar seminggu lagi perawatan, setelah itu beliau sudah bisa pulang. Sekali lagi selamat ya, Pak karena Anda bisa melewati proses yang bisa di katakana cukup menyiksa ini. Pak yadi memang kuat, kalau begitu saya permisi dulu, jangan lupa obatnya di minum sesuai aturan.” Ucap sang dokter sambil mengulurkan tangan kepada jelita and pak Yadi.
“Ah, terima kasih banyak dokter. Ini juga berkat bantuan dokter dan perawat di sini. Kami benar-benar sangat berterima kasih.” Jelita menjabat tangan dokter degan penuh semangat. Sang dokter hanya menganggguk dan tersenyum.
“Iya, sama-sama. Kalau begitu saya pergi dulu.” Dokter pun meninggalkan ruangan.
Jelita memeluk ayahnya dengan penuh rasa haru. Air mata bahagia bercucuran dari pelupuk matanya. Arya yang sejak tadi berdiri di dalam ruangan juga ikut tersenyum bahagia melihat kebahagiaan mereka.
‘Sudah-sudah, kau jangan menangis lagi sayang. kau sudah banyak menghabiskan air matamu. Saatnya kau tersenyum dan jangan pernah lagi mengeluarkan air mata itu untuk ayah lagi, kau mengerti?” Pak Yadi mengelus dengan lembut kepala putrinya. Jelita buru-bru menghapaus air matanya.
“Iya, Ayah. Jelita mengerti. Hanya saja aku tidak bisa menahan air mata ini. Aku benar-benar sangat bahagia.” Ungkap jelita.
“Iya, makanya ini semua karena pertolongan suamimu. Tapi ngomong-ngomong kamu tidak datang bersamanya? Dan ini siapa?”
Jelita tersentak, ia lupa jika Arya juga datang bersamanya. Dan mendengar ucapan ayah Jelita, Arya terlihat terkejut.