Jelita duduk berhadapan di kantin rumah sakit, sesuai janji ia menyempatkan waktu untuk berbicara dengan Arya perihal ucapan ayahnya tadi.
“Jadi benar, kau sudah menikah.” wajah Arya yang sejak tadi tampak tidak bersemangat terlihat lesu dan sedih. Tampak sekali pria itu menahan kekecewaan mendalam di hatinya.
Jelita hanya mengangguk meresponnya. Arya menghela nafas berat.
“Aku minta maaf kalau selama ini aku mengganggu waktumu, aku benar-benar tidak tahu jika kau sudah menikah dan hidup bahagia. Aku juga turut senang, meskipun pada kenyataannya hatiku patah. Selamat atas pernikahanmu. Aku hanya menyesali keterlambatanku mengungkapkan semua, aku minta maaf sekali lagi karena terkesan sudah mengganggumu Baiklah, karena semuanya sudah jelas, aku pergi ya. Semoga bahagia selalu, Jelita,” ucap Arya tersenyum getir lalu beranjak meninggalkan Jelita yang hanya terdiam di tempatnya.
Hatinya perih sekali melihat kepergian Arya, pria yang selama ini disukai dalam diam telah benar-benar pergi meninggalkannya tanpa bertanya alasan kenapa ia menikah.
Pria itu pergi begitu saja tanpa memastikan apakah dirinya benar-benar bahagia dengan pernikahannya itu. Arya pergi begitu saja tanpa terlebih dahulu menanyakan perasaannya yang sebenarnya.
“Arya, kau memang pria yang sangat kejam.” Air matanya kembali meleleh membasahi pipinya yang merona merah. Ia merasa hatinya kini benar-benar hancur tanpa ada harapan yang tersisa lagi. Satu-satunya pelipur lara adalah kondisi sang ayah yang sudah stabil dan sehat.
Ia dengan lesu melangkah menuju ruangan ayahnya.
Sesampainya di dalam ruangan, Jelita melihat Bima sedang berbincang dengan sang Ayah.
“Hai, Bim. Kapan datang?” sapa Jelita tersenyum.
“Baru saja, Kak. Kakak dari mana?” tanya Bima.
“Tadi habis ngobrol sama teman di depan. Loh kamu bawa apa ini banyak sekali?” Jelita membuka isi paper bag yang di bawa Bima. Pemuda itu hanya menatap Jelita dengan dalam.
“Ehhmm…” Pak Yadi berdehem, ia tahu Bima menyukai putrinya, tapi ia sendiri tidak pernah merespon apa pun.
Bima tersentak, ia tersenyum malu melihat tatapan pak Yadi ke arahnya. Jelita yang masih sibuk membuka isi dari bawaan Bima sama sekali tidak mengetahui kode rahasia diantara keduanya.
“Terim kasih banyak loh makanannya, Bim. Dari mana kau tahu aku suka roti ini? padahal ayah yang sakit tapi Kenapa kau bawa makanan kesukaanku semua?” celoteh Jelita sambil mengunyah salah satu makanan yang di bawa Bima.
“Kan makanan Bapak sudah di siapkan dari rumah sakit, lagipula bapak kan tidak boleh sembarangan makan makanan luar. Jadi aku bawa untuk kakak saja, tapi kalau aku liat kaka suka makanan itu, meski protes terus,” komentar Bima.
“Ha..ha..ha.. ya..ya, aku suka, aku suka. Terima kasih sudah repot-repot ya,” ucap Jelita sambil terus mengunyah makanan.
“Aku sama sekali tidak repot kok, kak. Aku malah senang sekali melihat kaka Jelita menyukai makanan yang aku bawa. Kalau aku ke mari lagi aku akan bawakan yang lebih banyak.”
“Eh jangan, tidak perlu repot-repot begitu. Tidak boleh mengeluarkan uangmu untuk hal seperti ini. Kau kan masih kuliah, sebaiknya gunakan uangmu dengan baik. Kau sudah cukup membawa semua ini, terima kasih, lagi pula ayah sebentar lagi akan pulang ke rumah.”
Raut wajah Bima terlihat sedih, tapi dia berusaha untuk tersenyum. Pak Yadi yang dari tadi menatap tingkah pemuda itu hanya bisa bernafas panjang.
“Jelita, Kau sudah lama di sini, Nak. apa suamimu tidak mencarimu nanti?” ucap pak Yadi mengingatkan.
Jelita yang masih mengunyah makanan langsung terdiam, dia meraih air mineral dan langsung meminumnya.
“Tidak kok, Ayah. Dia sangat sibuk dengan urusannya. Lagipula dia juga tahu kalau aku menemani Ayah di sini. Tidak perlu dipikirkan. Sebaiknya Ayah istirahat supaya cepat pulih dan pulang ke rumah.” Ucap jelita sambil menyelimuti ayahnya.
Pak Yadi hanya mengangguk kemudian memejamkan mata. Jelita kembali terdiam lama, Bima yang sejak tadi melihat perubahan sikap Jelita saat menyinggung tentang suaminya menatap dengan tatapan penuh tanya.
“Kak, sepertinya Pak Yadi sudah tertidur, ayo kita cari udara segar, sebentar,” Ajaknya.
Jelita mengangkat wajahnya dan tersenyum ke arah Bima.
“Oke ayo,” sahut Jelita sambil beranjak dari tempatnya dan melangkah keluar mengikuti Bima.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di sebuah taman di sekitar rumah sakit. Pepohonan yang rimbun dengan udara sejuk membuat Jelita merasa sangat nyaman dan tenang. Sejenak melupakan kegundahan hatinya mengingat Arya yang sudah meninggalkannya.
“Apa kau mendengarkanku, Kak?”
“Hah?!” Jelita tersentak dari lamunannya. “Maaf, aku tadi tidak dengar. Tadi kau bilang apa?” tanya Jelita karena ia sama sekali tidak mendengar apa pun selain kemelut di pikirannya.
“Hmm, sepertinya Kak Jelita memang banyak pikiran. Aku tadi bertanya apakah kakak dengan suami kakak baik-baik saja?” sahut Bima.
“Oh, iya kami baik. Gak ada masalah. Emang kenapa kau nanya begitu?”
“Aku hanya merasa, senyum yang selalu terlihat selama ini, entah hilang ke mana. Aku tidak pernah melihatnya lagi semenjak kakak memutuskan untuk menikah, kakak juga sering melamun.” Bima mengungkapkan pikirannya.
“Ah, itu cuma perasaanmu saja. Udah ah, dari pada ngomongin masalah itu, aku mau dengar tentang dirimu. Aku tidak pernah dengar kau bercerita tentang perempuan yang kau suka. Kau sudah punya pacar kan? Wajahmu itu cukup tampan, pasti sangat banyak perempuan yang naksir. Tapi kalau aku boleh kasi saran sih, utamakan dulu kuliah hingga selesai dan bekerjalah dengan sungguh-sungguh hingga sukses. Jika sudah mencapai kesuksesan, kau hanya tinggal menunjuk saja, perempuan mana yang kau inginkan. Mereka pasti tidak akan menolakmu,” Jelas Jelita dengan senyum mengembang.
Bima menghentikan langkahnya mendengar itu, pemuda itu menatap Jelita dengan sangat dalam.
“Apa itu benar, Kak? apakah perempuan yang aku sukai juga akan menyukaiku jika sukses nanti?” tanyanya.
“Tentu saja, kenapa tidak. Seorang pria sukses bisa melakukan apa saja dengan kekuasaan atau uangnya. Dan perempuan menyukai uang yang banyak. Aku kasi saran lagi ya, carilah perempuan yang tulus mencintaimu, bukan hanya menyukai uangmu saja.”
Bima mengangguk pelan, tatapannya masih tertuju pada Jelita.
“Iya, Kak. Aku berjanji akan mengingat semua ucapan kakak hari ini. Aku akan berusaha menjadi sukses untuk membuktikan kepada ka… maksudku perempuan itu nanti jika aku juga pasti bisa membuatnya bahagia dengan kemampuanku,” ucapnya dengan penuh keyakinan.
“Nah begitu dong, yang semangat belajarnya. Aku doakan kau sukses,” ucap jelita sambil mengajak rambut Bima, walau Jelita harus berusaha berjinjit karena tubuh tinggi Bima.
Mendapat perlakuan itu, wajah Bima merona. Ia berjalan mendahului Jelita untuk menyembunyikan wajahnya.
“Hei tunggu aku dong, Bim…!” seru Jelita sambil mengejar Bima yang sudah jauh mendahuluinya.
“Udah Kak, jangan kejar aku!” teriak Bima sambil berlari kecil menghindari Jelita tapi Jelita bisa menyusulnya.
“Hei, siapa yang tadi mengajakku jalan-jalan, hah? kenapa kau sekarang melarikan diri? Atau kau malu, aku acak rambutmu seperti tadi, ya?” goda Jelita, wajah Bima pun semakin merona.
“Nah kan…kan? Ih, kau malu ya. adikku ini sudah besar rupanya Pakai malu segala di acak rambutnya.”
“Ih, enggak , siapa yang malu. Kakak jangan ngaco, ya,” Bima mengelak. “Ah bilang aja kalau kau malu-malu,”
Mereka terus bercengkrama dan tertawa riang, mereka tidak menyadari jika seorang sejak tadi memperhatikan tingkah mereka dengan tatapan tajam.
“Jelita..!”
Keduanya terkejut, menoleh kearah sumber suara.
“Ah, Pak Abizar? Kanapa Bapak ke sini?” Jelita sangat terkejut dengan kedatangan suaminya, tapi ia berusaha bersikap normal untuk membuktikan kepada Bima kalau ia baik-baik saja.
Bima yang sudah mengetahui siapa Abizar, menatap pria itu dari ujung kaki sampai ujung kepala, begitu juga dengan Abizar, mereka berdua terlihat saling mengamati satu sama lain. Ada aura persaingan yang sangat terasa.
“Dia siapa, Jelita?” tanya Abizar penuh selidik, ia tidak terlalu menyukainya yang terlihat sangat akrab dengan Jelita. Sedangkan Bima merasakan tatapan pria itu semakin menusuk.
“Oh, perkenalkan ini Bima, tetangga saya dulu. Bima ini Pak Abizar Pak Abizar, kau sudah tahu kan?” ucap Jelita memperkenalkan keduanya.
“Oh, selamat siang , pak. perkenalkan saya tetangga akrabnya Kak jelita. Bisa di bilang kami berteman dan sangat dekat,” ucap Bima. Mendengar itu, Jelita hanya menatap bingung Bima karena tiba-tiba bersikap aneh.
“Yah, aku bisa melihatnya. Kalian memang sangat akrab. Tapi itu tidak penting,” ucap Abizar dingin.
Ia kemudian menoleh ke arah Jelita yang terlihat gelisah.
“Aku datang kemari untuk menjenguk ayah,” ucap Abizar dengan tatapan seriusnya.
Baik Jelita ataupun Bima menatap Abizar dengan tatapan heran. Tentu saja dengan pikiran yang berbeda.
Bima seketika tidak menyukai Abizar yang menyebut ayah jelita hanya dengan sebutan ayah, ia berfirasat jika Abizar sudah mulai menyukai jelita dan berusaha untuk menarik perhatian Jelita di hadapannya.
Sedangkan Jelita bingung kenapa Abizar tiba-tiba jadi begitu perhatiannya kepada ayahnya. ingin membongkar rahasianya sendiri di depan Bima.