Perdebatan

1235 Kata
Sementara itu di kediaman Abizar. Abizar syok bukan main mendengar ucapan istrinya. Ia sangat paham dengan keinginan istrinya untuk memiliki anak, tapi memintanya untuk menikah lagi demi mendapatkan apa yang ia inginkan itu sudah keterlaluan. “Apa yang baru saja kau katakan itu Jovanka? Apa kau sadar dengan ucapanmu?!” tanyanya dengan perasaan terluka. Mata Abizar bahkan berkaca-kaca. Sungguh ia tidak mengira akan mendengar ucapan tidak masuk akal dari istrinya itu. “Aku sudah memikirkannya baik-baik. Aku ingin memiliki anak, aku tidak tahan hanya hidup hanya berdua seperti ini. Aku juga ingin seperti orang-orang yang terlihat sangat bahagia memiliki anak yang lucu. Aku ingin menjadi ibu dari anakmu Abizar. Tolong, aku hanya meminta ini saja. Aku mohon penuhilah permintaanku,” pinta Jovanka penuh harap. Ia terlihat begitu bersungguh-sungguh. “Memikirkan baik-baik apanya yang kau maksudkan? Kau tidak sadar apa yang sudah kau lakukan ini?! kau bahkan menghancurkan semua yang ada di hadapanmu dan bertingkah impulsif. Bukankah hal ini sudah kita bicarakan sebelumnya dan kau sudah setuju? Kita akan memiliki anak tanpa adanya permintaan anehmu itu,” jelas Abizar mencoba memberi istrinya pengertian. “Aku tidak mau anak dari orang lain. Aku hanya ingin keturunanmu. Titik!” tuntut Jovanka keras kepala. “Apa kau sudah tidak waras? Kau menginginkan anak dengan syarat anak itu harus darah dagingku? Kau sudah tahu kan kondisi kita seperti apa? Jova, cobalah untuk lebih berpikir terbuka, kita bisa memiliki anak, kalau memang alasanmu karena khawatir anak adopsi kita bukan dari keturunan yabg baik, aku bisa mencari kemana pun untuk mendapatkan anak yang sesuai dengan kriteriamu. Kita bisa melakukannya sayang. Aku mohon kau lupakan saja permintaanmu itu ya. Kita bi…” “Tidak! Yang aku inginkan hanya anak darimu saja, bukan yang berasal dari orang lain. Aku tidak suka orang lain berada dalam rumahku. Jadi, jika kau memang ingin membuktikan cintamu itu kepadaku, maka menikahlah dan beri aku anak,” putus Jovanka. Abizar terkesiap mendengar pernyataan tegas dari istrinya. Hatinya benar-benar hancur mendengar ucapan tidak masuk akal Jovanka. “Kau benar-benar sudah tidak waras, Jovanka. Tega-teganya kau memintaku untuk menikah lagi seakan perasaanku padamu tidak ada artinya. Kalau begitu teruslah bermimpi, karena sampai kapanpun hal itu tidak akan terjadi!” ucap Abizar lalu meninggalkan kamar. “Abizar...tunggu…!” Jovanka tidak bisa mencegah suaminya untuk pergi. Abizar sudah menjauh dan meninggalkan rumah dengan mobil yang melaju. “Aaahhhggrr….!!!” erang Jovanka penuh emosi lalu kembali menghancurkan apa pun di hadapannya. *** Abizar terus melajukan kendaraannya, pikirannya kalut, perasaannya resah dan tidak tenang. Kecewa, marah, sedih menjadi satu. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya. Bisa-bisanya ia tiba-tiba memiliki pikiran aneh seperti itu. Abizar memukul-mukul setir dengan penuh emosi dan terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rasanya ia lebih baik tiada saja daripada harus mendengar ucapan tidak masuk akal itu lagi dari mulut Jovanka. Abizar tidak menyangka kebahagiaan yang awalanya akan ia bagi bersama Jovanka berubah menjadi malapetaka yang mulai menggerogoti ketenangan hatinya. Setelah beberapa lama, perasaan Abizar bisa kembali tenang. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah dan membicarakan masalah ini bersama istrinya dengan kepala dingin. Tadinya ia hanya syok mendengar permintaan gila Jovanka. Akan tetapi, setelah agak tenang, ia akhirnya memutuskan harus kembali dan mencari jalan keluar yang terbaik. Ia harus lebih berusaha lagi membujuk sang istri untuk merubah pikirannya. Namun, saat ia hendak berbelok, ia seperti melihat seseorang yang tidak asing berdiri kebingungan di pinggir jalan. Abizar mendekat dan ternyata benar, orang itu adalah salah satu karyawannya di kantor. “Hei,apa yang kau lakukan di sini malam-malam?” tegurnya dari dalam mobil. Jelita tersentak mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Ia menoleh. “Ah! Pak A..Abizar?!” ucapnya tergagap. “Kau kenapa berdiri di situ? Tanya Abizar. “Saya menunggu taksi, Pak,” jawab Jelita. “Ayo cepat naik!” perintahnya lalu membuka pintu mobil. Tanpa banyak bicara, Jelita masuk dan duduk di samping Abizar. Setelah itu mobil pun melaju. Di dalam mobil, Jelita hanya terdiam begitu juga dengan Abizar. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Tapi setelah beberapa lama, Abizar akhirnya membuka suara. “Kau mau ke mana? Kenapa tadi kau berdiri sendirian di pinggir jalan?” Jelita mengangkat kepalnya dan menatap Abizar. “Tadi diturunkan oleh seseorang karena tidak jadi mengantar saya ke tempat tujuan, Pak,” jawab Jelita jujur. “Loh, kenapa bisa begitu? memangnya kau mau ke mana? pulang ke rumah selarut ini? Bukannya jam pulang kantor tidak selarut ini? “Saya juga bekerja paruh waktu di tempat lain, Pak dan baru pulang. Saya ingin ke rumah sakit.” Anizar terdiam, ternyata karyawannya ini seorang pekerja keras. Gadis muda sepertinya sudah mengemban tanggung jawab yang besar. Pikirnya. “Siapa yang sakit?” “Ayah saya, Pak.” Jelita kembali tertunduk. “Memangnya ayahmu sakit apa?” tanya Abizar. “Kangker otak stadium akhir, Pak.” Mendengar itu Abizar terkejut. Ia menoleh ke arah gadis yang sedang tertunduk sedih yang ada disampingnya itu. “Jadi bagaimana keadaannya ayahmu sekarang?” tanya Abizar. “Ayah akan mulai menjalani kemoterapi minggu depan,” jawab Jelita, air bening dari matanya tiba-tiba jatuh begitu saja. Abizar menjadi prihatin. “Kenapa penanganannya terlambat begitu? seharusnya di awal-awal penyakitnya terdeteksi, kau langsung membawanya ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan.” “Saya juga tahunya baru-baru ini saja, Pak. Ayahku tidak pernah mengeluh sebelumnya tentang penyakitnya itu. Baru setelah ayah tiba-tiba mengeluh sakit kepala dan pingsan, dokter mendiagnosa penyakitnya,” terang Jelita sambil menghapus air matanya. Mobil masuk ke area parkiran rumah sakit. Setelah mobil berhenti, Jelita mengucapkan terima kasih lalu turun dari mobil. Berjalan tergesa menuju ruangan tempat ayahnya di rawat. Sedangkan Abizar hanya menatap Jelita dengan perasaan yang sedih. Ia hanya bisa menghela nafas panjang. Ia kembali teringat permintaan Jovanka, pikirannya kembali kacau. Ia menyalakan mesin mobilnya lalu meninggalkan tempat itu. Jelita membuka pintu ruangan rawat inap sang ayah. Terlihat seorang pria bertubuh sangat kurus terbaring lemah di atas brankar. Selang infus dan oksigen terpasang di tubuhnya. Jelita berjalan perlahan menghampiri ayahnya. Menggenggam tangan tua yang sudah keriput itu lalu menciumnya. Merasa keberadaan seseorang, sang ayah membuka mata. “Kau sudah datang, Nak?” sapanya dengan suara lemah. Jelita mengangguk dan tersenyum. “Bagiamana kabar ayah hari ini?” tanya Jelita sembari menahan air matanya. Hatinya sangat sedih setiap kali melihat kondisi ayahnya yang lemah tidak berdaya itu. Jika mengingat bagaimana perjuangan ayahnya untuk menghidupinya, menyekolahkannya sampai menjadi sarjana dan bisa bekerja. Hatinya menjadi sangat hancur karena ayah yang begitu ia sayangi harus menyerah dengan kondisinya sekarang, bahkan saat Jelita belum bisa memberinya apa-apa. “Kau kenapa menangis? Ayah sudah baik-baik saja,” tegur sang ayah, Jelita buru-buru menghapus air matanya yang terjatuh. “Aku tidak apa-apa. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Ayah istirahat saja ya, jangan banyak pikiran. Aku tidak mau kalau kondisi ayah jadi drop dan pengobatannya di batalkan,” sahutnya sambil membenarkan selimut ayahnya. “Jelita,” “Iya Ayah,” “Ayah ingin sekali melihatmu menikah sebelum ayah pergi dari dunia ini.” Gerakan Jelita terhenti. Ia menatap ayahnya. “Kenapa Ayah berbicara seperti itu? Ayah tidak akan ke mana-mana. Ayah pasti akan sembuh dan terus menemaniku. Aku akan melakukan apa pun demi kesembuhan ayah,” ucapnya sambil menggenggam erat tangan ayahnya. “Ini hanya pengandaian saja, Nak. Bukannya Ayah putus asa dengan keadaan ayah sekarang. Tapi, jika seandainya hal itu terjadi, Ayah ingin di saat Ayah pergi nanti, kepergian itu tidak menyisakan rasa cemas. Jika kau sudah menikah, ayah akan pergi dengan tenang dan damai meninggalkanmu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN