Abizar dengan cepat menghampiri istrinya.
“Jova..?! Kau kenapa sayang? kenapa bisa terjadi seperti ini lagi?” Tanyanya dengan penuh kecemasan. Tapi sang istri tidak menjawab. Jovanka hanya terdiam dengan air mata yang terus mengalir.
Abizar mengangkat tubuh istrinya ke atas tempat tidur dan merebahkannya, Jovanka mengubah posisi tubuhnya memunggungi Abizar.
“Jika ada yang mengganggu pikiranmu, tolong ceritakan itu padaku sayang. Kau jangan memendamnya sendirian. Kau tahu kan kalau aku tidak bisa melihatmu seperti ini.” Abi mengelus lengan istrinya dengan lembut. Jova masih terdiam, terlihat wanita itu memejamkan mata sehingga air yang tergenang di pelupuk matanya mengalir keluar membasahi pipinya yang memerah.
Flashback on
Jovanka duduk dengan kepala tertunduk, di hadapannya seorang wanita tua yang menatapnya dengan dalam. Ia memang seorang wanita yang sudah berumur, tetapi penampilannya yang bersahaja dengan raut wajah serius dan dingin cukup membuat kita paham jika ia bukanlah seorang wanita tua sembarangan.
“Aku sudah memberimu cukup banyak waktu, tapi sepertinya kau belum bisa memenuhi janji yang menjadi syarat untuk menjadi cucu menantuku waktu itu. Sampai sekarang setelah 5 tahun, kau belum bisa memenuhinya.” Suaranya yang tenang tapi seperti petir yang menghantam pendengaran Jova membuat wanita itu hanya bisa menelan ludah keringnya.
Jova memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya.
“Tolong berikan waktu untuk saya lagi, Nek. Saya berjanji akan memenuhi syarat itu,” ucapnya tegang.
“Hah…! terakhir kali kau berjanji seperti itu padaku 5 bulan lalu, kau ingat? Setidaknya untuk saat ini Abizar masih mempercayai jika kau adalah wanita yang selama ini dia cintai,” sindir sang nenek.
Jovanka tersentak. “Saya mohon, Nek. Jangan katakana apa pun. Saya sudah sangat mencintai Abizar dan dia juga demikian. Jangan pisahkan kami dengan cerita lama itu, saya mohon…” Jovanka bersimpuh di hadapan nenek.
“Kalau begitu, segera penuhi janjimu itu! setahun, aku akan memberimu kamu waktu satu tahun dan ini adalah yang terakhir. Kau penuhi janjimu atau akan segera kehilangan Abizar untuk selama-lamanya.” wanita itu beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Jovanka yang masih duduk mematung.
Flashback off
“Jova,” lirih Abi sambil mengelus lembut lengan istrinya.
Jovanka membuka mata, membalikkan tubuhnya hingga mereka saling berhadapan, mata sembabnya menatap dalam ke arah mata coklat terang suaminya yang juga menatapnya dengan serius.
“Apa kau mencintaiku, Abi?” tanya Jova tiba-tiba. Kening Abizar berkerut, merasa bingung dengan pertanyaan istrinya.
“Pertanyaan macam apa itu Jova, tentu saja aku mencintaimu sayang. Kenapa mempertanyakan hal yang kau sudah tahu pasti jawabannya?”
“Kalau begitu menikahlah lagi dan berikan aku anak dari darah dagingmu!”
***
Jelita seperti biasa selepas dari kantor, gadis cantik itu tidak langsung pulang ke rumah. Ia terlihat memasuki sebuah supermarket. Dengan langkah pasti ia langsung masuk ke dalam ruang ganti. Tidak lama kemudian, ia sudah terlihat rapi dan berbaur dengan beberapa karyawan lain yang memakai seragam yang sama dengannya.
“Hai, hari ini kau terlambat 10 menit, ya.” Seorang wanita paruh baya menyapanya, ia merupakan manajer tempat itu.
“Maaf Bu, tadi ada kesibukan di kantor. Ibu bisa masukkan itu ke daftar list harian. Tapi aku janji, besok-besok tidak akan terlambat lagi,” sahut Jelita memberi alasan.
“Untuk hari ini saja, aku maafkan. Lagi pula, kau baru kali ini datang terlambat, kan? Ya sudah, lanjut kerja sana,” ucap sang manejer menepuk lembut bahu Jelita lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Jelita hanya mengangguk dan mulai bekerja sebagai kasir di supermarket itu.
Jelita melayani semua pelanggan dengan sabar dan penuh senyum, ia terlihat penuh semangat dan tekun. Akan tetapi hanya ia yang tahu, dibalik senyum indah di bibirnya itu, tersimpan getir kehidupan yang selama ini ia sembunyikan.
Ponselnya tiba-tiba berdering. “Oh, Dari suster Kinan,” gumannya lalu menjawab panggilan.
“Halo, Suster Kinan” sapanya dengan perasaan tidak menentu. Entah masalah apa lagi kali ini, semoga saja bukan masalah tagihan biaya yang belum ia lunasi.
“Jelita, saya cuma mau mengingatkan kalau jadwal kemoterapi ayahmu akan di majukan dari jadwal sebelumnya. Jadi kau harus siapkan semua biayanya, ya,” ucap suster itu memberi informasi.
“Oh begitu ya sus, apakah biayanya bisa saya angsur? Setidaknya sampai akhir bulan ini,” pinta Jelita penuh harap. Ia sangat senang karena akhirnya kondisi tubuh ayahnya sudah siap untuk menerima kemoterapi, namun hatinya resah karena untuk mendapatkan semua itu ia harus mengumpulkan uang sebanyak 20 juta untuk sekali pengobatan.
Kemoterapi ayahnya sudah terjadwal sebanyak 9 kali tindakan. Sehingga jika ditotal uang yang harus ia kumpulnya tidak sedikit. Di mana ia harus mendapatkan uang itu?
Jelita hidup hanya bersama ayahnya yang kini sedang di rawat di rumah sakit karena penyakit kangker otak yang sang ayah derita. Jelita sedang berjuang mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan yang tidak sedikit. Semua harta peninggalan orang tuanya sudah habis untuk pengobatan sang ayah, dan kini Jelita harus terus berusaha agar sang ayah bisa sembuh.
“Soal itu, silakan tanya langsung kepada dokter Rendra. Saya hanya menyampaikan saja,” jawab suster Kinan.
“Baik suster, terima kasih.” Jelita menghela nafas dalam. Ia harus menghubungi dokter Rendra dan meminta keringanan. Jelita benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan jika dokter itu tidak bisa membantu.
“Hei, bengong aja. Mikirin apa sih?” tepukan ringan di bahunya membuat Jelita sedikit kaget.
“Ah, kamu. Kaget tahu!” protesnya sambil membalas menepuk bahu perempuan di sampingnya itu.
“Lagian, kamu dipanggil-panggil dari tadi gak nyahut. Malah ngelamun kayak pungguk merindukan bulan,” celoteh rekannya.
“Ih mana ada pungguk secantik aku,” balas Jelita berkelakar. Senyumnya seketika terbit.
“Iya juga sih, kamu kan karyawan tercantik di sini. Tidak heran Pak Arya naksir kamu,” Celetuk rekannya lagi membuat Jelita melotot.
“Huss, jangan ngomong sembarangan dong, kalau di dengar orang kan gak enak. Lagian mana ada direktur suka sama karyawan sendiri,” tegur Jelita.
“Iya beneran ini, aku dapat kabar ter-update dan terpercaya. Makanya aku ke sini mau menyampaikan ini ke kamu supaya kalau pak direktur manggil kamu ke ruangannya, jawabanmu sudah siap.”
“Kamu makin ngelantur aja, uda ah. Kembali kerja sana, tuh ada pelanggan yang mau bayar!” Jelita mendorong rekannya itu menjauh. Ia masih sempat melihat rekannya itu memberinya isyarat yang entah apa itu kepada Jelita, gadis itu hanya menggeleng.
Tepat jam sepuluh malam, Jelita keluar dari swalayan tempat ia bekerja. Akhirnya kegiatannya untuk hari ini berakhir juga. Ia langsung menyalakan mesin motor matik tuanya, tapi entah kenapa kali ini kendaraan yang sudah menemaninya selama 3 tahun itu mesinnya tidak mau hidup padahal ia haru segera menjenguk ayahnya di rumah sakit.
Beberapa kali ia mencoba menghidupkan mesin motornya tapi, tetap saja tidak berhasil. Jelita sudah hampir menangis, kenapa disaat seperti ini motornya malah mogok? Kalau seperti ini berarti ia harus mengeluarkan ongkos lagi buat servis dan biaya ojek. Padahal uangnya ia harus tabung untuk biaya pengobatan ayahnya.
“Hufft…!” Jelita menghembuskan nafasnya kasar. Hidupnya memang selalu saja sulit.
“Eh, motornya kenapa?” suara lembut yang tiba-tiba terdengar mengejutkannya. Jelita menoleh dan melihat seorang pria menghampirinya.
“Ah, Pak Arya. Ini, motor saya tiba-tiba tidak bisa nyala,” keluhnya.
“Oh begitu, bagiamana kalau saya antar kamu saja. Motormu simpan di sini saja dulu. Besok saya suruh orang untuk mengeceknya.” Pria itu menawarkan.
“Ah, tidak perlu repot-repot, Pak. saya bisa memesan ojek saja,” tolak Jelita dengan sopan. Ia sedikit terkejut mendapatkan tawaran itu dari pemilik swalayan tempat ia bekerja itu. Tiba-tiba ia teringat ucapan temannya tadi.
“Tidak perlu sungkan Jelita, kamu kan karyawan saya. Jadi sudah seharusnya saya membantu. Lagipula, kalau nanti kau datang telat bekerja gara-gara motormu mogok kan, aku sendiri yang rugi.” Pria itu berkelakar, Jelita hanya tersenyum sambil menunduk.
Ternyata itu alasannya, padahal ia sudah salah sangka duluan. Dasar si Tere, tukang gosip! Kesalnya dalam hati.
“Ayo, jangan malu-malu. Naiklah.”
“Baik Pak, kalau begitu,” Jelita tidak punya pilihan lain, ia akhirnya masuk ke mobil pria itu. Mobil pun melaju membelah malam.
“Kamu mau di antar ke mana? Kalau di pikir-pikir, sudah 5 bulan kau bekerja tapi saya belum tau alamat rumahmu, ya?” ucap pria itu sembari melirik Jelita yang sejak tadi hanya terdiam.
“Saya mau ke rumah sakit saja, Pak,” jawab Jelita singkat. Pikirannya kembali resah karena memikirkan kondisi sang ayah yang akan segera di kemoterapi.
“Ring…ringgg…!!” tiba-tiba suara ponsel terdengar.
“Maaf, sebentar ya. Saya angkat telepon dulu,” ucap Pria itu.
Setelah beberapa lama, pria itu mematikan sambungan teleponnya.
“Jelita maaf, sepertinya saya tidak bisa mengantarmu sampai ke tempat tujuan. Tiba-tiba saya ada urusan penting. Saya pesankan taksi saja, ya?” ucap pria itu merasa bersalah.
“Oh tidak usah, Pak. Saya malah akan tambah merepotkan Bapak jadinya. Biar saya turun di sini saja, Bapak silakan lanjut saja. Kalau pesan taksi biar saya saja, kan Bapak buru-buru,” tolak Jelita.
“Aduh, maaf sekali ya. Kamu terpaksa harus turun di tengah jalan begini,” Sesal pria itu. Ia pun menepikan mobilnya dan berhenti.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya turun kalau begitu. Silakan lanjut saja, sampai jumpa,” ucap Jelita.
“Ah, ambil ini. Ongkos taksimu.” Pria itu menyodorkan uang ratusan ke arah Jelita. Tapi lagi-lagi gadis itu menolak.
“Tidak perlu, Pak. Saya ada uang kok. Bapak sebaiknya cepat, dada..!” ucapnya lalu melambaikan tangannya.
“Ya, sudah. Saya pergi ya. hati-hati..!” seru pria itu lalu meninggalkan tempat itu.
“Ah… aku harus bagaimana sekarang. Kenapa juga aku harus jaim nolak uang pak Arya tadi? Harusnya kan aku ambil aja buat ongkos ojek.” Jelita menggerutu sendiri sambil menoleh kanan kiri mencari keberadaan ojek di sekitar.
Karena hari sudah semakin larut, ojek yang di tunggu tidak muncul juga. terpaksa ia berjalan kaki menuju pangkalan ojek yang yang berada di ujung jalan.
Akan tetapi baru saja ia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba suara seseorang terdengar dari belakang.