Jelita memeluk ayahnya, ada perih yang menusuk hatinya mendengar ucapan sang ayah.
“Ayah tidak bisa bicara seperti itu, bukankah sudah kukatakan kalau aku akan baik-baik saja? yang perlu ayah lakukan hanya beristirahat dan jangan memikirkan hal-hal yang tidak penting. Ayah akan sembuh seperti sedia kala dan hidup lama bersamaku. Aku akan bekerja keras dan memberikan apa yang ayah inginkan.” Jelita mengangkat wajahnya dan menatap wajah pucat pria yang telah membesarkannya itu.
“Hanya ayah satu-satunya alasan aku bertahan hidup, jika ayah pergi aku juga akan meninggalkan semuanya dan menyusul ayah,” imbuhnya.
“Apa yang kau katakana itu? jangan berbuat bodoh, Nak. Kalau kau seperti itu mana bisa ayah pergi dengan tenang,” tegur sang ayah sambil menutup mulut jelita dengan tangannya yang lemah itu.
“Kalau begitu ayah juga tidak boleh berkata yang tidak-tidak. Ayah akan sembuh, itu yang harus Ayah ucapkan setiap hari untukku. Ayah mau berjanji kan?” pinta Jelita penuh harap.
“Baiklah, Ayah berjanji,” jawab sang ayah sambil tersenyum, lagi pula ia tidak punya pilihan lain untuk membujuk anaknya untuk menikah.
Jelita kembali memeluk ayahnya dan berkata, “Jelita sangat menyayangi Ayah.”
***
Sementara itu di kediaman Abizar, Jovanka terlihat duduk termenung di balkon kamarnya. Menatap hamparan taman hijau yang luas di pekarangan rumahnya. Ia memejamkan mata lalu sekelebat bayangan seorang anak yang selama ini terus saja mengganggu pikirannya terlintas.
Jovanka membuka mata dengan degup jantung yang bergemuruh. Semakin lama ia membayangkan bocah itu semakin berkecamuk perasaanya.
“Maafkan ibu, Nak. Maafkan…” ucapnya dengan suara bergetar.
Jovanka buru-buru menghapus air matanya. Ia tidak boleh mengingat apapun tentang anak itu.
Yang harus ia pikirkan sekarang adalah bagaimana memiliki seorang anak. Keberadaan seorang anak adalah keinginan terbesarnya sekarang. Ia harus mendapatkan anak secepatnya jika tidak ingin semua yang ia usahakan selama ini hilang.
Namun, anak yang ia inginkan bukan berasal dari orang lain. Ia bahkan tidak suka jika ada anak orang lain berada disekitarnya. Ia hanya menginginkan anak kandung dari suaminya bukan dari hasil adopsi atau semacamnya.
Akan tetapi, Jovanka tidak berhasil meyakinkan suaminya untuk menikah lagi. Apa yang ia harus lakukan? Jovanka menghela nafas panjang.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Abi muncul dari balik pintu. Jova beranjak menghampiri sang suami dan langsung memeluknya.
“Sayang, apa kau sudah makan? Aku sudah masak makanan kesukaanmu. Yuk, makan,” ajaknya. Jova melepas jas yang dipakai Abizar lalu menarik tangan suaminya keluar kamar. Abizar ikut saja tanpa berkata apa-apa. Ia tahu istrinya berusaha membuat suasana kembali hangat setelah ketegangan mereka.
Benar saja, di meja makan sudah tersedia beberapa menu makanan kesukaan Abizar. Selain cantik, istrinya ini pawai memasak. Tidak heran jika Abizar tidak bisa betah lama-lama di luar.
Jovanka selalu memberinya semua kenikmatan dan kepuasan yang ia butuhkan. Sehingga ia tidak pernah sekalipun mengeluh dengan kebersamaan mereka. Abizar tidak pernah merasa kurang sedikitpun.
“Mau makan apa dulu sayang?” Jovanka menawarkan saat Abizar hanya menatap makanan itu tanpa bersuara.
“Terong balado dan ayam filet krispinya.” Akhirnya Abizar membuka mulut.
Jovanka tersenyum lalu menyajikan apa yang Abizar mau. Mereka pun makan dengan lahap, Jovanka sesekali melirik Abizar yang tengah menikmati makanannya tanpa bersuara sedikitpun.
Sebenarnya ia ingin sekali memulai pembicaraan yang sempat tidak berjalan dengan lancar, tetapi melihat suaminya makan dengan lahap, Jova mengurungkan niatnya.
“Sayang,” Jova memulai pembicaraan setelah melihat Abizar duduk santai di depan televisi.
“Jovanka, kita perlu membicarakan hal ini dengan serius.” Jovanka hanya menatap suaminya tanpa kedip. Ternyata suaminya ini juga memikirkan hal yang sama, baguslah. Berarti dia bisa lebih terbuka dan memberikan alasan yang meyakinkan.
“Iya, aku juga ingin membicarakannya sampai kita mendapatkan jalan keluar yang lebih baik. Terserah apa pun caramu, tapi yang aku mau hanya anak dari darah dagingmu sendiri.”
Ucapan yang sudah Abizar persiapkan seakan hilang tertelan perkataan sang istri. Sungguh keinginan keras kepala Jovanka membuat Abizar sudah tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan.
“Jova, kalau seperti itu sampai kapanpun kita tidak akan bisa menemukan jalan keluar. Apa kau tahu keinginanmu itu sangat egois? Kau bukan hanya akan menghancurkan keluarga harmonis kita, tapi juga imej yang selama ini kita sandang akan hilang dan digantikan dengan cemooh dan hinaan dari orang-orang.
Bagaimana kau bisa begitu entengnya berpikir aku bisa begitu saja menikah seakan perasaanku tidak ada artinya sama sekali? Kalau kau bisa menuntut pembuktian cinta yang selama ini kau rasakan dariku, aku juga bis melakukan hal yang sama. Apakah kau mau jika aku menyuruhmu untuk menikah dengan laki-laki lain hanya untuk memberikanku keturunan?” Abizar mulai panas hati.
“Kau bilang aku egois? Padahal ini hanya keinginan kecilku, Abi! Aku hanya ingin satu hal yaitu anak dari keturunanmu itu saja, kenapa kau bereaksi seakan hal ini adalah sesuatu yang membuat hidupmu akan hancur?” Jovanka juga mulai mempertahankan keinginannya.
Sebenarnya ia sangat paham apa yang diucapkan suaminya itu tapi keinginannya untuk memiliki anak dari keturunan Abizar membutakan akal logisnya untuk berpikir.
“Iya, hidupku akan hancur dan bukan itu saja, kehidupan bahagia yang selama ini kita rasakan akan sirna, Jovanka. Tolong mengertilah, keinginanmu itu tidak akan ada untungnya untuk kehidupan kita.
Sayang dengarkan aku, selama ini aku sangat bahagia hidup berdua denganmu. Kau begitu sempurna untukku sampai-sampai aku bahkan tidak akan bisa bernafas tanpa menatapmu sehari saja. Aku sangat mencintaimu Jovanka, aku tidak bisa menikah dengan wanita lain lagi. Jika kau terus menerus memintaku melakukannya, hal itu justru akan membuat aku sakit hati karena ini membuktikan jika kau sudah tidak mencintaiku lagi," paparnya dengan perasaan sedih.
“Itu tidak benar, Abizar! Aku sangat mencintaimu, aku juga sangat bahagia hidup bersamamu. Justru yang aku lakukan sekarang ini adalah karena aku tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin memiliki anak. Aku hanya ingin anak, kenapa kau tidak mengerti?!” Jova mempertahankan egonya.
“Aku paham kau menginginkan anak, aku juga menginginkan hal yang sama. Untuk itu kita akan cari, tapi aku mohon jangan memintaku hal aneh itu.”
“Tapi aku menginginkannya Abizar! Aku ingin memiliki anak hanya dari keturunanmu saja, aku sama sekali tidak ada niat untuk adopsi anak dari orang lain. Aku sadar aku tidak akan bisa memiliki keturunan bersamamu dan itu membuatku sedih, jadi aku hanya ingin keturunan darimu saja karena aku tidak ingin anak dari orang lain, tidak mau…!”
“Tapi aku juga tidak ingin menikah lagi Jovanka!” bantah Abizar dengan tegas.
Jovanka menatap Abizar dengan penuh pengharapan, menggenggam tangannya dengan lembut. Ia ingin sekali perdebatan mereka berakhir dengan persetujuan suaminya.
“Sayang dengarkan aku, ini hanya pernikahan kontrak yang sifatnya sementara saja. Kita cari gadis baik-baik yang membutuhkan uang. Kita bayar dia untuk kau nikahi dan mengandung anakmu, setelah anak itu lahir, kau bisa ceraikan dia dan kita akan kembali hidup bahagia seperti sedia kala. Bagaimana, bukankah rencana itu sempurna?”
Mata Abizar berkilat menahan emosi mendengar ide istrinya itu, ia menepis tangan Jovanka dan berdiri dari duduknya.
“Kau benar-benar sudah tidak waras Jovanka!” Abizar beranjak dari tempatnya dan berniat meninggalkan sang istri. Akan tetapi…
“Bruk…!” suara sesuatu jatuh menahan langkahnya. Abizar menoleh dan melihat Jovanka pingsan dengan darah yang bersimbah di tangannya.
"Jovanka...!!!"