Jelita tersentak tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, begitu juga dengan Abizar. Ia tidak menyangka Jovanka akan berbicara seperti itu kepada Jelita.
“Kau bicara apa, Jova?!” tegurnya.
“Iya, mulai sekarang aku yang memutuskan siapa yang akan menjadi karyawanmu atau siapa yang akan di pecat. Aku mau memecat perempuan ini dan itu harus terjadi,” ucap Jovanka dengan nada tajam.
“Tapi kenapa,Bu? Apa salah saya? Kenapa saya di pecat?” Jelita tidak bisa membendung air matanya lagi. apa yang di dengarnya ini adalah mimpi buruk dalam hidupnya.
“Jova! Kamu tidak boleh seenaknya memecat karyawan seperti itu. Lagipula tidak alasan untuk memecatnya. Jelita ini adalah karyawan yang kinerjanya bagus, dan juga sebentar lagi dia akan dipromosikan untuk menjadi karyawan tetap setelah masa percobaannya selesai. Perusahaan tidak punya kewenangan untuk memecat karyawan yang dedikasinya bagus, Jovanka.” Abizar mulai sedikit kesal terhadap tindakan semena-mena istrinya.
“Tapi kau adalah pemilik perusahaan dan memiliki hak mutlak untuk melakukan apa pun termasuk memecat karyawan. Dan aku ini adalah istrimu, yang berkuasa penuh atas apa pun menyangkut denganmu, aku juga tentunya berhak melakukan apa pun semauku termasuk memecat karyawanmu. Kecuali satu hal.” Jovanka menatap jelita dan suaminya bergantian.
“Kecuali apa,Bu? Saya mohon, jangan pecat saya. Saya sangat membutuhkan pekerjaan itu sekarang, ayah saya sakit dan membutuhkan banyak biaya. Saya mohon.” Jelita tiba-tiba tidak bisa menahan diri. Ia bahkan tidak sadar jika sudah memegang tangan Jovanka memohon.
“Kau sudah tahu apa syarat apa yang akan aku ajukan Jelita, kau hanya perlu menyetujuinya dan semua akan baik-baik saja.”
Jelita terdiam mendengar ucapan Jovanka. “A..apakah tidak ada syarat lain lain, Bu. Saya…saya…”
“Aku sangat membutuhkan bantuanmu Jelita. Untuk itu, jika kau butuh bantuan dariku, bukankah seharusnya kau membantuku terlebih dahulu? Kita saling membutuhkan, apa salahnya saling membantu.” Jelita meremas ujung bajunya, merasa sangat tertekan atas ucapan Jovanka.
“Saya…” Air mata Jelita luruh tidak tertahan. Apakah ia harus menyanggupi syarat tidak masuk akal istri dari bosnya ini?
“Jovanka, cukup! Kau sudah sangat keterlaluan. Bukankah kau sendiri yang bilang tidak ingin memaksanya? Tapi apa yang kau lakukan sekarang? Sudahlah, sebaiknya kita pulang saja. Jelita, kau lanjutkan saja pekerjaanmu, aku tidak akan memecatmu, jangan khawatir,” ucap Abizar ar sambil menarik tangan istrinya keluar ruangan.
“Tidak! gadis ini tidak akan datang lagi ke kantormu jika syarat itu tidak dipenuhi. Coba saja kalau kau berani menginjakkan kakimu di kantor suamiku. Kau akan tahu akibatnya.” Ancam Jovanka lalu mengikuti langkah panjang suaminya.
“Saya bersedia, Bu!” seru Jelita pada akhirnya. Ia sudah pasrah , tidak peduli meski pada akhirnya keputusannya ini akan ia sesali seumur hidup. Ia akan lakukan apa pun demi kesembuhan ayahnya.
Langkah Jovanka dan Abizar terhenti, Jova berjalan menghampiri Jelita dengan wajah semringah.
“Apa kau yakin dengan ucapanmu itu?” tanyanya, Jelita hanya terpaksa mengangguk.
Jova tersenyum senang. “Bagus, keputusanmu sudah tepat, Jelita. Kau tenang saja, tidak perlu memikirkan apa pun tentang pengobatan ayahmu lagi, aku yang akan mengurus semuanya. Sampai jumpa besok.” Jovanka meninggalkan jelita yang berdiri mematung. Begitu juga dengan Abizar, tatapannya lekat ke arah Jelita sampai-sampai ia tidak mendengar seruan Jovanka yang memanggilnya. Hatinya tidak tega melihat Jelita tidak berdaya atas tekanan dan paksaan istrinya.
“Sayang, ayo!” ajak Jova, kali ini Jovanka yang menarik tangannya dan pergi meninggalkan tempat itu.
***
Abizar melafazkan ijab kabur dengan sekali tarikan nafas. Meski perasannya kacau balau, ia berusaha untuk tetap fokus karena meskipun ini adalah pernikahan kontrak, ini juga merupakan hal yang sakral, sesakral pernikahannya dengan Jovanka dulu.
Mereka menikah di sebuah mushollah kecil yang hanya di hadiri oleh seorang imam masjid dan beberapa saksi. Jova tentu saja menyembunyikan perihal pernikahan suaminya ini.
Sedangkan Jelita hannya bisa tertunduk. Sah sudah Jelita menjadi istri Abizar, istri yang dinikahi secara siri dengan suami yang sudah beristri, mirisnya lagi pernikahan yang ia lakukan ini adalah pernikahan kontrak di bawah paksaan yang akan berakhir suatu hari nanti.
Ia melirik ke arah sang ayah yang sedang menatapnya dengan penuh haru dan bahagia. Hati Jelita semakin teriris melihat senyum ayahnya yang tulus .
Jelita merasa sangat bersalah karena telah membohongi sang ayah tentang Abizar. Ayahnya pasti akan membencinya jika mengetahui kebenarannya suatu hari nanti.
Jelita dengan cepat menghapus bulir air mata yang jatuh membasahi pipinya yang merona merah. Abizar menoleh ke arah Jelita, ia menjadi semakin bersalah.
Tangannya yang di sodorkan kepada Jelita, ditariknya kembali. Tapi buru-buru Jelita meraihnya lalu mencium sebagai tanda penghormatan jika ia sudah menjadi istri dari Abizar.
“Maafkan aku.” Jelita mendengar bisikan Abi di telinganya. Ia mengangkat wajahnya dan melihat wajah super tampan itu menatapnya dengan rasa bersalah.
Jelita buru-buru menundukkan wajahnya lagi sembari mengangguk. Rasa sedih, sesal dan kesal menyatu di dalam dadanya dan menyayat hatinya. Tapi yang bisa ia lakukan hanya pasrah. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menjalankan syarat sesungguhnya.
Setelah semua selesai, Jelita di bawa ke rumah megah Abizar. Sedangkan ayah Jelita menempati rumah pemberian Jovanka. Ia juga menyewa 2 orang pelayan untuk membantu ayah Jelita di rumah itu. Semua itu di atur penuh oleh Jovanka.
“Kamarmu di sini, kamar Abizar dan aku di bagian sana. Kalau kau membutuhkan sesuatu panggil aku atau pelayan. Istirahat saja dulu, ya,” ucap Jovanka.
“Baik, Bu,” sahut Jelita lirih. Jovanka pun meninggalkan tempat itu.
Jelita menatap kamar yang indah dan mewah itu, sangat jauh berbeda dengan keadaan kamarnya. ia melangkah menghampiri tempat tidur.
“Empuk,” gumannya saat duduk di sisi kasur.
Sekarang apa yang harus aku lakukan di tempat ini? apakah pak Abizar akan datang malam ini dan menunaikan kewajibannya sebagai suami? Tidak, apakah aku bisa menghadapinya? Ucapnya membatin.
Jelita tiba-tiba takut dan tegang membayangkan hal itu.
Beberapa hari berlalu setelah pernikahan, tetapi Abizar tidak pernah muncul mengunjunginya sekalipun. Hal itu membuat Jelita merasa senang. yang ia lakukan hanya berdiam diri di kamar dan sesekali keluar jika Abizar dan Jovanka sedang tidak ada di rumah.
Selama pernikahan, Jovanka melarang Jelita untuk bekerja lagi. sehingga gadis itu hanya menghabiskan waktunya dengan bersantai dan sesekali mengunjungi ayahnya.
Abizar hanya menyapa seadanya jika kebetulan mereka berpapasan. Suami sirihnya itu bersikap seolah-olah dia hanya orang numpang di rumahnya. Sedangkan Jovanka jarang terlihat lagi.
Entah wanita itu pergi kemana setelah Jelita datang ke rumah ini. Tapi itulah yang di harapkan Jelita, kedamaian tanpa adanya gangguan. Semoga saja keadaanya tetap seperti itu.
Malam hari seperti biasa, setelah mandi dan makan, Jelita kembali bersantai sambil menonton televisi di kamarnya. Tiba-tiba ia mendengar keributan di luar. Suara yang ia dengar memang sayup, tapi jelita bisa memastikan itu adalah suara orang yang sedang berdebat atau bertengkar.
Dadanya bergemuruh, apa yang sebenarnya yang sedang terjadi? Apakah Abizar dan istrinya bertengkar? Ia ingin keluar melihat kondisi tapi juga takut. sehingga terpaksa ia hanya diam di kamar. Setelah beberapa lama, suasana kembali hening, mungkin mereka sudah baikan. Jelita membatin.
Gadis itu pun kembali menonton acara kesukaannya sambil mengunyah buah.
“Tok..tok..”
Suara ketukan pintu tiba-tiba berhasil membuatnya terkejut, siapa gerangan yang mengetuk pintunya malam-malam begini? Mungkin ibu Jovanka yang membutuhkan sesuatu. Yakinnya dalam hati.
Segera Jelita beranjak membuka pintu, akan tetapi, seorang yang dilihatnya di depan pintu sukses membuatnya jantungnya sempat berhenti untuk beberapa saat.