Kunjungan

1093 Kata
Jelita terpaku menatap Abizar yang berdiri di hadapannya. Ia tidak percaya apa yang dilihatnya, Ia seakan mati rasa. “Ah, apa aku boleh masuk?” suara pelan Abizar kembali mengejutkannya. “Ma..masuk? ah, i..iya silakan Pak,” jawab Jelita terbata. Gadis itu menggeser tubuhnya ke samping memberi jalan untuk Abizar masuk ke dalam kamar. Jelita masih berdiri kaku di tempatnya, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Situasi yang ia rasakan sangat asing. Ia tidak pernah sekalipun dekat dengan seorang laki-laki, apalagi untuk bersama dalam sebuah kamar. “Tolong tutup pintunya,” ucap Abizar. Jelita tersentak. “Ba..baik, Pak.” Dengan perlahan Jelita menutup pintu kamar lalu kembali berdiri di tempatnya semula. Abizar menatap Jelita yang terlihat sangat tegang, ia lalu tersenyum lembut. “Kemarilah, jangan takut,” ucap Abizar. Jelita menelan ludah keringnya lalu melangkah pelan menuju sofa, Jelita duduk dengan kaku di hadapan Abizar. “Apa kau takut aku datang mengunjungimu seperti ini?” tanya Abizar. Jelita mengangguk pelan mengiyakan, Abizar menghela nafas panjang. “Kau tahu Jelita, aku sama sekali tidak pernah memiliki pikiran jika kita akan berada dalam situasi seperti ini. Tetapi karena permintaan istriku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujuinya. Aku tahu kalau kau juga melakukan ini karena terpaksa. Tapi semua sudah terjadi, kita terpaksa harus menjalaninya dan harus segera mengakhirinya, kau mengerti kan maksudku? ” jelas Abizar menatap Jelita. Jelita hanya mengangguk dengan tatapan mata yang masih tertuju ke lantai. “A… apakah itu artinya kewajiban saya sebagai istri sudah harus saya penuhi sekarang? apakah Bapak akan melakukan itu pada saya malam ini? ta…tapi sepertinya saya belum siap, Pak. Apakah bisa ditunda dulu paling tidak sampai besok malam.” Wajah Jelita memerah menahan malu bercampur gugup. Ia sekalipun tidak pernah menyangka akan berkata seperti itu kepada seorang pria. Ia benar-benar malu dan takut jika Abizar akan melakukan itu padanya. Mendengar ucapan polos gadis yang ada di hadapannya ini, Abizar menjadi tidak tega. Terus terang, ia juga tidak ingin berbuat apa pun terhadap gadis ini, Ia sangat menyayangkan nasib Jelita yang terpaksa harus menyerahkan kesuciannya kepada laki-laki yang tidak ia cintai dan tidak mencintainya. Keluguannya harus terenggut oleh pria yang sudah beristri seperti dirinya. “Kau jangan khawatir, selama kau belum siap, aku tidak akan memaksamu. Tapi kau tahu kan, pernikahan ini hanyalah persyaratan agar aku bisa dengan legal mendapatkan keturunan darimu demi Jovanka. Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini, setelah apa yang diinginkan Jovanka tercapai, kita harus segera mengakhiri ini semua, dan itu akan terjadi jika kita tidak menundanya lebih lama. Semakin lama kita menundanya semakin banyak waktu yang akan terbuang dengan sia-sia. Jadi, maksudku menjelaskan semua ini padamu adalah setelah malam ini, apakah kau akan siap untukku?” Tatapan tajam dan tenang Abizar sesaat membuat jantung Jelita berdetak lebih cepat dari biasanya. Tatapan penuh harap seorang pria kepada wanita yang ia inginkan. Itu yang Jelita rasakan. Jelita lagi-lagi menelan ludah keringnya lalu mengangguk. “Bagus, kalau begitu sekarang kau istirahat saja. Aku akan tidur di sofa,” ucap Abizar lalu merebahkan tubuhnya. “Pakai ini, Pak.” Abizar membuka mata dan melihat Jelita berdiri di hadapannya dengan sebuah bantal dan selimut. Abizar tersenyum. “Terima kasih,” ucap Abizar. Jelita berjalan ke arah tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Ia masih berusaha memproses apa yang baru saja ia sepakati dengan Abizar. Apakah memang ada pernikahan seperti ini dalam hidup? Atau apakah mereka yang sudah menikah tapi tidak sanggup memiliki anak akan melakukan pernikahan seperti ini untuk mendapatkan keturunan? Selama ini ia selalu memimpikan kehidupan pernikahan yang penuh dengan kebahagiaan suatu saat nanti. Menikah dengan pria yang ia cintai dan mencintainya dengan tulus. Memberikan seluruh kebahagiaan yang ada di dunia ini dengan kasih sayang yang melimpah. Akan tetapi, semua itu ternyata hanya akan selamanya menjadi mimpinya yang tidak akan pernah terwujud. Karena, ia sendiri yang sudah mengorbankan mimpi itu dengan kenyataan pernikahan yang miris. Bukan hanya itu, ia bahkan menikah kontrak dengan pria yang sudah beristri. Apakah ia sanggup menghadapi nasib buruk kedepannya jika seandainya pernikahan ini tidak berhasil mendapatkan hasil? Jelita kembali menatap Abizar, ia juga tidak pernah membayangkan akan menikah dengan pria super tampan itu. Di mana banyak wanita yang ingin berada diposisinya. Tapi apakah itu ada artinya, apa yang ia bisa banggakan menjadi seorang istri dari Abizar? Pria yang sangat mencintai istrinya sampai-sampai ia bahkan rela melakukan apa pun demi kebahagiaan sang istri. Ia bahkan rela menikah lagi demi memenuhi keinginan sang istri. Sedangkan Jelita sendiri, tidak lebih dari seorang istri kontak yang masa berlakunya akan segera berakhir, atau akan tersingkir dengan paksa jika tidak memperoleh hasil. Hatinya sedih memikirkan itu. “Bapak pasti sangat mencintai Bu Jovanka?” Jelita memberanikan diri bersuara, cukup pelan karena ia yakin Abizar sudah tertidur. Namum siapa sangka, Abizar justru mendengar ucapannya. “Iya, Aku sangat mencintainya. Aku bahkan tidak bisa hidup tanpa dirinya, sekarang pun aku tidak tahu apakah aku bisa tidur tanpanya di sisiku. Dia memaksaku masuk kemari, kami bahkan sampai bertengkar sampai akhirnya aku mengalah.” Abizar menceritakan isi hatinya kepada Jelita. Mendengar hal itu, jelita jadi merasa kasihan kepada Abizar. Dalam hati ia menyayangkan sikap Jovanka yang sudah menyia-nyiakan pria yang sangat baik ini. “Bu Jovanka adalah wanita yang beruntung,” lirih Jelita. Tidak ada balasan dari Abizar. “Selamat malam, Pak,” sahut Jelita akhirnya. “Malam,” balas Abizar . Keesokan paginya, Jelita membuka mata dan tidak melihat keberadaan Abizar di kamarnya lagi. ia menghembuskan nafas lega. Setidaknya tadi malam tidak terjadi apa-apa. Tapi apa yang akan terjadi nanti malam? “Ah sudahlah, jangan dipikirkan. Lebih baik aku mandi dan mengunjungi ayah. Karena lusa jadwal kemoterpinya,” gumannya sambil beringsut dari tempat tidurnya masuk ke kamar mandi. Jelita keluar dari kamar dengan wajah segar. Rambut panjangnya yang basah di balut handuk, Jelita tampak sangat cantik dengan hanya dibalut handuk yang melilit tubuh indahnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melangkah menuju meja dan meraih ponselnya. Dari nomor yang tidak di kenal. “Kira-kira siapa yang nelpon pagi-pagi, ya?” gumannya. “Halo,” sapanya di telepon. “Jelita,” terdengar suara pria yang tidak asing di telinganya. “Ini saya, Arya. Bosmu di tempat kerja.” Jelita terkejut. “Pak Arya…?” “Iya, apa kita bisa bertemu siang ini?” “Bertemu Pak, ada hal apa ya, Pak?” tanya Jelita ingin tahu. “Ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan padamu. Tapi rasanya tidak cocok jika kita membicarakannya lewat telepon,” Jelas pria itu. “Baiklah, Pak,” jawab Jelita. “Terima kasih ya, nanti saya kirim lokasinya. Kalau begitu, sampai ketemu nanti siang. Selamat pagi.” “Iya, selamat pagi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN