Tertarik

1095 Kata
“Bagaimana keadaan ayah sekarang?” tanya Abizar kepada pak Yadi, ayah mertuanya. Pak Yadi tersenyum. “Sudah mendingan, Nak. Ini semua berkat dirimu dan sepupumu itu, kalian baik sekali,” jawab pak Yadi. “Sama-sama Pak, ini juga merupakan kewajiban saya sebagai menantu bapak. Jelita akan sedih melihat Bapak sakit, jadi saya pasti akan melakukan apa pun agar Jelita tidak bersedih.” Meskipun apa yang ia ucapkan tidak sinkron dengan hatinya, Abizar tetap berusaha agar sandiwara pernikahannya di depan ayah Jelita terlihat seperti pernikahan sungguhan. Walaupun ia tidak tahu penjelasan apa yang ia akan berikan nanti saat berpisah dengan Jelita. “Iya, tapi tetap saja Nak Abizar, saya sangat berterima kasih atas semuanya. Kau telah menikahi putri saya itu sudah menjadi kebahagiaan yang sangat besar untuk Bapak, apalagi ditambah dengan melakukan ini semua. Aku juga mendengar kalau kau menyayangi Jelita. Bapak berharap, kalian bisa terus berbahagia sampai maut memisahkan. Pesan Bapak, jaga dan bimbing Jelita, ia masih harus banyak belajar menjadi seorang istri yang bertanggung jawab. Jelita masih egois dan keras kepala, jadi Bapak mohon, Nak Abi bersabar menghadapi Jelita.” Abizar hanya mengangguk mendengarkan ucapan pak Yadi, dalam hati ia merasa sedikit merasa bersalah karena telah membohongi oran tua yang ada di hadapannya ini. Tapi, mau bagaimana lagi, semua itu harus tetap di lakukan sampai semuanya berakhir dan kembali seperti semula. Jelita yang sejak tadi terdiam hanya bisa melirik Abizar karena suaminya ini pandai sekali berakting di depan ayahnya. Sedangkan Bima hanya bisa menahan kekesalan hatinya melihat Abizar yang terlihat terang –terangan ingin mengambil hati ayah jelita. “Baiklah Ayah, saya tidak bisa lama-lama berada di sini. Saya masih banyak urusan di kantor. Beritahu sopir saja jika Ayah sudah mau keluar. Saya permisi dulu,” ucap Abizar lalu keluar ruangan setelah melirik Jelita sekilas. “Ayah, saya keluar sebentar ya,” izin Jelita ke ayahnya. Pak Yadi hanya mengangguk dan tersenyum. Jelita pun keluar dari ruangan menyusul Abizar yang sudah melangkah lebih dahulu meninggalkan rumah sakit. “Pak, tunggu…!” seru Jelita saat Abizar hendak masuk ke dalam mobil. “Ada apa Jelita?” tanya Abizar. “Saya hanya ingin menyampaikan terima kasih sudah menyakinkan ayahku dengan semua yang Bapak ucapkan. Ya meskipun semua itu hanya karangan saja, tapi setidaknya ayah merasa tenang mendengarnya,” ucap Jelita. Abizar menatap Jelita lama kemudian mengangguk. “Iya, sama-sama. Kalau begitu aku pergi dulu.” Jelita mengangguk hormat dan menatap suaminya pergi menjauh. Ada sesuatu yang terasa sesak di dalam hatinya dan hal itu sangat membingungkan. Lama ia terpaku menatap lurus ke depan, pikirannya seketika melayang. Akan seperti apa masa depannya nanti setelah Abizar menceraikannya. Apa yang ia harus katakan kepada ayahnya jika saat itu tiba nanti? “Apa Kakak bahagia menikah dengan pria itu?” Jelita tersentak mendengar suara Bima yang tiba-tiba terdengar di belakanganya. “Ah, kamu Bim, bikin kaget aja. Kenapa kau bertanya seperti itu?” respon Jelita, ia ingin sekali mengatakan jika ia sama sekali tidak bahagia dan ingin pergi saja dari kehidupan mereka, tapi ia tidak boleh melakukannya. Melihat ayahnya yang sudah sembuh, jangankan keinginan dan kebahagiaannya, bahkan hidupnya pun sudah bukan miliknya lagi sekarang. “Tidak apa-apa, aku cuma melihat kalian tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Suamimu itu terlihat sangat menjaga jarak denganmu, begitu juga denganmu. Kakak di sana baik-baik saja kan? Tolong bilang padaku kalau pria itu menyakiti Kakak.” Jelita tersenyum mendengar ucapan perhatian Bima, senang rasanya ada seseorang yang dengan tulus mengkhawatirkan dirinya. Ia lantas ingin mengacak rambut pemuda itu lagi tapi dengan cepat menghindar. “Jangan acak-acak rambutku Kak dan aku minta berhenti menganggapku anak kecil. Aku sudah dewasa yang bahkan mampu bersaing dengan suami kakak nanti,” ucap Bima dengan penuh keyakinan. “Memangnya siapa yang menganggapmu anak kecil dengan tubuh besar seperti ini? bahkan mungkin jika aku belum menikah, aku bisa jatuh cinta kepadamu karena perhatian yang kau berikan. Bima, aku berharap kau bisa sukses dan memiliki apa pun yang kau inginkan termasuk cinta dan seseorang yang kau sukai. Ya sudah, sebentar lagi ayahku akan keluar. Aku ke ruangannya dulu ya, kau masih akan di sini atau pulang?” ucap Jelita. “Aku temani Kakak sampai rumah, kasian juga kan kalau hanya kakak sendiri yang mengurus ayah. Aku sangat bisa di andalkan, jadi jika kakak butuh sesuatu, lupakan suami kakak itu dan panggul saja aku.” “Ah, kamu bisa saja. Tapi sekali lagi terima kasih. Yuk, kita ke dalam.” Mereka pun masuk ke dalam dan mempersiapkan kepulangan ayah Jelita kembali ke rumah. *** “Mas Abi, sampai kapan aku harus menunggu kesiapanmu untuk Jelita? Aku yakin dia sudah sehat dan baik-baik saja sekarang.” Jovanka mulai kembali menuntut Abizar. Mendengar hal itu, Abizar hanya menghela nafas panjang. Ia menatap istrinya dengan tatapan sendu. Sedih rasanya harus mendengar tuntutan istri yang ia cintai untuk menyentuh istrinya yang lain padahal ia tidak ingin melakukannya. “Jovanka, tidak bisakah kau mengubah keputusanmu itu? Biarkan dia pergi sayang, dan kita bisa memiliki anak dari hasil adopsi. Aku rasa itu lebih manusiawi fan masuk akal dari pada kau harus menyuruhku berhubungan badan dengan wanita yang sama sekali tidak aku sukai. Apakah kau sama sekali tidak cemburu? Aku jadi bertanya-tanya kenapa hatimu sampai menjadi beku begini. Kau mencintaiku atau tidak, Jova? Kenapa kau bisa sampai tega memintaku berhubungan dengan suka rela dengan wanita lain?” “Abizar, kenapa kau selalu saja mengulang pertanyaan yang sama? Aku kan sudah bilang kalau pernikahan ini bukan menyangkut masalah perasaan, tapi karena a*u yang menginginkan seorang anak dari keturunanmu. Jika kau menyangkutpautkan hal ini dengan perasaan maka kau tidak akan pernah melakukan hal itu. Jika aku mempermasalahkan perasaanku saat ini, kau bahkan tidak akan kubiarkan menikah dengan wanita manapun dan dengan alasan apa pun. Tapi Abizar, masalah ini adalah murni karena aku mengingatkan anak, dan demi itu aku rela bahkan mengesampingkan perasaanku. Jadi aku mohon berhenti mempertanyakan hal yang sudah jelas jawabannya.” Abizar hanya terdiam mendengar penjelasan Jovanka, ia masih belum bisa memahami atau pun menerima alasan Jova memintanya menikah dan berhubungan dengan wanita lain. Baginya itu adalah tindakan yang tidak masuk akal. “Mereka pun tidur dengan saling memunggungi satu sama lain. Hingga pagi menjelang. Pagi-pagi sekali Jelita sudah berada di dapur untuk membantu bibi menyiapkan sarapan pagi. Sudah menjadi kebiasaan Jelita sejak tinggal di rumah Abizar. Kebetulan bi Muna sedang belanja ke pasar sehingga Jelita yang menyiapkan keperluannya di dapur. Abizar keluar dari kamar dan langsung ke dapur untuk minum, tidak disangka ia melihat Jelita yang sedang sibuk di dapar. Abizar tidak jadi melangkah ke arah kulkas dan hanya memperhatikan Jelita dari tempatnya berdiri sambil tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN