CHAPTER 5 MUMMY (PART 5)

3315 Kata
Makhluk itu tertawa nyaring mungkin menertawakan ketiga polisi yang berlarian mencoba melarikan diri setelah melihat sosoknya yang mengerikan. Masih dengan suara tawanya yang menggema, makhluk itu mulai melayang ke arah kami. Aku terhenyak ketika menyadari makhluk itu hendak menghampiri Kinsey yang berdiri diam dengan tubuhnya yang gemetaran mungkin karena takutnya. Menyadari Kinsey berada dalam bahaya, aku pun berlari ke arahnya dan ku tarik tangannya. Ku sembunyikan dia di belakang tubuhku untuk melindunginya dari makhluk atau aku sebut saja monster karena penampilannya memang mirip monster menurutku. Awalnya ku pikir dia akan menyerangku dan berusaha untuk menangkap Kinsey lagi. Untuk kesekian kalinya aku merasa heran kenapa selalu Kinsey yang menjadi incaran cenayang-cenayang itu mengingat vampir yang menjadi lawanku beberapa waktu lalu pun menjadikan Kinsey sebagai targetnya. Saat itu, sang vampir seolah tak berminat sama sekali padaku maupun Luke yang notabene memiliki kekuatan yang sama dengannya. Walau bagaimana pun kami sama-sama memiliki kekuatan pemberian Astaroth di dalam tubuh kami. Hal yang serupa terjadi juga sekarang, perkiraan awalku yang mengira monster itu akan menyerangku dan berusaha merebut Kinsey ternyata meleset. Monster itu mengganti targetnya dan kini tengah memburu ketiga polisi yang masih berlarian mencoba melarikan diri. Aku tidak mampu melakukan apapun selain menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh monster itu pada ketiga polisi yang menemani penyelidikan kami di dalam gua ini. Monster itu berhasil menangkap salahseorang polisi. Dia mencengkram kepala polisi itu hanya dengan satu tangannya cukup membuktikan bahwa monster yang kami hadapi sekarang ini berkali lipat lebih kuat daripada vampir yang dulu kami hadapi. Polisi itu meronta-ronta mencoba melepaskan diri, namun tampaknya rontaannya itu justru semakin membuat sang monster mencengkram kepalanya semakin erat. Dia membuka mulutnya lebar, sangat lebar bahkan ku rasa kepala manusia pun bisa masuk ke dalamnya. Aku hanya terheran-heran bukankah monster itu dulunya manusia sama sepertiku, tapi kini tampaknya dia telah berubah menjadi monster sepenuhnya. Pertanyaan besar pun terlintas di benakku, mungkinkah aku juga akan menjadi monster sepertinya setelah semakin lama kekuatan Astaroth ini bersemayam di dalam tubuhku? Hanya memikirkannya saja sudah mampu membuatku gemetaran. Jika disuruh memilih, bagiku lebih baik mati daripada harus berubah menjadi monster sepertinya. Mulut monster itu masih menganga lebar memperlihatkan deretan giginya yang runcing seperti serigala. Gigi-giginya sangat runcing dan tajam seperti taring serigala, ku pastikan tubuh siapapun yang digigit olehnya dalam sekejap akan terkoyak dengan mudahnya. Air liurnya yang berwarna hijau terus menetes, sangat menjijikkan. Hal yang ku pikirkan tadi benar-benar terjadi ketika ku lihat monster itu memasukkan kepala polisi yang masih dia cengkram ke dalam mulut lebarnya. Dia menggigit kepala itu yang seketika mengundang teriakan histeris dari si pemilik kepala. Kinsey yang berdiri di belakangku tak kalah histerisnya. Dia menjerit membuat suasana di tempat ini menjadi semakin ribut. Aku juga merasakan dia memegang tanganku kuat membuat tubuhnya yang tengah gemetaran bisa ku rasakan dengan jelas. Ku yakini betapa ketakutannya Kinsey saat ini. Bukan berarti aku tidak merasa takut sepertinya karena sebenarnya aku juga merasakan ketakutan yang sama dengannya. Hanya saja pengendalian diriku cukup bagus sehingga aku tidak mengeluarkan teriakan apalagi jeritan histeris sepertinya. Hanya dengan satu tarikan, kepala bagian atas polisi itu terkoyak sempurna memperlihatkan otaknya yang berwarna merah dengan darah kentalnya yang menetes. Tanpa ampun monster itu kembali mengigit kepala polisi itu, kali ini dia melahap otaknya tampak nikmat. Namun bagiku melihat pemandangan ini sukses membuat perutku terasa diaduk-aduk. “Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!” teriak Kinsey untuk yang kesekian kalinya. “Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!” Kedua polisi lain yang menyaksikan rekan mereka menjadi santapan lezat monster itu pun berteriak tak kalah histerisnya. Mungkin hanya aku seorang yang masih bisa mengendalikan ketakutanku meski kedua mataku membelalak sempurna tak percaya melihat pemandangan teramat mengerikan yang sedang dipertontonkan di depan mataku. Setelah puas melahap isi kepala polisi tak berdosa itu, kini monster itu mengganti targetnya. Perban-perban yang melilit bagian tangannya tiba-tiba melonggar dan terlepas. Perban itu meluncur dengan kecepatan yang tak dapat ku ikuti dengan mataku menuju ke arah salahseorang polisi yang tengah berlari. Keanehan lain baru aku sadari, sebenarnya sejak tadi polisi-polisi itu mencoba melarikan diri dari ruangan ini tapi entah mengapa kemana pun mereka berlari pada akhirnya mereka selalu kembali ke dalam ruangan ini seolah mereka hanya berputar-putar di dalam ruangan ini. Entah apa yang terjadi di ruangan ini? Mungkinkah ini kemampuan dari monster menyerupai mummy itu? entahlah ... kekacauan yang tepat terjadi di depan mataku ini membuat otakku tak mampu berpikir dengan benar. Polisi yang sedang dijadikan target oleh monster itu berlari ke arahku dan Kinsey. Perban yang berasal dari tubuh monster itu masih meluncur ke arahnya, mengejarnya seolah dia tidak akan pernah berhenti mengejar sebelum berhasil menangkapnya. Jarak polisi itu semakin mendekatiku, dia mengulurkan tangannya dengan raut wajahnya yang sudah tak beraturan lagi. Ada raut ketakutan disana, raut kepanikan, kesedihan, keputus asaan dan raut lainnya yang tak bisa ku jabarkan satu persatu. Tentu aku tidak tinggal diam, aku melangkah maju hendak meraih tangannya namun tangan Kinsey yang masih erat memegangi tanganku, membuatku tak bisa melangkah lebih jauh lagi. Jarak polisi itu semakin mendekat, aku pun ikut mengulurkan tanganku bermaksud untuk meraih uluran tangannya yang meminta bantuanku. Namun sebelum aku berhasil meraih tangannya ... Sreet ... Sreet ... Sreeet ... Jleb ... Jleb ... Jleb ... Perban yang seharusnya terbuat dari kain itu tiba-tiba berubah seolah menjadi senjata tajam yang mampu mengoyak tubuh dengan mudah. Perban itu memotong-motong tubuh polisi itu, mulai dari tangan kanannya yang masih terulur padaku, lalu salahsatu kakinya yang membuat polisi itu tak mampu lagi menopang tubuhnya. Bukan hanya itu, perban yang tiba-tiba bagaikan pedang itu pun menusuk-nusuk tubuh sang polisi. Perutnya dan yang terparah di bagian dadanya karena kini akibat tusukan itu sebuah lubang berukuran cukup besar menganga di dadanya. Aku hanya membeku di tempatku berdiri dengan kedua mataku yang masih membulat sempurna, jangan lupakan mulutku yang menganga lebar karena terlalu syok dengan kekejaman yang terjadi tepat di depan mataku. Tangan kananku juga belum aku turunkan masih tetap dalam posisi tengah terulur ke depan. Ku pikir setelah polisi itu sudah dipastikan tewas karena tak mungkin ada manusia yang masih bertahan hidup setelah lubang menganga di bagian dadanya, maka penyiksaan monster itu akan berakhir. Namun lagi-lagi pemikiranku meleset. Perban-perban berwarna putih kusam itu melilit tubuh sang polisi yang sudah tidak utuh karena sudah tak memiliki tangan dan kaki. Perban itu melilit sehingga tubuhnya tertutup sempurna. Kemudian ... Croot ... Perban itu menghimpit tubuh tak bernyawa sang polisi, membuat tubuhnya hancur dan suara darah yang memuncrat terdengar memilukan sekaligus menggetarkan telingaku. Darah yang memuncrat itu bahkan mengenai pakaianku karena memang jaraknya tidak terlalu jauh dariku hanya menyisakan dua sampai tiga langkah kaki saja. Perban yang melilit tubuh polisi itu melonggar dan perlahan melepaskan tubuh sang polisi. Aku hanya mampu meneguk salivaku ketika melihat tubuh itu sudah tak berbentuk lagi. Tulangnya pasti suda hancur berantakan karena dihimpit kuat oleh perban tadi. perban itu kembali melayang dan kembali melilit di tangan monster menyerupai mummy itu. “F ... Flinn ... a ... aku takut sekali. Hiks ...” ucap Kinsey terbata-bata. Sebenarnya tanpa mengatakannya pun aku tahu Kinsey sangat ketakutan saat ini, tangannya yang memegangiku masih gemetaran bahkan semakin bergetar lebih hebat dibandingkan sebelumnya. “Huwaaaaaaaaa, tolong aku!!” teriak satu polisi yang masih tersisa. Kini monster itu tengah mengalihkan targetnya pada polisi malang itu. “K-Kita harus menolongnya Flinn. Jangan sampai dia ikut menjadi korban.” Ujar Kinsey dengan lelehan air mata membasahi wajahnya. Aku setuju dengan perkataannya, aku tidak tahan lagi hanya berdiam diri menyaksikan kekejaman tadi kembali terulang di depan mataku. Aku menarik tangan Kinsey untuk mengikutiku berlari menghampiri polisi yang hingga detik ini masih terus berlari. Monster itu pun belum melakukan reaksi apapun meski tatapan matanya tertuju persis ke arah sang polisi. Namun, seketika kuhentikan langkahku ketika melihat monster itu kembali bergerak cepat dan dalam sejekap mata dia sudah berdiri di depan polisi yang sudah gemetar ketakutan. Dia tak bisa lagi berlari karena lehernya sudah dicengkram erat oleh tangan monster itu. Seolah tubuh polisi itu seringan bulu, monster menyerupai mummy itu mengangkat tubuhnya tinggi hanya dengan satu tangannya. Menyadari tidak mungkin aku bisa menyelamatkan polisi itu dan menyadari bahwa setelah menyelesaikan urusannya dengan polisi itu maka kami lah yang akan menjadi targetnya, aku pun memutuskan untuk menyelamatkan diri. Aku mengganti arah yang ku tuju, kini aku berlari menuju ke arah pintu keluar masih menarik tangan Kinsey agar mengikutiku berlari. “Flinn, kita harus ....” “Terlambat, kita tidak bisa menyelamatkannya. Yang terpenting sekarang kita harus menyelamatkan diri kita sendiri.” Sahutku memotong perkataan Kinsey yang sudah ku perkirakan akan mengatakan apa. “Akkhh ...” Langkahku terhenti ketika mendengar teriakan pelan dari belakangku yang ku yakini berasal dari Kinsey. Tangannya yang sejak tadi ku genggam juga terlepas, aku pun segera menoleh ke arahnya. Ku lihat dia jatuh terduduk dengan wajahnya yang meringis kesakitan. Aku berjongkok untuk melihat keadaannya. “Ada apa?” tanyaku panik karena yang ku pikirkan sekarang adalah kemungkinan monster itu sudah menyelesaikan urusannya dengan polisi tadi dan mulai memburu kami. “Ada lubang disana, kakiku terkilir.” Sahut Kinsey yang membuatku detik itu juga menatap ke arah lubang yang dimaksud Kinsey. Memang benar ada sebuah lubang di tanah yang tidak ku sadari sebelumnya mungkin karena suasana di ruangan ini gelap dan hanya disinari cahaya dari senter kami. “Naiklah ke punggungku.” Pintaku padanya setelah kini aku berjongkok membelakanginya. Aku sangat sadar tidak mungkin Kinsey mampu berlari dengan keadaan kakinya yang seperti itu. “Tapi ...” gumamnya ragu. “Cepatlah, sebelum monster itu memburu kita.” Mendengar kata-kataku akhirnya Kinsey menuruti permintaanku. Dia merangkak naik ke atas punggungku. Aku pun segera berdiri dan kembali berlari meski tak secepat sebelumnya mengingat beban berat tubuh Kinsey yang berada di punggungku. Aku masih mengingat dengan jelas rute jalan keluar gua ini, tapi sesuatu yang aneh kembali ku rasakan ketika jalan itu tak kunjung ku temukan meski aku sudah berlari cukup lama. Nafasku mulai terengah, rasanya tidak mungkin aku mampu bertahan untuk berlari sambil menggendong Kinsey lebih lama lagi. “Flinn kenapa? Apa kita tersesat?” tanya Kinsey tepat di dekat telingaku. “Seharusnya ini rute untuk keluar dari gua tapi entahlah aku tidak bisa menemukan jalannya padahal aku yakin sekali ini rute yang benar karena aku masih mengingatnya dengan jelas.” Terangku yang membuat Kinsey terlonjak kaget. “Lalu bagaimana? Sepertinya kita tidak bisa keluar dari sini.” Ucap Kinsey lagi namun aku abaikan. Aku melihat sekelilingku mencari kemungkinan aku salah mengambil rute jalan. Namun semakin aku perhatikan, aku semakin yakin bahwa aku telah mengambil rute jalan yang benar. Bukan bermaksud untuk pamer tapi ingatanku ini cukup jeli dan kuat, nyaris aku tak pernah melupakan sesuatu yang berusaha aku ingat. Ketika masuk ke dalam gua ini aku terus memperhatikan area sekelilingku untuk memudahkanku mengingat rute jalan keluar gua. Tatapanku kini terfokus pada sebuah dinding, lagi-lagi aku terhenyak ketika menyadari sesuatu. “Ada apa Flinn?” tanya Kinsey untuk yang kesekian kalinya, mungkin dia menyadari tubuhku yang terhenyak kaget barusan. “Dinding ini, aku yakin seharusnya tidak ada dinding ini disini. Lihatlah ada jejak kaki kita yang terpotong dinding ini.” Jelasku sambil menunjuk ke arah jejak kaki yang ku maksud pada Kinsey. Aku menerangi tanah dengan senter di tanganku sehingga jejak kaki yang ku maksud terekspos jelas. Tanah di dalam gua ini sangat kering membentuk butiran pasir sehingga akan meninggalkan jejak kaki siapapun yang menginjaknya. Ada banyak bekas jejak kaki yang terpotong oleh dinding, ku yakini jejak kaki itu adalah jejak kaki kami ketika masuk ke dalam gua. “Kau benar, kenapa tiba-tiba ada dinding disini?” “Tentu saja ini ulah monster itu. Dia merubah gua ini menjadi seperti labirin, sepertinya dia berniat tidak akan membiarkan kita lolos.” “UWAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!” Sebuah teriakan kencang menghentikan perbincangan di antara kami. “S-Suara itu ...” gumam Kinsey panik. “Ya, itu pasti suara polisi tadi, sepertinya monster itu sudah menyelesaikan urusannya dengannya. Dia pasti akan memburu kita sekarang.” “Flinn, aku takut.” gumamnya lagi sambil semakin mengeratkan pelukannya padaku. Aku tidak menyahutinya kali ini, aku lebih memilih untuk kembali berlari bukan menuju pintu keluar gua karena aku tahu seberapa keras usahaku untuk menemukannya monster itu tidak akan membiarkan aku menemukannya. Karena itu aku lebih memilih untuk berlari ke arah berlawanan dengan pintu keluar gua. Aku berlari sekencang yang ku bisa mengabaikan nafasku yang memburu dan tubuhku yang mulai mati rasa, aku terus berlari semakin dalam memasuki gua. Ketika akhirnya kami tiba di sebuah ruangan, aku tak sanggup lagi menggendong Kinsey karena itu ku turunkan dia dengan perlahan dari punggungku. Aku menyenderkannya pada dinding gua. “Apa kita aman di sini?” tanyanya dengan kedua matanya yang masih meneteskan air mata. “Entahlah, setidaknya kita bisa beristirahat sejenak disini. Sepertinya tempat ini juga cukup jauh dari ruangan tadi.” jawabku ikut menyenderkan tubuhku ke dinding di samping Kinsey. Aku masih mencoba untuk mengatur nafasku yang terengah. Dalam situasi yang berbahaya ini aku masih bisa bernafas lega karena setidaknya monster itu membiarkan kami pergi dari ruangan tadi, tidak seperti yang dia lakukan pada ketiga polisi yang tidak dia biarkan pergi meninggalkan ruangan. Keikutsertaan ketiga polisi itu menemani kami masuk ke dalam gua pun jika aku pikir-pikir lagi memberikan keuntungan untukku dan Kinsey. Bukan berarti aku tidak merasa bersalah karena melihat mereka menjadi korban kekejaman monster itu, apalagi mereka dibunuh tepat di depan mataku. Mereka tidak tahu apa-apa, karena kecerobohan Roy yang memberitahukan rencana perjalanan kami pada Om Emil sehingga ketiga polisi tak berdosa itu menjadi terlibat dalam bahaya ini. Hanya saja aku merasa sedikit beruntung karena berkat mereka, aku dan Kinsey memiliki kesempatan untuk tetap bernafas hingga detik ini. Jika tidak ada mereka bertiga, pastinya monster itu akan langsung menjadikan kami targetnya. Melihat kekuatannya, aku sendiri ragu bisa selamat melawannya. Tidak menutup kemungkinan nasibku dan Kinsey akan sama persis dengan ketiga polisi malang itu. “Ukkhh ...” Kubuyarkan semua lamunan dan beralih menatap ke arah pemilik suara rintihan itu yang tidak lain adalah Kinsey. Dia tengah memegangi kakinya yang mulai membengkak dengan wajahnya yang meringis kesakitan. Aku tidak mengatakan apapun karena tanpa bertanya pun aku tahu pasti kakinya sangat sakit sekali sekarang ini. Aku mengeluarkan ponselku dan menyalakan senternya agar ruangan ini menjadi lebih terang. Tanpa kata aku memegang pergelangan kakinya yang bengkak, dia terhenyak dan menatapku heran. “A-Apa yang akan kau lakukan?” tanyanya menatapku curiga. “Mencoba mengembalikan posisi sendi kakimu yang sepertinya bergeser.” jawabku mengutarakan tujuanku. “Memangnya kau pernah melakukannya? Maksudku kau pernah membantu orang lain yang terkilir juga?” ku gelengkan kepalaku karena seumur hidupku aku memang belum pernah mencoba membenarkan letak sendi seseorang yang bergeser dari tempatnya. Kinsey mencoba menarik kakinya, mungkin dia tidak percaya pada kemampuanku. Tapi aku tidak membiarkannya begitu saja, tanganku yang masih setia memegangi pergelangan kakinya ikut menarik kakinya agar mendekat ke arahku. “Flinn, aku takut pasti rasanya sakit sekali.” Ucapnya dengan kedua matanya yang kembali berkaca-kaca. Inilah yang paling tidak ku sukai dari wanita, selain berisik mereka juga cengeng sekali. Mudah sekali menangis. Padahal seingatku Kinsey bukanlah tipe wanita yang cengeng tapi semenjak masuk ke dalam gua ini selalu air mata yang ku lihat menghiasi pelupuk matanya. “Jika dibiarkan begini kakimu akan semakin parah. Kau tidak akan bisa berjalan, parahnya bisa saja kakimu harus diamputasi nantinya.” Kataku berlebihan sebenarnya. Mungkin ini caraku untuk membujuknya yang ku ketahui sangat keras kepala. Kinsey adalah wanita kedua selain Jane yang sangat keras kepala menurutku. “Haah, masa sampai harus diamputasi?” Dia terlonjak kaget dengan kedua mata bulatnya yang melebar. Ekspresi yang lucu menurutku tapi untungnya aku memiliki pengendalian diri yang bagus sehingga aku masih bisa menahan untuk tidak tersenyum apalagi tertawa. “Ya, kau pilih saja sendiri, menahan sakit sekarang tapi nantinya kakimu akan sembuh atau merasakan sakit secara permanen seumur hidupmu.” Ku tatap dia dengan datar menyiratkan aku tengah berbicara serius padanya. ku lihat dia menenguk salivanya hingga akhirnya dia mengangguk pasrah. “Jangan berteriak ya nanti monster itu mengetahui keberadaan kita jika kau berteriak.” Kuingatkan dia karena dia mudah sekali berteriak terbukti sejak tadi entah sudah berapa kali dia berteriak kencang ketika kami menyaksikan kebrutalan monster menyerupai mummy itu. “Tapi jika terlalu sakit pasti tanpa sadar aku akan berteriak.” Kuembuskan napas malas mendengarnya. Lalu kukeluarkan sebuah saputangan dari saku celanaku. Sebuah saputangan yang sangat penting bagiku karena dulu Jane yang memberikannya padaku. “Gigit ini agar kau tidak berteriak.” Kuulurkan saputangan itu padanya yang langsung dia terima tanpa ragu. Dia menuruti perkataanku, dia menggigit saputangan itu dengan matanya yang terpejam padahal aku belum memulai aksiku. Mengabaikan ekspresinya yang lagi-lagi terlihat lucu menurutku, aku pun mulai melakukan niatku. Krek Suara indah dan ngilu itu terdengar begitu aku memutar pergelangan kakinya. Dia memang tidak berteriak tapi giginya yang menggigit kuat saputanganku, matanya yang terpejam dengan keningnya yang mengkerut, jangan lupakan peluh yang mengalir dari pelipisnya serta kedua tangannya yang mengepal erat, bisa ku bayangkan sakit yang dirasakannya. “Sudah selesai.” Seketika dia membuka kedua matanya dan mengeluarkan saputanganku dari mulutnya. “T-Terima kasih.” gumamnya pelan. Aku hanya menjawabnya dengan gumaman. Setelah itu aku kembali menyenderkan tubuhku ke dinding gua. Kembali kupikirkan tindakan selanjutnya yang harus ku ambil untuk menyelamatkan diri dari monster itu. Namun di tengah lamunanku, lagi-lagi aku mendengar suara rintihan yang sumbernya tentu saja adalah Kinsey. Kulirik ke arahnya, dia tengah memeluk dirinya sendiri tampak kedinginan karena dia sedang menggigil hebat saat ini. Melihatnya tentu aku merasa iba dan ku rasa sebagai seorang pria tidak mungkin aku tinggal diam membiarkan gadis di sampingku menggigil kedinginan. Aku pun melepaskan jaket tebalku dan kupakaikan ke tubuhnya. Dia mendongak menatapku tampak tak percaya melihat tindakanku. “Flinn, kau tidak perlu ...” “Sudahlah pakai saja, aku tahu kau kedinginan.” potongku. Aku kembali mengalihkan tatapanku darinya sebelum aku kembali terhenyak karena perbuatan Kinsey. Dia tidak melepaskan jaketku yang menutupi tubuhnya melainkan dia semakin mendekat ke arahku, lebih tepatnya menempelkan tubuhnya padaku dan memakaikan jaket itu pada tubuhku juga. Sehingga kini jaket tebalku menutupi tubuh kami berdua. “Kau juga pasti kedinginan. Maaf aku selalu merepotkanmu.” Ujarnya sambil tersenyum manis padaku. Aku hanya tertegun mendengarnya, kedua mataku rasanya tak ingin berpaling dari wajah manisnya. Sejak dulu aku mengakui Kinsey sangat manis tapi sejauh ini aku tidak merasakan apapun ketika berada di dekatnya, namun saat ini entah mengapa jantungku berdesir aneh ketika tubuh Kinsey menempel padaku. Sesuatu yang tak pernah ku rasakan ketika berdekatan dengan seorang gadis terkecuali Jane tentunya. Lagi-lagi aku memutuskan untuk memalingkan wajahku berusaha untuk tidak menatap wajahnya. Awalnya semua kembali normal, aku kembali menyibukkan diriku dengan lamunanku mengabaikan desiran aneh di dalam diriku yang hingga detik ini masih ku rasakan hanya karena tubuh Kinsey berjarak sangat dekat denganku. Jantungku kini berdetak cepat sekali ketika kepala Kinsey tiba-tiba bersandar di dadaku, sepertinya dia tertidur. Meski sebenarnya aku merasa tidak nyaman dalam posisi ini tapi toh aku biarkan dia menyenderkan kepalanya padaku. Ku biarkan dia tertidur lelap dan tak ada niatan sedikitpun untuk membangunkannya. Mendengar suara hembusan nafas ringannya, seolah menghipnotisku untuk ikut terlelap, tapi coba ku lawan karena situasi kami saat ini tidak memungkinkan bagiku untuk tertidur. Aku harus tetap berjaga memastikan monster itu tidak mendatangi kami. Aku kembali menatap wajah Kinsey, dari jarak sedekat ini baru ku sadari bahwa selain manis ternyata Kinsey juga sangat cantik. Hidungnya sangat mancung, pipinya putih mulus, alisnya cukup tebal dengan bulu matanya yang lentik. Bibirnya tipis dan berwarna merah muda alami karena dari yang ku lihat selama ini Kinsey tak pernah memoles wajahnya dengan make up. Sudah beberapa bulan mengenal Kinsey bahkan dia tinggal satu rumah denganku, baru sekarang aku menyadari pesonanya. Aku mulai menikmati pemandangan indah di depanku ini, namun dengan cepat ku singkirkan pemikiran bodoh ini. Entah mengapa aku merasa tidak menjadi diriku sendiri. Seharusnya aku bukanlah orang seperti ini yang masih sempat terpesona oleh kecantikan seorang gadis dalam situasi darurat ini. Lagipula semenjak kematian Jane, aku sudah bertekad tidak akan menjalin hubungan dengan wanita manapun lagi. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit ketika kehilangan seseorang yang berharga lagi. Srett ... Srett ... Srett Suara sesuatu yang diseret tiba-tiba tertangkap telingaku. Awalnya aku berpikir darimana sumber suara itu, namun aku mengetahui sumber suara itu setelah merasakan aura jahat yang semakin mendekat. Aura ini, aura yang sama seperti vampir yang menjadi lawanku tempo hari. “Kinsey, bangun!” ujarku sambil mengguncangkan tubuhnya agar terbangun. Tidak perlu menunggu lama hingga Kinsey membuka kedua mata indahnya. Dia membelalak dan ekspresi ketakutan kembali menghiasi wajahnya ketika dia mendengar suara yang ku dengar tadi.  F-Flinn ... suara itu ...” “Ya, monster itu menuju kemari.” Kurasakan dia mengeratkan pelukannya padaku, kuabaikan karena tatapanku fokus menuju pintu ruangan. “Aku takut Flinn, aku belum mau mati. Masih banyak hal yang ingin kulakukan.” Isak tangisnya terdengar disertai dengan tubuhnya yang kembali gemetaran dalam dekapanku. Tentu saja aku tidak akan membiarkan dia mati, walaupun aku merasa sudah tidak memiliki alasan untuk melanjutkan hidup semenjak kematian Jane, tapi sudah kuputuskan ... aku akan melindungi Kinsey. Akan kupastikan dia keluar dari gua ini dengan selamat bagaimana pun caranya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN