Seorang laki-laki muda melambaikan tangan dan berteriak memanggil nama Danisa, ketika perempuan itu baru saja keluar dari pintu kedatangan di bandara Ngurah Rai. Danisa membalas lambaiannya dengan sedikit malu. Lelaki muda itu masih terus memanggil namanya, berteriak, dan melompat kegirangan, membuat penjemput lainnya sedikit terganggu dan bergerak menjauhi.
"Bu Danisa! Duh, akhirnya sampai juga. Saya sudah nungguin dari jam tujuh tadi, lho!" Logat Jawa Timuran menempel di tiap kata yang keluar dari mulut Iman.
Danisa tertawa mendengar ocehan Iman. Laki-laki bertubuh tinggi dan kurus, berusia awal dua puluhan. "Lha kamu kok kurang kerjaan. Ngapain nunggu dari jam tujuh?"
"Pak Kristo bilang kalau Ibu datangnya jam tujuh."
"Man, Iman. Pesawatnya take off jam tujuh waktu Jakarta. Perjalanan hampir dua jam, kalau dihitung waktu Bali, ya jam segini ini landingnya."
Iman menggaruk-garuk kepalanya sambil cengengesan. "Soalnya saya kemarin naik bus, Bu. Semalaman di jalan sampai badan saya kaku semua. Eh iya, sini saya bawakan kopernya, Bu."
"Kamu sama siapa di sini?"
"Sendirian, Bu. Pak Kristo suruh saya siapin keperluan sebelum tim datang. Bosen, Bu, sehari-hari cuma ngobrol sama tembok."
Danisa tertawa, "ada-ada aja kamu. Yuk ah, kemana dulu nih kita?"
Iman membuka bagasi mobil, memasukkan koper Danisa, kemudian duduk di balik kemudi. "Monggo, Bu, terserah mau kemana dulu. Langsung ke kos boleh, mampir lihat lokasi proyek juga boleh, dekat kok. Atau mau makan dulu?"
Danisa mengeluarkan ponselnya. "Saya laporan dulu sama bos, Man. Kamu nyetirnya pelan-pelan saja, ke arah proyek dulu, setelah itu kita makan. Oke?"
"Siap, Bos!"
Lokasi proyek tak jauh dari bandara, masih di wilayah Kuta Selatan, tepatnya di jalan raya Kartika Plaza. Iman yang memang belum lama tiba di Bali, memilih melintasi jalan raya Tuban yang terkenal padat tanpa batas waktu. Beriringan dengan bus-bus wisata menuju pusat oleh-oleh dan restoran favorite wisatawan di sepanjang jalan itu.
"Halo, Kris. Aku sudah landing, nih!"
"Oh, oke, Sa. Hari ini aku lagi di Bandung, besok siang nyusul kamu. Bilang sama Iman, supaya dia jemput aku." Suara Kristo sedikit terputus-putus di telepon.
"Oke. Aku sampaikan."
"Kamu sudah ketemu dia?"
"Sudah nih, kami on the way site."
"Take care, istirahat dulu di kos. Enjoy your idle time, will you?"
"I will, Kris. I will."
Danisa menutup teleponnya tepat ketika Iman menepikan mobil mencari tempat parkir. Di kiri jalan, sebuah lahan kosong diberi pembatas pagar seng bercat biru. Sebuah banner panjang berisi gambar rancangannya. Bertuliskan The Premier, Hotel and Resort.
Dibukanya pintu mobil, Danisa melangkah keluar, berjalan mendekati pintu utama proyek. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Bu?" Seorang satpam mendekatinya.
Belum sempat Danisa mengenalkan diri, Iman sudah berteriak kencang. "Pak Kadek, ini Bu Danisa, arsiteknya."
"Wah, arsiteknya perempuan, nggih. Cantik sekali. Betah saya kerja di sini," kata Pak Kadek mengulurkan tangannya, tertawa semringah, memamerkan gigi-gigi yang menguning tergerus nikotin.
Wajah Danisa memerah karena sengatan matahari, ia tersenyum dan menjabat tangan Pak Kadek. "Saya Danisa Firmansyah, Pak."
Danisa selalu menyematkan nama belakang suaminya ketika berkenalan dengan orang baru. Ia meyakini, status yang disandangnya mudah sekali menimbulkan gosip. Apa lagi lingkup pekerjaannya didominasi laki-laki. Menggunakan nama suami dan cincin kawinnya menjadi tameng pelindung hatinya. "Semoga kita bisa kerja sama dengan baik, ya!" lanjutnya ramah.
Pak Kadek membuka pintu proyek lebar-lebar, Iman memasukkan mobil dan parkir di dalam lokasi. Terhampar luas tanah kosong di hadapan Danisa. Ia membuka kacamata hitamnya, membiarkan kedua matanya menyaksikan langsung area kerja yang sesungguhnya. Kontur tanah telah mengalami pembersihan lahan total, serta cut and fill di beberapa titik yang membutuhkan. Ujung lahan proyek ini akan menjadi lokasi villa, wedding chapel, dan restauran yang masuk di zona garis pantai. Danisa hapal betul seluk beluk proyek ini, blueprint tercetak dalam otaknya.
Angin lembut menerpa kulitnya, rambut yang dibiarkan tergerai menari mengikuti angin. Danisa menghirup napas dalam-dalam, menyesap aroma tanah kering disengat matahari. Bayangan wajah Ryan kembali hadir menggodanya.
"Sayang! Kenapa sih kamu sekarang tambah gelap?" rajuk Danisa meneliti kulit wajah suami yang berada di pangkuannya.
Ryan membuka matanya, memiringkan tubuh dan kepala yang bersandar di pangkuan istrinya, lalu memeluk pinggang ramping Danisa. "Namanya juga orang proyek, Sa. Wajar lah! Kan aku jadi tambah macho!"
"Mantan copet?"
"Hu um, copet hatimu."
"Halah... gombalan kamu garing dan jadul banget!"
"Habisnya pertanyaan kamu aneh-aneh sih." Ryan membalik tubuhnya, mengambil remote dan menyalakan tv. Kegiatan yang paling digemari di rumah hanya dua hal, tiduran di sofa dengan kepala menumpu di pangkuan Danisa seperti yang dilakukannya saat ini. Yang kedua adalah menonton channel olah raga di tv.
"Kamu kaya nggak tau panasnya Bali aja, Sa. Nggak kenal hujan. Belum lagi tiap hari aku mandi debu di proyek, sampai lengket dan berkerak kulitku."
"Ya makanya, kalau mandi yang bersih. Digosok semua sampai keraknya luntur."
"Mana sempat, Sayang. Proyek lagi hectic banget. Bisa tidur dua jam dalam sehari saja sudah bersyukur."
"Jadi kamu nggak mandi-mandi, ya?"
"Kamu hobinya nuduh suami deh! Ya aku mandi tiap hari, tapi—"
"Tapi apa?"
"Mandi syarat aja, lagian kan, nggak ada kamu yang mandiin aku."
Dada Danisa berdesir, ingatannya melompat ketika jenazah Ryan tiba sudah dalam keadaan terbungkus rapi. Ia bahkan tidak diperkenankan menciumnya untuk yang terakhir kali.
Ryan, aku sudah datang. Menghirup udara yang pernah kau hirup. Kulitku akan terbakar oleh matahari yang sama dengan yang menyengatmu dulu. Debu akan memandikanku, seperti yang pernah mereka lakukan padamu. Ini caraku mencium dan memelukmu dari jauh.
"Man!"
"Siap, Bu!" jawab Iman berteriak dari pos satpam.
"Yuk, cari makan."
"Oke!"
Keduanya berpamitan pada Pak Kadek dan berlalu meninggalkan lokasi proyek.
"Kantor kita di mana, Man? Kosku?"
Iman yang semula sudah mau menginjak pedal gas mengurungkan niatnya. Ia membuka kaca jendela lebar-lebar. "Bu Nisa lihat gang itu? Di sebelah toko oleh-oleh," tunjuknya.
"Hu uh."
"Nah, masuk situ, Bu. Lurus saja, pertigaan pertama, di pojok ada rumah dua lantai. Pak Kristo menyewa rumah itu untuk kantor kita. Sebelahnya lagi, juga disewa, untuk tempat tinggal saya dan tim lainnya."
Danisa mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Iman. "Lalu kosku di mana?"
"Pertigaan kantor tadi itu berdampingan dengan tanah kosong. Pak Kristo sewa itu untuk dibuat bedeng, tempat tinggal para pekerja."
"Terus aku tidur di bedeng, gitu?"
Iman tertawa terbahak-bahak. "Ya nggak mungkin lah. Ibu ada-ada aja. Di ujung gang, berhadapan dengan tanah kosong itu ada rumah kos. Nah, itu baru tempat tinggal Ibu."
"Bagus, nggak?"
"Bagus, bersih, saya ambilkan kamar di lantai dua. Mau lihat dulu?"
"Kalau kos Kristo di mana?"
"Belum saya carikan, Bu. Pak Kristo bilang mau cari sendiri."
Dasar si Kristo, curang banget dia! Pasti pilih yang bagus dan jauh dari proyek. Supaya bisa bebas, gerutu Danisa dalam benaknya.
"Eh iya, Ibu mau makan di mana?"
"Cari yang dekat sini aja, Man. Terus kalau bisa ngelewatin supermarket atau minimart. Ada yang mau saya beli untuk perlengkapan di kos."
"Siap, Bu!"
*****