Ternyata kamar kos pilihan Iman tidak buruk juga. Pemiliknya bernama Ibu Hajjah Lutfiah, seorang janda tua asal Madura. Ia mengelola rumah kos ditemani anak perempuan angkat yang masih SMP. Tiga anak laki-lakinya merantau di Jakarta, Surabaya, dan paling kecil bekerja sebagai koki di kapal pesiar.
Rumah kos itu berbentuk menyerupai huruf U. Di bagian tengah merupakan rumah induk, ruang terbuka di depan untuk parkiran motor dan mobil. Di kiri kanan berderet kamar-kamar kos dengan beragam harga menyesuaikan fasilitas yang disediakan. Iman mengambil kamar dengan fasilitas lengkap untuknya. Kasur queen size, pendingin ruangan, tv, kulkas dan mini dispenser. Setiap kamar memiliki meteran listrik sendiri. Setiap bulan, Ibu Hajjah akan menambah biaya kos dengan perhitungan pemakaian listrik. Karena Danisa tinggal sendiri, maka penggunaan air tidak dibebani biaya tambahan.
Dari semua fasilitas itu, ada dua hal yang kurang disukai Danisa. Pertama, kamar hanya memiliki satu pintu dan jendela yang tidak terlalu lebar di bagian muka. Kamar mandi terletak di bagian belakang, tanpa ada ventilasi, sehingga udaranya pengap. Pintu dan jendela harus dibuka lebar-lebar supaya udara berganti, dan Danisa tidak menyukai hal itu. Membuka pintu berarti mengizinkan siapapun yang melalui teras depan kamar untuk menengok ke dalam kamarnya. Padahal kamar itu satu-satunya ruang pribadinya di sini. Yang kedua, ia baru menyadari kemudian. Sebagian besar penghuni kos adalah pasangan menikah dengan satu atau dua anak yang masih kecil. Suasana sangat ramai sepanjang hari membuat Danisa tidak dapat beristirahat dengan tenang.
Aku harus segera mencari rumah kos yang baru. Kasian kalau Atalla datang berkunjung, dia pasti tidak betah. Lagi pula, aku juga butuh ketenangan, pikir Danisa.
Karena belum banyak yang dapat dikerjakannya, Danisa ikut Iman menjemput Kristo di bandara. Kemudian mereka langsung makan siang di rumah makan yang menyediakan menu Chinese food.
"Besok tim sipil datang, Sa. Kita sudah bisa mulai koordinasi lapangan."
"Siapa? Pak Waluyo?"
"Nggak, masih repot di Karawang. Belum hand over juga. Lagipula Pak Waluyo mau off dulu, capek katanya."
"Lalu Project Managernya siapa?"
"Belum diputuskan sih, tapi sepertinya Pak James punya calon baru. Aku sendiri belum tahu orangnya siapa."
"Humm, kalau PM baru berarti dia sekalian bawa perangkatnya dong?"
"Harusnya begitu, karena kita memang kekurangan SDM. Pak James belum memutuskan membuka lowongan baru."
"I see."
"Kalau terpaksanya tim untukmu diambil dari tenaga outsource, gimana?"
Danisa menghentikan suapannya. Diteguknya air mineral dingin, kemudian ditatapnya wajah Kristo. "Aku fine kok, nggak ada masalah. Yang penting orang-orangnya bisa kerja dengan benar," ucapnya.
"Deal kalau begitu. Aku masih propose Dicky supaya kesini. Semoga dia mau."
"Istrinya sebentar lagi melahirkan, Kris. Kasihan istrinya kalau harus jauh-jauhan. Dia bisa support aku dari kantor kok. Kalau anaknya sudah lahir, bisa deh kamu suruh dia nyusul kesini."
Kristo diam seolah menikmati makanannya, namun keningnya tetap berkerut-kerut. Otaknya terus berputar memikirkan Danisa. Dia ingat pembicaraannya dengan Pak James setelah keputusan Danisa mendapat tugas lapangan ini.
"Kris, kamu nggak punya hubungan dengan Danisa, kan?" tanya Pak James kala itu.
"Hah? Maksud Bapak?"
"Yah, kalian kan dekat. Sangat dekat kalau saya boleh menilai."
"Saya sudah berkeluarga, Pak. Janji pernikahan masih saya pegang teguh. Danisa saya anggap sebagai pengganti Ryan. Sahabat, saudara, sekaligus rekan kerja. Tidak lebih dari itu. Istri saya pun sangat support terhadap Danisa. Mereka sering berkomunikasi sejak dulu," tutur Kristo.
"Kau tahu kan, Kris. Manusia bisa berubah... Karena satu dan lain hal."
Kristo mengernyitkan keningnya. Dia tidak menyukai arah pembicaraan bosnya itu. Tersinggung namun tidak bisa berkata atau berbuat kasar. Dia sangat mengenal watak dan tabiat Pak James yang bicara blak-blakan tanpa tedheng aling-aling. Namun bagaimanapun juga, Kristo ingin meluruskan agar topik tidak berlarut panjang dan melebar.
"Ada yang Bapak khawatirkan tentang Danisa?" tanya Kristo hati-hati.
Pak James mengatup rapat mulutnya. Mengetuk-ngetuk meja kerja dengan jemarinya. "Saya tidak khawatir dengan pekerjaannya. Dia profesional. Hanya saja—"
Kristo gelisah menunggu apa yang akan disampaikan Pak James.
"Saya mencurigai Danisa memiliki motif lain. Dia begitu bersikeras ingin handle The Premier. Kenapa harus ke Bali? Padahal di saat yang hampir bersamaan, kita juga harus mulai mengeksekusi Playground and Nursery di BSD," lanjut Pak James. "Well, proyek itu memang nilainya jauh lebih kecil dari The Premier. Tapi itu awal yang baik kalau Danisa ingin memulai karier di lapangan."
"Lalu kenapa Bapak menyetujui pengajuannya? Maaf, tapi jujur saya heran dengan sikap Bapak."
Pak James memasang wajah lebih serius dari biasanya. "Saya kira kalian punya hubungan spesial dan menginginkan ruang yang lebih private di luar Jakarta."
Wajah Kristo memerah, meredam gemuruh kesal dalam dadanya. Bos satu ini telinganya panjang. Mendengar perkataan orang yang belum tentu benar, pikir Kristo.
"Sama sekali tidak, Pak. Semua itu cuma selentingan, kabar gosip anak-anak yang cemburu sama Danisa," tandas Kristo tegas membela harga dirinya dan juga Danisa.
"Hmm, oke, oke." Pak James melihat sorot mata jujur Kristo. "Satu lagi, karena kita kekurangan SDM, kamu ambil tenaga outsource saja untuk tim The Premier."
"Semua atau tim sipil saja, Pak?"
"Saya sedang propose seorang PM senior untuk tim sipil. Kamu ambil outsource untuk tim Danisa. Saya sudah suruh Stanny cari orang keuangan yang mau stay di Bali."
Keputusan ini membuat Kristo sedikit terkejut. Danisa mendapat tim yang berisi orang-orang outsource. Itu bisa jadi masalah kalau sahabatnya tidak mampu memimpin timnya dengan baik. Akhirnya Kristo paham mengapa Pak James memintanya mendampingi Danisa selama empat hari dalam sepekan. Bosnya itu memang seringkali memiliki pemikiran yang tidak bisa ditebak kemana arahnya. Banyak kejutan-kejutan yang biasanya kurang mengenakkan sepanjang karier Kristo mendampingi Pak James membesarkan perusahaannya itu.
"Oke, Kris. Segera hubungi kantor Adrian untuk bantuan tenaga outsource," perintah Pak James.
"Bukan Pak Stevan?" Kristo kembali bingung dengan pilihan bosnya.
"Orang-orang Stevan kurang kompeten. Saat ini Adrian sedang ada di Bali. Besok kau temui dia bersama Danisa." Pak James mengisyaratkan agar Kristo segera keluar dari ruangannya. Kristo paham, ia tidak bertanya lebih lanjut lagi. Mengangguk hormat lalu pergi meninggalkan ruang kerja Pak James.
Penunjukan anggota tim yang berisikan tenaga outsource membuat Kristo terus menebak-nebak isi kepala bosnya. Danisa harus kuat memegang kendali, supaya anggota tim bisa mengikuti arahannya. Kristo terpaksa meyakini perkiraannya, Pak James bermaksud menguji mental Danisa. Memberikan apa yang diinginkan sahabatnya itu, sekaligus menantang kompetensinya. Peluang apa yang akan didapat kalau Danisa berhasil? Apa yang terjadi kalau dia gagal? Kristo gelisah membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu. Ia berharap semuanya baik-baik saja. Proyek lancar hingga selesai, dan mereka semua bisa kembali bekerja di Jakarta.
"Sudah, yuk. Balik kantor!" ucap Danisa ketika telah menyelesaikan makan siang mereka. Mengembalikan perhatian Kristo dari pikirannya yang berjalan kemana-mana.
"Yuk, aku drop kalian ke kantor. Atau kamu mau balik ke kosmu. Belum ada kerjaan, kan?"
"Kamu mau kemana, Kris? Ada meeting?"
"Iya, mau ketemu sebentar sama orang yang urus Amdal. Setelah itu mau muter cari kos," jawab Kristo nyengir. Dia tahu, Danisa pasti protes karena dia tidak diberi pilihan mencari kosnya sendiri.
"Curang kamu, Kris!" tukas Danisa kesal sambil berjalan menuju pick up point, menunggu Iman menjemput dari arah parkiran.
Nah benar kan, pikir Kristo. "Biar cepat, Buuu! Dari pada kamu putar-putar sendirian, kan belum hapal jalan. Kalau besok mau cari yang lain juga nggak apa-apa, kok. Yang penting sekarang sudah ada tempat dulu. Sambil jalan diselesaikan satu persatu."
Perempuan itu meninju lengan Kristo. Ia tahu jalan pikiran sahabatnya itu. Memang ada benarnya juga, Danisa selalu penuh pertimbangan dalam segala hal. Ia sendiri tidak yakin dapat menemukan rumah kos yang sesuai dengan seleranya dan sesuai budget yang diberikan kantor dalam waktu cepat. Kalau kemarin Iman belum mencarikan, bisa-bisa dia menjadi penunggu kantor dua puluh empat jam sehari!
*****