Packing oh, Packing!

1210 Kata
"Ma, janji ya nanti sering telepon aku," ujar Atalla dengan wajah sedih. Danisa mengusap rambut anak semata wayangnya. Perpisahan selalu saja menyisakan luka dan air mata. Sejujurnya ia pun berat melakukan semua ini. Tapi semua harus dilakukan dan dijalani dengan ikhlas. "Ata nggak usah sedih, ya, Sayang. Mama akan telepon kamu setiap malam sepulang kerja. Ata belajar yang rajin, nurut sama Oma. Nanti kalau libur sekolah, Ata bisa susul Mama ke Bali, okay?" "Bener ya, Ma?" Danisa mengangguk cepat yang disusul dengan pelukan erat lelaki kecilnya. Dikecup pucuk kepala Atalla berulang kali. Anak itu, walalupun anak tunggal tidak pernah bersikap manja, baru kali ini dia merajuk. Semenjak ayahnya meninggal justru menunjukkan sikap dewasa. Seringkali berusaha menjadi pelindung ibunya. Membuat Danisa tersenyum mengenang sifat dan wajah mendiang suami, semuanya diwarisi tanpa sisa pada anaknya itu. Atalla mengendurkan pelukannya, mendongak untuk melihat wajah ibunya. "Memang apa sih yang Mama cari di Bali? Apa benar Papa meninggalkan sesuatu untuk kita?" Sang ibu melepaskan pelukan putra tunggalnya. Digenggamnya erat kedua tangan anaknya. "Mama juga belum tahu, Sayang. Sehari sebelum meninggal, papamu hanya mengirim pesan, akan ada kejutan istimewa. Ketika itu Mama menjawab, bawa pulang kejutannya. Tapi papamu mengatakan tidak bisa. Kejutan itu hanya ada di Bali, tidak bisa dipindahkan," ucap Danisa menjelaskan panjang lebar, lalu menghela napasnya. Selama dua tahun ini dia berusaha mencari tahu tentang kejutan yang dibicarakan suaminya itu. Belum ada titik terang yang ditemuinya. Bahkan Kristo, sahabat terdekat, satu-satunya tempat Ryan berbagi cerita selain Danisa, tidak mengetahui apa yang disembunyikan Ryan untuknya. Berulang kali Danisa mencoba melupakan pesan suaminya itu. Ia ingin move on, melanjutkan hidup bersama Atalla, dan melupakan kepedihannya. Namun semakin ia berusaha, semakin jelas bayangan Ryan di pelupuk matanya. Menyuruhnya pergi mencari dan menemukan kejutan yang ditinggalkan. "Ma." "Ya, Sayang?" "Kalau nanti Mama sudah berhasil menemukan peninggalan Papa, apa Mama langsung pulang ke Jakarta dan tidak tinggal di Bali lagi?" Danisa kembali terdiam. Ia belum merencanakan sejauh itu. "Ma?" "Hmm, Mama belum tahu jawabannya, Atalla. Karena Mama tidak tahu apa yang ditinggalkan Papa untuk kita." "Humm..." Atalla mengerucutkan mulutnya sambil menggoyang-goyangkan kedua kakinya. Danisa gemas melihat tingkah lelaki kecil kebanggaannya. Dicengkram wajah Atalla lalu digigit pipinya berulang kali hingga anaknya meronta kesakitan. "Stop, Ma, stop. Aargh! Mamaaa! Sakiiit..." "Kamu sih, gemesin!" kata Danisa menyolek hidung mancung putranya. "Mama nggak boleh kaya gitu lagi sama aku. Aku sudah gede, Ma. Malu-maluin. Ih! Basah lagi!" tukas Atalla menyeka pipinya dengan kesal. Danisa tertawa melihatnya. "Mama nyebelin, ah!" teriak Atalla berlari keluar kamar ibunya. Danisa merapikan barang-barang yang akan dibawanya ke Bali. Baju kerja, baju harian, tas, sepatu, peralatan make up, semua dimasukkan dalam satu koper berukuran 24 inch. Sedangkan berkas-berkas pekerjaan ia jejali ke dalam tas laptopnya. Kemudian dimasukkannya lembar-lembar seratus ribuan ke dalam amplop. Uang itu akan ia berikan pada ibunya untuk keperluan sehari-hari di rumah sampai ia menerima gaji tanggal 25 nanti. Ia hanya menyisakan secukupnya dalam dompet untuk dirinya sendiri. Tujuan ke Bali bukan untuk bersenang-senang, Danisa sangat membatasi pengeluarannya. Ia lebih memikirkan masa depan putranya. Dulu Ryan pernah mencetuskan keinginannya menyekolahkan Atalla di luar negri saat kuliah nanti. Danisa bertekad kuat mewujudkan impian itu. Atalla adalah masa depannya. Pagi itu Danisa sibuk menyiapkan sarapan Atalla dan untuknya sendiri. Semalam setelah selesai packing, ia menyempatkan membuat camilan yang dapat disimpan di freezer untuk putranya selama beberapa hari ke depan. Hari ini ia masih harus berangkat ke kantor. Mengambil sejumlah dokumen yang telah disiapkan Stanny, Manager SDM. "Nisa, tiketmu sudah kukirim melalui email. Sudah terima?" tanya Stanny ketika Danisa datang ke ruanganya. "Sudah. Trims, ya." "Besok kamu dijemput sama Iman di bandara Ngurah Rai. Kosmu juga sudah disiapkan. Dekat dengan proyek, bisa jalan kaki sih. Motor juga sudah disiapkan di proyek. Kamu tinggal minta kunci kamar kos dan motor sama si Iman." "Iman yang mana, sih?" "Itu lho, yang anak Jember. Dulu dia di Divisi Umum, terus Pak Kristo minta dia dibawa ke Bandung, bantu-bantu di sana." "Yang anaknya lugu, dan kalau ngomong polos banget itu?" "Iya, dia! Yang hobi ngabisin makanan di meja pantry." "Oh. Hahaha! Oke, aku ingat. Sejak kapan dia di Bali?" "Dua hari lalu Kristo kirim dia ke sana. Supaya dia siapin segala keperluan sebelum tim lapangan datang." Oh, I see." Danisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian membaca dokumen yang diberikan oleh Stanny. "Stan, ini aku nggak paham maksudnya," kata Danisa menunjuk tulisan yang tertera di kertas dokumen. "Mana?" Stanny mengambil kertas yang semula dipegang Danisa, lalu membacanya. "Oh, ini. Jadi, kamu dapat jatah libur lima hari setiap akhir bulan. Nah, kalau kamu mau pulang ke Jakarta, boleh. Hanya saja, kamu tidak mendapatkan uang tiket setiap bulan. Tiket diberikan hanya untuk berangkat besok, selanjutnya setiap tiga bulan sekali, lalu terakhir pada saat proyek selesai dan tim lapangan telah melakukan hand over ke klien," papar Stanny. Danisa mengangguk-angguk mendengarkan dengan penuh perhatian. Seperti yang telah dikatakan Pak James, fasilitas yang diberikan sama dengan staf lainnya. Itu berarti termasuk jatah tiket. Itu juga berarti pengaturan keuangannya harus lebih ketat lagi, bila dia ingin pulang setiap bulan menemui buah hatinya. "Tenang, Nisa. Tim lapangan punya previlege lain kok." Stanny paham, rekan kerjanya itu pasti memikirkan pengeluarannya setiap bulan. "Apa, Stan?" "Uang kos, bensin, tol, dan uang makan siang dan malam kalau lembur, plus makan tambahan bila pekerjaan lebih dari jam sepuluh malam. Kamu bisa berhemat untuk membeli tiket pulang." Mendengar penuturan itu Danisa merasa sedikit lega. "Fiuh! Okelah. Lumayan bisa napas buat beli tiket," ujarnya sambil tertawa. Stanny pun ikut tertawa melihat tingkah Danisa yang seolah baru saja melepas beban berat di pundak. Seperti Dewa Atlas memanggul bola dunia beserta isinya! "Ambil pesawat murah pas jadwalnya bayar sendiri, Sa." "Oh, jelas, Stan. Itu sudah pasti aku lakukan!" sahut Danisa. "Okay, Stan, semua sudah aku tandatangani, lalu apa?" Stanny memeriksa semua lembar dokumen yang diserahkan Danisa. "Humm, sip! Semua sudah lengkap. Tinggal kamu bawa ke Finance, ya." "Siap! Trims ya, Stan." Danisa bangkit dan beranjak keluar. "Nis, tunggu!" cegah Stanny, kemudian ia berjalan mendekati rekan kerjanya itu. Danisa menghentikan langkahnya tepat saat ia hendak memutar gagang pintu. "Kenapa? Ada lagi yang kurang?" Stanny tersenyum, memegang bahu rekan kerjanya. "You, have a great time in Bali. Cobalah pelan-pelan buka hatimu di sana. Banyak bule ganteng, sayang kalau dianggurin," canda Stanny. Danisa mengangguk, menyunggingkan senyuman lebar. "Yups! Kalau ada yang seganteng Brad Pitt pasti aku pepet!" "Jangan Brad Pitt lah, tukang selingkuh itu! Model Richard Gere atau George Clooney, atau Pierce Brosnan gitu loh!" "Lhaa, seleramu tua semua, Staaann!" "Justru itu, banyak warisannya!" Keduanya tertawa, Stanny memeluk Danisa erat. "Take care, ya. Kalau butuh apa-apa bilang sama aku. Selama aku bisa bantu, pasti kubantu." "Thanks, Stan. It means a lot." Hati Danisa penuh haru. Kantor ini sudah seperti keluarga kedua baginya. Ryan meninggalkan warisan yang sangat berharga. Teman-teman yang menerimanya dan selalu sigap membantunya. Memang tak dipungkiri, beberapa staf masih saja menatapnya penuh iri. Bisa diterima di kantor di usia yang bukan lagi fresh graduate. Mendapatkan berbagai kemudahan dari atasan yang belum tentu didapat oleh karyawan lainnya. Berbagai kabar gosip murahan seperti memiliki hubungan khusus dengan Kristo atau Pak James, berhasil ditepisnya dengan prestasi kerja yang diacungi jempol. Bukan atasan yang menilainya, melainkan dari klien langsung. Sebuah pencapaian hasil penilaian yang adil dan tidak memihak. Itu sebabnya, baik Pak James atau Kristo sangat melindungi dan mempelakukan Danisa berbeda dibanding karyawan lainnya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN