“Apa sudah selesai?” Tanyaku dalam hati.
Tepat setelah aku bertanya seperti itu, bongkahan es itu mulai bergetar. Kami yang berpikir kalau pertarungan ini sudah selesai mulai menggigit bibir kami. Orang ini tidak bercanda saat dia bilang kalo dia adalah seorang seorang iblis terkuat. Bongkahan itu bergetar cukup hebat, beberapa bagiannya juga mulai berjatuhan dan tepat di mana siluet iblis itu berada mula retak.
“Kalian, cepat pergi dari sana!” Teriakku.
Mio, Sisi, Ryan, dan Dian yang berdiri lumayan dekat dengan bongkahan itu langsung berlari menjauh. Tepat setelah jarak mereka sudah lumayan jauh bongkahan es itu meledak. Asap hitam membumbung tinggi dan saat asap itu sudah mulai hilang kami mulai bisa melihat siapa yang berdiri di dalam asap itu. Tubuhnya berwarna biru tua dengan ekor yang memiliki bulu yang lumayan tebal, Tubuhnya berbentuk seperti manusia tapi di kelilingi oleh bulu-bulu yang sangat lebat, kepalaya berbentuk serigala, dan tubuhnya itu sangat kekar dan besar. “Sial, jangan bilang iblis itu berubah bentuk.” Batinku kesal.
Biasanya kalo musuh sudah berubah bentuk kekuatan mereka akan meninggkat pesat. Asap itu sudah hilang sepenuhnya dan tepat di hadapan kami berdiri dengan gagah seekor manusia serigala. Monster itu melirik ke arah kami dengan tatapan marah, matanya berwarna merah dan di sekitar monster itu keluar aura yang sangat gelap dan menakutkan. Monster itu menghilang dan muncul di hadapan Ryan dan langsung memukul perutnya. Ryan yang tidak terkejut tidak sempat menghilang dan dia terlempar cukup jauh sampai akhirnya dia berhenti saat sudah menabrak sebuah bus dan membuat bus itu terguling.
“Ryan!” Teriak Dian.
Bertepatan dengan teriakan itu Fanrir sudah berada di belakangnya dan mencengkram kepala Dian. Dian berteriak kesakitan dan saat Fanrir mencoba untuk meremukkan kepalanya Mio muncul di samping Fanrir dan langsung memotong tangan Fanrir yang mencengkram kepala Dian. Dian terjatuh dan langsung di angkat oleh Mio sedangkan Sisi langsung mengarahkan sebuah mobil ke arah mereka. Mio menghilang dan langsung muncul di hadapan Rebeka dan yang lainnya.
“Jaga dia!” Ucap Mio lalu kembali menghilang.
Mio muncul lagi tepat di sebelah Sisi.
“Sekarang bagaimana?” Tanya Sisi.
“Aku juga tidak tau. Kekuatannya meningkat pesat,” jawab Mio.
“Kalian tidak akan bisa mengalahkan aku sekarang. Kekuatanku bertambah dua kali lipat sekarang,” ucap Fanrir.
“Sial, kekuatannya bertambah dua kali lipat? Ini dia seperti bos dalam video game yang sudah masuh ke fase ke dua,” protesku.
“Mio, Sisi cepat menyingkir darinya. Kekuatannya lebih besar dari yang sebelumnya. Ini berbahaya!” Teriakku.
Mio dan Sisi tidak berkomentar apa-apa dan langsung berlari ke arahku.
“Tidak akan aku biarkn kalian lari. Kalian sudah melihatku dalam bentuk ini, siapapun yang melihatku dalam wujud ini tidak akan aku biarkan hidup,” teriak Fanrir.
Fanrir langsung menghentakkan kaki kanannya dan dia mulai melesat mengejar Mio dan Sisi. Mio yang mlihat hal itu langsung mendorong Sisi ke kanan dan dia mengangkat pedangnya dan membuat pose bertahan. Fanrir menjulurkan tangan kanannya dan tangan itu di tahan oleh Mio dengan pedangnya. Karena kekuatan dorongan dari kaki kanannya Fanrir mendorng Mio sampai beberapa meter sampai akhirnya mereka berhenti. Fanrir langsung mencengkram pedang Mio dan langsung melemparnya, Mio terlempat cukup tinggi Fanrir langsunng mengejarnya dan saat dia sudah berada di belakang Mio. Mio langsung memutar tubuhnya dan mengayunkan pedangnya dari kiri ke kanan.
Tepat sebelum pedang itu mengenainya Fanrir lalu menghilang dan muncul di belakang Mio. Setelah berada di belakanng Mio Fanrir langung mendaratkan satu pukulan ke punggung Mio. Mio yang tidak sempat menghindar terkena serangan itu secara telak tubuh Mio melesat dari atas ke bawah dengan posisi tengkurap. Aku yang melihat hal itu langsung menghentakkan tanah dengan kaki kananku dan langsung melesat menuju arah jatuhnya Mio. Saat sudah dekat aku merentangkan tanganku dan langsung menangkapnya dan langsung membaut bola api di sekelilingku untuk meredam dampak jaruhnya. Kami berputar beberapa kali sampai akhirnya kami berhenti, bola api yang menyelimuti kami menghilang dan sekarang Mio tidak sadarkan diri di atasku. Aku melihat ke adaanya dengan perasaan cemas.
“Mio, Mio!” Teriakku memanggilnya.
Tidak ada jawaban. Aku langsung menempelkan telingaku ke dadanya, untuk mengecek apa detak jantungnya masih ada. Setelah kurang dari sedetik sejak aku menempelkan telingaku aku mulai mendengar detak jantungnya. Menngetahui kalau Mio masih hidup membaut perasaanku sedikit lega, tepat setelah aku merasa bersyukur Fanrir sudah berdiri di belakangku dengan sebuah pedang berada tangan kanannya bersiap untuk menusukku dan Mio bersamaan. Tepat sebelum dia mulai menusukkan pedangnya padaku, tubuhku terasa ditarik dan aku terseret ke atas setinggi beberapa meter bersama dengan Mio. Melihat Mio melayang di sebelahku aku langsung meraih tangannya dan langsung memeluknya dengan posisi aku yang berada di bawah gar Mio tidak menerima dampak dari jatuh kami terlalu besar. Kami jatuh tepat di depan kaki Sisi.
“Kakak, Mio kalian tidak apa-apa?” Tanyak Sisi Khawatir
“Tidak apa-apa, dia hanya pingsan,” Jawabku. “Bagaimana dengan yang lain?”
“Mereka selamat, sekarang kita harus pergi dari sini,” ucap Sisi.
“Yah, aku tahu. Tapi bagaimana untuk mengelabuhi dia?”
“Akupunya ide,” Ucap Dave. “Kita buat dia buta.”
“Bicara memang mudah, tapi bagaimana?” Tanya Dian.
“Pertama kiat butakan dia dengan flashbang lalu Ryan kau buat pusaran angin yang sangat besar. Lalu Sisi kau hancurkan semua bongkahan yang dapat kau angkat menjadi butiran-butiran,” ucap Rebeka.
“Baiklah,” ucap Ryan mantap.
“Wah, kau masih hidup ternyata,” ucapku dengan nada datar.
“Jangan berpikir kalau cuma kau yang mempunyai kemampuan pemulihan yang cepat,” Ucap Ryn dengan nada sombong.
“Bicaranya nanti saja, sekarang kita pergi dulu dari sini!” Teriak Dave.
Sisi langsung mengangkat tangannya. Dan saat dia mengangkat tangannya bongahan-bongkahan yang ada di sekitar mulai terangkat ke atas dan bertubrukan satu sama lain, bongkahan-bongkahan itu mulai berubah menjadi butiran-butiran debu. Ryan lalu mengeluarkan kekuatannya dan langsung membuat pusaran angin, pertama pusaran angin itu kecil dan saat Ryan membentangkan tangannya pusaran angin itu secara tiba-tiba langsung berubah menjadi besar dan butiran-butiran debu itu menutupi kami dan mambuat jarak pandang menjadi sangat terbatas.
***
Fanrir mengira kalo pusaran angin itu di buat untuk menutupi pandangannya agar mereka bisa kabur dan itu benar mereka memanfaatkan keadaan itu untuk menyelamatkan diri mereka. Fanrir langsung mengayunkan tangan kanannya yang memegang pedang secara mendatar dengan cepat dan pusaran angin itu menghilang dengan sekejap. Orang-orang yang berkumul lumayan jauh dari dirinya juga sudah tidak ada. Fanrir tersenyum dan berkata, “Kalian pikir bisa lari dariku? Hidungku ini bisa mencium bau mangsaku dari jarak ratusan kilo meter. Kalian tidak akan bisa lari atau bersembunyi.”
Fanrir lalu mulai mengendus udara dan saat dia sudah menemukan bau orang-orang yang telah membuatnya menampakkan wujudnya yang sekarang ini dia tersenyum lebar dan mulai melompat dari satu gedung ke gedung yang lain.
Sementar itu Arif dan yang lainnya masih berlari untuk menjauh dari musuhnya yang sudah berubah bentuk itu. Mereka berlari tanpa tau arah dan tujuan pokoknya lari aja.
“Leo, kita lari kemana?” Tanya Rebeka.
“Tidak tau, pokoknya lari saja,” teriak Leonardo.
“Apa dia mengejar kita?” Tanya Dian.
“Sudah pasti dan jangan bertanya apa-apa lagi. Yang penting lari saja!” Jawab Arif yang sedang menggendong Mio di punggungnya.
Mereka berhenti di sebuah parkiran bawah tanah dan Arif menurunkan Mio. Rebeka memeriksa keadaan Mio.
“Tidak apa-apa, dia hanya pingsan.”
“Syukurlah,” Ucap Arif lega.
Dia sangat khawatir dengan keadaan pacaranya baru beberapa hari menjalin hubungan dengannya yang dia tembak dengan cara yang lumayan keren, kurasa btw kembali ke cerita. Ryan, Dave, dan Leonardo pergi melihat sekitar memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Setelah yakin mereka tidak di ikuti, mereka kembali ke tempat Arif dan yang lainnya.
“Kurasa kita aman, tidak ada yang mengikuti kita,” lapor Ryan.
“Bagaimana keadaan Mio?” Tanya Dave.
“Dia baik-baik saja. Biarkan dia istirahat,” jawab Rebeka.
Sementara itu Fanrir masih mengjar mereka dengan cara melompat dari satu bangunan ke bangunan yang lainnya. Dan dia berhenti di salah satu atap rumah dan mengarahkan hidungnya ke atas dan mulai mengendus bau yang ada di udara.
“Jadi, kalian ada di san,” ucap Fanrir dengan senyuman lebar.
Dia lalu kembali berlari dan melompat saat sudah berada di ujung atap. Dia terus berlari dan melompat dari satu bangunan ke bangunan lain sampai dia berhenti dan tepat di depannya terdapat sebuah bangunan dengan dua tingkat dan jalan masuk untuk ke basement. Dia berjalan santai ke bangunan itu dan menuju pintu basement dengan langkah kaki yang sangat ringan sampai-sampai suara langkahnya tidak bisa di dengar. Setelah sampai di depan pintu dia berjalan masuk dan setelah beberapa langkah dia menemukan mangsanya yang lari tadi.
“Ketemu juga kalian,” ucap Fanrir sambil memperlihatkan deretan giginya yang tajam.
Arif dan yang lainnya yang sedang beristirahat di tempat itu terkejut dengan ke datangan Fanrir dan langsung memasang posisi bertahan. Arif menarik pedangnya, Ryan mengeluarkan panah angin, Dian mengeluarkan pedang es, Sisi mengangkat dua buah mobil di dekatnya, dan Dave, dan Leonardo mengeluarkan senjata mereka. Sedangkan Rebeka berdiri di depan Mio untuk melindunginya karena dia belum sadarkan diri.
“Bagaimana kau tau kami disini?” Teriak Ryan.
“Itu mudah saja. Hidungku bisa mencium bau kalian dari jarak ratusan kilo meter,” jawab Fanrir dengan nada sombong.
“Kau….”
Ryan bersiap melepaskan panah anginnya sampai Leonardo melarangnya.
“Ryan, tunggu jangan gunakan panahmu di sini. Kita bisa terkena dampak seranganmu juga,” Teriak Leonardo memperingatkan Ryan.
Ryan menurunkan panahnya.
“Sekarang bagaimana?” Tanya Dave.
“Kita lari,” jawab Arif.
“Tapi kemana?” Tanya Dian.
“Entahlah,”
Mereka sekarang benar-benar terpojok, melawan mereka tidak ada ke sempatan untuk menang. Dan mereka tidak bisa lari dan bersembunyi karena musuh mereka memiliki super duper ultra pro max penciuman yang bisa mencium bau mereka sejauh ratusan kilo. Laripun hanya membuang-buang energi.
“Sial, apa tidak ada cara lain?” Tanya Arif pada dirinya sendiri.
Lalu Arif teringat akan sesuatu, suatu hal yang dia rahasiakan tentang percakapannya dengan tantenya yang tidak boleh ada seseorangpun yang tahu. Tentang siapa yang ada di dalam tubuh Arif, sesosok makhluk yang sangat kuat tapi juga lemah di saat yang bersamaan. Selama libur panjang sekolah Arif selalu pergi ke rumah tantenya itu untuk belajar mengendalikan makhluk di dalam diri Arif. Yaitu adalah dirinya yang lain, sisi dari Arif yang tidak boleh keluar dan sangat berbahaya. Dan dia belajar cara untuk mengendalikan sisi lain dari dirinya itu meski sekarang belum bisa sepenuhnya mengontrolnya. Sisinya yang lain itu akan keluar kalo Arif sedang sangat marah atau tidak sadarkan diri. Sisi yang pernah Ryan ceritakan pada Dave waktu itu.
“Aku harus bisa mengendalikannya sekarang atau kita semua bakal mati,” ucap Arif dalam hati.
Arif memejamkan matanya dan berkosentrasi. Dia membayangkan hal-hal yang pernah dia alami selama ini, mulai dari yang menyakitkan sampai yang menyenangkan. Dia mengatur amarahnya, dia mengatur nafasnya, menenangkan dirinya. Dia tidak boleh terbawa terlalu dalam oleh emosinya, biarkan semuaitu mengalir ke sluruh tubuhnya seperti sungai. Saat dia mengatur emosinya Fanrir yang merasakan firasat buruk saat melihat Arif memejamkan matanya mulai menyerang. Dia berlari dan bersiap mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah ke arah Arif. Ryan yang melihat Arif memejamkan matanya dan tidak mengetahui serangan itu langsung menariknya. Arif membuka matanya karena terkejut, matanya yang mulanya berwarna merah kembali ke warna asalnya. Tarikan Ryan itu tepat waktu sebelum tebasan pedang Fanrir mengenainya.
Ryan lalu membuat sebuah pusaran angin seukuran dengan sebuah mobil dan menarik Arif dan yang lainnya untuk naik ke pusaran angin itu dan mereka terbang pergi meninggalkan parkiran itu.
“Kalian tidak apa-apa?” Tany Ryan.
“Yah,” jawab Dian.
“Kau ini sebenarnya mau apa?” Tanya Ryan marah. “Memejamkan mata seperti itu, kalo terlambat sedikit saja kau bisa saja tewas.”
“Aku….”
Tepat sebelum Arif menyelesaikan perkataanya Mio mulai sadar. Dia membuka matanya secara perlahan dan merasa bingung karena orang-orang di sekitanya melihatnya dengan tatapan sangat bersyukur.
“Ada apa? kenapa kalian menangis?”
“Kami sangat kawatir padamu, kau tadi pingsan,” jawab Dian sambil memeluk Mio dan mulai menangis.
Mio merasa bingung sekaligus senang. Lalu dia tersadar kalo sebelum dia pingsan dia dan yang lainnya sedang melawan seekor monster.
“Oh iya, dimana Fanrir?” Tanya Mio. “Apa kalian sudah membunuhnya?”
“Kenapa kau menanyakannya? apa kau menyukainya?” Tanya Arif dengan muka di tekuk.
“Tidak-tidak, aku tidak menyukainya.”
“Sungguh?”
“Sungguh.”
“Dia ada di sana!” Ucap Arif sambil menunjuk ke belakang dengan ibu jarinya.
Mio langsung bangkit dan melihat ke arah yang Arif tunjuk. Benar saja di arah yang Arif tunjuk itu terdapat seekor manusia serigala sedang mengejar mereka. Fanrir langsung melompat, lompatan itu sangat tinggi sampai-sampai melewati pusaran angin yang di gunakan oleh Arif dan yang lainnya untuk kabur. Lalu Fanrir menikuk dengan tajam sambil mengarahkan pedangnya pada mereka. Aif yang melihat hal itu langsung mengeluarkan ekor apinya dan menahan seragan itu. Serangan itu sangat kuat sampai-sampai membuat sebuah ledakan besar saat pedang Fanrir bersentuhan dengan ekor api milik Arif.
Pusaran itu menghilang karena Ryan ke hilangan kosentrsi dan mereka jatuh dari ketinggian beberapa meter. Tepat sebelum mereka mnyentuh tanah Ryan menggunakan kekuatannya untuk membaut sebuah tiupan angin yang sangat kuat untuk menahan jatuh mereka. Mereka mengapung di udara sebelum mendarat dengan kedua kaki mereka dengan lambat.
“Terimakasih Ryan,” ucap Rebeka.
“Terimakasihnya nanti saja, sekarang kita pergi dulu,” saut Arif.
Mereka lalu kembali berlari menjauh dari kejaran Fanrir. Fanrir yang sudah mulai kesal lalu mengeluarkan sihirnya, puluhan lingkaran sihi muncul di sekitarnya dan langsung menembakkan berbagai senjata tajam. Arif dan yang lainnya berusaha menghindar dari serbuan puluhan senjata tajam itu. Dian membuat dinding es yang sangat tebal dan keras untuk menahanya sedangkan Ryan, Mio, dan Arif sibuk menghancurkan tanah di sekitar mereka. Setelah sudah cukup Sisi mengangkat tanah yang di hancurkan oleh mereka dan tanah itu terangkat dan bongkahan tanah berukuran besar melayang ke udara dan Sisi menggunakan itu untuk melindunggi dirinya dan yang lainnya dari serbuan senjata tajam itu. Dian membuat sebuah penopang raksasa dari es untuk membantu Sisi mengangkat gumpalan tanah itu. Rencana itu berjalan dengan baik, mereka selamat dari serangan puluhan senjata tajam itu tapi tidak dengan serangan langsung Fanrir.
Dia menyerang secara langsung dengan pedangnya. Bongkahan tanah dan es itu terbelah menjadi dua saat Fanrir mengayunkan pedangnya dan melesat ke arah mereka.
“Semuanya menghindar!” Teriak Rebeka.
Mereka berlari ke segala arah untuk menghindari serangan Fanrir. Ketika mendarat Fanrir membaut debu-debuh berterbangan dan tepat dimana dia mendarat terdapat lubang yang tidak begtu dalam dapi efek dari pendaratan itu membuat Arif dan yang lainnya terhempas cukup kuat.
“Ah, Saus tartar. Aku rasa aku mendarat di pusat rasa sakitku,” ucap Ryan sambil mengelus-elus pinggangnya.
“Kurasa aku mendarat di batu,” ucap Arif.
Ryan menoleh ke arah Arif dan melihat tepat di belakangnya terdapat batu yang lumayan besar. Dan ada darah di batu itu.
“Ku rasa kau tidak hanya bercanda,” ucap Ryan dengan tatapan tidak percaya.
Arif hanya melihat Ryan dengan eksspresi datar. Fanrir melihat sekeliling setelah debu-debu itu menghilang.
“Sudah aku katakan kalian tidak bisa pergi kemana-mana,”
“Kau benar. Jadi tidak ada pilihan lain selain membunuhmu,” ucap Dave.
“Tidak...” ucap Ryan.
“Lebih tepatnya kita harus membunuhnya,” lanjut Arif.
“Baiklah, kalian akan melawanku bersamaan. Yo kemanri!”
Dian berlari sambil melepaskan anak panah esnnya ke arah Fanrir. Fanrir yang mengetahui serangan itu tidak menghindar tapi malah menangkis serangan itu dengan tangannya. Tangan yang di gunakan untuk menahan es itupun membeku, tapi hanya dengan sedikit gerakan saja es itu langung pecah tapi tangan Fanrir seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Dian membuat pedang es dan membuat setiap tanah yang di injaknya menjadi es. Dan saat jarak mereka sudah dekat Dian menyampingkan tubuhnya dan mulai meluncur di atas tanah sambil mngarahkan pedang esnya pada Fanrir. Fanrir tidak bergerak sedikipun dari tempat dia berdiri dia hanya membuat gerakan bertahan dengan pedang yang berada di tangan kanannya. Dia menahan serangan itu dengan mudah, Dian mmbaut gerakan lagi. Dia mengayunkan pedangnya ke kiri dan ke kanan tapi Fanrir bisa mematahkan setiap serangan itu.
Ryan berlari dan mengambil sebuah batang besi di hadapannya dan langsung mengayunkan batang besi itu. Fanrir mengetahui serangan itu dan menoleh ke belakang lalu menahan serangan itu dengan pedangnya batang besi yang di genggam Ryan terpotong dan Ryan melompat ke belakang. Ryan melempar batang besi di tangannya dan jari-jarinya bergerak seperti sedang memegang sesuatu. Tiba-tiba angin kencang bertiup di sekitar tangan Ryn dan tepat di sela-sela telapak tangan Ryan muncul pusaran angin yang memanjang ke kanan lalu setelah panjangnya sama dengan pedangku pusaran angin itu menghilang dan Ryan sekarang memegang sebuah pedang berwarna hijau di tangan kanannya.
“Sihir Penciptaan Angin, Pedang Roh Angin.”
Fanrir sedikit terkejut dengan apa yang di lihatnya. Dia sudah sangat lama tidak melihat sihir seperti itu. Sihir yang digunakan oleh Ryan adalah sihir tingkat tinggi yang hanya bisa digunakan oleh beberapa orang saja. Fanrir tidak tau kalo manusia seperti Ryan juga bisa melakukannya. Tidak, ada satu orang lagi yang bisa menggunakannya. Yaitu rekan anak ini yang bisa merubah api menjadi ekor.
“Aku tidak percaya aku bisa melihat sihir tingkat tinggi di dunia seperti ini,” ucap Fanrir kagum. “Tidak, masih ada satu orang lagi yang bisa melakukannya.”
“Benarkah? Aku merasa terhormat dengan itu,” ucap Ryan berbohong.
“Siapa satu orang lagi?” Tanya Dian.
“Orang itu,” jawab Fanrir sambil menunjuk Arif.
“Apa maksudmu?” Tanya Ryan.
“Ekor dan pedangmu itu, adalah salah satu sihir tingkat tinggi yang bisa merubah element sihir seseorang menjadi apa yang dia inginkan. Sihir penciptaan, biasanya berupa senjata atau berbentuk seperti bagian tubuh dan itu sangat kuat,” jelas Fanrir.
“Kalo begitu aku juga bisa melakukannya,” ucap Dian.
“Tidak, kekuatanmu belum sampai ke sana.”
“Tapi aku bisa menciptakan apapun dengan esku.”
“Itu berbeda, setiap orang yang bisa menggunakan sihir bisa menggunakannya. Tapi sihir penciptaan berbeda, benda yaang diciptakan dengan sihir itu memiliki ketahanan dan kekuatan yang sangat besar. Melakukannya tanpa latihan bisa membuatmu kehilangan nyawa. Karena sihir itu menguras sangat banyak mana dan memerlukan pengendalian mana yang sangat baik.”
“Terimakasih atas penjelasannya, sekarang ayo kita selesaikan ini!” Ucap Ryan.
Ryan menendang tanah dan tubuhnya melesat ke arah Fanrir. Fanrir yang sekarang sedang sangat bersmangat karena bisa bertarung dengan orang yang bisa menggunakan sihir tingkat tinggi yang dia saja tidak bisa menggunakannya. Ryan mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah Fanrir menangkisnya tapi dampak dari serangan itu sangat besar. Sampai membuat sebuah gelomang angin yang mendorong segala sesuatu di sekitarnya sampai-sampai Dian juga ikut terpental karena hal itu. Kaki Ryan menapak tanah dan langsung mendorong pedangnya kekuatannya sekarang mengkiat beberapa persen dan itu sudah mebisa membuat Fanrir terlempa sejauh beberapa meter ke belakang. Ryan mengejarnya dan langsung mengejarnya, dia mengayunkan pedangnya secara beruntun dari bawah ke atas, dari atas ke bawah, secara miring, dan mendatar. Fanrir juga tidak mau kalah dia mengayunkan pedangnya sama seperti Ryan dengan kecepatan yang sama juga. Ryan mengayunkan pedangnya dari atas kanan ke bawah kiri dan Fanrir melakukan hal yang sama, lalu mereka mengayunkan pedang mereka secara mendatar dan pedang mereka bergesekan sambil terus bergerak. Dari gesekan itu muncul percikan api.
Fanrir mengeluarkan lingkaran sihir di dekat kaki kanannya dan langsng melepaskan tembakan pedang ke arah Ryan. Ryan yang mengetahui hal itu langsung melompat ke belakang, dia sedikit mendorong kepalanya kebelakang agar tidak terkena serangan itu tapi ujung pedang itu menyerempet poni leparnya dan membuat poni itu terpotong. mengetahui hal itu Ryan langsung marah.
“Woy, otak kerang. Kau tau berapa lama aku membuat poni ini?” Umpat Ryan marah.
“Poni lempar Ryan sudah terlempar jauh sodara-sodara sekalian,” Teriak Arif mengejek Ryan.
“Dari pada kau jadi komentator gak jelas seperti itu lebih baik kau bantu dia,” tegur Dave.
“Aku sudah melakukannya sejak tadi.”
“Apa?”
“Ryan, awas kepala!” Teriak Arif.
“Apa?” Ucap Ryan bingung.
Ryan langsung mendongak ke atas dan dia menendapati kalo tepat di atasnya terdapat bola api raksasa sedang jatuh ke arahnya. Ryan langsung menghentakkan tanah dan kembali ke tempat Arif berdiri. Fanrir sedikit terkejut karena dia tidak menyadari hal itu, saat dia beruha untuk pergi dari sana kakinya sudah di bekukan oleh Dian dan di ikat dengan besi oleh Sisi dan Mio. Fanrir sedikit tersenyum dan bola api itu menimpa dirinya, terjadi ledakan besar saat bola api itu menyentuh tanah.