"Jadi. Bagaimana cara kita pergi ke bandara?" Tanya Sisi.
Kami sekarang sedang di ruang tengah dan masih mendiskusikan tentang rencana kami untuk pergi ke jepang. Tapi sebelum itu kami harus ke bandara dulu. Masalahnya jarak dari rumah ini ke bandara itu cukup jauh dan mobil milik orang tua Ryan cuma muat lima orang saja. Sedangkan kami ada tujuh orang.
"Bagaimana kita nyari mobil di jalan?" Ucapku memberi saran.
"Maksudmu kita maling gitu?" Ucap Dian.
"Yap, karena cuma tinggal kita di sini, jadi tidak masalah kalau kita maling beberapa barang."
"Memang, tapi itu tetap bukanlah hal yang baik." Ucap Mio.
"Woy, kau sendiri juga sudah maling beberapa barang di mini market beberapa hari yang lalu. Dan beberapa pasang baju." Ucapku protes.
"Yah, hehe."
"Hehe." Ucapku dengan nada mengejek.
"Jadi dimana kita bisa mencari mobilnya?" Tanya Rebeka.
"Untuk itu serahkan saja padaku." Ucapku sedikit sombong.
"Kau tau dimana tempatnya?" Tanya Leonardo.
"Tetanggaku ada mobil van. Kita bisa gunakan itu." Jawabku.
"Siapa?" Tanya Sisi.
"Pak Rahmat. Dia kan punya mobil van."
"Kalo begitu, aku dan Arif pergi mengambil mobil itu. Sedangkan kalian persiapkan barang-barang yang akan kita bawa!" Ucap Leonardo.
"Tapi kita juga butuh senjata. Bagaimana?" Tanya Dian.
"Untuk itu, serahkan padaku." Jawab Ryan.
"Kau tau dimana kita bisa mendapatkan senjata?" Tanya Rebeka.
Ryan mengangguk sekali.
"Kalo begitu aku dan Ryan yang akan pergi mengambil senjata." Ucap Dave.
"Kalo begitu, ayo berangkat!" Ucap Rebeka.
***
Aku dan Leonardo berjalan menuju rumah tetanggaku yang mempunyai mobil van. Dalam perjalanan kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Mulai dari bagaimana aku belajar bahasa Inggris sampai tentang kekuatanku. Aku sudah menjelaskannya kemarin tapi sepertinya Leonardo hanya ingin memastikannya saja.
"Seperti itu. Apa kau paham sekarang?"
"Ya, dan juga. Arif, kenapa kau membawa katana?"
"Kenapa? Karena lingkungan di sini sudah menjadi berbahaya. Aku harus selalu siap sedia kalau-kalau ada monster yang muncul lagi."
"Jangan sombong karena kau sudah membunuh satu monster. Kalau ada monster yang lebih kuat muncul, kau bisa saja mati."
"Aku tau itu. Karena itu aku berlatih lebih giat dari pada sebelumnya. Dan ngomong-ngomong tentang monster yang kau bicarakan tadi. Ada satu di depan." Ucapku sambil, menunjuk arah depanku yang sudah ada makhluk yang berdiri di sana dengan tatapan haus darah.
"Apa?" Ucap Leonardo terkejut dengan ucapanku.
Dia menoleh ke depan dan melihat ada beberapa monster berbentuk anjing. Sekarang ukurannya sama seperti anjing pada umumnya. Kurasa rasnya sama seperti anjing polisi, di beberapa bagian tubuh anjing itu tampak sudah membusuk dan mengeluarkan bau busuk yang menyengat, di tambah beberapa bagian berlubang dan menunjukkan tulang-tulang mereka.
"Ghoul kah, ini berbeda dari yang aku bayangkan." Ucapku.
"Kau tau mereka makhluk apa?"
"Sepertinya. Dari yang sering aku lihat di anime atau film-film mereka di sebut ghoul. Tapi, ini berbeda dari apa yang aku bayangkan."
"Memangnya menurutmu mereka itu seperti apa?"
"Berbentuk manusia, cantik, mata mereka bisa berubah menjadi merah dan bagian yang putih menjadi hitam, di bagian belakang mereka bisa keluar senjata biologis, mereka hanya bisa memakan daging manusia, dan hanya bisa minum kopi."
"Kau terlalu banyak menonton anime." Ucap Leonardo dengan raut muka datar.
"Mereka datang!"
Leonardo langsung mengeluarkan senjatanya dan aku menghunus katanaku lalu memasang kuda-kuda. Sebenarnya aku ingin lari saja, tapi kami sudah di kepung dari berbagai arah. Anjing-anjing itu berlari ke arah kami, aku mengeluarkan kekuatanku. Pedangku di selimuti api dan aku menebaskan pedangku secara vertikal. Api itu melesat membentuk garis vertikal dan membakar anjing yang berada di depan. Anjing-anjing yang terkena seranganku mengeliat kesakitan dan mati setelah beberapa saat.
Sedangkan Leonardo sibuk menembaki anjing-anjing yang menyerangnya. Tiap kali tembakannya mengenai kepala anjing-anjing itu, kepala mereka langsung meledak.
"Magnum Revolver, aku suka senjata itu." Ucapku kagum.
"Yah, aku juga menyukainya."
Aku terus menebas setiap anjing yang menyerangku. Mereka tidak terlalu susah untuk di tangani, tapi ini terlalu banyak. Aku mengangkat kedua tanganku dan menusuk anjing yang aku injak tubuhnya. Aku menusuknya tepat di kepalanya. Aku tidak menyadari ada satu ekor yang melompat ke arahku dari belakang. Aku menoleh ke belakang dan terkejut karena ada seekor anjing yang melompat ke arahku dengan mulut terbuka lebar. Aku menangkis serangan anjing itu dengan katanaku. Aku terjatuh dan anjing itu menggigiti pedangku. Air liurnya berjatuhan anjing itu terus menggerogoti pedangku dan mencoba mematahkannya dengan giginya. Aku berusaha mendorong anjing itu menjauh tapi anjing itu terlalu kuat, aku tidak bisa mendorongnya. Tiba-tiba kepala anjing itu meledak, aku terkejut dan menoleh ke samping kanan. Aku melihat Leonardo menodongkan senjatanya padaku. Aku melihat asap keluar dari selongsong senjata itu. Leonardo tersenyum sambil terengah-engah, aku juga ikut tersenyum.
Tiba-tiba ada satu anjing yang melompat ke arah Leonardo. Katanaku langsung mengeluarkan api dan aku menggerakkan tangan kananku dari bawah ke atas. Api itu melesat dan memotong kepala anjing yang melompat ke arah Leonardo.
"Kau tidak apa-apa?" Tanyaku.
"Kau sendiri terlihat berantakan."
"Yah, ini bau."
"Aku setuju. Ayo kita cepat ambil van itu lalu pulang dan mandi !"
"Aku setuju."
Anjing yang aku bunuh tadi adalah anjing terakhir. Sekarang kami berlumuran darah dan ini bau banget. Kami mempercepat jalan kami sampai akhirnya kami sampai di depan rumah Pak Rahmat. Rumahnya memang tidak terlalu besar, tapi setidaknya ada garasi dan di isi oleh satu buah mobil van.
"Sekarang, bagaimana kita masuk?" Tanyaku.
Leonardo berjalan ke depan pintu rumah. Dan tanpa peringatan menendang pintu itu sampai terbuka.
"Ayo masuk! Gak perlu sungkan. Anggap saja rumah sendiri."
"Aku rasa, aku suka pria ini." Ucapku dalam hati.
Kami berjalan masuk dan mulai mencari kunci mobil. Kami berpencar, aku periksa di belakang sedangkan Leonardo di depan. Aku membuka setiap kamar. Sebenarnya ini rumah hanya punya empat kamar saja. Aku juga mencari di dapur, aku membuka setiap benda yang bisa aku buka. Termasuk kulkas dan mengambil beberapa makanan di sana.
"Woy, kau sedang apa?" Tanya Leonardo saat melihat aku mengotak-atik lemari es.
"Mencari kunci mobil."
"Mana ada orang menyimpan kunci mobil di dalam kulkas."
"Siapa tau kan?"
"Sudahlah, aku sudah dapat. Ayo kita pergi?"
"Ayo!" Ucapku sambil memegang beberapa makanan ringan.
"Kau akan membawa itu?"
"Kenapa? Aku lapar."
"Kita baru saja sarapan dan ini belum ada tiga jam."
"Jangan di pikirkan. Ayo pergi!"
Kami akhirnya keluar dari rumah itu dan membawa mobil vannya. Tidak lama kami sampai di rumah, di sana aku bisa melihat Dave dan Ryan baru mau akan masuk ke dalam rumah. Mereka membawa beberapa tas hitam besar. Leonardo memarkirkan mobilnya tepat di depan mobil orang tua Ryan. Kami keluar dari mobil dan berjalan menghampiri mereka.
"Ya ampun, kalian kenapa?" Tanya Dave.
Mereka terkejut melihat kami berlumuran darah.
"Sebaiknya jangan tanya." Jawabku datar.
"Dan juga, kalian tampak berantakan." Ucap Leonardo.
"Bisa kita masuk sekarang?" Ucap Dave mencoba mengakhiri pembicaraan.
***
Ryan dan Dave berjalan melewati gang-gang kecil. Mereka tidak berbicara semenjak pergi dari rumah.
"Ryan, aku boleh tanya sesuatu padamu?"
"Apa itu?"
"Apa Arif itu seorang psycho?"
"Bukan, kenapa?"
"Bukan apa-apa, hanya saja. Tatapannya waktu itu, seperti tatapan seorang pembunuh. Tidak, lebih buruk dari itu."
"Dia bukan seorang psycho, hanya saja dia mempunyai dua kepribadian."
"Dua kepribadian?"
"Iya, yang pertama adalah kepribadian aslinya, yang kita lihat setiap hari. Dan yang satu lagi, kepribadian yang sangat menakutkan."
"Menakutkan?"
"Yap, kepribadian yang tidak memiliki emosi sama sekali. Tidak memiliki rasa kemanusiaan dan hati nurani. Kepribadian yang sangat kau tidak ingin melihatnya. Aku sudah beberapa kali bertemu orang yang membunuh untuk bersenang-senang. Tapi, dari mereka semua. Hanya Arif yang tidak ingin aku buat marah, apa lagi membuatnya mengamuk."
"Memangnya seberapa mengerikan?"
"Dulu, saat aku masih smp. Aku pernah di culik."
"Benarkah?"
"Yap, sialnya Arif dan Dian juga ikut terbawa bersamaku. Kami di sekap di ruangan yang tidak cukup besar dan tidak begitu kecil. Waktu itu kami sangat ketakutan dan juga marah. Karena mereka tidak hanya menyekap kami, tapi juga memerkosa Dian. Waktu itu tangan dan kaki kami di rantai ke dindin, dan Dian di perkosa di depan kami," ucap Ryan dengan tatapan sedih.
"Lalu apa yang terjadi?"
"Kami mencoba untuk menyelamatkannya. Teriakannya waktu itu sangat membuat telinga kami menjadi panas, aku mencoba menarik rantai yang mengikat kami. Sedangkan Arif terus menarik tubuhnya sampai membuat tangannya terluka, dan saat aku melihat wajah Arif. Aku terkejut karena matanya berubah menjadi merah dan dia sama sekali tidak menghiraukan tangannya yang terluka. Tidak, lebih tepatnya dia tidak merasakannya. Dia terus menarik tangannya, dan aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat."
"Apa yang terjadi?"
"Rantai yang terhubung ke tembok putus. Pertama dari tangan kanannya, lalu tangan kirinya. Setelah berhasil lolos Arif langsung berlari ke arah Dian dan menyerang orang-orang yang sedang memerkosanya. Dia menyerang mereka dengan sangat brutal, aku sampai sekarang tidak bisa melupakan apa yang aku lihat waktu itu," Ucap Ryan sekarang dengan tatapan serius." Setelah mereka tidak bergerak, Arif mulai melepaskan rantai yang mengikat tanganku. Dan berlari keluar ruangan itu, sedangkan aku menghampiri Dian yang terbaring lemas. Setelah aku memakaikan Dian pakaian aku membopongnya keluar ruangan itu, dan saat aku keluar ruangan itu aku terkejut."
"Apa yang terjadi?"
"Lorong di depan ruangan itu tergeletak banyak sekali mayat. Dan keadaan mayat itu sangat mengenaskan. Tangan, kaki, kepala, badan, dan organ tubuh tercecer tidak karuan. Dindingnya penuh dengan darah, aku sampai mau muntah melihatnya. Aku terus berjalan menyusuri lorong itu dan sepanjang aku berjalan pemandangannya selalu sama. Kami di sekap di basement, dan saat aku keluar basement keadaan rumah itu sangat berantakan. Saat aku berjalan keluar rumah aku melihat sudah banyak polisi yang datang mengepung rumah itu. Dan aku melihat Arif yang sedang memukul-mukul sebuah tubuh yang sudah tidak berbentuk lagi. Saat aku melihatnya beberapa polisi berlari ke arahku. Saat itu Dian memintaku untuk menurunkannya, aku pun menurutinya dan Dian langsung berjalan menghampiri Arif dan memeluk tangan kanannya. Aku tidak mendengar apa yang Dian katakan, tapi tidak butuh waktu lama Arif tertidur di pelukan Dian. Sejak saat itu mental mereka menjadi tidak stabil, terutama Arif. Dia menjadi sering absen saat aku pergi menjenguknya dia selalu menempel pada ibunya. Sampai ibunya tidak bisa pergi bekerja dia juga masih sangat ketakutan. Setidaknya butuh hampir tuju bulan agar Arif bisa kembali normal. Sedangkan untuk Dian hanya butuh waktu kurang dari dua bulan."
"Tunggu, kau dan Arif lebih tua siapa?"
"Lebih tua dia. Kenapa?"
"Saat kejadian itu terjadi kalian kelas berapa?"
"Aku kelas satu sedangkan dia kelas dua."
"Umur kalian sama kan?"
"Iya, hanya saja Arif masuk sekolah lebih cepat dari aku. Jadi meski umur kami sama, tingkat pendidikan kami berbeda satu tahun."
"Ah, setelah mendengar ceritamu tadi, aku tidak akan membuatnya marah."
"Hahah, aku setuju."
Setelah beberapa saat akhirnya mereka sampai ditempat tujuan. Sebuah rumah yang tidak terlalu besar berdiri di depan mereka.
"Kau yakin ini tempatnya?" Tanya Dave.
"Yap, ini tempatnya."
"Tidak terlihat seperti tempat jual beli senjata."
"Tentu saja. Ini tempat beli senjata api illegal."
Mendengar perkataan Ryan Dave terkejut karena Ryan tau tempat untuk membeli barang seperti ini secara illegal.
"Kau hebat juga bisa tau tempat untuk membeli barang seperti ini secara illegal."
"Hahaha, sudah lah. Ayo masuk!" Ucap Ryan sambil berjalan mendekati pintu rumah.
Tetapi sebelum dia sempat memegang gagang pintu. Tiba-tiba Ryan merasakan ada sesuatu yang berbahaya sedang meluncur mendekatinya.
"MENUNDUK!" Teriak Ryan. Sambil menarik kerah baju Dave ke bawah.
Karena aba-aba dari Ryan yang terlalu tiba-tiba itu membuat Dave terkejut dan kepalanya membentur tanah. Bersamaan dengan gerakan itu beberapa jarum berukuran besar menancap di pintu rumah. Ryan dan Dave mendongak ke atas dan terkejut karena mereka melihat setidaknya empat jarum menancap di pintu, mereka bangkit dan berbalik membelakangi pintu. Mereka mencari orang yang telah melemparkan jarum-jarum itu kepada mereka Dave seperti melihat ada sesosok bayangan di atas sebuah rumah tidak jauh dari mereka.
"DI SANA!" Teriak Dave.
Ryan langsung menatap ke arah yang di teriakkan Dave, benar saja. Di atas rumah itu berdiri sesosok bayangan hitam seukuran manusia menatap ke arah mereka. Ryan langsung menyuruh Dave untuk berlari meninggalkan tempat itu.
"Dave, ikuti aku!"
Dave yang sedikit ketakutan langsung berlari mengikuti Ryan. Bayangan hitam itu juga pergi mengikuti mereka.
"Ryan, kita mau kemana?"
"Mencari tempat sembunyi, atau tempat yang lebih luas! Bertarung di tempat yang sempit seperti itu akan sangat merepotkan."
"Bertarung? Kau ingin melawan makhluk itu?"
"Tidak, tapi jika terpaksa apa boleh buat."
Mereka terus berlari untuk keluar dari gang itu. Tepat saat mereka hampir sampai di suatu pertigaan, tiba-tiba muncul sesosok makhluk berbentuk manusia. Lebih tepatnya seorang wanita. Dia memiliki bentuk tubuh yang bagus, dengan pakaian yang sedikit terbuka. Tidak lebih tepatnya memang terbuka dan sangat ketat. Bagaimana tidak, pakaian yang dia kenakan hanya menutupi bagian kemaluan, perut dan dadanya saja. Itu pun tidak semua bagian dadanya tertutupi dengan bentuk mirip seperti api di bagian d**a sampai bahunya. Rambutnya panjang sepinggang dan berwarna ungu. Dan dia memiliki tanduk seperti tanduk kerbau dan ekor kalajengking yang juga berwarna ungu. Dan mukanya sangat cantik. Kalo saja dia bukan seorang monster pasti banyak yang akan menyukai dia, dan kalau saja dia bukan musuh pasti Ryan mau jadi pacarnya. Kalo di terima.