"Kalian tidak apa-apa?" Tanya Rebeka.
"Yah, lumayan." Jawab Dave.
"Kalo maksudmu tidak termasuk sakit kepala karena terbentur, aku baik-baik saja." Tambah Leonardo sambil memegangi kepala bagian belakangnya.
Rebeka, Dave, dan Leonardo sekarang sudah sampai di bumi. Mereka segera turun ke bumi setelah mendapatkan aktifitas telepon. Tapi pendaratannya tidak mulus, mereka mendarat di sebuah pohon besar dan saat kapsul mereka menyentuh tanah kepala Leonardo terbentur dinding kapsul yang ada di belakangnya.
"Sekarang, ke arah mana?" Tanya Dave.
"Ke arah sini!" Jawab Rebeka.
Mereka berjalan menuju ke koordinat dimana sinyal telepon itu berada. Mereka berjalan sambil tetap waspada kalau-kalau ada monster yang menyerang mereka. Mereka tidak ingin berakhir seperti rekan mereka yang mati dibunuh oleh monster tidak lama setelah mereka menampakkan kaki mereka ke planet ini.
"Apa masih jauh?" Tanya Leonardo.
"Tidak, sebentar lagi kita akan sampai di titik pertama." Jawab Rebeka.
"Kita baru berjalan selama sepuluh menit dan kau sudah bertanya jaraknya." Ejek Dave.
"Diam lah!" Ucap Leonardo kesal.
Mereka terus berjalan sampai akhirnya mereka berhenti di sebuah rumah yang tidak begitu besar. Rumah itu memiliki cat berwarna hijau muda, Rebeka segera mendekati pintu rumah itu dan mengetuknya beberapa kali.
"Tuk Tuk Tuk"
"Permisi!" Teriak Rebeka.
Tidak ada jawaban, Rebeka mencoba mengetuk pintunya lagi.
"Permisi!" Teriak Rebeka sekarang dengan nada yang lebih keras.
Tapi tetap tidak ada jawaban. Dave berjalan memutari rumah itu, mencari orang yang ada di dalam atau jalan masuk.
"Aku tidak melihat ada orang sama sekali." Ucap Dave.
"Ya, dan juga tempat ini sepi sekali. Sejak kita mendarat aku belum melihat satu orangpun." Tambah Leonardo.
"Kita pergi ke titik selanjutnya!" Ucap Rebeka.
Dave dan Leonardo mengangguk setuju. Jarak titik selanjutnya yang paling dekat adalah sejauh dua ratus meter, mereka mulai berjalan dan saat sudah sampai di salah satu rumah dengan dua tingkat dengan cat berwarna putih Rebeka mengetuk pintu depan sedangkan Dave dan Leonardo berjalan mengelilingi rumah itu.
"Rumah ini sama saja." Ucap Dave.
"Iya, tidak ada orang." Tambah Leonardo.
"Apa mungkin sinyal itu hanya kesalahan sistem?" Tanya Dave.
"Kurasa tidak, masih ada satu titik lagi. Ayo kita ke sana!" Jawab Rebeka.
Mereka berjalan ke titik terakhir. Jaraknya lebih jauh sedikit, tidak lama kemudian mereka sampai di titik terakhir. Sebuah rumah mewah dengan garasi dan halaman depan yang luas. Gerbang rumah itu tidak tertutup rapat, merekapun berjalan masuk dan mulai memencet bel.
"Ting Tung"
Mendengar suara bel rumah berbunyi. Mio bergegas menghampiri pintu depan dan membukanya, dia terkejut karena melihat tiga orang asing berdiri di depan pintu.
"Kalian siapa?" Tanya Mio.
"Kau bisa bahasa Inggris?" Tanya Rebeka.
Mio menggeleng.
"Boleh kami masuk?" Tanya Rebeka.
Mio hanya memiringkan kepalanya ke kanan tanda dia sedang bingung. Saat Mio bingung karena tidak mengerti apa yang orang-orang di depannya bicarakan, Ryan datang dan merasa bingung kenapa ada tiga orang asing sedang berbicara dengan Mio.
"Mio, ada apa?" Tanya Ryan.
"Ah, aku juga tidak tau. Aku tidak bisa bahasa Inggris." Jawab Mio.
"Mmm, jadi. Kalian siapa?" Tanya Ryan.
"Kau bisa bahasa Inggris?" Tanya Rebeka.
"Yah, lumayan." Jawab Ryan dengan muka sombong.
"Pertama-tama, apa kami boleh masuk?" Tanya Rebeka.
"Boleh, silahkan masuk!" Jawab Ryan.
Rebeka, Dave, dan Leonardo berjalan masuk.
"Silahkan duduk!" Ucao Ryan.
Rebeka, Dave, dan Leonardo duduk berdampingan sedangkan Ryan duduk di depan mereka. Sedangkan Mio berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.
"Rebeka, mereka hanyalah anak-anak." Bisik Dave.
"Apa kataku. Kemungkinan orang yang melakukan panggilan telepon itu adalah anak-anak." Bisik Leonardo.
"Itu belum pasti, siapa tau orang tua mereka ada di belakang." Bisik Dave.
Tidak lama Mio datang dengan tiga gelas teh dan beberapa biskuit dan di taruhnya gelas itu di depan tamunya dan duduk di sebelah Ryan.
"Pertama mari kita kenalan dulu. Namaku Rebeka ini Dave, dan yang itu Leonardo, kami adalah astronot." Ucap Rebeka memperkenalkan diri.
"Namaku Ryan dan ini Mio." Ucap Ryan memperkenalkan diri.
"Apa kalian hanya berdua?" Tanya Dave.
"Tidak, kami berlima."
"Bisa kau panggil tiga temanmu yang lain?, Ada sesuatu yang ingin kami tanyakan." Minta Leonardo.
"Mio, bisa kau pamggilkan Arif dan yang lainnya kesini?" Tanya Ryan.
"Boleh." Jawab Mio dan langsung berdiri dan berjalan kebelakang.
Mio memanggil Arif, Dian, dan Sisi yang sedang bermain game di ruangan tengah.
"Minna, Ryan memanggil kalian ke ruang tamu!" Teriak Mio.
"Kenapa?" Tanya Sisi.
"Kita kedatangan tamu." Jawab Mio.
"Tamu?" Ucap Dian.
"Lebih baik kalian temui mereka langsung!" Ucap Mio.
Arif, Dian, dan Sisi bergegas menuju ruang tamu. Saat sampai di sana mereka terkejut karena ada tiga orang asing sedang ngobrol dengan Ryan. Merekapun duduk di sofa.
"Ryan, mereka siapa?" Tanya Sisi.
"Mereka adalah astronot yang sedang menjalankan tugas. Dan juga sepertinya hanya mereka dan kita yang tersisa di planet ini." Jelas Ryan.
"Tunggu, apa?" Ucap Dian bingung.
***
Aku masih bingung dengan apa yang terjadi di sini. Tiba-tiba tiga orang astronot datang ke rumah ini dan bertanya banyak pertanyaan. Mulai dari apa yang terjadi di planet ini sampai apa masih ada orang lain selain kami yang selamat. Yang sebelah kiri adalah Rebeka, dia berwarga kenegaraan Inggris. Rambutnya pirang sepunggung, wajahnya cantik dengan mata berwarna biru. Yang di tengah adalah Dave, dia warga kenegaraan Amerika, rambutnya berwarna hitam dan rambutnya sedikit gondrong dengan warna mata hitam, dan yang terakhir adalah Leonardo warga kenegaraan Prancis, rambutnya berwarna pirang dengan panjang rambut pendek seperti tentara dan warna mata biru.
"Jadi hanya kalian orang yang tidak menghilang?" Tanya Dave memastikan.
Kami berlima mengangguk tanda itu benar.
"Dan ekor di b****g kalian itu kemungkinan akibat dari sinar aneh waktu itu?" Tambah Leonardo.
Kami mengangguk lagi.
"Dan sinar itu hanya berpengaruh dengan orang yang ada di bumi." Ucap Dian.
"Kemungkinan." Ucap Dave.
"Jadi apa yang akan kalian lakukan?" Tanya Rebeka.
"Kami tidak tau, kalian sendiri?" Ucapku.
"Kami akan pergi ke tempat kemungkinan sinar hijau itu muncul. Dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi." Ucap Leonardo.
"Untuk itu, apa kalian mau ikut bersama kami?" Tanya Dave.
"Kami tidak bisa membiarkan kalian sendiri." Tambah Rebeka.
"Kenapa?" Tanya Dian.
"Karena di sini sangat berbahaya." Jawab Leonardo.
"Berbahaya bagaimana?" Tanya Ryan.
"Teman kami yang datang lebih dulu ke bumi di serang oleh seekor monster serigala raksasa. Dan mungkin ada monster lain yang berkeliaran." Jawab Rebeka.
"Karena itu, kami tidak bisa membiarkan kalian anak-anak ada di sini sendirian." Tambah Dave.
"Kalo monster memang ada." Ucapku.
"Apa?. Jadi memang ada monster?" Tanya Leonardo terkejut.
Aku mengangguk. Memang ada monster, tapi aku sudah membunuhnya. Tapi, monster yang aku lawan waktu itu adalah Minotaur dan bukan serigala raksasa. Apa masih ada monster yang lain?, Kalo benar ini benar-benar gawat.
"Monster seperti apa?" Tanya Rebeka.
"Minotaur." Jawabku.
"Apa?, Minotaur?" Teriak Rebeka, Dave, dan Leonardo bersamaan.
"Kalian tidak bercanda kan?" Tanya Leonardo.
"Tidak. Tapi tenang saja, aku sudah membunuhnya. Meski dengan luka yang lumayan parah." Jawabku.
Mereka tampak terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Dan juga dari tadi Sisi dan Mio hanya duduk karena mereka tidak mengerti bahasa Inggris. Sisi sudah dari dulu aku suruh untuk belajar bahasa Inggris tapi dia tidak mau untung aku belajar meski hanya di sekolah tapi entah kenapa aku bisa bicara dan mengerti bahasa Inggris. Meski hanya percakapan sederhana, karena kalian taukan biasanya bahasa Inggris di kepalaku sudah cukup baik. Aku bahkan sudah bisa nonton film bahasa inggris tanpa subtitle tapi, ketika ngomong jadi gagap.
"Jadi apa kalian mau ikut dengan kami?" Tanya Rebeka.
"Ryan bagaimana?" Tanya Dian.
"Arif, bagaimana?" Tanya Ryan.
"Apanya?" Tanyaku tidak mengerti.
"Kita tetap di sini atau kita ikut mereka menyelidiki sinar aneh itu." Jawab Ryan.
"Kenapa jadi aku yang memutuskan?" Tanyaku.
"Karena kau yang pernah membunuh monster." Jawab Ryan.
Aku melihat ke arah Mio untuk meminta bantuan, tapi aku urungkan karena melihat raut mukanya yang sedang bingung. Lalu aku melihat ke arah Sisi dan sama saja dia hanya melihatku dengan tatapan bingung.
"Baik-baik, biar aku pikirkan sebentar!" Ucapku.
"SATU JAM KEMUDIAN"
"Jadi, bagaimana?" Tanya Ryan.
"Kita pergi." Jawabku.
"Baiklah, kalo begitu besok pagi kita berangkat." Ucap Rebeka.
Setelah itu aku, Ryan, dan Sisi pergi menyiapkan kamar untuk Rebeka dan teman-temannya sedangkan Mio dan Dian pergi membuat makanan karena sebentar lagi waktu makan malam tiba sedangkan Rebeka dan teman-temannya aku minta untuk menunggu di ruang tengah sembari bermain game console. Sebenarnya Rebeka tidur di kamar Dian, Dave tidur di kamar Ryan, dan Leonardo tidur di kamarku. Dan otomatis Sisi tidur dengan Mio, karena selama ini Sisi tidur denganku, Sisi memang termasuk anak yang manja kalo sudah berurusan denganku. Karena Sisi itu adalah seorang brocon, jika kalian tidak tau apa itu brocon maka akan aku kasih tau. Brocon adalah istilah untuk menyebut adik atau kakak perempuan yang menyukai saudara laki-lakinya, dalam pandangan sebagai lawan jenis bukan sebagai saudara. Setelah makan malam kami berdiskusi tentang apa yang akan kami lakukan besok.
"Jadi bagaimana cara kita pergi ke Jepang?" Tanyaku.
"Kita ke sana dengan pesawat lah. Mau pakek apa lagi?" Jawab Dian.
"Aku tau, tapi siapa yang akan mengemudikannya?" Tanyaku.
"Kalo masalah siapa yang mengemudikan pesawatnya, serahkan padaku. Tapi, aku butuh co-pilot." Jawab Leonardo.
"Ryan bisa melakukannya." Ucap Dian.
"Kenapa aku?" Tanya Ryan terkejut.
"Bukankah kau sering bermain game simulasi pesawat." Jawab Dian.
"Dan juga, kaukan ingin jadi seorang bolpoin." Tambahku.
"Kok bolpoin?" Tanya Mio bingung.
"Kan pilot." Jawabku.
"Kau ini kalo bercanda jangan yang terlalu tinggi." Protes Mio.
"Aku gak tinggi, yang tinggi tiang listrik."
"Kau ini." Ucap Mio sambil mencubit pipiku dengan keras.
"Adududu!"
"Maaf, mereka sedang di mabuk asmara." Ucap Ryan.
"Ahahah, tidak apa-apa, aku duku juga sering seperti itu pas pertama kali punya pacar." Ucap Leonardo.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan yang tadi?, Apa kita sepakat?" Tanyaku.
"Yah, jika Ryan tidak keberatan, tidak apa-apa." Jawab Leonardo.
"Jadi bagaimana Ryan, apa kau tidak keberatan?" Tanya Dave.
"Yah, jika kalian memaksa." Jawab Ryan.
"Bagus, jadi sudah di tentukan." Ucap Dian semangat
"Tapi ada satu hal lagi." Ucapku.
"Apa itu." Tanya Rebeka.
"Bagaimana kita menuju bandara?, Sedangkan di luar sana ada monster yang kita tidak tau bagaimana bentuk dan keberadaannya." Jawabku.
Kita memang sudah tau kemana tujuan kita. Tapi, bagaimana kita bisa sampai ke sana?, Sedangkan aku yakin diluar sana masih ada monster lain selain minotaur waktu itu dan juga Rebeka bilang kalo teman mereka dibunuh oleh seekor serigala raksasa. Pertama kami butuh senjata, kedua kendaraan untuk perjalanan.
"Pertama kita butuh senjata." Ucap Ryan.
"Anak-anak tidak boleh menggunakan senjata." Ucap Dave.
"Lalu bagaimana caranya kami melindungi nyawa kami dari bahaya kalo-kalo ada monster yang menyerang kita?" Protes Ryan.
"Kitakan sudah punya senjata Ryan." Ucap Dian.
"Oh iya, aku lupa." Ucap Ryan.
"Kalian sudah punya senjata?" Tanya Rebeka.
Dian dan Ryan mengangguk dan aku tau ini mengarah ke mana. Dan aku pikir itu bukan ide yang baik.
"Kami punya kekuatan." Jawab Dian.
Tuh, kan. Aku masih belum bisa mempercayai tiga orang yang mengaku astronot dan mencoba mencari tau tentang sinar hijau itu dan juga mereka ingin melibatkan kami.
"Apa?" Ucap Leonardo tidak percaya dengan apa yang Dian katakan.
"Kalian berguru." Ucap Dave tidak percaya.
"Aku serius." Ucap Dian berusaha membuat mereka percaya.
"Tunjukkan padaku!" Ucap Dave.
"Sisi, bisa kau tunjukkan pada mereka?" Ucap Dian.
"Dian, aku rasa ini bukan hal yang bagus. Mengingat kita baru mengenal mereka beberapa menit." Ucap Sisi.
"Aku rasa Sisi benar, kita baru saja mengenal mereka beberapa menit. Kita tidak bisa langsung percaya." Ucapku.
"Arif, kau kan bisa tau jika seseorang berbohong. Jadi tidak apa-apa kan?" Ucap Dian.
"Dengar ya, mereka memang berkata jujur. Tapi, meski mereka berkata jujur kita tidak bisa langsung percaya begitu saja." Ucap Dian.
"Arif, kita tidak ada pilihan. Kalo ada peluang mengembalikan semua orang, aku akan mengambilnya. Aku rindu dengan orang tua, saudaraku, dan teman-temanku. Kau juga sama kan?" Ucap Dian.
"Kakak, aku juga rindu dengan Ibu dan yang lainnya." Ucap Sisi dengan muka sedih.
"Hhh, baiklah." Ucapku.
Aku langsung mengjentikkan jariku dan dalam sekejap api muncul di ujung jari telunjukku. Rebeka, Dave, dan Leonardo terkejut dengan aoa yang baru saja aku lakukan.
"Aku akan menggunakan kekuatan ini untuk membantu kita mengembalikan semua orang dengan satu syarat." Ucapku.
"Apa itu?" Tanya Rebeka.
"Begitu semua orang sudah kembali, aku ingin kalian merahasiakan kekuatan kami. Itupun jika kekuatan kami masih ada." Jawabku.
"Ok, itu persyaratan yang adil. Kami setuju." Ucap Rebeka.
"Kau yang setuju. Bagaimana dengan mereka berdua?" Tanyaku.
Aku memang bisa tau ketika seseorang berbohong, tapi aku tidak tau apa yang mereka pikirkan. Jadi aku harus tetap berhati-hati.
"Aku setuju." Ucap Dave.
"Aku juga." Ucap Leonardo.
Dave dan Leonardo berkata jujur, tapi aku masih belum percaya. Aku akan lihat ke depannya, untuk sekarang mengembalikan semua orang adalah prioritas.
"Baiklah, tapi. Jika kalian melanggarnya aku akan mencari kalian dan akanku bunuh kalian." Ucapku dengam tatapan mengancam.
Saat aku mengatakan itu Rebeka, Dave, dan Leonardo tampak ketakutan sekaligus Dian, Sisi, Ryan, dan Mio.
"Tenang saja. Kami tidak akan memberitahu siapapun." Ucap Rebeka.
Dave, dan Leonardo menganggu sependapat.
"Mio, kau ingat tentang apa yang Dian katakan untuk tidak membuat Arif marah?" Tanya Ryan.
"Ya." Jawab Mio.
"Ini yang aku bicarakan." Ucap Ryan.
"Aku paham." Ucap Mio masih dalam keadaan takut.
"Kalo begitu, ayo kita tidur!. Ini sudah larut." Ucapku sambil tersenyum seakan tidak ada yang terjadi.