11

2058 Kata
Kamipun mulai menembaki tentakel yang melilit tubuh para gadis itu. “Woy, Agak jauhan dikit. Kalian bisa menembakku!” Teriak Dian. “Kau diam dan nikmati aja tentakel itu!” Teriak Ryan. “Apa katamu?” “Diam, jangan banyak bergerak. Aku susah menembaknya.” Teriakku. “Arif tolong, benda ini mulai kurang ajar!” Teriak Mio. Keadaannya mulai kacau, mereka tidak bisa berhenti bergerak dan itu membuat kamu kesulitan untuk menyelamatkan mereka. Sampai pada waktu kesabaranku habis dan aku tidak mau tau lagi. “Guy’s, aku mulai kesal. Mereka tidak mau berhenti bergerak.” Ucapku kesal. “Kau benar, itu membuat kita kesusahan untuk menyelamatkan mereka.” Tambah Leonardo. “Kalian memikirkan apa yang aku pikirkan?” Tanyaku dengan ekspresi datar. “Ku rasa.” Jawab Dave. “Kalo begitu kita lakukan?” Tanya Leonardo. “Ayo!” Jawab Ryan. Kami menghentikan kegiatan kami menembakki monster ini dan mulai berjalan menjauh menuju tas senjata kami. “Woy, kalian mau kemana?” Tanya Rebeka. “Kakak tolong!” “Darling, tolong. Aku akan lakukan apapun yang kau mau tapi tolong aku.” “Jangan tinggalkan kami, aku minta maaf berteriak pada kalian. Jadi, tolong kami.” Teriak Dian menyesal. Kami terus mengotak-ngatik isi tas itu. Kami mengganti senjata dan mereload senjata kami dengan santai, kami tidak menghiraukan teriakkan mereka. “Kalian sudah siap?” Tanya Leonardo. “Siap sedia.” Jawab Ryan. “Oke.” Tambah Dave. “Ayo kita lampiaskan amarah kita pada kuda laut itu!” Ucapku. Kami berjalan mendekati gurita itu dan keadaan para gadis itu sudah tidak karuan. “Ingat, pelurunya hanya sedikit. Jadi jangan asal menembak!” Peringat Leonardo. “Oke.” Ucap kami bertiga bersamaan. Para gadis yang sedang kena rape itu melihat kami dengan menenteng rpg di bahu kami. Mereka tahu apa yang akan kami lakukan dan mulai panik. “Tunggu, Apa yang akan kalian lakukan?” Tanya Rebeka takut. “Tunggu, Darling. Jangan bilang kalian akan….” Ucap Mio sudah tau apa yang akan kami lakukan. “OK Beb. Kau bilang akan melakukan apa saja asal membebaskan kalian kan?” Tanyaku dengan senyuman jahat. “Aku memang mengatakannya tapi….” “Kalau begitu kau harus menepatinya.” “Bersiap … Tembak!” Kata Leonardo memberi aba-aba. Bersamaan dengan aba-aba itu kami menarik pelatuk dan roket kami meluncur ke arah tentakel yang melilit para gadis manis itu. Ledakan besar terjadi karena roket itu meledak di saat yang hampir bersamaan, Tentakel yang melilit tubuh gadis-gadis itu putus dan mereka terjatuh. Tepat sebelum mereka menyentuh tanah Ryan menggunakan kekuatannya untuk membawa mereka ke dekat kami. Dan menurunkannya saat sudah tepat di samping kami. “Baiklah, paket telah aman. Sekarang mulai tahap dua!” Ucap Leonardo. “Arif, Ryan!” Teriak Dave. “Aku tau.” Ucap Ryan dengan senyum lebar. Kami bersiap mengeluarkan kekuatan kami secara penuh. Ryan mulai mengeluarkan panah anginnya dengan ukuran yang cukup besar, sedangkan aku menarik pedangku ke belakang dan memasang kuda-kuda. Posisi tubuhku menyamping kiri dan kobaran api mulai mengelilingi tubuh dan pedangku, biasanya aku hanya membuatnya mengitarinya saja api kali ini aku membuatnya menyelubungi pedangku. “TEMBAK!” Teriak Leonardo. “Sihir Angin, Panah Tornado.” “Sihir Api, Jubah Api, Tebasan Sayap Phoniex.” Bertepatan dengan teriakan itu Ryan melepaskan tembakannya dan aku mengayunkan pedangku secara miring dari atas kiri ke bawah kanan. Panah angin dan tebasan api melesat mengarah ke pada gurita raksasa di depan kami dan serangan itu mengakibatkan tornado api yang sangat besar. “Aku juga ikut!” Teriak Sisi. “Aku juga.” Teriak Mio, Rebeka dan Dian bersamaan. Sisi mengangkat bongkahan-bongkahan batu besar dan melemparkannya pada tornado api di depan kami, bongkahan-bongkahan itu meleleh saat menyentuh tornado itu dan menyatu dengannya. Tidak lama tornado berhenti dan menghilang lava cair hasil dari lelehan bongkahan yang di lempar Sisi tadi berjatuhan di tubuh monster itu. “Giliranku.” Ucap Rebeka. Dia sekarang memegang rpg dibahunya dan mengarahkannya pada monster itu dan menarik pelatuknya, roket itu meluncur tanpa hambatan mengarah pada mata kanan gurita itu dan meledak. Dan sekarang Mio mengarahkan tangannya yang mengepal dan aku melihat ada sebuah koin di antara telunjuk dan ibu jarinya. Tunggu sebentar, posisi itu jangan bilang kalau dia akan. “Railgun.” Mio mengatakan itu dengan raut ekspresi, tatapan, dan nada yang sangat dingin. Mio melempar koin itu dengan ibu jarinya di barengi dengan aliran listrik di tangannya dan dia mendorong koin itu di bantu dengan aliran listrik di tangannya dan menghasilkan sebuah tembakan leser yang cukup besar. Daya sentaknya sanngat luar biasa, tembakan leser itu meluncur ke arah mata kiri gurita itu dan menembusnya. Tembakan itu meninggalkan luka bakar dan melepuh pada mata kiri gurita itu. Sekarang giliran Dian, dia mengehentakan kaki kanannya ke tanah dan batangan es muncul dan bergerak ke gurita itu lalu meledak menyebabkan gurita itu membeku. Aku tersenyum dan mengarahkan pistolku pada gurita beku itu. “Jackpot.” Ucapku sambil menarik pelatuk. Sebelum aku menarik pelatuknya aku sudah menyiapkan lingkaran api di ujung bagian dalam selongsong senjataku. Dan aku mengaturnya agar saat peluruku melewati lingkaran api itu akan meledak di ikuti oleh api dari bubuk mesiu dari peluruku jadi membuatnya mendorong lingkaran itu keluar agar selongsongku tidak ikut meledak dan menambah daya dorong untuk peluruku. Dan benar saja peluruku meluncur lebih cepat dan di barengi dengan suara ledakan yang lebih keras dari biasanya, efek dari tindakanku itu membuat peluruku meluncur seperti sebuah leser dan memiliki daya hancur yang sangat hebat. Itu terbukti dari gurita beku itu yang hancur berkeping-keping dan atap, dan lantai mall ini hancur. Setidaknya bagian yang di lewati oleh peluruku, dan juga daya dorongnya sangat hebat. “Arif, apa yang baru saja kau lakukan?” Tanya Rebeka masih dalam keadaan terkejut. “Aku hanya menambah daya dorongnya dengan kekuatanku. Tapi kurasa efeknya sedikit lebih besar dari yang aku kira.” “Yang barusan itu sedikit?” Ucap Leonardo masih dalam posisi yang sama terkejutnya. “Yaah, ehe.” Ucapku dengan muka tersenyum dan lidah menjulur dengan mata tertutup sebelah. “EHE TTE NANDAYO, YANG TADI ITU BISA SAJA MEMBUNUH KITA.” Teriak Mio marah sambil menjepit kepalaku dengan kedua jari telunjukknya sambil memutar-mutarnya. “Iya, iya aku tidak akan melakukannya lagi. Sekarang pelaskan aku!” Teriakku kesakitan. Mio akhirnya melepaskan aku dan aku melihat Sisi sedang terduduk sambil menangis. “Adikmu tu, kau hibur gih!” Perintah Mio. Aku berjalan menghampiri Sisi dan langsung memeluknya. “Yos, yos. Sudah, semua sudah selesai. Cumi-cumi itu sudah mati, tidak ada yang akan melakukan hal jahat lagi padamu.” Ucapku mencoba menenangkan Sisi. “Itu benar Sisi, makhluk itu sudah tidak ada. Dan juga dia itu gurita.” Ucap Dave mencoba ikut menenangkan Sisi. “Cumi-cumi.” Ucapku. “Gurita.” Ucap Dave membalas. “Cumi-cumi.” “Gurita.” “Cumi-cumi. “Gurita.” “Gurita.” “Cumi-cumi.” Setelah mengucapkan itu Dave mematung sebentar. Diikuti tawa dari yang lainnya, suasananya menjadi lebih hangat. Tiba-tiba Sisi memelukku dengan sangat erat, sedikit sakit sih. Tapi aku membiarkannya seperti itu selama beberapa menit sampai akhirnya dia kembali ceria lalu aku melepaskan pelukanku. “Mereka begitu dekat.” Ucap Dave. “Yah, ini menenangkan hati.” Timpa Rebeka. “Tentu saja, Arif ini adalah seorang lolicon.” Ucap Ryan. “Aku tidak ingin mendengarnya dari orang yang memajang poster loli segede gaban di dinding kamarnya.” Ucapku dengan ekspresi datar. “Lolicon itu bukannlah penyakit. Itu gaya hidup.” Teriak Ryan protes. “Gaya hidup gigi lu.” Itu kelainan. “Yah, Setidaknya aku tidak memajang poster nenek-nenek di kamar.” “Woy, Emilia itu seorang half elf. Umur hanyalah angka baginya, asal kau tau umur seratusan lebih itu masih terbilang muda untuk sseorang elf. Dan setidaknya aku tidak selalu selalu memperingai hari kematian karakter 2D.” ”Apa katamu?” Ucap Ryan marah. “Apa? ngajak berantem Kappa Mesum.” “Apa katamu? Marimo.” Tiba-tiba aku merasakan aura membunuh dari Sisi. Dalam hati aku mengumpat. “Sial, dia marah.” Lalu tubuh kami melayang beberapa senti dari tanah dan. “Kalian .... Ter. La. Lu. LAMAAAAA.” Teriak Sisi. Bersamaan dengan teriakkan itu kami terlempar ke arah yang berlawanan, aku keluar gedung sedangkan Ryan ke dalam gedung. Lemparan itu sangat kuat sampai membuatku memantul di atas tanah selama beberapa kali dan menabrak beberapa hal yang keras. Untung aku cepat-cepat membungkus tubuhku dengan api dan membautnya sebagai bantalan saat tubuhku membentur sesuatu, dan sayangnya hal itu tidak terlalu membantu. Aku masih merasakan sakit, aku berhenti saat suda beberapa ratus meter dari pintu masuk mall. “Haduuh, sudah di selametin masih kena lempar juga.” Gerutuku saat tubuhku sudah berhenti bergerak dan sekarang aku terbaring di atas aspal dengan posisi terlentang. Aku langsung bangkit dan duduk. Untung saja kemampuan penyembuhanku semakin cepat seiring dengan waktu. Buktinya tangan kananku yang patah sudah sembuh saat gurita itu sudah hancur dan tubuhku masih bisa di gerakan meski sudah di lempar sejauh beberapa ratus meter. Aku bangkit dan mengelus-elus pinggangku yang terasa sakit. “Sepertinya aku mendarat di pusat rasa sakitku.” Gerutyku dalam hati. Sial, dia melemparku terlalu kuat. Aku tau dia marah padaku karena membiakannya dilecehkan oleh beruang laut itu terlalu lama. Tapi, itu salahnya sendiri karena tidak mau berhenti bererak Aku jadi kesusahan untuk menembak tentakel yang melilit tubuhnyakan, jadi bukan sepenuhnya salahku dan juga. Kenapa hanya aku dan si Kappa m***m itu saja yang di lempar, sedangkan Dave dan Leo tidak? Aku terus berjalan menuju gedung mall itu dan penasaran dengan apa yang terjadi dengan Ryan. Tepat baru beberapa langkah aku berjalan, aku merasakan ada sesuatu yang datang tepat di belakangku. Aku menoleh ke belakang di barengi oleh tembok api yang aku siapkan kalau-kalau aku diserang secara tiba-tiba. Dan benar saja tepat i depanku berdiri seorang laki-laki dengan tinggi sekitar 170 cm sedang mengarahkan pedangnya padaku. Untungnya aku memblok serangannya dengan tembok api yang aku padatkan. Laki-laki yang berdiri di depanku memiliki ciri-ciri, rambut sedikit panjang berwarna putih, mata dengan tatapan tajan dengan bagian yang seharusnya berwarna putih malah berwarna hitam dan pupil matanya berwarna merah terang, memakai jubah berwarna hitam seperti pakaiannya Ichigo dari anime Bleach dalam mode bankainya, pedang yang di pakainya juga berwara hitam. “Wah, wah. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu Yang Mulia.” Ucap laki-laki itu dengan senyuman mengerikan di bibirnya. “Apa aku pernah bertemu denganmu Tuan Tampan?” Kataku dengan nada dingin. Aku mendorongnya dengan kekuatanku dan dia melompat beberapa meter menjauh dariku. “Seperti apa yang aku dengar, nada bicaramu memang sedingin es.” “Kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa kau, dan apa yang kau inginkan dariku?” “Tenang saja, aku hanya ingin menyapamu saja.” “Menyerang dari belakang bukanlah cara menyapa yang sopan.” “Oh, kalau yang itu aku minta maaf. Itu salahku.” “Jadi, apa yang bisa aku bantu?” “Sudah aku bilang kalau aku ingin menyapamu saja, dan aku memberimu salam dari Sang Permaisuri.” “Permaisuri?” “Ya, dia bilang. Dia akan menunggumu.” “Kalau begitu katakan padanya. Aku akan datang menemuinya.” “Baiklah, aku akan sampaikan. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu.” “Tunggu, aku belum tau namamu.” “Oh, dimana sopan santunku. Maaf, namaku Diablo. Kalo begitu ku permisi dulu.” Setelah berkata seperti itu di punggungnya tumbuh sayap kelelawar dan dia bersiap untuk terbang menjauh. “Tunggu, kau tidak mengatakan padaku dimana Permaisurimu itu berada.” “Ah, dia berada di sebuah kota yang bernama Tokyo. Setelah sampai di sana dia akan pergi menjemputmu. Dan juga, dia bukan Permaisuriku, tapi permaisurimu.” Setelah berkata seperti itu laki-laki yang bernama Diablo itu terbang pergi. Aku masih sedkit kaget karena dia bilang permaisuriku. Sebenarnya siapa orang itu? Yah, Siapapun itu tempat dia berada tepat dengan tujuan kami. Tapi aku masih khawatir kalau ini adalah perangkap. Aku kembali berjalan menuju gedung mall itu dan setelah masuk aku melihat Leo dengan yang lainnya sudah selesai bersiap dan berjalan mendekatiku. “Kau lama sekali.” Ucap Mio. “Diamlah! Dan juga. Sisi, kenapa kau tadi melemparku?” “Mmm!” Gumam Sisi sambil menoleh ke kanan dengan ekspresi marah. Dalam hati aku bergumam “Hah, dia ngambek. Aku akan menghukumnya saat ini semua selesai.” “Jadi, kau di lempar Sisi sejauh berapa meter?” Tanya Ryan. “Kau sendiri berapa meter?” Ucapku balas bertanya padanya. “Kalo aku beruntung, aku tidak begitu jauh dan juga mendarat di sebuah tumpukan baju.” “Sial, Kenapa kau selalu beruntung?” Ucapku kesal. “Kau sendiri?” “Menabrak pintu kaca, sebuah tembok, dan beberapa mobil.” “Wah, aku terkejut kau masih hidup.” “Yah, aku juga tidak percaya. Dan juga aku hampir di tebas dengan pedang oleh seorang iblis.” Mendengar ucapanku itu otomatis membuat semuanya terkejut. “APA?” Teriak yang lainnya bersamaan. “Iya iblis, namanya Diablo. Dan beruntung dia tidak muncul di depan Kau Sisi.” “Memangnya kenapa? Apa dia sangat mengerikan?” Tanya Sisi. “Tentu saja. Wajahnya sangat mengerikan.” “Memang wajahnya semengerikan apa?” Tanya Rebeka “Wajahnya seperti para Artis K-Pop.” “Tunggu dulu, bukannya itu malah membuatnya tampan bukannya mengerikan?” Ucap Leonado. “Tentu saja itu mengerikan. Kalau Mio sampai melihatnya, dia bisa saja jatuh cinta padanya. Dan aku tidak mau itu terjadi.” “Tenang saja, Artis K-Pop bukanlah tipeku, jadi kau tenang saja.” “Aku percaya denganmu tapi. Tetap saja itu menjengkelkan. Bisa-bisa perjuanganku selama ini gagal. Meski tampangnya masih kalah ganteng dariku tapi….”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN