#5

1640 Kata
Setelah aku dan Mio menceritakan apa yang kami alami kemarin. Kami sekarang sedang belajar untuk mengeluarkan kekuatan kami. Awalnya Dian, dan Ryan menolaknya karena mereka tidak percaya tapi karena desakan dari Sisi akhirnya mereka ikut. Dan entah kenapa sekarang keadaanku sudah pulih sepenuhnya. Kemampuan penyembuhanku entah bagaimana bisa sangat cepat bahkan tulang ku yang patah sudah sembuh hanya dalam kurun waktu dua hari. Aku pikir itu karena efek sinar aneh waktu itu. "Konsentrasi." Ucapku. Aku sekarang sedang berusaha untuk mengeluarkan api sama seperti waktu aku melawan minotaur waktu itu. Aku berusaha melakukan apa yang Sisi minta supaya aku bisa mengeluarkannya tapi sampai sekarang tidak ada yang terjadi. "Sisi, bisa kita hentikan ini sekarang?" Tanya Dian. "Tidak, masih belum." Jawab Sisi. "Arif, bisa kau minta dia untuk berhenti?. Ini konyol." Tanya Ryan. "Percuma, kalau dia sudah bertekat tidak ada yang bisa menghentikannya." Jawabku. Sebenarnya aku juga mulai menganggap ini konyol. Tapi Sisi ini anaknya keras kepala, bahkan kepalanya lebih keras dari beton. Aku serius kepalanya memang lebih keras dari beton, Sisi pernah menyundul seorang preman sampe preman itu mengalami gagar otak dalam sekali sundul. Waktu itu aku dan Sisi sedang berjalan pulang habis bermain di taman lalu kami dicegat oleh preman dan dia memalak kami. Aku waktu itu tidak membawa uang tapi preman itu tidak mau mendengar. Tetapi dia tetap memaksa kami untuk menyerahkan uang kami, karena aku merasa kesal aku akhirnya memukul preman itu, tapi karena tubuhku kecil maklum waktu itu aku masih kelas enam sd. Akhirnya aku yang babak belur, tapi Sisi sangat marah dan langsung menyundul kepala preman itu sampai dia pingsan. Aku langsung melihat Sisi dan kepalanya tidak mengeluarkan darah sama sekali, hanya sedikit memar sedangkan preman itu kepalanya mengeluarkan darah. Tidak lama ada polisi yang sedang berpatroli melihat kami, kami menceritakan semuanya dan mereka membawa kami ke kantor polisi dan memanggil orang tua kami. Saat ibuku datang polisi itu mengatakan kalo preman yang menggangu kami mengalami gagar otak. Aku dan ibuku sangat terkejut mendengarnya sedangkan Sisi hanya tersenyum. Akhirnya Sisi menyerah dan dia berjalan masuk ke dalam rumah. Aku berfikir untuk mencoba sesuatu. Aku menutup mataku, melemaskan tubuhku dan mengangkat tangan kanan ke depan, aku membayangkan tanah di sekitarku mengeluarkan asap lalu berubah menjadi api. Lalu api itu bergerak ke tangan kananku dan membentuk sebuah bola api, tiba-tiba tanganku terasa hangat aku membuka mataku. Aku terkejut karena itu berhasil sekarang di telapak tanganku terdapat sebuah bola api berukuran kecil.  "Arif, kau akhirnya berhasil." Ucap Mio senang. "Ya, tapi sekarang apa?" Ucapku senang sekaligus bingung. Aku mencoba untuk menembakkannya, tapi bagaimana?. Aku berfikir keras sampai aku mendapat ide untuk mendorongnya dengan api yang ada di belakang bola api itu, aku melakukannya dan berhasil. Bola api itu melesat, tidak cukup cepat tapi dia bisa meluncur dan menabrak tembok. Bagian tembok yang ditabrak oleh bola api itu berubah menjadi hitam. "Arif, bagaimana kau melakukannya?" Tanya Ryan. "Aku tidak tau, aku hanya membayangkannya saja." Jawabku. "Biar aku coba." Ucap Mio. Mio memejamkan matanya dan mulai membayangkan sesuatu. Tidak lama ditubuhnya keluar listrik, awalnya listrik itu hanya keluar dari tubuhnya saja. Tapi lama kelamaan tanah di sekitar Mio mulai mengeluarkan listrik dan entah bagaimana caranya listrik itu melesat dan hampir menyambarku. Aku melompat ke samping kiri dan listrik itu menghantam batu yang tidak jauh dariku dan batu itu meledak karena sambaran listrik tadi. "Mio, apa kau mencoba membunuhku?" Teriakku. "Memangnya apa yang terjadi?" "Kau menyambarku dengan listrik tegangan tinggi." "Ah, Maaf." Ucap Mio sambil tersenyum. "Ya ampun, kalo kau marah karena apa yang aku katakan waktu itu. Kau tidak perlu melakukannya." Ucapku lemas. "Memangnya apa yang kau katakan Arif?" Tanya Dian. "Aku tidak marah karena kau memintaku untuk berpacaran denganmu. Hanya saja aku menyesal karena menerimanya." Jelas Mio. "Itu bahkan lebih menyakitkan." "Tunggu, apa?. Kalian berpacaran?" Teriak Dian. "Yah, bisa dibilang begitu." Jawabku. "Sejak kapan?" Tanya Dian. "Dua hari yang lalu." Jawab Mio. "Ada apa ini kok kalian ribut sekali?" Tanya Sisi yang datang entah dari mana. "Wey, kau ini datang dari mana?" Tanyaku terkejut. "Aku dari kamar, karena aku mendengar ada suara ledakan dari sini aku penasaran dan datang melihatnya." Jawab Sisi. "Ini sepertinya Kakakmu sudah mendapatkan pacar." Jelas Dian. "Apa?, Kakak sudah punya pacar?" Ucap Sisi terkejut. Dian mengangguk. "Akhirnya Kakak akan berhenti untuk mengesimp cewe 2D lagi. Siapa orangnya?" "Woy, apa yang tadi kau katakan?" Tanyaku protes. Dian menunjuk Mio dengan ekspresi muka datar. "Sudahlah, aku mau masuk dulu. Aku haus." Ucapku lalu berjalan menuju dapur. "Mio, kalo kau memang berpacaran dengan kakakku aku punya permintaan untukmu." Ucap Sisi. "Apa itu?" "Apapun yang terjadi, tolong tetap berada di sisi kakakku. Meskipun dia itu tidak peka dengan sekitarnya terutama kalo menyangkut perempuan. Tapi dia akan tau ketika seseorang berbohong dan apa yang orang pikirkan tentang dia. Karena itu tolong jaga dia." "Dan satu lagi. Apapun yang terjadi, jangan pernah kau membuat Arif marah. Dia itu adalah tipikal orang yang lebih sering memendam amarahnya, tapi sekali dia marah, kau tidak akan mau membuatnya marah lagi. Tapi dia akan berusaha untuk tidak bermain kasar padamu. Tapi jangan mengujinya." Tambah Dian. "Jangan lupa, dia itu tipe cowo yang setia. Dan juga dia terlihat kuat tapi dia mempunyai perasaan yang rapuh. Jadi tolong, jangan kau hiyanati dia, karena dia tak akan mengkhianatimu." Ucap Ryan yang dari tadi hanya diam saja. "Bukannya setiap laki-laki selalu mengatakan itu, tapi kenyataannya mereka selalu mengingkarinya." Ucap Mio. "Memang, tapi tidak dengan Arif, dia tidak akan bermain tangan denganmu. Selama kau tidak membuatnya hilang kendali. Dan dia tak akan bermain di belakangmu selama kau juga melakukannya." Ucap Ryan. "Ma, jika kalian bilang begitu, aku akan berusaha untuk tetap bersamanya." Ucap Mio. "Ku harap kalian tidak mengatakan sesuatu yang buruk padaku." Ucapku. "Kau dari mana?" Tanya Ryan. "Dapur," jawabku sambil menunjukkan gelas di tangan kananku. "Ngomong-ngomong, kalian coba lakukan ini!" Aku mengatakannya sambil menjulurkan tanganku dan membuat bola api di telapak tangan dan menembakkannya ke tembok di depanku. Sisi dan Dian tampak terkejut dengan apa yang baru saja aku lakukan. "Wow, Arif, bagaimana kau melakukannya?" Tanya Dian. "Kalian tinggal membayangkannya saja." Jawabku. "Jawabanmu sama sekali tidak membantu." Ucap Dian. "Kalian coba saja." Ucap Mio. "Bisa kau jelaskan caranya, kalau kau juga bisa melakukannya." Ucap Ryan. Mio memejamkan matanya dan mulai mengeluarkan kekuatannya. Kilatan listrik keluar dari tubuhnya lalu dengan cepat menyambar ke arahku. Aku terkejut dan menunduk dengan cepat, listrik itu melesat melewatiku dan mengenai lampu bohlam yang ada di langit-langit dekat pintu lalu meledak. "Mio, kau memang sengaja ya?" Teriakku. "Apa aku menyambarmu lagi?" Tanya Mio dengan muka polos. "Iya." Teriakku. "Mio tadi itu luar biasa." Puji Sisi takjub. "Iya, itu tadi luar biasa. Sayang meleset." Tambah Ryan. "Woy, jadi aku yang jadi target tembaknya." Teriakku. "Kakak, berisik." Ucap Sisi. Aku melihatnya dengan tatapan marah. Dan menghampirinya dan mulai memainkan pipi Sisi dengan kasar karena aku sedang kesal sekarang. "Kakak, berhenti mempermainkan pipiku!, Sakit." Ucap Sisi. "Masa bodo. Terima ini." Teriakku. "Sudah hentikan." Ucap Mio sambil menjitakku dengan keras. "Aduh!" "Kalian tinggal bayangkan kekuatan yang bisa kalian bayangkan, dan kosentrasi." Ucak Mio. Ryan mulai melakukan apa yang dikatakan oleh Mio. Dia mengangkat tangannya, tidak lama angin yang berhembus pelan berubah menjadi lebih cepat dan membuat dedaunan yang berserakan di sudut halaman mulai berterbangan, daun-daun di pohon mulai bergoyang, dan ada sesuatu yang membuatku kaget sekaligus takjup. Rok yang di kenakan Mio terangkat dan aku bisa melihat celana dalamnya. "Pink" Ucapku dalam hati. Mio yang menyadari itu panik dan memegangi roknya dengan kedua tangan agar tertutup. Lalu angin itupun berhenti, Ryan melihatku dengan tatapan seolah berkata "bagaimana?" Aku hanya tersenyum dengan sedikit dipaksa. Mio berbalik dan melihatku dengan tatapan marah. "Kau. Melihatnya?" Tanyanya marah. "Yah, sedikit." Jawabku sedikit takut. Lalu Mio tanpa peringatan menendang perutku dengab keras. "Sial, yang mengangkat roknya Ryan. Yang kena getahnya aku." Gerutuku dalam hati. "Kau ini kenapa?" Teriakku marah. "Itu untuk melihat bagian dalam rokku." Jawab Mio dengan muka marah dan tangan dilipat di d**a. "Yang mengangkat rokmu kan Ryan, kenapa aku yang kena tendang?" Teriakku protes. "Karena kau yang paling dekat." Ucap Mio dengan ekspresi tidak peduli. "Woy, itu bukan alasan." Protesku. Ryan, Sisi, dan Dian hanya melihatku dengan senyuman aneh. Saat aku melihat ke arah mereka aku memasang muka poker face. "Kenapa kalian melihat kami seperti itu?" Tanyaku. "Tidak." Jawab Ryan. "Hanya saja." Tambah Dian. "Kalian tampak cocok." Tambah Sisi. Mendengar perkataan mereka aku dan Mio terkejut karena aku dan Mio cocoknya dari mana?. Aku memang senang mereka mengatakan kalo aku dan Mio itu cocok tapi, aku masih belum melihat kecocokannya dimana?. Aku melihat Mio dan ingin mengatakan "Kau ini, katakan sesuatu." Itu tadinya inginku tapi, saat melihat muka Mio tampak memerah. Aku menghampirinya. "Mio, kau tidak apa-apa?" Tanyaku. "Mmm, daijhobu. Nande?" Jawab Mio dengan bahasa jepang. "Tidak, hanya saja mukamu memerah. Apa kau sakit?" Ucapku. "Aku baik-baik saja" ucapnya. Aku berjalan lebih dekat lagi dengannya dan menaruh tanganku ke dahinya untuk mengecek apa dia benar-benar sakit. Tapi, saat aku menempelkan telapak tanganku muka Mio lebih memerah lagi. "Tidak panas, kau lebih baik istitahat saja hari ini. Hhh?, Mukamu tambah merah." Ucapku. "Sudahlah, aku mau masuk dulu." Ucap Mio dengan ekspresi kesal. "Tidak peka ya." Ucap Ryan. "Memang tidak peka." Tambah Dian. "Sangat tidak peka." Tambah Sisi. Aku bingung apa yang mereka katakan. Dan juga mereka mengatakannya dengan raut muka poker face. "Kalian ini bicara apa?" Tanyaku. "Dan juga bodoh." Ucap Ryan. "Memang bodoh." Ucap Dian. "Sangat bodoh." Ucap Sisi. Mereka mengatakannya masih dengan raut muka poker face. Aku mencoba menganalisa apa yang mereka katakan dengan sikap Mio tadi. Tunggu dulu, muka memerah saat Ryan, Dian, dan Sisi mengatakan kalo aku dan Mio cocok, mukanya menjadi lebih memerah saat aku menyentuh wajahnya dengan tanganku, ekspresi marahnya. Apa mungkin Mio memang menyukaiku?, Membayangkannya saja sudah membuatku sangat senang. Ryan, Dian, dan Sisi hanya melihatku bertingkah aneh dengan muka datar. "Ini sudah keterlaluan." Ucap Ryan. "Memang sudah keterlaluan." Tambah Dian. "Sangat keterlaluan." Tambah Sisi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN