Kami berlari sekuat tenaga dan secepat mungkin. Minotaur itu terus mengejar kami. Kami berlari secara random sampai-sampai kami menemui jalan buntu.
"Sial." Umpat ku.
"Sekarang bagaimana?" Tanya Mio panik.
Melihat kami sudah terpojok minotaur itu memperlambat larinya dan mulai berjalan mendekati kami. Aku berfikir dengan keras untuk bisa keluar dari situasi ini, minotaur itu semakin dekat dan semakin dekat. Karena aku tidak kunjung mendapatkan jalan keluar akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan ide gila yaitu melawannya, setidaknya sebagai umpan agar Mio bisa melarikan diri dan memberitahu Ryan dan yang lainnya kalau ada minotaur asli di dunia ini. Aku menarik katana ku.
"Arif, apa yang akan kau lakukan?" Tanya Mio khawatir.
"Aku akan menarik perhatian monster itu, dan kau lari untuk memberi tahu Ryan dan yang lainnya tentang makhluk ini." Jawabku.
"Apa kau gila? Kau tidak mungkin menang melawan monster itu."
"Begini saja," ucapku sambil tersenyum. "Kalo aku bisa selamat, apa kau mau jadi pacarku?"
Yak elah, bisa aja kau p****t panci, bisa-bisanya mencari kesempitan dalam kesempatan.
"Apa yang kau katakan?"
"Sudahlah, jawab saja!"
"Haaa, mooo. Baiklah, tapi kau harus selamat atau aku akan menghajarmu."
"Siap laksanakan," Ucapku mantap. "Baiklah, ayo!"
Setelah mendengar jawaban Mio aku menjadi sangat bersemangat. Aku berlari sambil membawa katanaku. Melihat aku berlari menuju ke arahnya, minotaur itu juga berlari menghampiriku. Dia bersiap dengan tangan kirinya dalam posisi siap memukul, saat jarak kami sudah dekat minotaur itu meluncurkan tangan kirinya ke arahku. Aku melompat ke kanan dan menebas kaki minotaur itu, pedangku hanya berhasil menggoresnya saja dan tidak dalam.
"Sial, terlalu dangkal." Umpat ku dalam hati.
Minotaur itu mengerang marah. Suaranya menggema sangat keras, itu berarti perhatiannya telah tertuju padaku. Aku akhirnya berlari menghampirinya dan bersiap untuk melakukan serangan selanjutnya. Melihat lawannya berlari ke arahnya minotaur itu membuka mulutnya dan di mulutnya itu muncul bola berwarna biru. Lalu dalam sekejap mata bola itu meluncur sangat cepat ke arahku, aku tidak sempat untuk menghindar. Jadi secara refleks aku menangkisnya menggunakan pedangku. Bola itu tertahan tapi dorongannya sangat kuat, aku tidak bisa menahan dorongannya dan membuatku terpental beberapa meter lalu menabrak dinding dengan cukup keras.
"Dakhg."
Darah keluar dari mulutku. Tubuhku terasa remuk.
"Sial, sepertinya beberapa tulangku patah."
Melihat aku yang tidak bergerak membuat Mio sangat khawatir.
"Arif!" Teriak Mio.
Mendengar teriakan, minotaur itu berbalik dan berjalan menghampiri Mio. Mio tampak sangat ketakuan, dia berjalan mundur sampai tubuhnya menabrak dinding di belakangnya. Minotaur itu semakin mendekat, aku yang melihat hal itu berusaha untuk menggerakan tubuhku.
"Ayo!, Bergeraklah! … ada seseorang yang harus kau selamatkan … Kau harus bergerak," ucapku dalam hati memberi semangat kepada diriku sendiri. "Ayo!. Ayo!"
Aku mulai bisa menggerakkan jari-jari ku, lalu kaki, kemudian tangan, dan yang terakhir seluruh tubuhku meski aku merasakan rasa sakit yang luar biasa.
"Yaaa!" Teriakku.
Mendengar teriakanku minotaur itu berbalik dan melihatku sudah berdiri. Meski masih bertopang pada pedangku. Lalu dia mengaum keras dan berlari ke arahku. Aku yang sudah membulatkan tekat untuk melindungi Mio secara tidak sadar tanah disekitar ku mengeluarkan asap, lalu api yang berkobar mengelilingi tubuhku. Aku yang terkejut memilih untuk mengabaikannya. Api itu juga melingkari pedangku. Setelah menarik nafas dalam-dalam, aku berlari ke arahnya.
"Hyaaaa!"
Minotaur itu meluncurkan tinjunya ke arahku, aku mengelak ke kanan dan berteriak secara refleks.
"Hinokami kagura, enbun!"
Aku berteriak sambil menebas perut kanan minotaur itu, sayatannya sekarang sangat dalam di tambah luka bakar yang di akibatkan oleh apiku. Aku terus menyerangnya secara membabi-buta, sambil menghindari setiap serangannya.
"Terus bergerak, aku tidak tau apa aku masih bergerak setelah ini. Yang pasti aku harus terus bergerak, aku harus melindungi Mio." Ucapku dalam hati.
Tangan kiri monster itu berhasil putus setelah menerima tiga kali seranganku. Aku terus menyerangnya, kobaran api membakarku dan minotaur itu secara bersamaan. Bedanya tubuhku tidak mengalami luka sedikitpun dari api itu, hanya minotaur lah yang mengalami luka bakar. Aku berputar, melompat, menggelinding, berteriak. Sampai akhirnya minotaur itu tumbang. Aku menghampiri minotaur itu untuk memastikan kalau dia sudah mati dengan menancapkan pedangku ke lehernya. Setelah itu aku mundur beberapa langkah dan terjatuh ke belakang karena kelelahan dan luka yang aku alami.
"Arif!"
Aku mendengar suara Mio memanggilku. Aku menoleh ke samping dan melihat dia berlari ke arahku.
"Arif, kau tidak apa-apa?" Tanya Mio khawatir.
"Lumayan, hanya kelelahan dan beberala tulangku patah. Mungkin." Jawabku sambil tersenyum.
"Kau ini bodoh."
Mio mengatakan itu sambil mengeluarkan air mata yang cukup banyak, air matanya berjatuhan di atas wajahku. Melihatnya menangis seperti ini membuatku tidak tega, aku mengangkat tangan kiriku sambil menahan rasa sakit yang kuar biasa dan mengusap air matanya.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja," ucapku sambil tersenyum. "Apa kau masih ingat apa yang aku katakan sebelumnya?"
Mio hanya mengangguk.
"Aku akan menjadi pacarmu, tapi dengan satu syarat." Ucap Mio sambil berusaha untuk berhenti menangis.
"Apa itu?"
"Jangan lakukan hal seperti tadi lagi. Itu sangat menakutkan." Ucapnya.
Aku mengakat tanganku dan menepuk kepalanya.
"Aah, tidak akan."
"Bisa kita pulang sekarang?" Tanyaku.
Mio hanya mengangguk dan membantuku untuk berdiri.
"Tunggu!" Ucapku.
Aku menghampiri minotaur itu dan mencabut katanaku dari lehernya. Sedangkan Mio mengambil sarung pedangku. Akhirnya kami berjalan pulang ke rumah.
***
"Arif, apa yang terjadi denganmu?" Tanya Dian panik setelah melihatku babak belur.
"Kau pasti tidak mau tau." Jawabku.
Mio membaringkanku di atas sofa.
"Aku akan mengambil kotak P3K." Ucap Mio.
"Sebenarnya kau ini kenapa?, Masak cuma pergi berbelanja saja sampai babak belur begini." Tanya Dian.
"Ceritanya panjang." Jawabku.
"Pendekkan!"
"Kami di serang oleh minotaur." Ucap Mio.
"Apa? Minotaur?. Jangan bercanda itu hanya mitos tidak mungkin nyata." Ucap Dian tidak percaya dengan apa yang Mio katakan.
Mio sekarang sedang mengobati luka luarku. Tapi untuk luka dalamku aku tidak tau bagaimana cara mengobatinya. Saat Mio sedang mengobatiku Ryan dan Sisi datang.
"Kakak, Kakak ini kenapa?" Tanya Sisi khawatir.
"Kami baru saja di serang oleh minotaur." Jawabku.
"Kau pasti berbohong. Mana ada minotaur di dunia nyata." Ucap Ryan tidak percaya.
"Dia tidak bohong. Kami memang di serang minotaur." Ucap Mio membelaku.
"Kau i …."
Ryan tidak melanjutkan ucapannya saat dia melihat ekspresi sedih Mio.
"Kalian memang bertemu dengannya?" Tanya Sisi.
"Kami memang bertemu dengan monster itu, apa kau tidak lihat Arif bahkan sampai seperti ini!" Teriak Mio.
Dari nada teriakannya aku tau dia sedang sangat sedih campur marah.
"Mio." Panggilku.
"Kau lihat sendiri, tubuh Arif penuh luka seperti ini. Bukan hanya itu, aku yakin beberapa tulangnya patah sekarang. Aku ingin mengobatinya tapi aku tidak tau bagaiaman mengobati patah tulang." Ucap Mio sambil menangis.
Aku mengusap kepalanya sambil tersenyum dan berkata.
"Sudahlah, yang penting kita sudah selamatkan?"