#3

2027 Kata
Aku terbangun dari pingsanku. Aku lalu duduk sambil memegangi kepalaku yang masih terasa pusing. "Adu, du. Kepalaku pusing." Setelah rasa pusingnya hilang aku lalu berdiri dan melihat keluar jendela. Aku melihat sekeliling rumah dan tampak sepi. "Ini aneh, aku tau daerah sini memang sedikit sepi. Tapi tidak sesepi ini." Aku berjalan menuju pintu kamarku. Tapi saat aku berjalan melewati lemari yang ada cermin aku terkejut karena di pantatku ada sebuah ekor. "Tunggu, perasaan aku tidak memakai aksesoris ekor sebelumnya?" Ucapku dalam hati. Aku lalu memegang ekor tersebut dan aku merasakan sebuah ransangan seperti saat aku memegang tangan atau kakiku. Merasa ada yang salah aku langsung melepas celana dan benar saja. Ekor itu bukanlah sebuah aksesoris, melainkan ekor sungguhan yang tumbuh tepat di tulang ekorku. "Eh? … eh? … eeeh?. Apa-apaan ini!" Teriakku. "Ekor?. Bagaimana bisa?. Tunggu dulu, apa karena cahaya tadi, sebentar Ibu, Sisi!" Aku langsung berlari menyusuri rumah untuk mencari ibu dan adikku. Saat aku sudah sampai di depan pintu kamar Sisi, aku membuka pintu itu dengan kasar. "Sisi!" Teriakku. Aku berjalan masuk dan melihat setiap sudut kamar dan mendapati kalau Sisi masih pingsan di atas lantai. "Sisi, Sisi!" Teriakku sambil mengguncang-guncangkan tubuh Sisi. Sisi tampak mulai sadar, aku senang karena mengetahui kalau adikku baik-baik saja. "Kakak?" Sisi lalu bangun dan duduk di depanku. Aku melihat ada sesuatu yang bergoyang-goyang di belakang Sisi, Aku pun meminta Sisi untuk berbalik. Sisi yang bingung hanya patuh dan dia memutar tubuhnya sama sepertiku di tubuh Sisi juga tumbuh ekor. Bedanya ekor yang tumbuh di tubuh Sisi menyerupai ekor kucing, sedangkan yang tumbuh di tubuhku seperti ekor rubah. Aku berdiri dan mengambil bando telinga kucing yang berada di atas meja dan memakaikannya ke kepala Sisi. "Kakak, kenapa kakak memakaikanku bando ini?" Tanya Sisi bingung. "Sudahlah, sekarang berdiri dan lihat aku!" Jawabku. "Baiklah." Sisi lalu berdiri dan menghadap ke arah ku. "Mmm, cocok juga. Hanya tinggal pakai kostum maid saja." Ucapku mengagumi ideku. "Apa maksud ka, kak?" Ucap Sisi lalu melihat ke arah cermin. Sisi terkejut karena sekarang dia terlihat sepeti Gadis Kucing. "Kakak, sejak kapan kau memakaikanku ekor kucing seperti ini?" Teriak Sisi marah. Aku hanya tertawa. "Hahaha, tenang. Coba lihat ini!" Ucapku sambil memperlihatkan ekor yang tumbuh di tubuhku. "Sejak kapan Kakak membeli ekor itu?" Tanya Sisi. "Aku tidak membelinya, ini tumbuh sendiri." Jawabku. "Tumbuh sendiri?" Ucap Sisi tidak mengerti. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mengambilnya dan melihat kalau Ryan dan Dina sedang melakukan group call. "Ryan, Dian." Panggilku "Arif." Panggil Ryan dan Dian bersamaan. "Kalian baik-baik saja?" Tanyaku. "Ya, bagaimana denganmu?" Jawab Ryan. "Aku dan Sisi baik-baik saja," ucapku. "Apa kalian baik-baik saja?" "Iya, tapi di tubuhku tumbuh ekor." Ucap Dian. "Sama." Tambah Ryan. "Bagaimana kalalau kita bertemu saja di rumah Ryan?" Usul Dian. "Kenapa di rumahku?" Protes Ryan. "Karena di rumahmu banyak makanannya." Ucapkku. "Oke-oke." "Kalau begitu kita kumpul di rumahmu." Ucapku. "Kakak bagaimana?" Tanya Sisi. "Kita pergi ke rumah Ryan dan berkumpul dengan Ryan dan Dian." Ucapku. "Kenapa kita harus bertemu dengan Ryan dan Dian?" "Ada yang aneh disini." "Aneh bagaimana?" "Apa kau tidak merasakannya?, Disini terasa sangat sepi." "Bukankah daerah rumah kita memang terlihat sepi?" "Tapi tidak sesepi ini. Aku bahkan tidak mendengar suara motor lewat mengingat rumah kita tidak begitu jauh dari jalan raya." "Betul juga. Kalo begitu ayo!" Kami bergegas menuju ke rumah Ryan, tapi sebelum itu aku mengambil bando telinga kucing yang berada Sisi letakkan di atas meja. Lalu aku dan Sisi berjalan menuju rumah Ryan. "Kakak benar, ini terasa lebih sepi dari yang biasanya." Ucap Sisi. "Tidak, ini ada yang aneh. Kenapa aku merasa kalau semua orang tampak menghilang." Ucapku. Ini memang sangat aneh. Kami sedang berjalan di trotoar tapi aku tidak melihat satupun kendaraan yang lewat. Bukan hanya itu, warung dekat rumah yang biasanya di jadikan tempat nongkrong orang-orang juga tampak sepi. Aku terus memikirkannya sampai aku melihat seorang gadis cantik memakai baju hitam tanpa lengan dengan rok selutut berwarna hitam sedang berjalan di depan kami. Aku mengenali gadis itu, dia adalah murid pindahan dari Jepang yang baru saja pindah ke sekolahku tiga bulan yang lalu. Aku berlari menghampirinya. "Mio!" Panggilku. Mio yang mendengar seseorang memanggil namanya berhenti dan menoleh ke belakang. "Arif?, Kau kenapa lari-larian seperti itu?" Tanya Mio. "Kau mau kemana?" Tanyaku. "Aku sedang berkeliling mencari orang-orang, mereka menghilang." Jawab Mio. "Bagaimana kalau kau ikut dengan kami ke rumah Ryan?" Ajakku. "Kenapa?" "Karena …." "Karena hanya kita yang masih tersisa di disi." Ucap Sisi tiba-tiba. "Tersisa?" "Iya, apa kau tidak merasa aneh kalau tiba-tiba semua orang menghilang kecuali kita?" Ucap Sisi. "Benar juga. Aku juga tidak bertemu orang lain selain kalian." Ucap Mio. "Kalo begitu, ayo!" Teriak Sisi. "Sebelum itu ada sesuatu yang harus kita lakukan." Ucapku. "Apa itu?" Tanya Mio. Aku berjalan mendekati Mio dan mengeluarkan bando yang aku ambil tadi dan memakaikannya ke kepala Mio. Mio tampak bingung dengan apa yang sedang aku lakukan, aku lalu mundur beberapa langkah sambil membuka kamera di ponselku. Lalu memotret Mio yang sekarang terlihat seperti gadis kucing karena ekornya sama seperti Sisi tapi berwarna hitam sedangkan milik Sisi adalah warna putih. "Ini bagus, akanku jadikan wallpaper ponselku," Ucapku puas. "Sekarang ayo!" "Kakak!" "Ahaha." Kami akhirnya sampai di rumah Ryan, aku langsung berjalan masuk tanpa permisi. "Punten paket!" Teriakku. "Tunggu Arif, kenapa kau main masuk aja?" Tanya Mio. "Kenapa?, Ini sudah biasa." Jawabku. "Udah biasa?, Tapi tetep aja gak sopan." Protes Mio. "Kalau kau menganggap ini gak sopan, kau harus tau bagaimana Ryan saat main ke rumahku." Belaku. "Memangnya bagaimana?" Tanya Mio. "Dia langsung masuk, dan terkadang ngambil makanan di kulkas." Jawabku. "Arif, gak sopan kan main masuk ke rumah orang tanpa permisi." Ucap Ryan. "Woy, lu sendiri biasanya kalo main ke rumahku juga kayak gini kan?, Dan juga terkadang kau nguras isi kulkasku." Protesku. "Yah, kalo itu …." "Sudahlah, aku mau nguras isi kulkasmu dulu. Aku lapar." Ucapku. Lalu berjalan menuju dapur. Saat aku sampai di dapur aku melihat Dian sedang memasak, aku langsung menghampirinya. "Masak apa kau?" Tanyaku. "Hanya telur." Jawab Dian. "Ah." Aku berjalan menghampiri kulkas dan melihat isinya. Ya ampun, ini rumah gede tapi isi kulkasnya cuma telur, s**u, sama beberapa botol isinya cuma air putih lagi. Aku ke cewa dengan isi kulkasnya dan hanya mengambil botol itu dan membawanya menuju ruang tamu tempat Ryan dan yang lainnya sedang ngobrol. Begitu aku sampai di sana aku langsung duduk di sebelah Mio. "Woy, Ryan!" Panggilku. "Kenapa?" "Kapan terakhir kali kau mengisi kulkasmu?" "Kenapa?" Tanya Sisi. "Kau lihat saja rumah ini. Besar, mewah, garasinya gede, furniturnya keren-keren. Tapi, isi kulkasnya cuma air putih, s**u, ama telur doang." Jawabku. "Ah, maaf saja ya. Aku lupa ngisi kulkasnya dengan batu bata." Ucap Ryan sedikit kesal. "Batu bata buat apa?" Tanya Mio. "Untuk memberi Arif makan lah, apa lagi." Jawab Ryan. "Oh, maaf saja aku lebih suka genteng campur semen untuk kudapan." Ucapku. "Dari pada kalian saling ejek seperti itu bagaimana kalo kita makan?, Aku sudah siapkan makanannya." Ucap Dian. Kami berjalan menuju ruang makan untuk makan malam. *** "Mio, kau mau kemana?" Tanyaku. "Pergi belanja. Di dapur sudah tidak ada apa-apa jadi aku ingin belanja dulu." Jawab Mio. "Boleh aku ikut?, Ada sesuatu yang ingin aku beli." Tanyaku. "Boleh saja." Jawab Mio. Pagi ini aku dan Mio akan pergi berbelanja, sebenarnya aku hanya ingin. Ehem, kalian taukan?, Apa itu namanya TKDP. Aku sudah lama ngincer ni anak tapi karena dia selalu di kelilingi oleh cowok-cowok kadal gurun bin mata karung. Yang pacaran kayak majalah minguan aku jadi gak punya kesempatan, untungnya Tantenya adalah teman kerja Ibuku dan terkadang aku di minta oleh ibuku pergi ke rumahnya untuk mengantar makanan. Dan aku juga meminta dia untuk mengajariku bahasa Jepang, sekaligus pdkt. Jadi seperti menyelam keselek air. Dan aku ini adalah tipe cowo yang kaku kalo berurusan ama cewe Itu akibatnya kenapa selama ini tidak ada kemajuan. "Kau ingin beli apa?" Tanyaku. "Keperluan perempuan, sampo, sabun, pasta gigi, dan beberapa pakaian," Jawab Mio." Kau sendiri?" "Ah, aku hanya mau mengambil pesanan." Jawabku. "Pesanan?" "Iya, aku memesan sebuah katana untuk di pajang di kamar, sekaligus untuk pertahanan kalau-kalau ada maling masuk rumah."  "Ah." "Kalo ada maling masuk rumah aku bisa langsung penggal kemaluannya." "Arif, kau sadis juga." Aku hanya tertawa mendengar perkataan Mio tadi. Kami berkeliling sekitar lima belas menit dan berputar di toko pakaian dekat swalayan sekitar tiga puluh menit. Lalu kami berjalan menuju ke pengrajin besi. Beruntung di daerah tempat aku tinggal ada orang yang membuka usaha pembuatan benda dari besi dan saat aku tanya dia bisa membuatkanku sebuah katana asli. Memang aku akui harganya mahal karena aku meminta dia membuatnya dengan bahan yang biasa digunakan untuk membuat katana. Setelah berjalan tidak terlalu jauh kami akhirnya sampai di tujuan kami. Karena tidak ada orang kami langsung masuk ke dalam, ruangan ini terdapat banyak tungku dan besi mentah maupun yang sudah jadi. "Kau tunggu sini, aku akan mengambil pedangku!" Perintahku. "Kau tau dia menaruhnya dimana?" Tanya Mio. "Tau, dia sendiri yang mengatakannya padaku." Jawabku. Aku mencari kotak tempat pengrajin itu menyimpan pedang pesananku. Aku berkeliling ruangan itu dan menemukan sebuah lemari besar yang berisi kotak-kotak dengan berbagai ukuran. Aku melihat-lihat di lemari itu dan menemukan sebuah kotak dengan namaku di atasnya. "Ini dia." Ucapku senang. Aku mengambilnya dan membukanya. Didalamnya aku melihat sebuah katana dengan sarung pedang berwarna hitam sampai ke gagang pedangnya, sama seperti pesananku. Aku mengambilnya dan menarik katana itu keluar dari sarungnya. "Katana yang bagus." Puji Mio. "Ya, katana yang bagus." Ucapku. Katana itu memang bagus. Terdapat tulisan Jepang di dekat gagang pedangnya. "Cahaya." Ucap Mio. "Apa?" "Tulisan itu di baca cahaya." "Ah. Ayo pulang!" Aku dan Mio berjalan keluar tempat itu dan langsung berjalan kembali ke rumah Ryan. Selama perjalanan kami tidak banyak ngobrol karena aku tipikal orang yang susah nyari topik, harus di pancing dulu baru bisa ngomong. Et dah itu orang atau ikan? Kok di pancing. Saat aku akan membuka mulutku untuk mengajaknya ngobrol, aku mendengar sesuatu. Seperti suara erangan binatang buas. "Mio, apa kau mendengarnya?" Tanyaku. "Mendengar apa?" "Dengar!" Aku dan Mio tidak mengeluarkan suara selama beberapa detik. "Kau benar, seperti suara erangan binatang buas." "Arahnya dari sana!" Ucapku sambil menunjuk sebuah gang. Kami memperhatikan gang itu dalam-dalam sampai aku mendengar suara langkah kaki yang sangat berat dari arah gang itu. Semakin lama semakin dekat, dan tidak lama ada sesuatu yang muncul dari persimpangan gang itu. Seekor makhluk dengan tubuh manusia tapi berkepala banteng. "Minotaur?" Teriakku dalam hati. Mio hampir berteriak, untung saja aku sempat membungkam mulutnya. Aku lalu memberi isyarat kepada Mio untuk pergi dari sana tanpa membuat keributan. Mio hanya mengangguk, tapi saat kami baru beberapa langkah melewati gang itu secara tidak sengaja kantung plastik tempat Mio menaruh semua belanjaannya menyenggol papan yang berada di dekat situ dan hampir terjatuh. Untung saja aku cepat memegangi papan itu agar tidak jatuh. Tapi sepertinya suara tadi terdengar oleh minotaur itu, aku mendengar suara langkah kaki yang berat sedang mendekat. Aku memberitahu Mio untuk bersembunyi. Kami bergegas masuk ke dalam sebuah toko yang tepat berada di depan kami dan bersembunyi di dalamnya. Suara langkah kaki itu semakin dekat, dan saat tepat di depan toko tempat kami bersembunyi langkah kaki itu menghilang. Aku mencoba mengintip sedikit, dan melihat Minotor itu berdiri tepat di depan pintu. Aku memberitahu Mio untuk tetap diam di tempat. Tidak lama minotor itu berjalan meninggalkan toko ini, saat aku rasa dia sudah cukup jauh. Aku mengintip keluar toko untuk memastikannya, dan benar saja minotor itu sudah pergi. Aku memberitahu Mio untuk keluar. "Sudah aman?" Tanya Mio. "Kurasa, tapi kita harus segera memberitahu Ryan dan yang lainnya tentang minotaur itu." Jawabku. "Bagaimana makhluk mitologi itu bisa ada di sini?" "Kita pikirkan itu nanti. Sekarang kita pergi dulu dari sini. Tapi tetap tenang!" Kami berjalan keluar toko dengan mengendap-endap agar makhluk tadi tidak menyadari keberadaan kami. Saat kami berjalan tidak begitu jauh dari toko tadi. Kantung belanjaan Mio robek dan isinya tumpah semua, dan itu membuat bunyi berisik. "Umps." Ucap Mio sambil tersenyum. Aku melihatnya dengam wajah datar seperti berkata "Really". "Gomen." Bisik Mio. Mendengar sesuatu Minotor itu langsung bergegas menuju sumber suara itu dan melihat kami. Aku langsung menarik tangan Mio dan dan dia melepaskan belanjaannya. "Tunggu belanjaanku!" Teriak Mio. "Kau pilih belanjaanmu, atau nyawa kita?" Teriakku. Minotor itu merangung keras lalu mengejar kami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN