Zhen menarik wajahnya. Bukan karena memutuskan menyudahi keusilannya pada Isla, melainkan karena jantungnya sendiri berdetak terlalu cepat. Dan jua tak tega melihat wajah Isla yang memerah. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan hati dan pikirannya dari menyambar bibir ranum Isla.
‘Astaghfirullah, Zhen! Lo ngapain sih? Tenang! Sabar! Jangan buru-buru berurusan sama perempuan yang belum move on!’
“Udah, Dok,” lirih Isla. Pandangannya tak fokus, menyapu kemana-mana. Salah tingkah.
“Udah apa?”
“Udah dipakai semua.”
“Oh.”
“Kamu pakai busur standar aja,” ujar Zhen. Ia mengambil salah satu busur, menyodorkannya pada Isla.
“Tunggu Dok, saya pakai contact lens dulu.”
Zhen mengangguk, menunggu Isla memasang lensa kontaknya.
“La, liat aku,” ujar Zhen kemudian.
“Kenapa Dok?”
“Nih, kalau pegang busur, apalagi ada anak panahnya, kalau lagi ga dalam posisi nembak, arahin ke bawah. Paham?”
Zhen menjelaskan seraya mempraktekkan arahannya pada Isla.
“Kenapa Dok?”
“Biar kalau ga sengaja nembak, kakimu sendiri yang kena!” ketus Zhen.
“Error!”
“Ngomong apa barusan?”
“Dokter error!”
“Dikasih tau bener malah ngatain orang!” gerutu Zhen. “Nih!” ujarnya lagi seraya menyodorkan kembali busur yang di genggamnya pada Isla.
“Dokter pakai yang mana?”
“Tuh, yang merah.”
“Kok keren?”
“Itu namanya compound bow. Belajar yang standar dulu sampai bisa! Ga usah ngimpi pake yang advance kalau yang standar aja belum bisa.”
“Iya, Dok.”
‘Darah tinggi lo baru rasa! Mas Ji Sung ganteng-ganteng ngomel mulu!’
“Wah, sudah siap Isla?” tanya Kenji yang baru saja muncul dari sebuah villa mungil di belakang Isla dan Zhen. Direktur Utama Rumah Sakit Permata Indah sekaligus suami dari adik Ayahnya Zhen itu sudah terlihat siap dengan perlengkapan memanahnya.
“Persis pemanah profesional, Dok.”
“Oh, iya dong! Kalau hobi jangan tanggung-tanggung! Ya ngga Zhen?”
“Hmm!”
“Emang Dokter Zhen hobinya apa Dok?” tanya Isla pada Kenji.
“Ngoleksi mobil.”
“Jadi mobilnya dia ga cuma tiga, Dok?”
“Wah, ternyata kalian sedekat itu ya?”
Zhen menganga, Isla mengerutkan keningnya.
‘Gimana dah maksudnya pemirsah?’ batin Isla.
“Tenang La, dia sih masih sanggup nahan diri dengan hanya tiga mobil. Walaupun tiap tahun pasti ganti formasi, si Bentley aja tuh yang udah tiga tahun ga ganti,” lanjut Kenji lagi.
“Oh,” lirih Isla, diikuti oleh suara Zhen yang mencebik.
Zhen melangkah menjauhi sang paman dan juga sang gebetan. Berdiri di lajur dengan jarak tembak tiga puluh meter.
“Gih, La. Zhen kalau udah ngambek ngeselin!” goda Kenji.
“Ga ngambek aja ngeselin, Dok!” balas Isla yang disambut kekehan Kenji.
Isla mendekat pada Zhen. Posisi Zhen yang sedang berdiri tegap menatap papan target terlihat bagaikan patung Dewa yang sedang menimbang keputusan.
‘Ya Allah, kok ada sih orang secakep itu?’
“Dok? Tumben bengong,” tegur Isla.
“Bengong dari mana? Udahlah, kamu di jalur ini aja.”
“Emang tadinya di mana?”
“Tadinya mau ke 40-meter aja langsung. Tapi coba yang ini dulu deh.”
“Ini?”
“30-meter.”
“I see.”
“Stance yang bener, La!”
“Stance?”
“Posisi berdiri kamu. Buka kaki selebar bahu, kedua ujung kaki sejajar.”
Isla mengikuti arahan Zhen tanpa ragu-ragu.
“Lihat busur kamu!”
Ia menurut, menatap busur di genggamannya.
“Di tengah string, yang warna emas, itu disebut nocking point. Kamu pasang ekornya anak panah di situ, sementara batang panahnya kamu paskan di sandaran.”
“Sandarannya?”
“Yang di badan busur.”
“Ok.”
Isla masih bisa mengikuti.
“Kamu lihat saya, La. Ini namanya hooking and gripping the bow. Posisi jari kamu di anak panah dan string sambil megang busur. Ikutin posisi jari saya. Coba dulu, sampai kamu dapat posisi nyaman.”
Zhen menunggu Isla yang melatih otot jemarinya, mereganggakan dan dan mengendurkan tali busur dengan jemarinya.
“Oke, Dok. Lanjut.”
“Sekarang set-up!”
“Apa Dok?”
“Angkar busur kamu di depan d**a, tarik maksimal string-nya.”
Isla mengikuti, tetapi posisinya yang salah membuat kedua mata Zhen iritasi.
“La, tegap!”
Isla menegapkan diri.
“Rileks aja. Bahunya ga usah kaku gitu, nanti malah sakit!”
Isla mencoba lagi, melakukan apa yang Zhen katakan, dan berakhir dengan tubuhnya yang miring tak tentu arah.
“Kok malah miring-miring sih! Bahu kamu yang lurus. Posisi kaki dan bahu lurus Isla! Tegak!”
Tak juga bisa. Ada saja yang tak beres dilakukan Isla.
“Kamu ga pernah olah raga selain lari?”
Zhen mulai naik pitam.
“Handstand kalau lagi stress, Dok.”
“Astaga!”
“Bahunya lurus! Lurus Isla! Kamu ga bisa bedain mana lurus mana miring?”
‘Ih ga sabaran amat sih! Untung ganteng lo!’
Zhen mendengus keras. Kesal. Ia akhirnya melangkah, berdiri tepat di belakang Isla. Tanpa jarak.
Ia mengulurkan tangan kanan menyatukannya dengan genggaman Isla di badan busur. Lalu menarik bahu Isla, bersandar di bahunya. Lurus.
Tangan kiri Zhen kembali terulur, menyatu dengan tangan Isla, menarik anak panah. Sementara wajah Zhen menempel tepat di kepala Isla, bersinggungan dengan daun telinganya.
Jantung Isla menggila kembali. Ia sampai khawatir Zhen bisa mendengar suara berdebum nan bersahutan itu.
“Paskan sudut dan anak panah ini dengan hidung, bibir dan dagu kamu,” ujar Zhen seraya mengangkat tangan Isla ke posisi yang ia maksud. “Ini namanya drawing.”
“Lalu luruskan tangan kiri kamu, sejajarkan dengan dagu atau rahang,” lanjut Zhen lagi. “Ini namanya anchoring atau ancang-ancang.”
Isla kehilangan kemampuannya berbicara. Hanya seperti boneka yang mengikuti arahan dan gerakan Zhen.
“Sekarang tetap dalam posisi ini, tahan, ambil napas dalam.”
Isla menurut, ia menarik napas dalam dan menahannya. Di saat yang sama, Zhen mulai sadar dengan tindakan impulsif yang dilakukannya. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin kan ia mundur dan mengambil jarak begitu saja?
‘Fokus, Zhen!’
“Bidik, La. Tahan tiga detik,” bisik Zhen lagi pada Isla. “Saat saya bilang lepas hanya jari kamu yang mengendur, badan jangan ikut maju! Setelahnya tetap di posisimu, jangan berubah.”
‘One, two, three!’
“Lepas!”
Anak panah itu meluncur cepat. Lalu menancap tepat di titik tengah.
“Good! Coba lagi!”
Zhen langsung memundurkan langkah, Menghirup udara sebanyak-banyaknya. Jika sedikit saja lebih lama dalam posisi itu, mungkin ia akan terkena serangan jantung.
‘Masalah banget ini cewek! Masalah buat jantung gue!’
Sementara Isla, yang sadar jika tembakannya tepat mengenai titik dengan nilai tertinggi, tetap tak mampu menunjukkan ekpresi riang. Ia sibuk dengan jantungnya yang mengepak kencang, dan perutnya yang terasa ngilu.
‘La, lo kenapa sih? Ga gini La rencananya.’
“ZHEN!” pekikan Kenji membuyarkan lamunan keduanya. “Kecelakaan beruntun. Ada kendaraan pribadi yang tiba-tiba kecepatannya ga terkendali, nabrak pembatas sampai mental ke jalur lawan.”
“Innalillahi,” lirih Zhen.
“Ayo Zhen, kita berlomba dengan kedatangan pasien!”
Zhen bergerak cepat, sementara Isla masih mematung di posisinya. Shock dengan apa yang baru saja ia dengar.
Usai melepaskan semua perlengkapan memanah di tubuhnya, Zhen menolehkan pandangan ke kiri dan kanan, merasa heran karena Isla tak mengikutinya.
“LA!”
Isla tak merespon panggilan Zhen.
Ia melangkah kembali, mendekati Isla lalu membantu melepaskan semua peralatan yang menempel di tubuhnya. Seorang pekerja di archery field itu mendekati keduanya, mengambil semua peralatan yang Zhen genggam untuk menyimpannya.
Zhen lalu menangkup wajah Isla, memaksa Isla menatapnya.
“Are you fine?”
“Papa...”
“Papa?”
“Papa pernah stroke di jalan. Mobilnya lari ke jalur lawan,” lirih Isla.
“Tapi Papa kamu ga apa-apa kan?”
Isla menggeleng.
“Itu alasan kenapa saya ga melanjutkan pendidikan saya, Dok.”
Zhen terdiam. Namun wajah sendu Isla membuatnya tak sanggup bertanya lebih jauh. Ia merangkul Isla hangat, membawanya meninggalkan area memanah itu, kembali menuju Jakarta.