Isla tak bersuara selama perjalanan. Bukannya tak ingin, tetapi panggilan ke nomor ponsel Zhen yang tersambung via bluetooth ke audio mobil itu masuk sambung-menyambung. Yang Isla tau, selama lima belas menit perjalanan, belum ada korban yang berhasil dievakuasi, apalagi sampai di rumah sakit.
“Sudah ada yang membantu ke lokasi?” tanya Zhen.
“Sudah, Dok. Dokter Joe dan Dokter Luca yang ke lokasi, Dok.”
“Oke. Saya tidak akan bicara dua kali, dengarkan!” tegas Zhen. “Intern, pindahkan semua pasien hijau saat ini ke poli umum. Juga siapkan ruangan untuk korban bertanda hijau yang akan datang. Tangani, itu tugas kalian.”
“Baik, Dok!”
“Residen tahun pertama dan kedua, tangani korban bertanda kuning.”
“Siap, Dok!”
“Residen tahun ketiga dan keempat, tangani korban berwarna merah, dampingi dokter spesialis melakukan cito dan operasi urgent. Ingat, utamakan yang cito!”
“Baik, Dok!”
“Guys! Kita tidak pernah berharap kejadian seperti ini datang. Tapi inilah tugas kita. Dan hari ini---”
“HARI YANG INDAH UNTUK MENYELAMATKAN NYAWA!”
“Thanks all.”
Sambungan ketiga berakhir. Setelah sambungan pertama dan kedua yang tadi Zhen terima berasal dari Liang Raiden – sang Ayah, dan Irgi.
“La, tolong sambungin ke Luca.”
Isla mengangguk, mencari nama Luca di layar LCD kendaraan mewah itu, lalu menekan tombol panggil.
“Luca, Dok!” jawab pria di ujung panggilan.
“Gimana disana?”
“Aaah, it’s a mess,” lirih Luca, parau.
“Ya Allah. Fokus, Luca!”
“Siap, Dok!”
“Langsung lakukan triase dan tandai semua pasien yang diarahkan ke rumah sakit kita.”
“Siap, Dok!”
“Sebisa mungkin jangan lakukan tindakan bedah apapun di lokasi. Paham?”
“Paham, Dok.”
“Hubungi saya segera jika ada kondisi darurat yang sulit kalian tangani!”
“Baik, Dok!”
“Ada yang perlu kamu tanyakan?”
“Cukup, Dok.”
“Sampai bertemu di rumah sakit, Luca.”
“Thanks, Doc. Drive safely, Doc.”
Setelah panggilan itu berakhir, rasa sunyi kembali menyergap Isla. Tetapi ia tetap tak berani bicara, pikiran Zhen pasti penuh dengan segala skenario penanganan trauma.
“La?”
Isla menoleh. Merasa aneh karena Zhen justru mengajaknya bicara.
“Mau nelpon siapa lagi, Dok?”
“Ngga. Nanti mereka yang ngubungin saya jika ada yang diperlukan,” jawab Zhen. “Kamu ga apa-apa?”
“Ga apa-apa, Dok.”
“Kamu selalu seperti tadi jika mendengar kabar kecelakaan?”
Isla mengangguk pelan. Jemarinya mulai memilin tepi blouse-nya.
“Sudah pernah konsul dengan psikiater, La?”
“Saya ga apa-apa kok, Dok.”
“Lalu?”
“Dokter yang menangani Papa bilang jika Papa mengalami stroke ringan. Dan serangannya diperkirakan sudah beberapa hari saat kecelakaan itu akhirnya terjadi. Waktu itu, saya mahasiswi tahun ke empat, Dok. Bagaimana bisa saya ga menyadari kondisi Papa saya sendiri?”
Zhen terdiam sesaat. Ia sangat paham apa yang Isla rasakan. Merasa gagal menjaga orang yang ia cintai.
“Terus, bagaimana kondisi Ayahmu sekarang?” tanya Zhen kemudian, lembut.
“Stroke-nya sih sudah dinyatakan sembuh. Tapi karena kecelakaan itu, kaki Papa keduanya melemah. Bukan lumpuh sih Dok, lemah gitu, ga bisa berdiri lama. Jadi sekarang Papa banyak di kursi roda.”
“Apa kata Dokter?”
“Ga tau, Dok. Kami sudah kemana-mana dan Papa tetap seperti itu.”
“La...”
“Ya, Dok?”
“Kamu paham kan kenapa seorang dokter tidak boleh merawat keluarganya sendiri?”
Isla tak menjawab pertanyaan Zhen. Bukan karena tak tau jawabannya, melainkan apa yang Zhen tanyakan tak akan bisa menghilangkan rasa bersalahnya pada sang Ayah.
“Stroke ringan terkadang gejalanya ga terlihat, La. Jadi, saya rasa sudah saatnya kamu berhenti menyalahkan dirimu sendiri.”
“Hmm.”
“Sudah pernah bawa ke Irgi?”
“Dokter Irgi?”
“Iya.”
“Belum, Dok.”
“Berarti kamu belum bawa Ayahmu kemana pun.”
“Dokter ih!”
“Lho benar kan? Buktinya ke Irgi belum.”
“Hmm!”
Zhen terkekeh pelan. Menikmati wajah Isla yang mulai kesal.
“Saya rekomendasiin. Bawa deh La. Sekali aja, bawa Ayahmu menemui Irgi.”
“Sehebat itu beliau, Dok?”
“Kamu buktikan saja sendiri. Kalau Irgi bilang ga bisa diapa-apakan lagi, baru kamu boleh legowo.”
“Baik, Dok. Akan saya coba.”
***
Syukurlah arah datang mereka berlawanan dengan arah dari tempat kejadian kecelakaan ke rumah sakit, hingga sepanjang perjalanan tak ada hambatan yang berarti. Zhen menepi di bagian samping rumah sakit, kembali menoleh ke Isla seraya mematikan mesin mobilnya.
“Saya ga nganter ya La?”
“Iya, Dok. Lagian kan saya yang ngikut Dokter. Selamat bertugas, Dok.”
“Hmm!”
Keduanya keluar dari mobil mewah itu. Zhen berlari ke pintu IGD, sementara Isla berjalan ke arah sebaliknya, menuju halaman muka rumah sakit. Ada dua buah ambulans yang berpapasan dengan Isla saat itu. Ia tak berani menoleh, terlalu takut melihat keadaan korban begitu pintu ambulans dibuka.
“NEEEK!” pekik Gary seraya berlari centil mendekali Isla.
“Kok yeiy ada di sini lagi?” tanyanya kemudian.
“Ga boleh?” ketus Isla.
“Gagal cipokan ya yeiy sama si Ji Sung? Sensi amat!”
“Hush!”
“Biarin! Biar semua orang tau! Biar hubungan kalian cepat terealisasi!”
“Ngaco!”
“Jangan muna, Nek! Naksir beneran baru yeiy tau rasa! Jadi? Kenapa lo bisa di sini lagi, Nek? Dan kenapa WA eyke ga lo jawab, hah?” cacar Gary seraya bertolak pinggang.
“Abis jalan-jalan naik Prosche!” jawab Isla, santai dan menggoda. Memancing kekesalan sahabatnya.
Gary memberengut, sementara Isla justru terkekeh.
“Tadi perasaan yeiy bilang mau balik karena pusing. Taunya berduaan sama Ji Sung naik Porsche? Bagus ya! Giliran buat yang enak-enak aja yeiy boongin eyke!” rajuk Gary kemudian.
Isla masih saja terkekeh. Ia lalu menyisipkan tangan kanannya di siku Gary, memaksa Gary beranjak dan melangkah bersamanya.
“Samyang yuk! Di kosan gue! Sambil nonton drakor.”
“Cih! Abis naik Porsche sogokannya cuma samyang!”
“Mau ga?” kekeh Isla.
“Oke. Kita mampir dulu beli corn dog di depan komplek yeiy!”
“Gak pake soju sekalian?”
“Haram, Nek! Haram!”
Tiba di kosannya, Isla langsung menata kamarnya, bersiap untuk acara menonton drakor bersama Gary, walaupun yang kerap terjadi adalah drakor itu yang akan menonton mereka berdua. Pintu kamarnya Isla buka lebar untuk menghindari fitnah. Biarpun Gary melambai, ia tetap seorang pria kan?
“Nek?”
“Apa?”
“Mmm, itu...”
“Apaan?”
“Lo ada dengar kabar-kabar ga enak gitu ga?”
Isla sepertinya paham arah pembicaraan Gary. Kejadian tadi pagi tak mungkin selesai begitu saja. Susan pasti sudah menyebarkan fitnah kemana-mana.
“Susan ya?” tanya Isla, malas.
“Jadi yeiy udah dengar?”
“Tadi pagi dia malah sempat-sempatnya ngelabrak gue.”
“Bilang apa dia?”
“Kata dia kalau mau ngelonte tau tempat!”
“Gue kasih cuka tuh cewek congornya!” ketus Gary.
“Tenang! Udah gue balas!”
“Lo bilang apa?”
“Gue kasih fakta dong. Gue udah tiga bulanan di Permata Indah, dan Dokter Zhen baru setuju gue temui. Terus, dia yang baru sebulan di sana tau-tau berhasil bikin itu dokter tanda tangan form kunjungan dia? Dih! Gue bilang aja, yang niat ngelonte tuh gue atau dia?”
Gary bertepuk tangan seraya menggelengkan kepalanya.
“Judes lo udah kembali, Nek!”
“Sial lo!”
“Kan selama sama si Sampah, kejudesan lo itu menguap entah kemana, Nek! Emang lo ga sadar?”
“Sadar kok.”
“Harusnya dari situ lo udah tau, Nek. Orang yang tulus cinta sama kita ga akan banyak nuntut kayak si Sampah. Bahkan dia bakalan tetap cinta sama lo begitu tau kalau lo tidurnya ngintip, dan setiap pagi lo bisa balik lagi ke kosan sampai beberapa kali karena selalu aja ada barang yang ketinggalan!”
Tawa Isla menyembur begitu saja. Ya, kini ia sangat setuju dengan Gary.
Namun, di tengah tawanya, Isla tiba-tiba saja teringat sesuatu.
“Kok aneh ya?” gumam Isla.
“Apaan Nek?”
“Oh iya Ger. Mama dan Papa akhirnya udah tau kalau gue dan Oki bubaran.”
“Sampah! Eyke ga akan manggil dia dengan namanya lagi. Benci banget eyke!” Gary tak hentinya merepet pedas.
“Iya, Sampah.”
“Terus Nek?”
“Mama shock gitu deh. Nanti abis makan gue telpon Mama dan Papa dulu deh.”
“Hmm.”
“Nah terus Ger, kan tadi pas Mama nelpon, gue sebelahan ya sama Ji Sung. Kok dia ga ada nanya apa-apa ya?”
“Soal adiknya doi yang doyan Sampah itu?”
“Iya.”
“Ya Ji Sung ga tau kali siapa identitas cowoknya itu pelakor. Belum dikenalin mungkin. Lagian emangnya Ji Sung kenal si Sampah?”
“Masa sih ga kenal? Waktu gue mergokin mereka kan Dokter Zhen jemput Amy.”
“Nek, lo aja kan ga tau itu cewek tenyata si Amy kalau bukan karena si Sampah yang ngaku. Itu kan hujan gede, Nek. Siapa juga yang bisa lihat jelas dalam kondisi begitu?”
“Iya juga ya. Ternyata kecerdasan lo ga menurun, Ger!”
“Sial! Ih yeiy mah aneh bener, Nek. Mana ada Sampah famous! Namanya aja Sampah!” gerutu Gary lagi.
“Iya, iya. Udah sih jangan ngomongin sampah mulu. Lagi makan juga!” keluh Isla.
“Dih siapa yang mancing duluan?”
“Eh iya, Lian gimana?”
“Tadi abis ketemu dokter dia langsung pergi tuh. Mau ke café katanya bikin laporan. Dasar anak orang kaya! Ga ngajak gue coba, Nek! Amsyong! Kita mah pas abis gajian doang bisa ngafe ya Nek? Terlalu banyak cicilan.”
Isla kembali tertawa geli. Tetapi tak urung menganggukkan kepalanya.
“Ya ampun, Ger! Gue baru ingat!” Isla nyaris memekik. Telapak tangan kanannya menepuk pelan keningnya.
“Apaan?”
“Si Sampah belum balikin duit gue juga!”
“Duit?”
“Kan waktu beli bumblebee dia minjem duit gue lima belas juta.”
“City car sejuta umat! Kebagusan bener dipanggil bumblebee! Kayak ngerti aja itu mobil! Lagian Nek, yeiy itu bego atau kesambet sih? Yeiy itu cuma pacaran! PA-CA-RAN! Kok bisa-bisanya yeiy minjemin duit? Kenapa ga sekalian aja patungan beli rumah, hah?” omel Gery dalam satu tarikan napas.
“Gary...”
“Besok kita samperin ke kantornya! Kita bikin malu sekalian! Dia belum pernah liat eyke versi cowok kan? Abis itu orang sama gue!”
Isla mengulurkan kedua tangannya, merengguh pinggang Gary seraya menepuk-nepuk lembut punggung sahabatnya itu.
“Ga kebalik ya, Nek?”
Tawa Isla lagi-lagi menyembur. Di saat yang sama, satu panggilan melalui aplikasi pesan singkat masuk ke ponsel Isla.
“Dok?”
“La, kosan lo dekat rumah sakit kan?”
“Iya, kenapa Dok?”
“Nanti abis isya, bawain makanan dong, La.”
“Ya ampun, kasian bener.”
“Gue belum makan, La. Ga sempat. Nanti uangnya gue ganti.”
“Ya udah gue bawain sekarang aja ya?”
“Jangan, ini masih ada beberapa pasien kuning. Musti diselesaiin dulu biar naik ke kamar. Kalau udah beres baru bisa makan. Gue sengaja ngerepotin lo, La. Tadi nelpon adik gue ga bisa keluar katanya, lagi ngejar laporan akhir bulan.”
“Oke. Buat lo doang?”
“Nelpon siapa kamu?” Suara yang Isla sangat kenali menyapa pendengarannya.
“Nitip makan, Dok. Sama Isla.”
“Siapa? Isla?” tanya pemilik suara khas itu lagi.
“Iya, Dok.”
“Oh.”
Setelahnya, suara Zhen menghilang begitu saja. Dan entah mengapa perasaan ngeri menyapa hatinya. Bahkan punggung Isla ikut terasa dingin.
“Ya La? Bisa kan?” suara Kane menyapanya kembali.
“Bisa, Dok. Aman! Mau apa?”
“Apa ya La? Yang hangat di perut. Gue udah eneg makanan rumah sakit. Mana liat korban seharian.”
“Gue bawain sop iga ala korea aja ya? Ada yang enak nih depan komplek.”
“Oke. Thanks, La.”
“Sama-sama, Dok!”
Begitu panggilan itu usai, Isla menolehkan pandangannya pada Gary yang mencengir lebar.
“Dia nelpon eyke, lupa hape eyke silent," akunya.
“Emang Dokter Kane tau lo mau ke sini?” tanya Isla kemudian.
“Tau, kan tadi sebelum ada kabar kecelakaan itu, eyke lagi dibully sama dia.”
Isla kembali tertawa, membayangkan ekspresi kesal Gary yang tak henti diusili Kane, dan ekspresi puas Kane setiap kali membuat Gary merutukinya. Dan tawa Isla berhenti kala satu pesan singkat masuk ke ponselnya. Pesan yang berasal dari nomor yang tak ia kenali.
+628129999xxxx: Oh, jadi si Kane the real gebetan kamu?
Isla menenglengkan kepalanya, merasa aneh dengan pesan tersebut.
Isla: Ini siapa ya?
+628129999xxxx: Baik banget kamu sampai mau bawain makanan segala!
Isla: Dokter Zhen?
+628129999xxxx: Iya, kenapa?
+628129999xxxx: Kesal karena saya tau nomor kamu?
Tawa Isla menyembur kembali. Gary sampai mengerutkan keningnya menatap sahabatnya yang terkekeh geli sendiri.
Isla: Nanti saya bawain buat Dokter juga, ya. Seporsi sop iga ala Korea penuh ci---.
Isla: Silahkan diisi sendiri, Dok. Sampai ketemu nanti.