7. Ratu dan Rahasia Zein

1986 Kata
Untuk sang ratu, dia tersenyum sehangat mentari di musim dingin… Untuk musuhnya, dia tersenyum sebagai sinyal datangnya badai… *** “Itu bagian yang kusuka darimu.” “Apa? Ketampananku?” tanya Zidan sembari mengusap rambutnya ke atas dengan ekspresi angkuh. “Yang kumaksud keteguhanmu!” “Tapi orang-orang selalu menyebutkan ketampananku yang paling mereka sukai.” “Mereka pasti buta.” “Atau kamu yang nggak bisa melihat pesonaku?” “Oh, diamlah, p*****l. Lukaku semakin perih mendengar ocehanmu.” “Benarkah?” “Hei…” Keisha tiba-tiba menarik bagian bawah jaket Zidan. “Ini dingin, dan perjalanan kita masih cukup jauh.” “Lalu?” “Pinjamkan jaketmu.” “Aku pakai apa kalau jaketnya diberikan kepadamu?” “Kamu, kan, laki-laki, jadi harus mengalah sama perempuan.” “Apa hubungannya dengan jenis kelamin? Ini jaketku, menjadi hakku untuk memberikannya atau enggak.” “Aku nggak suka dingin.” “Aku juga nggak suka dingin. Salahmu sendiri, keluar rumah nggak pakai jaket.” Keisha cemberut, lalu menendang betis Zidan. “Menyebalkan!” Zidan tertawa kecil melihat Keisha berjalan lebih dulu sambil menggerutu. Dia membuka resleting jaket, melebarkan sisi kanan, kemudian memeluk bahu si iblis kecil seperti membungkusnya. Mereka berbagi satu jaket sekarang. Keisha mendadak berhenti jalan, lalu menoleh ke sisi kirinya. “Kenapa melihatku seperti itu? Terpesona? Merasa berdebar?” “Pesonamu baru saja jatuh ke tanah karena mulut recehmu.” “Hahahaha…” Aneh sekali, kenapa dia masih terlihat cantik saat mengomel? “Kamu ternyata sedikit munafik.” “Huh?” “Kamu terlihat pendiam di depan orang lain, tapi saat denganku, mulutmu malah nggak bisa diam.” “Entahlah. Aku sebenarnya nggak terlalu suka berbicara dengan orang lain.” “Kenapa?” “Mereka nggak bisa memahami cara berpikirku.” “Oh? Berarti aku sangat pintar karena memahamimu?” “Enggak begitu juga. Aku hanya suka melihatmu berdebat dengan sengit, tapi selalu kalah pada akhirnya.” “Kapan aku kalah darimu?” “Setiap kali kamu menendang kakiku.” “Itu karena aku kesal…” “Yup, kesal karena kalah berdebat denganku.” “p*****l!” “Yang itu juga tanda kekalahanmu. Ketika kamu berteriak kesal dan menyebutku pedofil.” Pertengkaran Zidan dan Keisha berlanjut sampai mereka naik ke becak dan kembali ke rumah. Selama perjalanan pulang, mereka tetap berbagi satu jaket tanpa merasa canggung, seolah itu merupakan hal biasa di antara mereka. *** Ketika Keisha masuk ke kamarnya, masih ada sisa kehangatan dari pelukan Zidan, yang membuatnya tanpa sadar tersenyum kecil. Sayangnya, senyum itu lenyap karena sosok berkacamata yang duduk menyamping di kusen jendela. “Mata Empat?” Zein menatap tajam Keisha. Ada aura ingin membunuh dalam netranya, tapi itu hanya terjadi dalam waktu singkat, sehingga tidak ada yang menyadarinya. Pemuda itu kemudian berdiri, dan memasang senyum hangatnya yang biasa. “Kenapa kamu baru pulang?” “Kenapa kamu di sini?” Mereka bertanya di saat bersamaan. “Aku lupa memberi tahumu kalau besok aku nggak jualan s**u, makanya aku datang ke sini.” “Baiklah. Kamu bisa pergi sekarang.” “Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu baru pulang?” “Menemani Sepupu Zi bertemu teman-temannya.” “Kamu terluka?” Keisha meringis saat Zein mendekat dan menyentuh pipinya. “Siapa yang melakukannya?” “Hanya orang gila. Sepupu Zi sudah mengalahkannya.” Menyembunyikan niat membunuh di balik netra gelapnya, Zein lantas tersenyum kecil, lalu keluar kamar melalui jendela. “Baiklah, aku pulang dulu. Selamat malam, Kei.” “Selamat malam, Mata Empat.” Keisha lalu menutup jendela. Dia tidak habis pikir tentang anak itu. Berani sekali menyelinap ke kamarnya. Tapi setelah rebahan di kasur, dia teringat sesuatu; Zein tidak pernah lupa mengucapkan selamat malam kepadanya sejak sebulan yang lalu. Selain itu, setelah dipikirkan lagi, si Mata Empat juga sangat perhatian dan peduli kepadanya. Apa dia menyukaiku? Tapi sifatnya bukan tipeku. Keisha menghela napas. Mungkin dia hanya suka wajahku. Kalau dia tahu bagaimana kejamnya aku di masa lalu, mungkin dia akan ketakutan dan tidak mampu menanggungnya. Selama berpikir itu, Keisha pun jatuh tertidur. Sementara orang yang dianggapnya penakut telah kembali masuk ke kamarnya setelah mencungkil jendela. Zein duduk di tepi kasur, melihat gadis yang gelisah dalam tidurnya, bahkan menggapai-gapai sesuatu seperti meminta pertolongan. Dia kemudian meraih tangan Keisha dan menggenggam erat. “Sst… Tenanglah. Zein-mu di sini… Jangan takut… Zein-mu di sini…” bisik Zein sembari menepuk-nepuk pelan bahu Keisha dengan tangannya yang bebas. Secara bertahap Keisha menjadi lebih tenang, dan kerutan di dahinya menghilang. Zein tersenyum kecil, kemudian merapikan anak rambut Keisha yang tersebar hampir menusuk mata. Dia juga mengusap-usap pipi yang sedikit dingin itu. “Kebiasaan tidurmu belum berubah,” bisik Zein dengan sentuhan senang dalam suaranya, tapi kemudian menjadi sedih saat melihat bekas tamparan di pipinya. *** Zidan menatap lama jaket di gantungan. Dia kembali teringat gadis keras kepala yang pantang kalah itu. Tertawa pelan, lalu merebahkan diri di kasur. Baru saja akan memejamkan mata, tapi gerakan di pintu membuatnya terkesiap. Mengambil pisau lipat di balik bantal, lantas dia berjalan mengendap ke balik pintu. Pintu terbuka, tapi sebuah suara yang lebih dulu masuk. “Aku hanya ingin bicara.” Zidan keluar tempat persembunyian, melemparkan kembali pisau lipatnya ke balik bantal. “Apa kau pikir rumah ini arena bermainmu?” “Haruskah aku membelinya dan menendangmu keluar dari sini?” Zidan mendecih kesal. “Menyelinap ke kamar Keisha lagi?” “Terserahku.” Zein lalu duduk di kursi belajar pihak lain. “Siapa yang melukainya?” “Anak pendiri Dark Pirates.” “Mereka hanya mewarisi, bukan pendiri sebenarnya. Kalau aku mau, hak waris itu bisa kuberikan kepada orang lain.” Zidan melirik ekspresi kejam di wajah Zein. Dia seratus persen percaya ucapan pemuda itu. “Tenanglah, aku sudah mengurusnya.” “Tapi aku belum.” Zidan mengernyit, sedikit merinding dengan senyuman pemuda itu. Sebelumnya dia tidak tahu apa-apa tentang Zein. Dia masih berpikir si Mata Empat hanya anak hilang yang menyewa rumah sebelah, dan mencoba mendekati Keila. Sekitar dua bulan lalu, ketika ketua Dark Pirates sebelumnya membawanya ke pertemuan kelas atas di kota tetangga, barulah dia mengerti segalanya. Pendiri Dark Pirates adalah bawahan Zein. Zein memiliki latar belakang yang kuat. Ayahnya merupakan dokter terbaik di Lord City. Ibunya seorang professor, dan mengajar di universitas yang didirikannya sendiri. Kakeknya, pebisnis terkaya di Lord City. Para paman dan bibinya menguasai bidang militer, keuangan, dan politik. Tiga kakak perempuannya, dokter yang cukup terkenal. Salah satu sepupunya, menantu presiden. Yang paling mengagumkan, Zein merupakan satu-satunya cucu lelaki dari Tuan Tua Weber. Dia pun menjadi kesayangan keluarga. Menurut kabar yang beredar, tidak hanya sang kakek yang ingin memberikan seluruh kekayaan kepada Zein, tapi paman dan bibinya pun menjadikannya sebagai ahli waris karena tidak memiliki anak. Selain karena menjadi satu-satunya anak lelaki dalam keluarga, dia juga satu-satunya yang mengambil jalur bisnis di generasinya. Ketika Zidan mendengar latar belakang Zein, untuk beberapa menit pertama, dia terdiam. Anak sebatang kara yang menjual s**u keliling ternyata permata dari orang terkaya. Kemudian dia menjadi bingung. Semua perusahaan dan kekayaan keluarga Weber akan jatuh ke tangannya, tapi kenapa anak itu malah merepotkan diri di kota miskin seperti Escape Town? Mantan Kapten Dark Pirates menjawab, anak itu ingin memulai dari nol dan tidak mau mengandalkan koneksi keluarga. Tapi ketika bertanya secara langsung kepada yang bersangkutan, jawabannya pun membuat Zidan menganga; Untuk Keisha. Sejak tahu betapa besar ambisi Zein terhadap Keisha, Zidan menjadi lega. Ternyata bukan Keila yang menjadi objek kegilaan pemuda itu. Kemudian dia kembali bertanya-tanya, bukankah si Mata Empat terlalu bodoh saat mencintai seseorang? “Kau akan melakukan apa terhadapnya?” tanya Zidan. “Menurutmu apa?” Sial! Zidan merinding dengan senyuman Zein. Dikatakan oleh mantan Kapten Dark Pirates, semakin manis senyuman pemuda itu, semakin kejam tindakannya. Zidan berdeham pelan. “Ada beberapa pengkhianat di Dark Pirates. Kupikir Richie tahu sesuatu, dan aku masih membutuhkannya untuk penyelidikan.” “Aku beri waktu satu minggu.” Zein bangkit, memasukkan dua tangan ke kantong celana, kemudian menatap tajam Zidan yang duduk di tepi kasur. “Aku peringatkan kau sekali lagi.” “Huh? Aku tahu. Seminggu, kan?” “Bukan tentang itu, tapi tentang Keisha… Jangan pernah jatuh cinta dengan Keisha.” “Hah! Kau pikir aku tertarik dengan gadis keras kepala itu?” “Sejauh ini, belum pernah ada yang menolak pesonanya. Semua pria yang dekat dengannya akhirnya mencintainya.” Zein menyeringai kecil. “Aku harap kau yang pertama memecahkan kutukan pesonanya, tapi kalau kau gagal….” Kini dia tersenyum sangat manis, “kau tahu cara kerjaku, kan?” Bam! Pintu kamar tertutup dengan sedikit kuat. “Sial!” gerutu Zidan. *** Sore itu, sepulang bekerja dengan Zidan, Keisha melihat Zein duduk di teras rumahnya dengan pakaian rapi. “Tumben berpakaian bagus. Mau ke mana?” tanya Keisha sembari duduk di sebelah Zein. Zein tersenyum kecil, lalu mengusap noda debu di pipi Keisha. “Ke pasar malam sama Keila. Ikutlah dengan kami.” Keisha tampaknya tidak keberatan dengan Zein yang mengusap pipinya, karena sejak dulu selalu ada pelayan yang melayaninya. “Untuk apa? Aku malah akan mengganggu kencan kalian.” “Kencan apanya?!” protes Zidan, kemudian menarik Keisha berdiri. “Cepat mandi, sana! Kita juga akan ke pasar malam.” Keisha cemberut, masih ingin menolak, tapi teringat kalau Zidan menyukai Keila. Karena sekarang mereka teman satu tim, dia harus sesekali menyenangkan bidak ini. Dia menghela napas, dan masuk ke rumah. “Padahal aku ingin langsung tidur. Badanku mau remuk rasanya. Aku harus segera jadi orang kaya agar nggak perlu bekerja lagi. Sial! Ini benar-benar melelahkan!” Dua lelaki di teras rumah tertawa pelan mendengar ocehan Keisha. “Kami boleh ikut juga, nggak, Kak?” tanya Rachel, yang tiba-tiba muncul di teras rumah bersama Robin. “Hemm…” Rachel tersenyum, dan segera berlari ke dalam rumah. *** Beberapa menit kemudian... "Zein, aku sama kamu ya sepedaannya?" kata Keila yang sore ini mengenakan dress warna peach, dengan rambutnya diikat menumpuk ke bahu sebelah kanan. "Enggak. Kamu suka cubit pinggang aku kalau di boncengan." "Itu karena kamu balap." "Aku mau boncengan sama Keisha." Senyum Keila hilang. Mengabaikan Keila, Zein tertegun melihat penampilan Keisha. Gadis itu mengenakan celana jeans hitam dengan baju longgar warna biru tua. Terlihat sederhana dengan sentuhan rasa malas, tapi karena yang mengenakannya sangat cantik, maka pakaian itu pun jadi terlihat bagus. "Sudah cukup melihat, Mata Empat?" Zein berdeham pelan, menyembunyikan wajah tersipunya. "Tunggu sebentar." Dia lalu mengeluarkan kupluk rajut warna putih dan memasangkan ke kepala Keisha dengan hati-hati. Keila merasa tidak nyaman. Dia juga ingin kupluk lucu seperti itu. "Kamu nggak suka dingin," kata Zein, yang sekarang malah memasangkan syal putih ke leher Keisha. Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Seolah Zein telah mengenal Keisha dengan sangat baik. Keisha membiarkan Zein melakukan semuanya. Saat dia menjadi ratu, pelayan bahkan menggantikan bajunya. Jadi, perlakuan memanjakan Zein ini sudah biasa baginya. "Bagaimana kamu tahu?" "Tahu apa?" "Kalau aku nggak suka dingin." "Eum, kamu kayaknya pernah bilang." "Apa lagi yang ditunggu?" keluh Rachel yang sudah tak sabaran. "Kak Zi, aku sama─" "Ayo." Zidan malah menarik Keila ke sepedanya. "Terus aku sama siapa?" tanya Rachel. Robin yang tidak peka, malah sudah mengayuh sepedanya lebih dulu, dan menyusul Keisha-Zein. "Pakai sepedamu," kata Zidan, lalu menyusul yang lain. Takut ketinggalan, Rachel dengan terpaksa mengayuh sepedanya. *** Zidan menghela napas melihat antusias kedua adiknya yang menaiki banyak wahana. Bosan mengawasi keduanya, dia menarik Keila ke bianglala. Keisha tadinya berdua dengan Zein, tapi lelaki itu pergi entah ke mana. Katanya mau beli sesuatu. Ditinggal sendiri, dia memandang langit penuh bintang, membuatnya teringat masa lalu. Dia pernah ke tempat sejenis pasar malam, dan menonton opera bersama Zen. Di sana, sang raja tak pernah lupa membelikannya permen kapas... "Untukmu," kata Zein sembari menyodorkan permen kapas ke hadapan Keisha. Lamunan Keisha berakhir, kemudian dia menerima permen kapas dari Zein. "Apa lagi yang kamu tahu tentangku, Mata Empat?" "Huh?” “Kamu tahu aku nggak suka dingin, sekarang kamu tahu aku suka permen kapas. Lalu apa lagi yang kamu tahu?” “Kamu suka permen kapas, harpa, dan..." senyuman sang raja. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN