Dia bisa menaklukkan yang terkuat,
hanya dengan satu titah…
Seperti raja rimba,
membungkam kaumnya dengan satu auman…
***
“… Atau jangan-jangan dulunya ayahmu juga pemimpin Dark Pirates?”
Zidan menggemeretakkan gigi dengan ekspresi sangat kesal. Dia salah langkah! Membawa Keisha ke sini telah menjadi bumerang baginya.
Keisha semakin mendekati Zidan yang telah membatu, semakin menghasut pemuda itu. “Aku juga tahu kamu nggak akan membunuhku karena peduli dengan kakakku. Kita sama-sama tahu kalau kamu menyukai kakakku. Jangankan membuatnya sedih karena kehilanganku, kamu bahkan nggak tahan melihat setitik air mata di pipinya.”
Zidan melepaskan cengkeramannya pada tengkuk Keisha. Dia telah kalah telak. Si iblis kecil tidak meninggalkan satu celah pun untuknya bergerak. Ternyata teror selama sebulan belakangan ini bukan hanya untuk mendeklarasikan proyek, tapi juga untuk mengamati dan menilai karakternya.
Melihat wajah kusut Zidan, Keisha tertawa pelan.
Zidan melepaskan rangkulan Keisha, kemudian berdiri. Dia tidak menyangka kalau perhatian seluruh anggota telah tertuju kepadanya sejak tadi. Tanpa ada yang menyadari, di antara mata-mata yang menatap, Richie telah membuat wajah cemberut yang terkesan kesal.
“Aku akan ke toilet,” kata Zidan, lalu melirik Keisha. “Jangan mengikutiku!”
Harga diri tinggi mungkin menjadi sisi menarik para pria, tapi terkadang menjadi bumerang bagi mereka.
Keisha tidak ingin membuat Zidan lebih kesal, maka dia mengangguk ringan, mengangkat gelas, kemudian meminum jusnya dengan s*****l. Dia tidak lupa menjilat bibir usai minum, membuat para pria yang menatapnya menjadi sedikit panas.
“Jangan lama-lama, ya, Sayang? Aku nggak bisa jauh darimu sebentar saja,” ujar Keisha, lalu mengerling ke arah sang sepupu.
Zidan mengepalkan tangan, lalu keluar dengan membanting kuat pintu ruangan.
Keisha tertawa pelan. Setelah kelahiran kembali selama sekitar dua bulan, ini pertama kalinya dia tertawa. Salah. Dia tidak pernah tertawa tulus lagi sejak menjadi tawanan kerajaan musuh demi memenuhi ambisi Zen menjadi raja di seluruh daratan.
Sepergian Zidan, beberapa pemuda menyapa Keisha dengan ramah.
“Kakak Ipar!” seru beberapa pemuda sembari lebih mendekat ke Keisha. “Boleh kutahu namamu?”
“Keisha. Tapi kenapa memanggilku Kakak Ipar?”
“Siapa pun pasangan Kapten akan kami panggil kakak ipar.”
Satu-satunya wanita yang menjadi anggota inti Dark Pirates tiba-tiba pindah duduk ke sebelah Keisha. Wanita itu menarik dagu Keisha, memerhatikan setiap inci wajahnya dengan ekspresi mencemooh.
“Cantik dan menggoda. Pantas Kapten memilihmu,” kata wanita itu. “Tapi, apa kau tahu kalau Kapten suka berganti pacar seperti berganti pakaian?”
Keisha menampar tangan si wanita, lalu menyilang kakinya dengan gestur angkuh. Dia meletakkan tangan di atas paha, lalu bertopang dagu. Senyumnya terbit, dan itu memukau setiap mata yang melihat.
Di sudut lain, Richie pun memperdalam ciumannya dengan gadis di pangkuan saat melihat senyum angkuh Keisha. Usai ciuman, Richie malah menyingkirkan gadis di pangkuannya.
“Apa kau cemburu karena nggak bisa mendapatkannya?” tanya Keisha.
Pengalaman hidup telah mengajari Keisha untuk pintar menilai orang lain. Sebagian besar intrik di istana pun bersumber dari orang-orang munafik yang memasang wajah tersenyum ketika menyembunyikan pisau di balik lengan baju. Jadi, kalau tidak bisa menilai dan memahami karakter lawan, bagaimana mungkin dia bisa mempertahankan gelar ratunya?
Wanita itu tersenyum, tapi tangan di bawah meja mengepal. “Aku menghormati Kapten, dan memperingatkanmu agar nggak terlalu berharap dengan Kapten.”
“Terima kasih atas pengingatnya,” balas Keisha, lalu menenggak minumannya. “Sekalipun kaptenmu berganti pacar seperti berganti baju, seenggaknya aku masih sangat senang karena menjadi salah satu yang dikenakannya. Sementara kamu… bahkan nggak termasuk dalam daftar pakaiannya.”
“Kau!”
Keisha mengedikkan bahu dengan tidak peduli, lalu kembali meminum jusnya. “Jangan memprovokasiku lebih jauh.”
“Kalau aku ingin memprovokasi, kau bisa apa, gadis jalang?”
Wanita itu mengangkat tangannya seolah hendak menampar, tapi tangan lain lebih dulu menahannya sebelum tamparan mendarat di pipi Keisha. Pemilik tangan adalah Richie.
“Jangan impulsif. Sebaiknya kau keluar dan tenangkan pikiranmu dulu.”
Wanita itu tampaknya agak takut dengan Richie, sehingga dia langsung pergi tanpa sepatah kata pun.
Richie duduk di sebelah Keisha, menyentuh pipi mulus gadis itu, kemudian bertanya, “Kamu nggak apa-apa?”
“Memangnya aku kenapa?” bentak Keisha sembari menepis tangan Richie.
Keisha tidak terlalu menyukai Richie sekalipun wajah pihak lain lumayan tampan. Baginya, setelah melihat ketampanan Zidan dan si mata empat Zein, tidak ada pria tampan lain di bumi ini. Apalagi netra Richie penuh dengan nafsu, yang membuatnya hanya semakin jijik.
“Hahaha… aku suka gadis-gadis yang angkuh.”
Keisha bahkan tidak menanggapi. Dia berpikir Zidan terlalu lama di toilet, dan memutuskan bangkit untuk menyusul sang sepupu. Sayangnya, pinggangnya malah diraih Richie. Seketika dia jatuh ke pangkuan pemuda itu.
Richie menyeringai kala mencengkeram erat pinggang Keisha. “Seperti dugaanku, kamu sangat cantik dan wangi.”
Keisha berontak, mencoba menepis tangan Richie, tapi kekuatannya kalah jauh.
Anggota lain dalam ruangan melihat adegan pelukan paksa di depan mata. Mereka pun langsung protes.
“Lepaskan dia, Richie. Dia milik Kapten!” seru pemuda lain.
Richie tampak tidak peduli. “Tenang saja. Kapten nggak akan pelit berbagi barang yang akan dia buang.”
“Tapi dia belum dibuang. Kau tahu sendiri perangai Kapten yang nggak suka kalau privasinya disentuh orang lain.”
Keisha berontak, tapi usahanya sia-sia. Pihak lain malah mendorongnya ke sofa.
Richie melirik tajam anggota yang barusan bicara. “Aku muak mendengar kalian terus memanggilnya kapten. Dia baru lima bulan menjadi kapten, dan kalian sudah takut dengannya? Apa kalian lupa kalau aku memiliki hubungan yang dekat dengan Pendiri? Harusnya kalian lebih takut kepadaku, kan?”
Dengan begitu, tidak ada lagi yang memprotes perbuatan Richie.
Richie puas melihat reaksi mereka. Dia kembali fokus dengan Keisha.
Memanfaatkan kelengahan Richie, Keisha mencoba berontak, tapi dia malah ditampar dengan kuat sampai sudut bibirnya terluka. Kedua tangannya pun ditahan di atas kepala. Kedua kakinya ditekan menggunakan lutut pemuda itu, kemudian dagunya dicengkeram kuat.
Dada Keisha naik turun karena pernapasan yang tidak stabil antara lelah dan marah. Rambutnya berantakan dan matanya sedikit sayu paska merasa sakit akibat ditampar, tapi netra birunya masih keras kepala menatap angkuh pemuda di atasnya.
Richie tertawa. Dia malah terpesona dengan ekspresi Keisha. Niatnya untuk menaklukkan gadis itu semakin tinggi, dan benda di antara selangkangannya pun membengkak.
“Menjijikkan!” seru Keisha ketika merasakan kerasnya milik Richie di perutnya.
Bukannya marah, Richie malah semakin bersemangat. Dia lebih membungkuk, mendekati bibir ranum yang menggoda itu untuk mencicipi rasanya. Tapi seseorang lebih dulu menendangnya sebelum dia tahu nikmat dunia.
Zidan meraih kerah kemeja Richie, kemudian memukulinya dengan ganas sampai pihak lain tersungkur. Menduduki perut Richie, dia kembali mendaratkan pukulan, sampai merontokkan satu gigi pihak lain.
Setelah anggota lain pulih dari keterkejutan, mereka segera menarik Zidan menjauh, tapi masih sedikit kewalahan karena kekuatan sang kapten. Mereka tidak bisa menghentikan sang kapten yang menginjak-injak tonjolan besar di antara s**********n Richie. Ketika akhirnya berhasil menarik pemimpin mereka keluar ruangan, Richie telah pingsan.
Sejak dulu banyak b******n yang menginginkan tubuh Keisha, tapi tidak pernah ada yang memaksanya. Semua orang harus membayar untuk mendapatkan gadis dari Moonlight Palace, bahkan mereka harus membayar hanya untuk melihat wajahnya. Selain itu, dia selalu terpelihara dengan baik di bawah tangan Zen, sehingga tidak ada satu tangan kotor pun yang berani menyentuhnya. Sekalipun pernah berjauhan dengan sang raja, ada banyak pengawal yang akan melindunginya dari perbuatan pemaksaan. Jadi, ketika melihat pemuda yang tidak dibayar, bahkan berani memaksanya dengan sangat kejam, dia syok.
Pulih dari syok sesaat, Keisha melakukan respirasi singkat, lalu keluar ruangan untuk melihat Zidan yang malah memukuli anggota lain yang melerainya.
“Sudah, hentikan!”
Teriakan Keisha diabaikan. Dia pun mendekat, dan menarik lengan Zidan yang hendak melayangkan pukulan lainnya.
“Hei, p*****l!”
Tangan Zidan akhirnya membeku di udara. Dia menoleh ke samping untuk melihat Keisha. Lama dia menatap sudut bibir yang terluka, dan bekas tangan di pipi itu.
“Sial! Dia bahkan menamparmu? Aku harus membunuhnya!”
Keisha meraih lengan Zidan sebelum pemuda itu menyusul orang-orang yang membawa Richie ke rumah sakit.
“Ayo pulang!”
Zidan masih ingin berdebat, tapi telah dikalahkan oleh netra biru dari si gadis keras kepala. Dia hanya bisa diam ketika ditarik keluar tempat karaoke oleh Keisha.
Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Zidan berpesan kepada para anggotanya, “Pastikan dia jauh dari pandanganku kalau dia masih ingin hidup.”
Para anggota, yang tertinggal di belakang, menatap tertegun kapten mereka. Beberapa bahkan merinding karena lirikan tajam Zidan.
Salah satu anggota tiba-tiba berkata, “Aku pernah bilang, kan, kalau cinta bisa membuat orang bodoh? Virus itu akhirnya menjangkit kapten kita.”
“Apa Kapten lupa kalau orang yang dia injak-injak adalah putra pendiri?”
“Bukan lupa, tapi buta karena cinta.”
Anggota lain menghela napas. “Semoga musuh nggak mengetahui tentang gadis itu, kalau nggak, itu akan menjadi kelemahan Kapten.”
“Salah! Justru sebaliknya. Jangan sampai musuh dengan bodohnya memanfaatkan gadis itu untuk menaklukkan Kapten, karena kalau mereka melakukannya, mereka akan melihat neraka.”
Anggota lain mengangguk setuju. “Kita sudah melihat contohnya. Richie.”
“Apa menurut kalian, barangnya masih bisa bangun setelah diinjak-injak oleh Kapten?”
“Entahlah, tapi yang jelas itu sangat menyakitkan.”
“Kita berdoa saja semoga dia masih hidup.”
“Tapi, apa gunanya hidup kalau barang-mu nggak bisa bangkit lagi?”
Mereka menghela napas bersamaan. Dalam hati, mereka telah berjanji untuk tidak pernah menyinggung Keisha.
***
Keisha melepaskan rengkuhannya pada lengan Zidan setelah memastikan pemuda itu tidak berniat menjumpai Richie lagi. Keduanya kini berjalan bersisian dalam damai, ditemani suara jangkrik, berlatarkan lampu-lampu jalan yang redup. Melewati bangku di sisi jalan, mendadak Zidan berhenti melangkah.
“Kamu duduk dulu di sana. Aku akan membeli obat.”
Keisha mengangguk.
Baru berjalan beberapa langkah, Zidan kembali lagi. “Aku nggak tenang kalau ninggalin kamu sendirian. Kamu ikut juga.”
Keisha kembali mengangguk. Dia akhirnya merasakan sakit dari tamparan si Richie, sehingga mood-nya untuk bicara menjadi turun.
Setelah membeli obat, keduanya duduk di emperan depan toko. Zidan meminta Keisha memegang es batu ke dekat pipi untuk mengompres bengkak, sementara dia dengan hati-hati mengoleskan salep luka ke sudut bibir gadis itu.
Keisha meringis saat telunjuk Zidan menyentuh sudut bibirnya. Secara refleks, pemuda itu meniup lukanya. Anya perlu sedikit maju maka kedua bibir itu bersentuhan selayaknya orang berciuman, tapi setelah beberapa detik barulah keduanya menyadari betapa dekatnya jarak mereka. Setelah tersadar, secara refleks, keduanya membeku sejenak dengan mata yang sedikit memelotot, lalu secara bersamaan mundur.
Zidan segera memundurkan kepalanya, kemudian berdeham pelan untuk menutupi canggung. “Kamu obati saja lukanya sendiri.”
“Jadi aku harus memegang alat kompres sambil mengobati luka bibir sendirian?”
“Kamu sudah besar, sudah berani mengikuti pria di malam hari, jadi pasti bisa mengobati sendiri lukanya.” Zidan berdiri, lantas meminjam cermin dari pemilik toko obat.
Keisha mendengkus kesal saat Zidan kembali sambil memegangi cermin di depannya. “Nggak peka! Pantas kakakku nggak tertarik sama kamu.”
“Jangan bawa-bawa kakakmu.”
Keisha menyeringai dalam sedetik, kemudian menghilangkan senyum saat terasa sakit dari bibirnya. Untuk sementara, jangan senyum dulu.
Zidan terkikik pelan atas penderitaan gadis itu. “Kamu selalu tersenyum setiap kali memikirkan hal-hal licik.”
“Benar. Aku sedang memikirkan alasan dari tamparan ini. Menurutmu aku harus menjawab apa, saat kakakku bertanya?”
Zidan memucat. Dia melupakan fakta itu. Jangankan Keila, bahkan ibunya yang membenci Keisha pun pasti akan memarahinya. Apalagi si iblis kecil ini sudah bisa menghasilkan uang yang membuat sang ibu senang. Ini tidak akan berakhir dengan omelan, kan?
“Aku bisa membujuk Bibi, tapi kamu harus bergabung dengan proyekku.”
Zidan mendengkus. “Lagi-lagi proyek. Kenapa kamu sangat terobsesi dengan proyek itu?”
“Setujui saja. Kamu nggak akan rugi apapun.”
Menghela napas, akhirnya Zidan mengangguk. Sebenarnya dia juga sudah akan setuju karena merasa bersalah terhadap apa yang dialami gadis itu.
“Benar?”
“Hemm...”
Keisha tersenyum kecil. “Bagus. Setelah kamu setuju bergabung, kamu harus mematuhi satu aturanku.”
“Apa lagi sekarang?”
“Kamu harus menuruti semua perintahku tanpa bertanya alasan di balik perintah itu.”
“Kamu nggak akan menyuruhku macam-macam, kan?”
Kedua alis Keisha terangkat. “Kamu takut?”
“Lihat-lihat lawan bicaramu, Little Beast. Apa menurutmu aku orang yang mudah takut?” Zidan berdiri, lantas mengulurkan tangan. “Ayo pulang.”
Keisha meletakkan tangannya di atas tangan Zidan dengan sedikit mengernyit.
Zidan menyingkirkan tangan Keisha. “Obatnya.”
Keisha mendengkus, lantas memberikan plastik isi kompres dan obat luka kepada Zidan. “Hampir saja aku tersentuh karena kamu peduli. Aku lupa kamu p*****l nggak punya hati.”
“Di mana aku nggak punya hati?”
“Kamu membiarkanku mengejarmu selama sebulan penuh tanpa tergerak sedikit pun dengan usahaku.”
“Kalau aku nggak tertarik, sampai seseorang mati karena berusaha pun, aku nggak akan peduli.”
Keisha tersenyum kecil. “Itu bagian yang kusuka darimu.”
***