8. Ratu di Pasar Malam

1541 Kata
Dalam kehidupan sebelumnya: Dia suka: permen kapas, harpa, dan… senyuman sang raja… Dalam kehidupan ini: Dia benci: permen kapas, dingin, dan… ingatannya tentang sang raja… *** “Kamu suka permen kapas, harpa, dan..." senyuman sang raja. "Dan apa, Mata Empat?" "Bisakah kamu berhenti memanggilku Mata Empat? Aku punya nama." Zein duduk pula di kursi sebelah Keisha. Keisha mengalihkan pandangan, bergumam, "Aku nggak bisa memanggil namamu." "Kenapa?” Karena pengucapan namamu akan mengingatkanku kepada Yang Mulia Zen. Melihat Keisha diam, Zein menyarankan hal yang lain. “Kalau begitu, cari nama panggilan lain untukku. Jangan Mata Empat." "Baiklah. Milki." "Kenapa Milki?" "Karena kamu jualan s**u. Kulitmu juga seputih s**u. Hal pertama yang kamu kasih ke aku juga susu." Zein berdeham pelan. "Kalau gitu, aku panggil kamu Candy, dari Cotton Candy atau permen kapas." "Kamu nyamain aku kayak permen kapas?" Zein mendekat ke Keisha, lalu mencubit pelan pipi gadis itu. "Benar. Lembut, dan manis kayak permen kapas." Dalam jarak dekat dengan hidung nyaris bersentuhan, baik yang mencubit maupun yang dicubit menjadi tersipu. Keisha pulih lebih dulu, kemudian menepis tangan Zein. “Jangan memanggilku Candy. Sekarang aku benci permen kapas.” Zein menatap linglung Keisha. Bayangan wanita cantik yang tersenyum manis ketika mendapat permen kapas kini lenyap. “Apa yang kamu suka sekarang?” Sebelum Zein mendengar jawaban Keisha, seseorang menyela. “Zein! Akhirnya aku menemukanmu.” “Bukannya kamu naik bianglala sama Sepupu Zi?” Keila mengangguk, mengambil tempat duduk di antara Zein dan Keisha. “Tapi aku takut sama Kak Zi. Dia lihatin aku terus, nggak ada bicara apa-apa. Jadi, pas ada kesempatan, aku kabur, deh.” “Sepupu Zi nanti bingung nyariin kamu, loh.” “Biarin aja. Aku, kan, mau ke pasar malam sama kamu. Oh, bukannya ini permen kapas?” Keila menunjuk permen kapas yang belum dibuka Keisha. Padahal Zein juga memegang permen kapas, tapi dia malah mengambil milik Keisha. “Adikku sangat manis. Tahu aja, kakaknya suka permen kapas.” Keisha diam ketika permen kapasnya direbut. Dia memang mau menyingkirkan itu. Apapun yang melemahkan niat balas dendamnya terhadap Zen, harus secepatnya disingkirkan. “Zein mau naik bianglala, nggak?” tanya Keila, sembari memakan permen kapas. “Enggak. Aku takut ketinggian.” Zein tersenyum tipis melihat bekas es krim di pipi Keila, lantas membersihkannya. “Tadi kamu makan es krim, ya? Bekasnya masih nempel, nih.” Keila mengangguk, sedikit tersipu dengan yang dilakukan Zein. Tidak jauh dari sana, tiba-tiba terdengar pertengkaran. “Bukannya itu dua sepupumu?” tanya Zein, yang melihat Rachel dan Robin dirundung oleh beberapa anak berbadan besar. Keila segera berdiri dan mendekati lokasi. “Hei, jangan gegabah ke sana,” teriak Zein, segera menyusul Keila. Keisha tidak peduli. Dia memang ikut berdiri, tapi menuju arah lain. Mood-nya jelek karena permen kapas, jadi dia perlu mencari kesenangan lain. “Berhenti! Jangan pukuli Zein!” Keisha tertegun setelah mendengar teriakan Keila. Dia berusaha tidak peduli, tapi setelah dua langkah berjalan, wajah tersenyum Zein yang memberinya sebotol s**u malah terbayang di benaknya. “Merepotkan.” Keisha segera ke tengah kerumunan dan menarik seorang pria berpakaian formal serba hitam. “Paman, tolong, di sana ada pertikaian.” “Maaf, Nona kecil, saya sedang sibuk.” “Sibuk apa?” “Mencari Tuan Muda saya.” “Bagaimana ciri-ciri tuan mudamu?” Pria itu langsung tersenyum manis. “Taun Muda sangat tampan.” Ekspersi Keisha semakin datar. Deskripsi macam apa itu? “Mungkin yang dipukuli di sana itu Tuan Mudamu. Dia juga sangat tampan.” “Di mana? Bisa gawat kalau Tuan Muda kenapa-kenapa.” “Ikuti aku.” Si pria bersiul agak kuat, kemudian tiga pria berpakaian hitam mengikuti pula. Keisha agak terkejut karena tindakan itu, tapi dia terus membimbing mereka menuju sudut kecil pasar malam. Setibanya di tempat pertikaian, terlihat tiga pemuda yang diperkirakan berusia tujuh atau delapan belas tahun. Salah satu dari mereka membawa balok kayu, tengah memukuli Robin. Di sebelahnya, Rachel menangis karena pemuda lain menarik rambutnya. Satu pemuda lagi menginjak Zein yang meringkuk di tanah melindungi kepala. Sementara Keila yang ketakutan hanya bisa duduk menangis di sebelah Zein. Keisha segera sembunyi setelah memerhatikan tiga pria dewasa membekuk tiga pemuda. Pria itu masing-masing memberi satu pukulan kepada tiga pemuda sebelum ketiga pemuda berkelit dan kabur. Sementara itu, si pria yang tadi Keisha ajak bicara, membantu Zein berdiri. Si pria mengernyit. “Dia bukan Tuan Muda. Gadis kecil itu menipu kita.” Keisha baru keluar persembunyian setelah empat pria berpakaian hitam meninggalkan sudut pasar yang menjadi tempat pertikaian. Keila menangis melihat luka-luka di wajah dan lengan Zein. Rachel menangis memeluk Robin yang berlumuran darah hampir pingsan. “Jangan menangis. Ini cuma luka ringan,” bujuk Zein. Dia lalu melihat kedatangan Keisha. “Kamu nggak terluka, kan?” Keisha menggeleng, lalu melirik tajam Keila. “Apa menangis bisa menyelesaikan masalah? Lihat yang kamu lakukan!” Keila segera sembunyi di belakang Zein, masih menangis sesenggukan. “Lain kali, berpikir dulu sebelum bertindak!” tegas Keisha, lalu menatap luka-luka di wajah Zein dengan meringis. “Jangan tersenyum! Obati lukamu! Itu nggak enak dilihat.” Zein masih tersenyum ketika mengangguk. “Hemm… aku akan mengobatinya. Jangan khawatir.” “Siapa yang mengkhawatirkanmu?!” Keisha pun meninggalkan tempat itu. Keila semakin menangis. “Zein, maaf, aku membuatmu terluka… tapi sungguh, Zein, aku cuma mau bantuin sepupuku.” Zein masih tersenyum kecil menatap punggung Keisha yang menjauh, mengabaikan keluhan Keila. Dia malah bergumam, “Apa aku harus terluka lebih parah agar dia lebih peduli?” Keisha pergi mencari Zidan, dan membawa sepupunya ke tempat kejadian. Zidan pun menggendong Robin yang pingsan, serta membawa Zein yang terluka ke rumah sakit terdekat. Karena Keisha tidak bisa naik sepeda untuk pulang, maka dia juga terpaksa mengikuti mereka ke rumah sakit. Lagipula, dia bisa dimarahi Bibi kalau pulang sendirian tanpa sepupunya. Sementara itu, pria yang tadi diajak Keisha bicara telah terengah-engah setelah mengitari pasar malam untuk mencari tuan mudanya. “Sepertinya Tuan Muda tidak ada di sini, Butler Rey,” kata salah satu bodyguard. Rey, pria usia pertengahan dua puluhan itu menendang kerikil. “Tidak, tadi aku dengan jelas melihat Tuan Muda ke arah sini.” “Tapi tidak ada di mana-mana setelah kita cari.” Rey pun hampir menangis. “Oh, Tuan Muda! Kenapa Tuan Muda menyiksaku terus?!” “Berisik.” Rey menoleh, melihat seorang pemuda usia enam belas tahun yang sangat tampan telah datang sendiri menghampirinya. “Tuan Muda...” Rey sampai berlutut di depan anak lelaki itu. “Anda dari mana saja? Saya bisa terkena serangan jantung kalau gagal menemukan Tuan Muda.” “Aku hanya melihat sekitar," kata pemuda itu, masih dengan ekspresi datar. "Nanti saja kita melihat lagi. Tuan Besar sudah menghubungi saya sejak tadi. Sekarang kita harus ke rumah sakit untuk melihat kakek Anda.” “Hemm...” “Apa yang Tuan Muda bawa?” Anak lelaki tampan beralis tebal itu melihat benda di tangannya. “Entahlah. Benda ini menarik perhatianku.” “Itu namanya permen kapas, Tuan Muda. Biasanya Tuan Muda tidak suka makanan manis, kenapa sekarang membelinya?” "Ingin saja.” “Tuan Muda akan memakannya?” “Tidak.” Butler Rey menggaruk kepalanya dalam gestur bingung. "Kalau tidak mau memakannya kenapa Tuan Muda membelinya?" Si Tuan Muda menatap lama permen kapas. "Aku merasa harus membelinya saat ke pasar malam." Butler Rey terbengong. "Baiklah, kita bawa itu juga." "Hemm..." Rey dan tuan mudanya pun keluar pasar malam, menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari sana. Setelah di dalam mobil, tuan muda itu melepaskan almamater kampusnya dan memberikan kepada Rey. Di bagian d**a almamater biru tersebut terlihat nama 'Regulus Zen Wagner' yang dicetak berwarna emas. *** Keesokan paginya, Bibi mengomel saat mengunjungi Robin yang sakit. Dia habis-habisan memarahi Zidan yang bisa-bisanya lupa memberi kabar dan membuatnya tidak tidur semalaman. Wanita gendut itu tidak peduli tatapan kesal penghuni lain dalam kamar akibat suaranya. Dia hanya ingin melampiaskan perasaan tertekan karena tidak melihat anak-anaknya sepanjang malam. Sekalipun terlihat sedang marah-marah, tapi ada air mata mengalir di pipinya. Zidan tahu ibunya sedang sedih dan khawatir, maka dia diam saja ketika dipukuli. Baru setelah Rachel menangis sambil memeluk pinggangnya, Bibi berhenti memukuli Zidan. Keisha terbangun akibat suara berisik Bibi. Karena lapar, dia memutuskan mencari makanan, tapi malah bertemu sosok berkacamata begitu keluar kamar rawat. "Barusan aku beli sarapan," kata Zein. "Mau makan bareng di kursi taman? Di dalam berisik, nanti kamu nggak nafsu makan." Keisha mengikuti Zein ke taman mini rumah sakit, yang tepat di jejeran kamar pasien. "Kamu nggak beli s**u Vanila?" Zein tertawa pelan, lalu memberikan bungkusan lain yang berisi s**u botol. "Kayaknya kamu deh yang harus dipanggil Milki. Kamu nggak bisa sehari aja nggak minum susu." "Terserah." "Aku bercanda. Gitu aja cemberut." Keisha tidak peduli ocehan Zein. Dia telah fokus memakan sarapannya dengan lahap. "Pelan-pelan. Belepotan nih." Keisha masih fokus makan ketika Zein membersihkan pipinya yang kotor. Biasanya dia akan makan dengan anggun selayaknya ratu, tapi pengalaman setelah kelahiran kembali, memberinya pelajaran, bahwa semakin cepat makan, maka semakin kenyang. Sebelum nafsu makannya hilang karena omelan Bibi, sebelum sandal Bibi melayang lagi ke piringnya, atau hal-hal berbahaya lain yang akan merenggut makanannya, dia harus menyelesaikan sarapan ini secepatnya. Tanpa diketahui keduanya, ada dua sosok dari sudut berbeda yang memandang mereka. Satu sudut adalah Keila yang merengut karena Zein lupa membelikannya sarapan. Sementara sudut lain adalah Tuan Muda di pasar malam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN