Dia ambisius, keras kepala, dan licik,
tapi cara marahnya sedikit menggemaskan....
***
Zidan melirik Keila yang terkantuk-kantuk, tapi tetap teguh ingin menunggui Keisha bangun. Tampak bekas air mata di pipi tirus gadis itu, yang membuat kecantikannya agak meredup. Hatinya tergelitik untuk menyingkirkan jejak jelek tersebut, tapi dia takut mengganggu tidurnya.
Melirik ke satu-satunya brankar lain di sebelah, terlihat Zein tertidur pulas memeluk bantal. Tadi Keila berlari ke rumah sebelah, mengetuk pintu rumah anak ini, dan menceritakan secara singkat apa yang terjadi. Maka si mata empat bisa berada di sini pula.
Zidan sedikit mengernyit ketika mengamati Zein. Anak aneh tanpa orangtua itu sebenarnya membuat Zidan penasaran sejak kemunculannya lima tahun lalu. Dia pikir anak itu korban penculikan yang dibawa ke Escape Town, tapi sikap anak itu malah terkesan seperti datang sendiri ke kota ini secara sukarela.
Zein tidak bersekolah, tapi terlihat pintar, dan mampu menafkahi dirinya sendiri. Terkadang dia terlihat bijaksana layaknya orang dewasa, tapi di lain waktu terlihat seperti anak kecil biasa.
Zidan memberinya perhatian khusus karena anak itu terus menempel dengan Keila. Dia tidak nyaman saat gadis yang menjadi incarannya ternyata diincar pria lain juga.
Keila terkesiap saat tangan besar Zidan singgah di pucuk kepalanya. Dia langsung menyusutkan bahunya, tampak ketakutan.
"Tidur," kata Zidan.
Keila tidak membantah. Dia tahu Zidan bukan tipe yang suka dibantah. Gadis itu pun segera naik ke brankar yang sama dengan Zein, tersenyum kecil melihat punggung lelaki di depannya.
Menyadari pergerakan dari belakangnya, Zein membalik badan dan memeluk Keila dalam tidur. Dia punya kebiasaan memeluk saat tidur.
Zidan seketika bangkit, lalu menendang Zein walau hanya menggunakan sedikit kekuatan. Dia segera mengambil tempat di sebelah Keila yang telah tertidur.
Zein terbangun tiba-tiba karena jatuh dari brankar. Menatap ke atas dengan linglung, terlihat Zidan dan Keila tidur berpelukan. Dia masih mengantuk dan mencari tempat kosong untuk tidur. Satu-satunya tempat adalah brankar Keisha. Tanpa pikir panjang, dia naik ke brankar Keisha dan tidur memeluknya.
Keisha gelisah dalam tidurnya, keningnya mengernyit dan terdengar erang-erangan kesakitan. Dia menggapai-gapai sesuatu, dan mendapati bagian depan baju Zein. Gadis itu mencengkeram kuat baju Zein sampai membuat pemiliknya merasa sesak.
"Zen... anak kita..." lirih Keisha dalam tidurnya.
Zein mengernyit, lalu meraih tangan Keisha yang mencengkeram baju depannya. Dia menggenggam tangan mungil itu, lalu melingkari tubuh Keisha dengan kaki dan tangan lainnya yang bebas.
Sambil menepuk-nepuk pelan punggung Keisha, Zein bergumam, "Sst! Tenanglah. Zein-mu di sini... Sekarang tidurlah. Besok kita akan buat anak."
***
Keisha dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Dokter mengatakan luka di kepalanya sudah dijahit dan tidak terlalu berbahaya, tapi tetap belum boleh terkena air. Sementara dia melamunkan proyek masa depan, Zidan mengayuh sepeda dengan santai, tapi tatapannya tidak santai sama sekali ketika melihat Keila tertawa dalam boncengan sepeda Zein.
Keisha dibonceng sepeda oleh Zidan, dengan posisi duduk di bagian depan. Postur pemuda itu ketika mengendalikan stang sebenarnya telah membuatnya terkurung di tengah, tapi dia bahkan tidak menyadari keintiman mereka karena fokus memikirkan kalimat pembuka untuk membujuk sang sepupu bergabung dalam proyek masa depannya. Ketika akhirnya dia melirik ekspresi kesal pemuda itu, dan arah pandangnya, dia punya ide memulai perbincangan.
"Kamu suka kakakku?"
Sepeda yang dikendarai Zidan sedikit oleng, hampir saja mereka masuk ke parit. Pemuda itu tidak menjawab Keisha, tapi dia melirik gadis di depannya dengan tidak senang. Akhirnya dia juga menyadari kalau posisinya seperti memeluk dari belakang.
"p*****l!"
Zidan menghentikan sepedanya secara mendadak, hampir menjatuhkan Keisha andai gadis itu tidak tanggap untuk memegang kuat lengannya. Dia menepis tangannya, membuat sang adik sepupu turun dari sepeda.
"Kau pulang sendiri."
“Hei, aku masih seorang pasien! Bagaimana kau bisa meninggalkanku begitu saja?”
“Yang terluka kepalamu, bukan kakimu.”
“Rumah masih jauh dari sini!”
Zidan sudah mengendarai sepedanya dengan kecepatan tinggi, bahkan dengan sengaja sedikit menyenggol sepeda Zein di depan sana.
Ekspresi Keisha datar. "Dasar p*****l nggak punya hati! Aku harus membuat pendekatan berbeda untuk bicara dengannya."
***
Keesokannya...
Keisha dengar, Zidan sudah dipecat dari pekerjaannya sebagai pegawai toko di kecamatan Escape Selatan sejak dua minggu lalu, tapi pemuda itu merahasiakannya. Dia masih pura-pura keluar rumah, tapi sebenarnya bermain game dari satu warnet ke warnet lain. Baru hari ini keluarganya tahu. Itu pun karena Bibi mendengarnya dari ibu teman Zidan yang anaknya satu pekerjaan dengannya.
Sekarang Zidan pengangguran. Bibi yang biasanya toleran terhadap sikap cueknya, kini mengomelinya habis-habisan. Dari pagi, tiada henti omelannya. Saat jam istirahat kerja dari pabrik, dan Bibi pulang ke rumah, omelannya pun kembali berlanjut.
"Kenapa kau memukul pelanggan? Memangnya kau preman?" omel Bibi setelah mengunyah sesuap nasi. "Dari siapa kau meniru sikap kasar itu? Ah, benar, itu ayah sialanmu!”
Zidan melirik Bibi sekilas, matanya seolah mengatakan, ‘bukankah kau yang bertindak kasar setiap hari?’
“Kau mau seperti ayahmu yang mati di penjara karena membunuh orang? Auh! Nasib sial apa yang selalu datang kepada keluargaku?"
Zidan tidak peduli. Dia hanya tersenyum samar ketika Keila si tukang masak di rumah menyajikan makanan tambahan ke piringnya.
Robin senang Zidan dimarahi. Biasanya, selain Keisha, dialah yang paling sering diomeli Bibi. Dia sering dikatai sangat bodoh karena selalu berada di peringkat terakhir kelas. Padahal menurutnya, bukan peringkat yang menentukan seseorang itu pintar atau tidak.
Di rumah ini, yang tidak akan pernah kena omel Bibi sekalipun melakukan kesalahan, cuma dua orang; Keila si tukang masak dan bersih-bersih rumah; dan Rachel, yang berteman dekat dengan putri bungsu pak camat. Karena hubungan kedua gadis itulah, masalah keuangan keluarga mereka sering dibantu oleh pak camat.
Rachel sedih karena Zidan dimarahi. Sekalipun takut dan tidak cukup dekat dengan saudara tertua, tapi dia lebih menyayanginya daripada Robin. Apalagi putri bungsu pak camat sering mengatakan betapa tampannya Zidan, sehingga dia memiliki kebanggan tersendiri karena si tampan itu adalah saudara tertuanya.
Keisha menyeringai, menambah bahan bakar omelan Bibi dengan mengatakan, "p*****l, pengangguran pula."
Bibi menatap Keisha yang kepalanya terbalut perban itu dengan tatapan terkejut. "p*****l?"
Keisha mengangguk. "Sepupu Zi suka sama anak kecil yang dadanya bahkan belum tumbuh."
"Little Beast!" teriak Zidan sambil memelototi Keisha.
"Zidan!" teriak Bibi. "Siapa anak kecil yang dimaksud Keisha?"
"Nggak ada, Bu. Keisha asal bicara."
"Lalu ke mana perginya semua gajimu? Apa kau menggunakannya untuk menjajani anak kecil itu?"
"Ibu jangan dengarkan Keisha. Dia berbohong."
"Oh, benarkah?" Kedua alis Keisha terangkat, dia melirik Keila yang menatapnya penasaran. "Apa Kakak juga penasaran dengan gadis itu?"
Brak
Zidan memukul meja. "Hei, Little Beast, kita perlu bicara."
"Lihat, kan, Bi, sekarang sepupu Zi ingin bicara denganku untuk menutup mulutku."
"Zidan!!!"
Bibi awalnya tidak ingin mendengarkan perkataan anak yang dianggapnya pembawa sial, tapi dia tahu, sekalipun nakal dan suka membantah, gadis kecil itu selalu jujur. Lalu, setelah melihat reaksi Zidan, dia akhirnya percaya.
Melepas sandal di kaki, Bibi lantas memukuli Zidan. "Dasar anak nakal! Siapa yang mengajarimu menjadi p*****l?"
"Auh! Sakit, Bu! Jangan percaya Little Beast!"
Zidan berlari dari pukulan sandal Bibi, sementara Keisha menyeringai puas. Itu balasan karena meninggalkannya kemarin.
Rachel marah melihat senyuman Keisha. Dia melempar makanan di meja ke wajah gadis itu.
Tidak terima, Keisha membalas dengan menyiramkan air di gelas.
"Keisha!" teriak Rachel.
Sekali lagi Rachel melempar makanan, tapi kali ini Keisha menghindar, sehingga Robin yang terkena.
Sama seperti anak pada umumnya yang pantang kalah, Robin juga membalas Rachel sekalipun itu adiknya sendiri. Terjadilah pelemparan makanan di sana.
Keila kebingungan, sementara Keisha sudah membawa makanannya menjauh dari meja makan yang kacau balau.
"Berhenti! Jangan membuang-buang makanan. Kita belum tentu bisa makan besok," bujuk Keila, tapi malah dia yang terkena lemparan makanan.
"Memangnya kalian sudah bisa cari uang sampai buang-buang makanan?!" teriak Bibi dari ruang tamu, lalu mendatangi ketiga anak di meja makan dan memukuli mereka dengan sandalnya.
Rachel yang biasanya dimanja pun tak luput dari pemukulan. Sementara Robin melarikan diri. Bibi melepas sandal lain untuk melempar ke putra keduanya, tapi sandal itu malah mendarat di piring makan Keisha.
Sang ratu menghela napas, meletakkan piring yang masih menyisakan separuh makanan. "Aku harus secepatnya jadi orang kaya."
"Kalian semua, sekarang bersihkan gudang belakang!" teriak Bibi akhirnya. "Aku akan memeriksa saat pulang dari pabrik sore nanti! Kalau belum bersih, jangan harapkan makan malam!” Dia kemudian menunjuk Zidan. “Kau yang menjadi penanggung jawabnya, Zidan!"
Kelima anak pun bergerak lesu ke halaman belakang rumah tanpa mengganti pakaian mereka yang kotor akibat pelemparan makanan ataupun bekas tapak sandal Bibi.
Keila bergumam, "Kenapa aku jadi ikut dihukum?"
"Aku bahkan belum makan," keluh Keisha.
"Ini semua karenamu!" teriak serempak tiga bersaudara Orpheus kepada Keisha.
Keisha menghela napas. Entah di mana letak kesalahannya.
Rachel sudah ke sudut lain gudang, benar-benar membersihkan tempat penuh debu itu bersama Keila. Dia tampak sedih karena ibu yang biasa memanjakannya malah memukulinya.
Keila berusaha menghibur Rachel dengan mengatakan Bibi sedang emosi dan capek makanya semua jadi dimarahi. Karena yang dimarahi bukan cuma dia, bungsu Orpheus itu pun tenang dan memercayai perkataan sepupunya.
Zidan tersenyum kecil saat mendengar bujukan Keila yang menenangkan Rachel. Dia suka mendengar suara lembut sang sepupu. Sayangnya, ada sepupu lain lain yang melunturkan senyumnya. Si iblis kecil di sebelahnya.
"p*****l!" gumam Keisha, kemudian menyeringai.
Zidan meletakkan kemoceng di tangannya dengan sedikit kasar, kemudian menghadap Keisha dengan gestur kesal. "Hei, Little Beast, apa masalahmu denganku?"
"Kamu meninggalkanku kemarin."
Melihat ekspresi kesal Zidan, Keisha berdeham pelan, lebih mendekat ke sepupu tertuanya itu, kemudian berbisik, "Karena sekarang kita sudah seri, jadi, mari lupakan permusuhan di masa lalu.”
Zidan mengernyit, netranya seolah mengatakan, ‘Apa lagi yang diinginkan iblis kecil ini?’
Masih berbisik, Keisha bertanya, “Apa kamu mau kuberi tahu cara memenangkan hati kakakku?"
Meski tidak menjawab, tapi Zidan juga tidak menolak mendengarkan. Dia hanya melanjutkan pekerjaan bersih-bersihnya.
Keisha pun melancarkan aksinya.
"Kamu bisa dekat dengan kakakku kalau ikut dalam proyekku."
Zidan mengernyit, melirik Keisha sekilas.
"Proyek untuk membangun Escape Town menjadi kota besar."
Zidan menghela napas. Anak kecil dan imajinasinya yang luar biasa. Sia-sia beberapa detiknya untuk mendengarkan Keisha.
"Hei, Sepupu Zi, aku serius. Aku sedang memikirkan cara memperbaiki kota kita. Kamu lihat sendiri, kan, kota kita sebenarnya cukup banyak menghasilkan sumber daya alam, tapi pemimpin kecamatan tidak bisa mengolahnya dengan baik. Banyak pemuda yang kuat yang sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk membangun kota, tapi pemimpin sangat pelit mengeluarkan uang untuk membayar mereka. Lahan kosong yang luas pun hanya dijadikan arena bermain. Bangunan tak terpakai yang bisa direnovasi malah dijadikan tempat pesta n*****a atau seks."
Zidan mulai serius memerhatikan Keisha yang menurutnya cukup pintar untuk ukuran anak tidak bersekolah. Tapi bukan berarti dia tertarik dengan ocehannya.
Keisha terus mengikuti Zidan ke manapun pemuda itu bergerak. Dia dengan semangat melancarkan ilmu marketing dari beberapa abad yang lalu sekalipun pendengarnya tidak menanggapi. Sampai mereka selesai membersihkan gudang, dan hanya tinggal membuang sampah, dia masih mengikuti sang sepupu.
"Dengan proposal ini, aku yakin lima tahun lagi, kota kita bisa menyamai Lord City."
Zidan memandang Keisha yang dahinya terbalut perban. Netra biru gadis itu cerah, sosoknya berdiri tegak dengan percaya diri, dan wajah yang terkena pantulan cahaya senja terlihat lebih cantik sekalipun pipinya tercoreng debu.
Keisha mendekat ke Zidan, tersenyum kecil, lalu berkata, "Kalau kamu mau membantuku menjadi penyambung lidah dengan pemimpin kecamatan, aku akan menyerahkan kursi pemimpin masa depan kepadamu, dan aku akan menjadi bayangan yang mendukungmu dari belakang."
Bukan prosepek masa depan tentang pembangunan kota yang membuat Zidan tertegun, tapi kalimat terakhir Keisha. Apa gadis itu sangat memercayainya sampai ingin menjadikannya pemimpin?
"Bagaimana?"
"Nggak tertarik."
Senyum Keisha langsung lenyap. Kesal, dia menendang betis Zidan.
"Apa karena aku anak kecil, jadi kamu nggak percaya?"
Keisha balik badan, berjalan menuju rumah.
Zidan mengusap betisnya yang ditendang, masih menatap Keisha di depan sana.
Keisha berhenti, lalu balik badan menghadap Zidan kembali. "Kamu pikir, cuma kamu kandidat yang aku punya? Masih banyak yang mau bergabung dengan proyekku."
Keisha kembali balik badan, dan lanjut jalan. Tapi setelah dua langkah, dia akan menghadap Zidan lagi, dan kembali menggerutu.
"Aku akan berikan posisi itu kepada orang lain."
"..."
"Saat aku berhasil melakukannya, kamu akan jadi orang pertama yang menyesal dan bertekuk lutut di depanku untuk memohon kerja sama."
"..."
"Kamu harusnya berterima kasih karena kuberi kesempatan!"
"..."
"Dasar p*****l menyebalkan!"
Zidan sedikit menganga, lalu tertawa pelan. "Astaga! Cara marahnya sedikit menggemaskan," gumamnya.
Zidan pikir, setelah memarahinya sore itu, Keisha akan menyerah, tapi dia salah. Gadis itu kembali memulai deklarasi proyeknya pada keesokan harinya. Bahkan si iblis kecil lebih gencar dari sebelumnya, dengan mengikuti ke mana pun dia pergi.
***