Dia belum belajar cara melepaskan...
Seperti daun muda di ujung dahan,
keras kepala menolak jatuh,
sekalipun angin terus ricuh…
***
Nama Wilayah : Escape Town
Luas Wilayah : 30 km persegi
Populasi : 100.000 jiwa
Jumlah Kecamatan : 5
Jumlah Kelurahan : 15
Mata pencaharian : Bertani, beternak, berdagang, industri kecil
"Ada sejarahnya kenapa dinamakan Escape Town. Alkisah, ribuan tahun yang lalu, ada penjaga bayangan yang mencintai seorang wanita secara diam-diam. Dia memiliki tuan yang memberinya titah untuk melindungi wanita itu. Sampai tuannya menjadi raja dan wanita itu menjadi ratu, penjaga bayangan tetap melaksanakan tugasnya dan mencintai si wanita dalam diam. Sesekali dia akan melakukan sesuatu di luar perintah demi menyenangkan wanita itu, juga secara diam-diam. Sekalipun wanita itu tidak pernah mengetahui keberadaannya, sekalipun wanita itu hanya tahu kalau rajanya yang melakukan segala sesuatu untuknya, penjaga bayangan tetap sangat senang bisa melakukan banyak hal untuk wanita itu."
Keila tidak sabaran, dan langsung menyela, "Lalu, di mana nama Escape Town-nya, Zein?"
"Is, kamu nggak sabaran."
Keila nyengir, Keisha abai. Ratu itu lebih sudi melihat demografi wilayah Escape Town di tangannya.
"Setelah ratu meninggal, penjaga bayangan berkelana ke banyak tempat untuk menghilangkan rasa kesepiannya. Dia pun berhenti di wilayah tak berpenghuni. Wilayah itu kemudian diberi nama Escape Town."
Keila yang duduk di ayunan sembari menikmati buah ceri di pangkuan pun menjadi tertarik dengan cerita Zein. "Berarti kota ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu?"
"Ya," jawab Zein.
"Kalau sudah ada sejak lama, kenapa tempatnya masih kumuh?"
"Dulu, salah satu selir raja berpikir Escape Town didirikan oleh raja untuk mengenang ratu. Selir raja pun menyebarkan berita kalau tempat itu terkutuk. Pada akhirnya, cuma orang-orang bodoh, gelandangan dan para kriminal yang menjadi buronan, yang mau tinggal di sana. Makanya, pada generasi kita, keadaan Escape Town sangat mengerikan seperti ini."
Keila tampak merenung. "Lalu, apa yang dilakukan penjaga bayangan di kota ini? Kenapa dia nggak bilang apa-apa biar kota kita bagus kayak kota-kota lain?"
"Dia nggak peduli dengan pandangan orang lain. Penjaga bayangan hanya menanam banyak pohon Cassia."
Keisha seketika menatap Zein.
Merasa Keisha tertarik, Zein dengan semangat bercerita, "Wanita yang dicintai penjaga bayangan sangat menyukai pohon Cassia, jadi dia menanam banyak pohon itu di sini. Kalian bisa lihat banyak pohon Cassia di sepanjang jalan, kan? Bahkan pohon ini telah menjadi ikon kota Escape."
Keila mengangguk. "Benar."
"Konon katanya, penjaga bayangan selalu menunggu wanita itu di setiap reinkarnasi."
Keisha merenung. Apa Zen juga menunggunya di setiap reinkarnasi? Tapi rasanya tidak mungkin, karena pria itu hanya memikirkan rakyat.
"Di manapun dia dilahirkan kembali, dia akan datang ke Escape Town. Seenggaknya akan ke sini pada ulang tahunnya yang ke-19."
"Kenapa harus saat ulang tahun ke-19?"
"Karena pertama kali dia bertemu wanita itu pada usia sembilan belas," jawab Keisha spontan.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Zein, menyembunyikan senyum misteriusnya.
Bukannya menjawab, Keisha malah menatap pohon Cassia di depannya. Dia dan Zen juga bertemu saat Zen berusia sembilan belas. Gadis itu jadi bertanya-tanya apakah Zen akan datang juga ke kota ini?
Keisha menyeringai. Kalau Yang Mulia Zen datang ke sini, aku harus menyambutnya dengan meriah, kan?
Zein menoel pipi Keisha yang duduk di rerumputan sebelahnya. "Apa yang kamu senyumkan?"
"Bukan apa-apa." Keisha menepis tangan Zein dari pipinya. "Ceritakan tentang wilayah kita."
Keisha ingin membangun kerajaannya di kota ini. Apa artinya ratu tanpa istana? Lagipula, untuk mengalahkan Zen yang seorang penguasa, dia juga harus menjadi penguasa. Entah mengapa, dia yakin Yang Mulia itu akan tetap menjadi penguasa, tidak peduli berapa kali melakukan reinkarnasi, tidak peduli apa yang dia kuasai kali ini.
Merasa dibutuhkan, Zein kembali bersemangat untuk menjelaskan segala hal yang dia tahu. Dia bercerita tentang miskinnya kota ini, dan kecamatan Escape Timur mereka merupakan yang terburuk dari kecamatan lain. Hanya ada sedikit sekolah dan klinik di sini. Biaya untuk pendidikan sangat mahal, sehingga hanya orang tertentu yang bisa bersekolah. Mereka bertiga termasuk yang tidak bersekolah.
"Bagaimana dengan kecamatan paling bagus?" tanya Keisha.
"Kecamatan Escape Selatan. Di sana sudah ada pabrik walau kecil. Di sana menjadi satu-satunya jalur ke luar kota. Mayoritas warga di sana sudah punya sepeda motor. Singkatnya, di sana kaum elitnya Escape Town."
"Pemilik toko s**u tempat Zein bekerja juga ada di kecamatan itu. Dia orang paling kaya di kota ini."
"Benar," sahut Zein.
Keila kemudian teringat sesuatu. "Oh, iya, Zein, kamu kan punya sepeda untuk berjualan."
Keila turun dari ayunan, mengambil duduk di antara Keisha dan Zein. "Ayo kita ke Escape Selatan. Aku pengen ke pasar malam. Katanya, pasar malam di sana cantik banget."
"Oke. Kita ke sana akhir minggu ini." Zein menoleh ke Keisha. "Kamu ikut juga, Kei. Nanti aku bonceng Lala di belakang, kamu di depan."
"Nggak mau," jawab Keisha ketus. Sangat kekanakan.
"Kenapa?"
"Aku mau menemui pemimpin wilayah."
"Maksudnya Pak Camat?" tanya Zein.
"Apapun itu sebutannya."
"Mau ngapain ketemu Pak Camat?"
"Membangun kerajaanku."
Keila dan Zein bertukar pandang dengan tatapan bingung.
Zein bahkan berbisik, "Coba bawa adikmu ke klinik. Sejak dilempar bibi pakai mengkok seminggu yang lalu, dia jadi terlihat aneh."
Keila langsung memukul lengan Zein. Yang tangannya dipukul malah tertawa.
"Nggak usah buat kerajaan di sini. Di kota besar aja," kata Keila.
Keisha menggeleng. "Aku nggak bisa mengandalkan uang Mata Empat untuk ke luar kota. Entah kapan uangnya akan cukup."
Zein menunduk. Tidak ada yang melihat senyum kecilnya dan netranya yang diisi kebahagiaan.
"Kalau gitu, kita tunggu ayah."
"Sampai kapan aku harus menunggu ayah yang nggak jelas itu? Lima tahun lagi? Sepuluh tahun lagi?"
Keila menangis.
Zein ingin tertawa ketika mendengar nada sarkas Keisha, tapi dia menahan diri, dan malah memeluk Keila untuk menenangkannya.
"Kei jahat," keluh Keila. "Dia mengatai ayah nggak jelas. Nggak hanya itu. Lihat, Zein." Gadis kecil itu mengulurkan tangannya yang membiru. "Sejak minggu lalu dia bisa bicara lagi, setiap malam, Kei selalu mencengkeram lenganku dalam tidurnya. Itu sangat menyakitkan."
Keisha tidak memedulikan dua anak kecil itu. Tatapannya jauh ke depan. Dia harus membuat kota miskin ini menjadi kaya, kemudian berdiri sebagai pemimpin wilayah. Hanya dengan kekuasaan, dia bisa menjatuhkan Zen.
Keisha punya banyak pengalaman membantu Zen memenangkan simpati rakyat. Dia tahu cara mengeksplorasi sebanyak-banyaknya sumber daya desa demi kemakmuran rakyat. Untuk urusan mengembangkan suatu wilayah, itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Tapi dia harus memperkaya wawasan tentang demografi dan tata wilayah lebih dulu. Dengan menemui penguasa wilayah ini, dia bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan itu.
Saat Keisha memikirkan cara mendapatkan kepercayaan Camat, dia menyadari usianya terlalu kecil untuk bertemu penguasa. Tidak mungkin ada yang memercayai gadis kecil putus sekolah sepertinya.
"Aku nggak bisa menemui penguasa dengan tubuh dan latar belakangku saat ini. Aku butuh seseorang untuk menjadi penyambung lidah."
Setelah memikirkan semua orang di sekitarnya, Keisha menyeringai kecil. Sepupu.
"Ayo pulang," kata Keisha.
Keila masih merajuk, dan tetap diam bersama Zein di belakang. Keisha pun pulang ke rumah sendirian, sambil melamunkan cara menarik perhatian sepupunya.
Anak Bibi ada tiga. Dua lelaki dan satu bungsu perempuan. Yang tertua usia sembilan belas, yang kedua usia lima belas, dan yang bungsu seusia Keisha. Yang tertua bernama Zidan Orpheus, merupakan tulang punggung keluarga selain bibi. Tidak seperti dua saudaranya, Zidan tidak pernah mem-bully Keisha. Dia sangat cuek dengan sekitar, dan hanya bicara seperlunya. Jangankan Keila, dua saudaranya saja takut kepadanya.
"Sekarang hari libur, Zidan pasti di rumah."
Sesampainya di rumah, dua sepupu menyebalkan itu telah mengacak-acak kamar Keisha, lagi. Keduanya baru saja keluar kamar dan tengah memegang kotak tabungan. Itu uang yang dikumpulkan Keisha selama seminggu ini. Dia membantu Zein menjual s**u, tapi menaikkan harga jualnya karena menambah varian rasa. Keuntungan harga jual itulah yang dia tabung. Tapi sekarang, ada yang mengambil hasil kerja kerasnya. Beraninya dua berandal ini!
"Kembalikan uangku!"
Rachel Orpheus menyembunyikan kotak bening isi uang ke belakang punggungnya. "Kamu pasti dapat banyak uang dari mencuri!"
Robin Orpheus melindungi adiknya, bersedekap dengan gaya congkak. "Kami akan kasih tahu ibu kalau kamu mencuri!"
"Aku nggak mencuri! Kembalikan uangku!" Keisha menerjang ke depan, tapi didorong langsung oleh Robin sampai terjatuh.
Keisha memelototi Robin, telihat sangat kesal. Dalam keadaan seperti ini, dia malah teringat perkataan Zen ketika masih berstatus sebagai Pangeran Zenzenia: “Jika tubuhmu tidak cukup kuat untuk melawan musuh, maka gunakan senjata…”
Keisha memejamkan mata sejenak, mengenyahkan suara bergema Zen di kepala, kemudian melihat sekitarnya. Di sanalah dia menemukan kaki meja yang patah, dan segera mengambilnya. Berdiri, dia langsung memukulkannya ke lengan Robin.
Bukan pukulan cukup menyakitkan yang membuat Robin terperangah, tapi tatapan tajam Keisha. Dia sangat ketakutan. Perasaan ini sama ketika dia ditatap oleh Zidan setelah ketahuan merokok. Dia pun tanpa sadar menyusutkan diri, dan menjauh dari iblis berwujud gadis kecil di depannya.
Lutut Rachel mulai goyah ketika Keisha tepat di depannya, tapi dia masih keras kepala menyembunyikan kotak tabungan di belakang punggung.
"Berikan," kata Keisha dengan suara dingin, sambil mengulurkan tangan.
"Nggak mau! Aku akan kasih tahu ibu saat ibu pulang nanti. Aku akan bilang kalau kamu memukul Robin. Kamu akan diusir dari rumah!"
Keisha melayangkan kaki meja di tangannya untuk memukul Rachel.
Robin yang mengkhawatirkan adiknya, akhirnya bangkit dan mendorong Keisha dengan keras sampai keduanya jatuh ke lemari di sebelah. Lemari kayu yang sudah usang itu pun oleng karena tabrakan dua orang. Sebelum lemari jatuh dan menimpa mereka, keduanya menghindar dengan cepat. Tapi mereka lupa kalau di atas lemari ada beberapa barang pecah belah, termasuk satu guci kecil.
Rachel segera menarik Robin untuk menghindari barang pecah belah, tapi Keisha tidak sempat menghindarinya. Guci kecil pun mengenai kepalanya.
"Huwaaaa.... kakiku kena pecahan kaca..." rengek Rachel.
Tanpa ketiga anak itu sadari, Zidan telah menyaksikan semuanya dari ruang makan, tapi dia tidak peduli.
Tepat saat ini, bibi dan Keila muncul di depan rumah dan melihat kekacauan di sana.
"Keisha Oberon!!!" teriak bibi. "Kau menghancurkan rumahku!"
"Ibu...." rengek Rachel dan Robin bersamaan.
Keduanya dengan lancar mengkambinghitamkan Keisha.
"Lihat, kakiku berdarah, Bu."
Bibi melihat ujung jari kelingking Rachel mengeluarkan darah. Sebenarnya itu hanya luka kecil, tapi reaksi mereka sangat berlebihan.
"Dia juga memukul lenganku, Bu," keluh Robin, menunjuk lengannya yang memang lebam bekas dipukul.
Keila terdiam di depan pintu. Dia hanya anak kecil, yang sangat takut dengan kemarahan bibi, maka dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk membela Keisha. Dia bahkan tidak bisa bergerak untuk membantu sang adik yang masih tersungkur di sana.
"Anak ini harus keluar dari─"
Bibi belum menyelesaikan kalimatnya saat melihat Keisha berdiri perlahan.
Dari kepala Keisha keluar banyak darah, dan darah itu turun ke sebagian wajahnya. Mata gadis kecil itu sangat tajam seolah ingin membunuh semua orang. Dengan penampilannya, dia terlihat sangat mengerikan. Rachel dan Robin bahkan lupa menangis karena ketakutan.
Pada saat ini, Zidan akhirnya bergerak ke ruang tamu. Dia melihat Keisha berjalan lunglai. Ketika gadis kecil itu bergerak ke arah ibu dan dua adiknya, ketiganya tanpa sadar mundur untuk menghindar. Senyum sarkas pemuda itu pun muncul, menambah sentuhan dingin di wajah tampannya.
Mengulurkan tangan, Keisha berkata, "Kembalikan tabunganku."
Rachel menyerahkan kotak tabungan dengan tangan gemetar.
Keisha memeluk kotak tabungannya, lalu tersenyum kecil. Di mata orang lain, senyum itu sangat menyeramkan seolah malaikat maut turun untuk mencabut nyawa mereka, tapi di mata Zidan, itu sangat indah seolah semua kekhawatiran di dunia akan menghilang hanya dengan melihatnya.
Kita menjalani hidup selangkah demi selangkah. Siapa yang tidak mengalami kesulitan dan pengalaman menyakitkan ketika dalam prosesnya?
Keisha tahu dia bisa memilih jalan yang sederhana. Menjalani kehidupan biasa, memilih pekerjaan ringan biasa, lalu menikah dengan pria biasa, seperti kebanyakan orang di Escape Town. Harusnya dia memilih rute itu terutama setelah mendapat kesempatan kedua dalam kelahiran kembali. Dia juga bisa melepaskan tabungannya dan tidak akan mengalami cedera fatal karena keras kepala. Tapi, dia tidak mau.
Sekalipun jalan itu penuh duri dan rasa sakit, dia akan tetap berada di sana demi mencapai tujuannya. Sekalipun bisa mengumpulkan tabungan lagi di hari lain, dia tidak akan pernah melepaskan apa yang menjadi miliknya. Begitulah karakternya, begitulah keegoisannya, begitulah sang ratu.
Jangan menyalahkan Keisha, karena tidak ada yang mengajarinya cara melepaskan. Orangtuanya selalu memanjakannya di dalam istana, dan menuruti semua kemauannya. Ketika keduanya meninggal, dia tidak banyak tahu tentang kehidupan di luar istana. Kakaknya meninggalkannya sebelum memberinya beberapa pesan. Hanya Zen yang mengajarinya banyak hal, tapi hal paling utama yang diajarkan pria itu adalah ambisi untuk mencapai tujuan.
Setelah memeluk tabungannya, tubuh Keisha limbung. Zidan refleks maju ke depan dan menangkap tubuhnya.
"Kau seperti iblis kecil," lirih Zidan. Cantik dan menggoda, tapi berbahaya.
***