9. Ratu dan Kenangan

1545 Kata
Jika dia dapat dengan mudah berhenti mencintainya, bukankah itu akan membuat cinta terlihat murahan? *** Sementara sudut lain adalah Tuan Muda di pasar malam. "Apa yang Tuan Muda lihat?" tanya Rey ketika Zen mendadak berhenti jalan. "Gadis itu." Rey melihat tunjuk Zen, dan langsung ingat. "Itu gadis yang menipu kami, Tuan Muda. Dia bilang melihat Tuan Muda dipukuli, tapi ternyata memanfaatkan kami untuk membantunya menyelamatkan temannya." "Siapa namanya?" "Saya tidak tahu. Apa perlu saya selidiki?" Lama Zen memandang Keisha, sebelum menjawab Rey. "Tidak usah." *** Beberapa Minggu kemudian... Putri tertua Pak Camat menggelar pernikahan. Beberapa musisi menjadi penghibur. Keisha dan keluarganya juga diundang. Mereka datang malam hari setelah Bibi pulang bekerja. Mengingat kejadian terakhir kali, Keisha mengetahui kalau salah satu dari para pemukul sepupunya merupakan anak dari pria yang telah dibunuh oleh Paman. Rachel dan Robin membenci ayahnya karena itu. Mereka pikir sepuluh tahun bisa menghapus gelar mereka sebagai anak pembunuh. Ternyata, anak sang korban tidak pernah melupakan pembunuh ayahnya. Setelah kejadian pemukulan itu, sikap Rachel menjadi pendiam dan sedikit takut keluar rumah. Sementara Robin yang sebelumnya terluka parah, kini sudah pulih. Dia tidak menjadi pendiam seperti saudarinya, melainkan semakin nakal. Robin sering bolos sekolah hanya untuk main game. Dari yang Keisha dengar, anak itu juga telah menjadi bagian dari anggota geng nakal di kecamatan mereka. Bahkan telah mencoba bergabung dengan Dark Pirates, tapi selalu gagal memperoleh informasi. Entah bagaimana reaksi anak itu saat tahu kalau kakaknya adalah ketua Dark Pirates. Beberapa hari lalu Bibi pun memergoki putra keduanya sedang memalak orang dan membeli rokok di tempat perbelanjaan. Setelah Keisha bekerja dengan Zidan di mini market, Robin selalu menjadi sasaran omelan Bibi. Apalagi dengan tingkahnya yang sekarang, bukan hanya berakhir dengan omelan, tapi juga dengan pemukulan. Tadi malam Keisha memergoki Robin membawa tas dan sepertinya mencoba kabur dari rumah, tapi sebelum dia memberi tahu Bibi, sandal telah melayang ke kepala sepupunya itu, dan putaran omelan Bibi pun belanjut sampai menjelang pagi. “Lihat aku, Zein!” teriak Keila, lalu memutar badannya di depan Zein. “Bagaimana bajuku?” Dress warna gading itu dipinjamkan oleh Rachel kepada Keila. Satu perubahan lagi dalam diri Rachel setelah Keila memberanikan diri membelanya; semakin baik terhadap sang sepupu. Keduanya sudah mirip seperti dua saudari kandung sekarang. “Cantik,” kata Zein, tapi tatapannya malah pada Keisha yang mengenakan gaun sederhana warna abu-abu. Rambut Keisha digerai ke satu sisi bahunya. Ada jepit rambut bentuk bunga kecil yang menjepit anak rambutnya. Gayanya yang anggun ketika berjalan, membuat yang menatap pun menjadi terpesona, terutama beberapa anak lelaki yang mulai puber. Lagipula, tubuh Keisha itu tinggi dan cantik seperti model remaja. Berkembang sedikit lagi dalam beberapa tahun, maka dia akan memiliki body goal idaman wanita. “Terima kasih,” kata Keila yang masih mengira Zein memujinya. “Aku, Robin, dan ibu akan makan di sebelah sana,” kata Rachel. Dia kemudian berbisik kepada Keila, “Ibu kayaknya mau jodohin Robin sama putri bungsu Pak Camat.” Keila terkikik. “Semoga berhasil.” Rachel mengangguk, lantas meninggalkan si kembar bersama Zein dan Zidan. Keila menggamit lengan Zein, tersenyum lebar. “Kita makan ke sebelah sana aja, Zein. Di sana sepi.” Zein mengangguk. Zidan mendengkus, dan didengar oleh Keisha. “Hei, p*****l, cepat bergerak sebelum dia direbut orang lain.” “Diamlah, Little Beast.” Keisha tertawa pelan. “Bagaimana perkembangan proyek?” “Baik. Kalau enggak, apa menurutmu keluarga dari si pembunuh seperti kita akan diundang ke pesta ini?” “Benar juga.” “Aku dengar, ada tokoh penting yang datang ke sini.” “Siapa?” “Aku lupa namanya, tapi dia cukup terkenal di Lord City.” “Ceritakan.” “Di usia enam belas, dia sudah membuat perusahaan sendiri walau bertaraf kecil. Tahun depan, dia lulus dari universitas. Dia putra haram pebisnis terkenal di Lord City.” Keisha mendengkus. “Kalau putra haram saja bisa sehebat itu, bagaimana lagi dengan putra sahnya?” “Justru putra sahnya biasa-biasa saja. Putra haram ini telah menjadi ancaman bagi para putra sah.” “Lalu apa hubungannya itu dengan kita?” “Dia mendengar rencana pembangunan di desa kita, dan sepertinya tertarik melakukan kerja sama.” Keisha langsung menegakkan badan menatap Zidan. “Kenapa kamu masih di sini? Sana temui dia. Dia mungkin investor penting untuk proyek kita.” Zidan meletakkan sendok ke piringnya dengan sedikit keras. Dia tidak jadi memasukkan makanan itu ke mulutnya. “Aku belum makan malam!” “Kamu bisa makan nanti, p*****l. Orang penting nggak suka menunggu. Cepat sana.” Keisha malah berdiri dan mendorong-dorong badan Zidan. “Ingat, pasang senyum yang manis dan bicarakan proyek kita dengan baik.” “Dasar Little Beast nggak punya hati.” “Aku dengar.” “Sengaja!” Keisha hanya tertawa pelan, lalu lanjut makan. Zidan meninggalkan meja, dan masih tidak mengerti kenapa bukan Zein saja yang membantu proyek ini? Dengan latar belakangnya, kota miskin pun bisa menjadi semewah Lord City dalam setahun. Zidan kemudian menghela napas. Dia lupa kalau Zein pernah bilang, Keisha tidak suka dikasihani. Jika gadis itu tahu seseorang membantunya sebesar itu, bukannya mendapat terima kasih, malah akan mengucapkan selamat tinggal. Jadi, mereka harus memakai jalan memutar yang panjang, dan menemani gadis itu di setiap persimpangan. Itu lebih berkesan dan meninggalkan ingatan kuat. “Baiklah, aku nggak punya pilihan lain, kan?” keluh Zidan. *** Setelah makan, Keisha berjalan-jalan di sekitar rumah Pak Camat untuk mencerna makanan. Dia malas mengikuti obrolan Bibi atau cengkerama ramah Rachel dan Keila dengan anak-anak lain. Dia tidak suka basa-basi munafik hanya untuk menarik atensi. Melewati halaman samping, Keisha kemudian berhenti di belakang rumah dengan taman bunga sederhana. Ada sebuah batu besar di sana yang diduduki oleh seorang wanita bergaun pengantin. Di tangan wanita itu ada harpa ukuran sedang. Mata Keisha berbinar ketika melihat harpa. Sudah sangat lama dia tidak menyentuh yang katanya alat musik para malaikat itu. “Siapa di sana?” “Selamat malam,” sapa Keisha, lantas keluar dari bayangan pohon. “Kamu...?” “Namaku Keisha. Sepupu Rachel.” “Rachel temannya Risa?” Keisha mengangguk, lalu menyentuh setiap senar harpa. “Kenapa hanya memegangnya, Kak?” Wanita bergaun pengantin tampak sedih, kemudian membelai harpa dengan melankolis. “Ayah melarangku bermain musik. Kupikir setelah menikah, aku bisa memainkannya, tapi ternyata suamiku benci musik.” “Hemm... begitu.” Keisha tanpa sadar memetik setiap senar, menyenandungkan nada secara asal. Melihat mata Keisha penuh kekaguman pada harpa, wanita itu menyerahkannya. “Kamu mau?” “Huh?” “Toh, aku juga akan menyumbangkannya kepada orang lain.” Keisha tersenyum lebar. Berdasarkan perhitungannya, gaji dari bekerja di mini market tidak akan mampu membeli harpa sekalipun telah menabung cukup lama. Sekarang benda ini datang sendiri menghampirinya. Maka tidak ada alasan untuk menolak. "Terima kasih," kata Keisha sembari memeluk harpa. "Sama-sama. Aku kembali dulu." "Tunggu," cegah Keisha. "Aku akan memainkan sebuah lagu untuk Kakak." "Kamu bisa bermain harpa?" Keisha tidak menjawab. Dia hanya duduk di atas batu, lalu jemari lentiknya mulai bergerak, menyenandungkan irama Lullaby yang biasa dia senandungkan sebagai pengiring tidur Zen, atau ketika dia merindukan sang raja yang jauh di medan perang. Seolah larut dalam musiknya, Keisha ikut bersenandung. Menikmati petikan harpa, pikiran Keisha pun berkelana ke ratusan tahun lalu. Dia mengingat kebersamaannya dengan Zen. Mengingat cara pria itu tertawa... Mengingat caranya memanggil 'Ratuku' dengan lembut dan penuh cinta... Mengingat caranya mengayunkan pedang dengan gagah... Mengingat caranya berdiri berwibawa di depan gerbang istana dengan dua tangan di belakang punggung... Mengingat caranya duduk gagah di atas kuda sebelum pergi ke medan perang… Mengingat caranya memeluk dan mencium dengan lembut... Mengingat genggaman hangat tangannya ketika berjalan di bawah salju... Mengingat caranya tersenyum kagum ketika mendengar petikan senar harpa yang dia mainkan... Mengingat... semuanya... Semua ingatannya masih selalu tentang Zen. Tentang Zen yang sangat dicintainya... Tentang Zen yang berkorban untuknya… Lalu tentang Zen yang memberinya minuman beracun... "Ratuku..." Keisha seketika berhenti memetik senar, dan membuka matanya. Barusan dia seperti mendengar suara Zen, tapi saat melihat ke sekitar, dia tidak menemukan pria yang memanggilnya. "Kenapa berhenti? Permainan harpamu sangat bagus." Keisha memegangi dadanya yang terasa sesak. Sampai akhir, apakah cinta atau dendamnya yang lebih besar? Dia tidak tahu... Dia pikir telah mengubah semua rasa cintanya menjadi benci, tapi kenapa dia masih menangis ketika mengingatnya? Kenapa ada perasaan ingin bersama seperti dulu ketika mengingat kenangan indah mereka? Kenapa Zen lagi? Untuk apa tangisannya ini? Untuk cintanya? Atau untuk rasa sakit karena dikhianati? "Arghhhh..." Keisha teriak histeris sambil mencengkeram bagian dadanya yang entah kenapa sangat sesak. Sangat menyakitkan seolah tidak bisa menghirup udara. Zein keluar dari balik pohon, kemudian berlari ke sisi Keisha. Dia memeluk gadis kecil yang menangis terisak-isak itu. Memeluknya erat. "Tenanglah, Zein-mu di sini..." Dalam pendengaran Keisha, itu menjadi, "Tenanglah, Zen-mu di sini..." Rasa sesak yang menyakitkan perlahan berhenti, namun tangisannya masih terdengar. Keisha merasa pernah mendengar kalimat yang sama dengan perkataan Zein ini di kehidupan sebelumnya; misalnya pada peristiwa invasi mata-mata di pasar malam kerajaan Zenzenia, di tengah malam ketika dia tidur gelisah karena memimpikan orang-orang yang dia bunuh, atau ketika dia sangat merindukan sang raja di medan perang. Dia sebenarnya bisa saja tahu siapa yang selalu menenangkannya pada malam-malam saat kesendiriannya, jika berusaha keras mengingat, tapi sekarang bukan waktunya untuk itu. Saat ini dia sedang sedih, dan semua benaknya hanya dipenuhi oleh Zen. "Aku pikir... aku masih... mencintainya..." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN