Aku merasakan suhu tubuhku meningkat beberapa derajat saat Pak Dokter tak kunjung melepas genggaman tangannya dariku. Bukan cuma itu, aku juga merasa tubuhku jadi seperti kesetrum diperlakukan seperti ini.
Wajarkah?
Duh, bagaimana, ya?
Lepas jangan, nih?
Kok aku jadi ikut deg-degan?
"Dok …." Aku berucap canggung saat mencoba melepaskan tanganku.
"Oh iya, maaf." Pak Dokter pun melepas genggaman tangannya dengan kaku begitu aku menegur pelan lewat suara dan gerakan.
Masih dengan raut wajah yang terlihat gugup, Dokter Afzan menyampaikan niat dan meminta izin pada Papa, untuk membawaku bersamanya besok.
"Kalau Bapak, eum, Papa mengizinkan, saya akan membawa Tiara bersama saya, mengenalkannya dengan ayah dan ibu saya besok." Formal sekali bahasa dokter begajulan ini saat bertutur dengan Papa.
Sejurus kemudian mataku membelalak dengan hati mencelos. Bertemu ayah dan ibu?
Ya ampun, apa-apaan ini? Kenapa harus ketemu calon mertua segala, sih? Nikah bukan atas dasar cinta saja repot begini..
Huh!
"Silakan, Papa tidak keberatan." Papa tersenyum hangat saat memberikan izin. Seperti anak baik-baik yang penurut, Dokter Afzan mengangguk ramah menyambut ucapan Papa.
"Tiara, di depan calon mertua, tolong jaga sikap, ya." Papa memberi wejangan saat mengalihkan pandangan padaku.
"I-iya, Pa," balasku dengan penuh keterpaksaan. Sungguh, bayangan mertua jahat seperti yang sering k****a di cerita-cerita n****+ online amat mengerikan. Dan sebentar lagi aku bakal punya mertua? OMG!
"Ya, sudah, Pak, maksudnya … Pa." Dokter Afzan nampak canggung saat meralat panggilan. Melihatnya salah tingkah, membuatku tertawa kecil. Menggemaskan juga dia.
Bagaimana anaknya nanti?
Loh, Tiara, kok, memikirkan soal anak, sih? Memangnya kamu ada niat bikin anak sama Pak Tua yang usianya beda sepuluh tahun denganmu?
Ish ish ish, aku segera menyadarkan diri dari khayalan tak jelas dan tak pantas yang tiba-tiba menghinggapi pikiran.
"Saya ada jadwal praktek jam empat sore nanti, saya permisi dulu," ucap pria 29 tahun itu diiringi anggukan ramah.
"Iya, hati-hati ya, calon mantu," kelakar Papa yang disambut dengan senyum tipis sang dokter. Kok senyumnya manis, sih?
Ish, Tiara! Ingat dia itu terlalu tua untuk kau idolakan!
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam," balas Papa melepas kepergian sang dokter. Sikap Papa pada Dokter Afzan sangat jauh berbeda dengan sikapnya pada Alvin—mantan pacar yang mengantarku pulang beberapa bulan lalu.
"Bagus, Tiara, kamu memang cocoknya dengan laki-laki dewasa, lebih sopan bisa mengayomi. Tidak seperti Alvin, begajulan, yang ada bisa-bisa malah rusak kalau kamu sama dia." Papa kembali mengungkit pasal Alvin begitu Dokter Afzan meninggalkan rumah kami.
Aku menunduk, tak mau berdebat.
Ah, Papa, tidak tahu saja! Calon mantu idaman Papa pun sama sebenarnya. Begajulan juga. Cuma bedanya dia pandai bermain drama, Pa!
"Iya, Pa."
"Kamu udah gak jalan lagi sama dia, kan?" Papa menginterogasi.
"Engga, Pa." Aku menjawab tidak. Karena memang aku dan Alvin sudah putus sejak lama. Lelaki yang sempat kupuja itu ternyata dengan mudahnya bermain api di belakangku, menggaet gadis lain saat masih berstatus sebagai pacarku. Aku yang benci dengan pengkhianatan, langsung meminta putus tanpa pikir panjang saat itu.
"Semoga Dokter Afzan bisa membimbing Tiara, ya, Pa." Ibu tiriku yang sedari tadi ada di dapur, muncul dan mulai bersuara.
Papa mengangguk mengamini.
Aku mendengkus kasar. Aku sama sekali tak butuh penilaiannya. Mendengarnya bersuara saja membuat aku muak.
Agaknya Nindi terlalu berlebihan saat mengatakan aku harus bersyukur memiliki ibu tiri seperti dia. Apa yang pantas disyukuri kalau punya ibu tiri yang suka mengadu dan terlalu kepo dengan urusanku?
"Semoga begitu, Ma." Papaku menyahut dengan senyum terukir di bibir saat menatap sang istri.
Tanpa berkata-kata, aku pun dengan malas bangkit dan berjalan masuk ke kamar. Meninggalkan Papa dan ibu tiriku yang tampak mesra setiap hari.
Setelahnya, aku menjatuhkan diri di atas ranjang. Melepas penat dengan memainkan telepon pintar sambil rebahan.
"Kak Ara, main, yuk!" Adikku, Sintya tiba-tiba masuk kemar tanpa permisi. Tangan kecilnya mengguncang-guncang bahuku tanpa peduli kakaknya sedang bad mood atau tidak.
"Ah …. Sintya, apaan, sih, main sendiri sana! Kakak capek!" ketusku pada adikku yang masih berusia tujuh tahun.
Sintya merengut mendapat penolakan dariku. Entahlah, walaupun aku kerap memarahinya, gadis ini tak pernah tampak jera mengajakku bermain.
Menyebalkan!
Masa iya gadis 19 tahun sepertiku harus bermain masak-masakan? Memang masa kecilku kurang bahagia, tapi haruskah aku berbuat konyol untuk mengganti beban perasaan di masa lalu?
"Capek habis pacaran, ya?" Tanpa segan gadis kecil ini meledekku sambil cengar-cengir. Sikap bengisku padanya selama ini sama sekali tak memberikan efek apa-apa padanya. Terbukti, dia tak pernah segan merengek, meledek, dan menangis jika aku terlambat pulang. Apakah memang begini yang namanya hubungan persaudaraan? Entahlah.
Aku membelalak menyambut ucapan gadis kecil ini. Segera, aku bangkit menatap lekat wajah polos adikku.
"Pacar kakak yang Om-om tadi itu, ya?" Tanpa sungkan Sintya menanyai kakaknya yang terkenal pemarah ini.
Aku mendesis. Ah, Sintya keponya sama dengan mamanya. Bikin naik darah saja.
"Anak kecil gak boleh ikut campur urusan orang dewasa, ya, Sintya … adik Kak Ara yang paling cantik," ucapku pada adik keduaku ini.
Sintya hanya cengar-cengir memperlihatkan gigi ompongnya menyambut ucapanku yang sebisa mungkin aku tahan agar jangan sampai terucap kata kasar.
"Nah, gitu, Ra, kamu emang harus belajar lembut sama anak kecil. Itung-itung sekalian belajar," Papa tiba-tiba muncul. Berdiri di bibir pintu kamarku.
Belajar? Aku menyentak napas. Kesal.
"Ish, Papa ini, apaan, sih?"
"Liat aja, pasti gak lama lagi Papa bakal punya cucu dari kalian." Papa berkelakar lagi.
Huft! Papa terlalu berlebihan. Memangnya dikira aku benar-benar berminat menjadi istri dokter rasa preman itu? Big no, Papa!
"Sin, main, sama Papa, yuk!" Papa merentangkan tangan pada anak bungsunya yang super centil dan manja sekaligus menyebalkan.
***
Selepas mandi, aku dibuat hampir tak percaya ketika si dia meneleponku.
"Gimana kabarnya, Calon Istri?" Suara bariton miliknya memenuhi indera pendengaran begitu kami tersambung via sambungan telepon.
"Ish, apaan, sih?" Aku mendesis geram.
"Tolong besok yang kalem, ya, pas ketemu camer. Haha. Gak usah banyak gaya!"
Aku mendengkus kasar. Ya ampun camer lagi! Membayangkan perihal mertua membuat kepalaku berdenyut. Rasanya aku harus mencari obat sakit kepala secepatnya setelah menutup telepon nanti.
"Satu lagi, kalau bisa besok lu pake kerudung, ya, pas ketemu Emak Bapak gue!"
Mataku seketika terbuka lebar mendengar permintaan nyeleneh Pak Dokter.
"Kerudung?" Aku mencoba menelaah ucapan Dokter Afzan. Takut salah dengar.
"Iya penutup kepala," terangnya.
Huft! Sudah seperti orang bodoh saja pakai dijelaskan segala.
"Emang wajib banget gitu?" Aku memutar bola mata. Malas.
"Wajib lah sebenarnya, kan elu muslimah," balasnya enteng.
Deg! Iya, sih.
Jujur aku merasa tertampar mendengar jawaban darinya.
"Soalnya gue juga pengen nunjukin ke Emak-Bapak gue kalau calon istri gue tuh cewe bener, bukan ngambil dari pasar hewan," terangnya panjang lebar tapi mencubit hati.
"Memangnya aku kambing?!" Ketusku sambil menutup telepon.
Kesal!