Cantik?

1288 Kata
Minggu pagi aku mematut diri di depan cermin, memakai jilbab yang lama tak kupakai. Ah, tak kusangka menjadi calon istri dari dokter rasa preman itu bisa seribet ini. Aku menatap lama wajah yang tergambar dari pantulan cermin di hadapanku. Cantikkah aku saat kepalaku dalam balutan jilbab? Aku kadang membenci wajahku sendiri yang justru memiliki garis wajah serupa ibu kandungku. Bukan apa-apa, perangainya yang tak terpuji membuatku muak jika mengingat kembali wajahnya. "Cantik, Kakak." Seperti mengerti apa yang kupikirkan, Papa tiba-tiba muncul di belakangku seraya memuji dengan tangannya menggendong adikku—Sintya. Aku yang masih diam mematung di depan meja rias lantas menoleh, menatap Papa yang menatapku dengan wajah berseri. "Ah, Papa. Ini gara-gara Pak Dokter, nih. Rese banget pake nyuruh Ara make jilbab segala," gerutuku seraya memajukan bibir. "Alhamdulillah kamu ketemu sama laki-laki sebaik dia, semoga kalian berjodoh sampai ke surga, ya, Sayang." Papa mengusap kepalaku yang berbalut jilbab pashmina warna merah bata. Aku menunduk, tak tahu harus mengaminkan atau tidak ucapan Papa. Aku sendiri tak yakin Dokter Afzan benar jodohku atau bukan. Tak lama kemudian, terdengar seseorang mengucap salam. Ya, dokter 'begajulan' itu telah sampai dan bersiap membawaku pergi pastinya. Huft! Kenapa perasaanku jadi tak enak begini, sih? Rasa mulas pun ada. Agaknya ibu tiriku yang menyambut kedatangan sang dokter. "Kak siapa, tuh?" David, adik laki-lakiku yang baru berusia 11 tahun bertanya lirih saat kepalanya muncul di ambang pintu kamar. Aku mendengkus pelan. Bayangan sosok mertua sadis dan bengis masih berputar di kepalaku. "Itu pacar Kak Ara, Mas David." Bibir mungil Sintya berceloteh memberi kabar pada sang kakak. Menyebalkan! Kecil-kecil berbakat juga jadi tukang gosip. "Ra, buruan temui dia," titah Papa kemudian. Aku mengangguk dan bangkit lantas berjalan malas ke ruang tamu. Aku menahan langkah saat melihat penampilan sang dokter yang tampak berbeda dari sebelum-sebelumnya. Melihat penampilannya sekarang, kenapa mendadak membuat hatiku tiba-tiba jadi tak tenang begini, ya? Bukankah dia terlihat tampan dengan kemeja warna navy dan celana bahan hitam yang ia pakai saat ini? Buru-buru aku menggelengkan kepala. Huft! Pikiran macam apa ini? Apa kau benar-benar menyukainya, Tiara? Dokter Afzan mengangguk ramah pada Papa ketika pandangan mereka bersirobok. Untuk beberapa saat, pandangannya tampak tak lepas saat menatap penampilanku. Membuatku sedikit tak nyaman. Ya ampun, apa penampilanku sekarang terlihat aneh? Apa pipiku cemong? Atau … lipstik tipis yang kuoleskan terlalu tebal? "Udah siap?" Pak Dokter menatapku dengan wajah berbinar. Agaknya dia tengah berakting di depan Papa kalau kini dia tengah jatuh cinta padaku. Ah, aku rasa dokter yang pandai berdrama ini seharusnya mengambil pekerjaan sebagai aktor untuk usaha sampingan, selain berkutat dengan pasien. "Udah," balasku agak kaku. Dokter Afzan pun meminta izin pada Papa untuk membawaku bersamanya. Tentunya dengan senang hati papaku mengizinkan. "Inget di depan Emak Bapak gue, lu panggil gue Mas! Jangan panggil Dok! Karena gue bukan kodok." Pak Dokter memperingatkan saat dalam perjalanan. "Iya, Dok!" Aku yang berada dalam boncengannya menjawab malas. "Salah! Ulang lagi!" "Iya, Mas," ucapku dengan nada malas. "Good 100." Aku memutar bola mata. Malas. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, aku dan Mas Afzan, eh maksudnya Dokter Afzan sampai di rumah orang tua dokter pecicilan ini. Aduh, tapi, kok lebih gampang menyebut Mas Afzan, ya, dari pada Dokter Afzan? Rasanya lebih simpel dan menyejukkan hati. Dih, Tiara apaan, sih? Sampai di sebuah perumahan cluster tingkat dua, kedatanganku dan Dokter Afzan disambut hangat oleh orang tua sang dokter. Memandang wajah ayah dan ibu Pak Dokter membuat hatiku damai. Sorot mata mereka yang teduh membuat hati jadi lebih adem. Dari yang kulihat, mereka tipe orang yang sederhana dan tak neko-neko. Agaknya bakat mertua jahat dari dalam diri mereka tak kutemukan. Oalah, Tiara Tiara, sudah seperti Mbah Mijan saja sekarang. Pakai main terawang segala! Ruang tamu dengan desain minimalis yang tetap terlihat elegan membuat hati merasa nyaman saat memasukinya. Entahlah aku sendiri dapat menangkap aura menenangkan ketika berada di dalam rumah ini. "Akhirnya, Zan, bawa calon juga. Sudah lama Ayah nunggu." Senyum terkembang di bibir pria paruh baya berpostur tinggi dengan kaca mata yang menghiasi wajahnya saat menatap ke arahku. Membuatku yang duduk di samping Pak Dokter terjebak dalam suasana canggung. "Iya, dong, Yah. Masa iya harus main-main terus?" Pak Dokter tampak cengar-cengir saat menyahut ucapan pria yang dia panggil sebagai ayah. "Cantik, Zan. Siapa namanya?" Wanita paruh baya dengan jilbab lebar berwarna coklat s**u menatap lekat wajahku seraya mengulas senyum. "Tiara, Bu." Sang dokter menyahut. Aku mengangguk santun di hadapan wanita yang tetap terlihat cantik meski usianya tak muda lagi. "Tiara, nanti ipar kamu namanya Nayra, ya." Ayah Dokter Afzan berkelakar. Aku mengulas senyum tipis menyambut ucapan pria dewasa berpembawaan santai tapi tampak mengayomi. "Ini agak bawel juga, sih, Yah sebenarnya, sebelas dua belas lah sama Nayra." Aku membeliak menyambut ucapan sang dokter. Katanya aku harus kalem saat bertemu dengan orang tuanya. Sudah kupenuhi permintaannya, kenapa dia sendiri malah buka kartu? Menyebalkan! "Wajar lah, perempuan," sahut ayah sang dokter lantas mengukir senyum seperti sebuah pemakluman. Dokter Afzan kembali cengar-cengir. "Ibu kamu saja yang kalem ini kadang bawel kalau apa yang diinginkan belum terpenuhi," ungkap pria berkacamata itu sambil melirik sang istri yang tampak tersenyum sambil menunduk. "Tuh, denger!" sahutku cepat sambil menatap dokter begajulan yang duduk di sampingku. Seketika aku menutup mulut saat menyadari mungkin sudah bersikap kelewat batas di depan camer. Eh! Seketika semua tertawa menyambut tingkahku yang mungkin sedikit norak karena berusaha menjadi sosok yang kalem padahal aslinya begini. Menjadi orang lain memang sama sekali tak menyenangkan. "Santai, Nak Tiara. Anggap ayah dan ibu sebagai orang tuamu sendiri. Jangan sungkan," cetus ayah Pak Dokter saat melihatku tampak salah tingkah. "Iya, Pak." Aku mengangguk ragu. Huft! Pokoknya jadi gadis kalem dan anggun itu memang menyiksa. "Panggil ayah saja, tidak usah sungkan." "Iya, Ayah." Lagi, aku berusaha mempertahankan citra sebagai seorang calon menantu yang tak banyak gaya. Repotnya! Berkali-kali Dokter Afzan menahan tawa saat menatapku berakting layaknya tokoh wanita protagonis dalam serial drama ikan terbang. Menyebalkan! "Panggil ibu, ya, jangan malu. Anggap ibu seperti ibumu sendiri," sahut wanita paruh baya yang terdengar selalu lembut saat bertutur kata. Seketika aku membeliak. Tidak, ibu Pak Dokter terlalu baik jika aku harus menyamakannya dengan Mama—ibu kandungku yang tak sealim wanita ini. Aku mengangguk ramah pada wanita yang konon merupakan calon ibu mertuaku. "Kapan rencananya mau nikah?" "Secepatnya, Yah," ucap Pak Dokter tanpa keraguan. Membuat hatiku berdesir. Kutatap lekat wajah Dokter Afzan, masih mencari alasan apa yang mendasari dia ingin menjadikanku pasangan hidupnya. Namun, lagi-lagi tak kutemukan jawabannya. "Ayah setuju. Kalau sudah cocok mending nikah aja." Ayah sang dokter tampak berucap mantap. Dokter Afzan manggut-manggut. "Minum dulu, Nak Tiara." Dengan penuh keramahan ibu Dokter Afzan yang keluar membawa nampan beserta tiga gelas teh hangat mempersilakanku minum. Aku mengangguk ramah, selalu berusaha menjadi sosok kalem saat berada di rumah ini. Meskipun sedikit tak nyaman, tidak masalah. Setidaknya setelah menikah dengan Dokter Afzan nanti, kebebasan yang selama ini kuangankan akan kudapatkan. Sekian lama kami berbincang hangat. Dari situ aku tahu kalau ayah Pak Dokter bernama Pak Ali, seorang kepala sekolah yang juga memiliki usaha sampingan dengan memiliki beberapa rumah makan dan toko roti. Sedangkan ibunya bernama Ibu Aisyah wanita santun yang dari pancaran mata teduhnya banyak kutemukan kata damai. *** Sepulangnya kami dari rumah orang tua Dokter Afzan, pria ini mengajakku mampir ke salah satu rumah makan milik ayahnya. "Lu cantik juga, Lay, kalau kalem," ujar Dokter Afzan saat kami menunggu makanan pesanan datang. Duh, kok tiba-tiba pipiku terasa hangat, sih? Padahal tidak ada yang menyalakan lilin di dekat pipiku. "Cantik, emang?" Aku memindai wajah lelaki berhidung mancung ini dengan seksama. "Dikit," balasnya santai. Pipiku kembali menghangat tanpa bisa kukendalikan. Senyum pun tersungging di bibir tanpa bisa kusembunyikan. "Jiaah, baperan juga ini anak orang. Gak usah ge-er banget, lah! Dikit aja, kok, gak sampe se-ons." Tidak sampai satu ons? Dasar pelit! Memuji orang saja perhitungan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN