Gugup?

1076 Kata
"Oke, aku mau nikah sama kamu, tapi kita harus bikin perjanjian dulu sebelumnya." Dengan penuh ketegasan, kata setuju terucap begitu saja dari bibirku. Memancing Dokter Afzan membuka matanya lebih lebar saat menatap wajahku. "Perjanjian apaan?" tanyanya dengan menunjukkan wajah innocent tapi penasaran. Aku menarik napas dalam sebelum memberikan penjelasan detail perjanjian seperti apa yang ingin aku sampaikan. Tampak Dokter Afzan memindai mimik wajahku saat ini. Gerakan matanya seperti menatapku curiga. Apa dia pikir perjanjian yang akan aku buat menyangkut soal uang? Jika iya, picik sekali bukan otaknya? Aku mendengkus kasar dan lantas menatapnya kesal. Maaf, Dokter, aku bukan cewek matre seperti yang mungkin sedang kau pikirkan saat ini. "Gak usah ngeliatin aku kayak gitu, napa?" protesku saat merasa risih karena sepasang matanya tak berhenti menatapku dengan tatapan menuduh. Dokter Afzan menggeleng pelan lantas menunjukkan wajah sinis ketika aku menegur dirinya. "Perjanjian apaan emang? Gegayaan lu, nikah pake perjanjian segala. Kayak udah nikah sama aki-aki saja. Orang nikahnya sama cowok keren begini." Dokter Afzan menarik kerah dengan kedua tangannya sementara alisnya ia naikkan sebelah layaknya buaya darat yang menjengkelkan. "Ih, sombong!" Aku mencebik dan menatapnya dan terang-terangan balas menatapnya dengan tatapan tak suka. "Iya, lah, kalo gue jelek mana mungkin dikejar cewek-cewek sampe segitunya." Lelaki berkulit putih ini masih tampak jemawa. Menyebalkan! Aku hanya tersenyum sinis menanggapi. "Perjanjian apaan emang?" ulangnya dengan mata melotot tajam seperti tengah menantang musuh. "Janji ya … kalo ntar kita udah nikah, kamu nggak bakal ngekang aku." Aku memberikan syarat pertama seraya menegakkan telunjuk di hadapannya. Si dokter rese mengerutkan kening. "Ngekang gimana, nih, maksudnya?" "Ya ... intinya aku masih pengen bebas, jalan-jalan, shopping-shopping, kumpul sama temen …," terangku bersemangat saat menjabarkan tentang apa-apa yang menjadi hobiku. "Dasar bocah …!" Dokter Afzan mendecak pelan sambil geleng kepala. "Ok. Tapi kalo jalan sama cowok jangan, ya …." Dokter Afzan mewanti-wanti. Ucapannya kali ini persis seperti seorang ibu yang melarang anaknya terlalu banyak memakan coklat. Aku terkesiap mendengar wejangannya. "Kenapa? Kamu cemburu? Katanya kita gak saling cinta, kenapa kamu ngelarang-ngelarang?" Aku bersungut-sungut tak terima. "Lah, gue kan suami lu, Lay? Kalo elu kebablasan, sampe hamil sama cowok lain kan engga lucu!" Intonasi suara Dokter Afzan terdengar meninggi. Ya ampun, posesif juga dia! Belum apa-apa juga. Aku hanya tertawa geli dalam hati. "Iya-iya, aku gak bakalan jalan sama cowok lain, kok, kamu tenang aja." Aku mencoba menenangkan. Dokter Afzan manggut-manggut sembari menyilangkan tangan di depan d**a saat menyimak ucapanku. Lho, kok, bisa jadi begini? Sudah seperti menenangkan pasangan yang sedang cemburu saja. Aneh, kan? "Lagi, aku gak suka sama gak bisa masak. Jadi jangan paksa aku buat masak. Ok?" Aku memberi syarat berikutnya. "Wajar! Alay!" balasnya ringan tapi menyebalkan. "Next!" Sudah seperti emak-emak sss yang minta lanjutan cerbung saja lagak Pak Dokter kali ini. "Satu lagi, jangan minta aku melayani kamu di atas ranjang. Karena kita nikah cuma atas dasar simbiosis mutualisme," terangku panjang lebar. "Kalau yang terakhir gue gak bisa jamin. Takutnya elu yang bucin duluan ke gue, terus lu godain gue pake jurus andalan. Mana tau?" Dokter Afzan terdengar mengucapkan kata demi kata tanpa beban. Sontak aku membelalak mendengar ucapannya. Jelas sekali dokter begajulan ini tengah merendahkanku kali ini. "Aku? Bucin sama kamu? No way! Maaf kamu bukan seleraku, ya, Pak Tua!" tegasku sembari menunjuk dadanya dengan telunjuk kananku dan menatapnya dengan sorot mata tajam. "Sama. Gue juga sebenarnya gak suka sama anak alay dan keras kepala kayak elu!" Judes sekali lagaknya. "Terus, kenapa kamu pengen nikahin aku?" cecarku gemas. "Ada alasannya. Tapi nggak bakal gue bilang ke elu sekarang." Ish, pakai rahasia-rahasiaan segala lagi. Aku mendengkus kasar menyambut jawabannya. "Ya udah, ayo gue anter lu pulang," ajaknya seraya menarik tanganku selepas melakukan p********n. Tak dinyana, saat sampai rumah, tampak mobil Papa terparkir di garasi. Itu artinya … Papa ada di rumah. "Ada Papa." Aku setengah berbisik sesaat setelah turun dari motor besar Dokter Afzan. Dokter Afzan mengangguk. "Apa gue harus menemuinya sekarang?" tanyanya sambil memandang lekat wajahku ketika meminta pendapat. Duh, kenapa pertanyaannya bikin perasaanku jadi tak enak begini, ya? Apakah seperti ini rasanya jika berhubungan serius dengan seorang lelaki? "Terserah kamu, aja," balasku lirih. "Ok. Biar sekarang aja. Ntar jam empat gue ada jadwal praktek soalnya," terangnya pelan. "Ok." Aku mengangguk setuju. Dengan langkah mantap, calon suamiku, eh, maksudnya dokter begajulan yang katanya bakal melamarku tak lama lagi—mengetuk pintu seraya mengucap salam. Seperti pasangan sungguhan, aku berdiri di belakang dokter berperawakan tinggi ini saat sang dokter datang bertamu untuk pertama kali ke rumahku. Tak lama kemudian, terdengar Papa membalas ucapan salam dokter rasa preman ini. Sedang ibu tiriku yang aku kenal sebagai wanita super kepo, menatapku dan Dokter Afzan bergantian. Aku tak dapat mengartikan maksud tatapannya saat ini. Apa dia sedang terkesima melihat penampakan calon suamiku? Entahlah. Papa berdiri dari tempat duduknya, menyambut ramah saat tahu siapa yang bertamu kali ini. "Silakan masuk, Dok," titah Papa penuh keramahan. Dokter Afzan mengangguk santun dan mengiringinya dengan seulas senyum manis. Luwes sekali pembawaannya kali ini. Bahkan, lagak bengisnya sama sekali tak terlihat sedikit pun kali ini. Sungguh, sikapnya sekarang sangat berbeda dibanding saat berhadapan denganku. Setelah sedikit berbasa-basi, Dokter Afzan pun lantas menyampaikan niatnya untuk menjadikanku pendamping hidupnya. Tanpa dikomando, hatiku berdebar hebat saat lelaki yang konon berusia 29 tahun ini menyampaikan keseriusannya pada Papa, ingin menjadikanku pasangan halalnya. Refleks, aku menggamit lengan dokter spesialis saraf ini, saat Papa hendak memberikan tanggapan atas niatan sang dokter yang ingin segera mempersuntingku. Dokter Afzan sedikit salah tingkah saat tanganku tak kunjung lepas dari lengannya. Dehaman Papa memaksaku melepas tangan yang sedari tadi menggamit lengan Pak Dokter tanpa terasa. "Baik, Papa setuju." Tak tampak raut wajah keberatan di wajah Papa saat memberikan jawaban atas niat baik sang dokter untuk melamarku dalam waktu dekat. "Papa percaya, kamu orang yang tepat untuk mendidik Tiara menjadi pribadi yang lebih baik." Papa berucap tanpa keraguan. Dokter Afzan tampak canggung saat membalas ucapan Papa dengan anggukan. "Pak …." "Panggil Papa saja, Zan. Tidak lama lagi kamu jadi menantuku bukan?" kelakar Papa dengan wajah yang terlihat semringah. "Sungkan, Pak, mungkin usia Bapak dengan saya bedanya cuma 15 atau 16 tahun." Ucapan dokter begajulan ini terdengar sedikit menggelikan. "Ah iya, mungkin 16 tahun, tapi tidak apa-apa, toh, aku sudah mempercayakan putriku padamu, bukan?" Mataku membulat saat sang dokter tiba-tiba meremas tanganku tanpa melihat wajahku. Apa dia sengaja melakukannya? Atau … dia sedang menyembunyikan rasa gugup di depan Papa? Atau jangan-jangan … dia sedang malu karena harus memanggil papaku dengan sebutan Papa juga? Padahal mereka sama-sama tua? Entahlah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN