"Aku gak lagi pengen becanda, ya, Dok!" ketusku hampir menutup telepon. Apa dia pikir persoalan lamar melamar sama dengan lelucon?
"Emang dikira gue lagi pengen ngelawak?" Meski berbicara melalui sambungan telepon Dokter Afzan sepertinya berbicara dengan nada serius.
"Habisnya … kamu apa-apa dibecandain!" Aku mengolok kesal. Terdengar Dokter Afzan menghembuskan napas pelan.
"Iya, tapi sekarang gue gak lagi bercanda, gue serius." Dokter rasa preman itu seperti tengah meyakinkan.
Aku terdiam. Ya ampun, apa ini mimpi? Bagaimana bisa lelaki yang baru kukenal ingin melamarku? Pasti ada udang di balik batu ini. Aku yakin sekali.
"Tiara, elu di mana sekarang?" tanyanya cepat. Tanpa bisa kukendalikan, wajahku menghangat dalam seketika. Ya ampun, dia memanggilku nama? Bukankah ini sulit dipercaya?
Astaga! Dia memanggilku nama saja membuat aku gembira? Ada apa ini?
Aku menarik napas dalam, mencoba menetralkan rasa dalam d**a.
"Ada urusan apa nanya-nanya aku di mana?" Aku mencoba mempertahankan nada ketus saat memberikan pertanyaan balik pada dokter rese itu.
"Gue mau jemput, mau ngajakin elu makan. Tenang … gue yang traktir, deh," jawab dokter itu santai. Aku membelalak mendengar ucapannya. Ya ampun, kalau ada orang mendadak jadi baik begini kenapa aku curiga, ya?
"Terus, sebagai imbalannya kamu minta aku ngasih servis di atas ranjang, iya?" Aku menuduh dengan ketus secara terang-terangan.
"Astaghfirullah …." Terdengar dokter menyebalkan itu beristighfar. Sok alim juga dia.
"Lu kecil-kecil m***m juga, ya, ternyata?" Oloknya menyebalkan.
"Habisnya, kamu aneh, tiba-tiba jadi baik. Siapa coba yang gak curiga?" Terdengar Dokter Afzan mendesah, sepertinya dia kesal karena dari tadi aku menuduhnya macam-macam.
"Ya udah, Dok. Mungkin supir aku udah mau sampe, udah dulu, ya. Assalamu'alaikum." Aku menutup sambungan telepon saat merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi.
"Waalaikumussalam."
Aneh-aneh saja. Memang dikira aku cewek gampangan? Yang semudah itu mau diajak nikah dan diajak makan? Kenal juga baru kemarin.
PDKT dulu, kek!
Eh astaga! Pikiran macam apa ini, Tiara?
Tak lama kemudian, ponselku kembali berbunyi, kali ini tampak panggilan masuk dari Pak Wiro—supir pribadi keluarga yang tugasnya antar jemput aku dan kedua adikku.
"Non Tiara. Bapak kecelakaan, ya Allah. Mobil masuk bengkel lagi. Kata Pak Anton, Non Tiara suruh naik gocar saja pulangnya." Dari nada bicaranya Pak Wiro seperti gugup, mungkin ada rasa bersalah karena ini ketiga kalinya beliau mengalami musibah yang sama dalam waktu yang jaraknya berdekatan. Membuat Papa harus berkali-kali mengeluarkan uang lebih untuk pembiayaan di bengkel dan bertanggung jawab pada orang yang menjadi korban.
"Iya, Pak. Nanti saya pesen ojek online aja, gak apa-apa," balasku pelan sebelum sambungan telepon diakhiri.
Sejenak aku terdiam. Harus berbuat apa aku sekarang?
Ah, bukankah sebaiknya aku menggunakan kesempatan ini untuk membuang penat? Kenapa juga aku harus buru-buru sampai ke rumah kalau cuma untuk bertemu wanita menyebalkan itu?
"Dok jemput aku sekarang." Tanpa pikir panjang, aku kembali menelepon Dokter Afzan saat melihat nomor kontaknya tengah online di WA.
"Di mana?"
"Depan kampus."
***
Tiga puluh menit berselang, tampak dokter tampan itu datang menjemputku ke kampus. Membuat banyak pasang mata orang yang berlalu lalang keluar masuk gerbang kampus memfokuskan pandangan saat menatapnya. Apakah mereka takjub melihat ketampanan dokter yang usianya jauh di atasku itu? Mungkin.
Entah bagaimana pandangan orang-orang saat sang dokter memarkir motor tepat di hadapanku. Aku tak tahu. Karena aku tak tertarik ingin memperhatikan.
"Janji, ya, ga bakal minta imbalan macem-macem!" Aku memberi syarat saat sang dokter memberikan helm padaku.
"Janji." Dokter Afzan yang melepas helm-nya mengangguk seraya mengulas senyum. Manis. Duh, kok senyumnya bisa terlihat menarik, sih?
Apa yang terjadi denganmu Tiara? Jangan sampai kamu benar-benar jatuh cinta padanya! Pasti cuma makan hati nanti. Aku terus memperingatkan diri agar jangan sampai oleng dan terpesona oleh ketampanannya yang nyatanya tak sejalan dengan perangainya yang lebih sering menyebalkan.
Meninggalkan kampus, kami pun makan siang di sebuah restoran yang makanannya terkenal enak, bersih, dan memiliki pelayanan ramah.
Di depanku, tampak sang dokter memakan dengan lahap makanan di atas piringnya.
"Kayak gak makan seminggu aja." Aku yang belum sempat memakan makananku, menyempatkan diri memberikan komentar.
"Ga usah nyinyir!" balasnya singkat padat tapi mengena. Spontan bibirku terkatup saat mendapat balasan judesnya.
Aku pun tertunduk dan lantas menghabiskan makanan tanpa berkomentar apa-apa lagi. Takut diskakmat, malu sendiri.
"Kamu serius pengen ngelamar aku?" tanyaku setelah makanan di piringku habis.
Dokter Afzan mengangguk seraya menyeruput es jeruk di hadapannya.
"Iya, lu mau ga?" tanya Dokter Afzan santai. Aku menarik satu sudut bibir ke atas mendengar tawarannya. Sudah seperti sedang menawari permen saja dia sekarang. Padahal yang sedang kami bicarakan kan soal lamar melamar, kan?
"Seriusan? Ada motif apa ini?" Aku menyelidik, memindai wajah sang dokter. Siapa tahu bisa menangkap niat baik dokter satu ini melalui tatapan dan gestur wajahnya.
Tak langsung menjawab, Dokter Afzan terlihat membuang napas. Apa dia tengah banyak pikiran sekarang?
Duh, Tiara, kok kamu jadi kepo sekarang? Apa pentingnya perasaan dia buatmu?
"Gue cuma males aja dikejar-kejar terus sama Julia, Fika, sama Alea. Mereka semua pengen dinikahin sama gue."
Aku ternganga dalam seketika. Ya ampun, ternyata banyak juga gadis konyol yang tidak bisa menghargai hatinya sendiri untuk jatuh cinta dan mengejar lelaki tak berperasaan seperti dia. Apa untungnya coba?
"Terus, aku kan gak minta dinikahin?"
"Justru karena elu gak minta. Jadi kalau gue nikahin lu ntar gue gak ada beban hati dan pikiran. Karena gue sama lu kan sama-sama gak saling cinta. Jadi enjoy aja begitu. Yang penting para mantan tau gue udah married. Gitu aja, sih, intinya." Kata demi kata terdengar ringan terucap dari bibirnya.
Aku terdiam mematung. Memikirkan untung rugi menerima tawaran besar dokter begajulan ini. Sudah sedang berjualan online saja kan aku ini?
"Lagian, gue udah bilang di depan Julia, kalau lu pacar gue dan gue mau ngelamar elu, kan?" Santai sekali dia bertanya. Apa dia pikir kami sedang bermain pentas pada sebuah acara perpisahan di sekolah?
"Maaf, Dok. Aku gak mau kalau cuma diperalat seperti ini." Aku memberi keputusan secara cepat saat merasa tak ada untungnya menerima tawaran darinya.
"Terus mau lu gimana? Mau dibayar? Ngasih servis aja belum, minta bayaran." Dokter Afzan terbahak.
Aku mencebik bibir mendengar penuturannya yang selalu sukses membuat kesal.
"Terus mau lu gimana? Bukannya lu juga udah bilang sama bokap lu kalau gue bakal ngelamar?" Kali ini, aku dibuat mati kutu dengan pertanyaannya.
Oh, ya ampun, aku sampai lupa. Benar juga, Papa pasti bakal bertanya lagi besok tentang keseriusan Dokter Afzan padaku.
Aku berpikir sejenak sebelum mengambil keputusan final.
Hm, mungkin ada baiknya aku menikah muda. Aku bakal bisa lepas dari aturan ketat Papa dan tak harus berjumpa dengan wanita pengadu itu setiap hari. Ah, angin segar seolah membelai pikiranku saat ini.
"Lay, gimana? Lu mau gak?" Dokter Afzan seperti menuntut jawaban.
"Mau apa?"
"Jadi bini gue," jawabnya santai.
What? Apa ini sama dengan lamaran? Kenapa semua terdengar hambar ya? Tak ada manis-manisnya? Tidak seperti Le Minerale?