Kenapa Tak Berkedip?

698 Kata
Malam ini setelah setengah hari tadi menjadi orang lain, akhirnya aku bisa bernapas sedikit lega. Memainkan ponsel di atas tempat tidur sambil berselancar di aplikasi belanja online—merupakan hobiku sejak beberapa tahun terakhir. Lebih tepatnya ... semenjak SMA, aku senang sekali berburu barang-barang unik dan lucu di aplikasi. Ya, walaupun tetap, hang-out dengan teman ke kafe dan mall tidak bisa dihindarkan. "Wah, ini bando kayaknya lucu," ucapku menggumam lirih. Tanpa pikir panjang, aku menekan gambar keranjang pada aplikasi belanja online dengan logo S yang senantiasa jadi andalanku. Ini bukan promo apa lagi iklan, loh, ya! Karena aku bukan brand ambassador apa lagi selebgram yang di-endorse. Baru sebentar menikmati me-time, si dokter rese bin begajulan mengganggu waktu tenangku. Aku mencebik kecil saat memastikan namanya terpampang nyata di layar ponsel milikku. Mau apa dia? Apa jam segini dia masih ingin berurusan denganku? Bukankah jatah syuting dan akting harusnya telah usai? Huh! Menyebalkan! "Belum apa-apa sudah punya hobi mengganggu. Bagaimana kalau nikah nanti?" Aku menggerutu tanpa henti saat bando lucu yang sudah kumasukkan ke dalam keranjang, belum sempat aku check out. Sejenak kemudian, mataku membelalak lebar saat menyadari panggilannya berupa panggilan video, tak seperti biasanya yang hanya panggilan suara. Maklum lah, statusku, 'kan cuma calon istri, calon istri dalam hubungan simbiosis mutualisme. Bukan atas dasar cinta sama cinta seperti pasangan bahagia di luaran sana. Apa maksudnya, ya, dia ingin mengajakku melakukan video call? Apa dia serius ingin menatap wajahku? Atau jangan-jangan … dia rindu? Waduh, kok jadi tidak enak begini, sih, feeling aku? Kalau dia melibatkan perasaan dalam hubungan tak jelas ini, fix dia tidak profesional. Dengan sedikit ragu, kuusap layar dengan gambar telepon berwarna hijau ke atas. Loh, loh, loh, kok jariku mendadak gemetar? Kenapa juga aku tiba-tiba jadi gugup begini? Ya ampun! Ingat, Tiara! Dia cuma Pak Tua yang jika dibandingkan dengan Alvin tak ada apa-apanya. Wait! Memang iya? Ah, tidak juga sih. Pak Dokter juga ganteng dan macho, kok, sebenarnya. Ya … walaupun sudah agak berumur, sih. Tapi nggak jadi soal lah. Astaga! Aku menepuk kening. Ternyata pikiranku terlampau jauh melanglang buana. Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan! "Ngapain malem-malem ganggu orang?" Aku bertanya dengan ekspresi jutek saat wajah tampan Pak Dokter memenuhi hampir seluruh layar ponsel yang kupegang? Hah, tampan? Terlihat dia nyengir kuda. "Lu apa kabar, Lay?" Aku menutup mata dengan telapak tangan saat melihat bagian atas tubuhnya hanya berbalut singlet malam ini. Sungguh, ini pertama kalinya aku melihat Pak Dokter tampil seperti itu. OMG! Bikin deg-degan saja lelaki dewasa satu ini. Melihatku menutup mata membuat sang dokter terpekik. Bikin aku mati kutu saja. Lagian, Tiara, bisa-bisanya cuma melihat dia tampil seperti itu saja pakai menunjukkan tampang gugup segala! Lebay! "Tumben video call? Kangen? Atau ... pengen liat cewek alay dan kerempeng tapi cantik?" ejekku meski dengan d**a berdebar. Huh! Tiara, santai saja kenapa, sih? "Lu ... gugup amat? Kenapa?" Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah balik bertanya. Menyebalkan! "Apa itu pertanyaan penting?" Aku masih berusaha menunjukkan wajah jutek saat menatapnya. Lagi, si dokter rasa preman itu terpekik. Apa alasannya? Aku rasa ucapanku biasa-biasa saja. Tak ada yang lucu. Kenapa dia terlihat seheboh itu? "Lay, lu besok ada jadwal kuliah nggak?" Pak Dokter tiba-tiba bertanya sesuatu yang menurutku tak terlalu penting untuk dibahas bersamanya. "Enggak. Kenapa emang?" Aku bertanya dengan wajah dan ucapan datar. "Gue mau ngajak lu kondangan sebelum kita dikondangin." Dokter Afzan terbahak pasca kalimatnya berakhir sedang aku sebisa mungkin mempertahankan ekspresi datar meski dalam hati ingin tertawa. Takut dia mengira aku girang menyambut pernikahanku dengannya, kalau sampai dia melihat senyum atau tawa di wajahku. "Jam berapa?" tanyaku tanpa ekspresi. "Jam sepuluh pagi." "Pake kerudung nggak?" Aku mengambil ancang-ancang menanyakan hal yang sebenarnya tak begitu kusukai. "Terserah lu aja, lah, gue gak kepengen maksa. Lagian kita kan belom ada hubungan apa-apa, ntar dikira gue ngatur-ngatur elu lagi." Dokter Afzan berucap santai yang kutanggapi dengan anggukan berulang kali. Untuk sesaat, aku menatap heran saat Pak Dokter yang masih melakukan panggilan video denganku, menatapku tanpa kata. Ada apa dengannya? Astaga! Dari tadi aku baru sadar kalau aku cuma memakai atasan tanktop berbelahan d**a rendah saat bertatap muka dengannya. Buru-buru kututup panggilan video tanpa banyak berucap lagi. Pantas saja Pak Dokter tadi tak berkedip. m***m juga dia. Sialan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN