Satu yang aku suka dari dokter yang tingkahnya kadang kala menyebalkan, dia selalu meminta izin pada Papa sebelum membawaku pergi bersamanya. Tentunya sangat jauh berbeda dengan Alvin—kakak tingkat yang kini sudah berstatus sebagai mantan kekasih. Jangankan minta izin, bersuara di depan papaku pun enggan.
"Pa, ini Mas Afzan mau ngomong." Aku mengangsurkan ponsel kala sang dokter meneleponku selepas sarapan.
Papa menyunggingkan senyum saat menerima benda pipih yang kuulurkan padanya.
Papa tampak mengangguk-angguk saat mungkin Pak Dokter meminta izin untuk mengajakku menghadiri acara pernikahan pagi ini.
"Iya, Zan. Papa titip Tiara, ya. Ntar kalau lagi ngambil rendang suruh liat-liat, takutnya laos yang diambil." Papa terkekeh saat mengakhiri ucapannya.
Mataku membelalak. Ya ampun, Papa, bisa-bisanya Papa menjadikanku bahan candaan saat berbicara dengan dokter begajulan itu. Bikin aku kehilangan harga diri saja.
"Ish, Papa rese banget, deh ghibahin Ara dengan dokter rasa preman itu." Aku memonyongkan bibir saat Papa mengangsurkan kembali ponsel padaku.
"Loh, bukan ghibah, dong. Kan kamu di samping Papa." Papa mengelak dengan senyum samar.
Aku mendengkus kasar.
"Ya udah, tar hati-hati, ya, jangan lupa jaga diri." Papa memperingatkan sebelum berangkat kerja. Aku mengangguk lantas menyalami dengan takzim kala Papa mengulurkan tangan.
"Hati-hati, ya, Pa." Mama tiriku berpesan sesaat setelah mencium punggung tangan suaminya. Aku menoleh ke arah lain, enggan menatap kemesraan mereka lebih lama.
"Ara …." Aku yang hendak menarik langkah menuju kamar, terpaksa menoleh saat wanita super kepo ini memanggilku.
"Iya?"
"Kondangan mau pakai baju apa?" Berani sekali wanita ini mencampuri urusan pribadiku.
"Bukan urusanmu!" ketusku seraya melanjutkan langkah menuju kamar. Seperti biasanya wanita yang Papa nikahi 12 tahun yang lalu, mengusap d**a seraya menghela napas panjang saat aku menjawab ketus pertanyaannya.
Siapa suruh terlalu kepo dengan urusanku!
Hm, harus pake baju yang seperti apa ini, ya? Aku mencari-cari baju yang sekiranya cocok untuk kupakai menghadiri acara.
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan memakai kebaya bahan brokat warna merah muda dengan rok lilit semi sutra berwarna merah hati. Rambut cukup aku cepol ala peragawati. Sedangkan wajah aku poles natural saja.
"Ara, ini Mas Afzan sudah sampe, Kak." Ibu tiriku mengetuk pintu.
"Iya, bentar."
Setelah dirasa cukup, aku pun keluar dengan menjinjing tas kecil untuk menunjang penampilanku.
Aku merasa agak canggung saat Pak Dokter menatapku tanpa kata ketika aku menemuinya di ruang tamu. Apa dengan melihatku saat ini mengingatkannya pada kejadian malam tadi? Saat aku tak sengaja tampil seksi ketika melakukan video call dengannya?
"Udah siap?" Dokter Afzan menatapku dengan tatapan yang artinya sulit kumengerti. Membuatku makin serba salah saja.
Aku mengangguk ala kadar menanggapi. "Jangan bilang kamu naik motor!" Aku ambil ancang-ancang menuduh demikian karena rasanya, dengan pakaian yang kukenakan saat ini tak memungkinkan jika harus berboncengan menggunakan motor.
Dokter Afzan menggeleng seraya mengulas senyum.
"Ya udah, pamit dulu, Bu." Dokter Afzan mengangguk ramah pada ibu tiriku yang selalu saja ingin menunjukkan wajah manis di depan siapa saja. Namun, bagi seorang Tiara wajah manis seorang ibu tiri tak bisa dipercaya. Karena yang aku tahu, ibu tiri pasti jahat dan hanya mencintai ayahnya saja.
"Kamu nggak pamit, sama mama kamu?" Dokter Afzan menegurku saat aku keluar rumah tanpa menoleh lagi ke belakang.
"Engga," sahutku ketus sebelum menaiki mobil sport warna putih yang dibawa sang dokter.
Kulihat Dokter Afzan menggeleng, mungkin dia memandang aneh sikap dinginku pada istri Papa. Apa kau tak tahu, Dok? Dia itu cuma ibu tiri. Tak lebih!
Aku menatap dingin saat sang dokter mulai menghidupkan mesin mobilnya.
"Miris!" sindir Dokter Afzan sembari mengendalikan kemudi sedang matanya lurus ke depan. Ucapannya kali ini cukup menggelitik di telingaku.
"Apanya yang miris, hah?" Aku mulai tersulut emosi. Aku tahu dia tengah menyindirku karena melihat sikapku yang tak ramah pada ibu tiriku tadi.
"Wanita itu cuma ibu tiri, kamu paham?" Aku setengah membentak saat memberi penjelasan. Berharap dokter begajulan ini mengerti posisiku.
"Jangankan ibu tiri, dengan orang lain pun, apalagi orang tua, lu udah selayaknya bersikap sopan. Lu paham?" Dokter Afzan tampak naik pitam. Huh kenapa harus membesar-besarkan perkara sepele, sih?
"Udah, mending aku turun aja. Ga jadi ikut!" Aku yang kesal menarik-narik handle pintu mobil yang kutumpangi saat ini.
Bukankah dokter satu ini sangat menyebalkan? Sudah memintaku menemani, dia pula mencaci maki tindak-tandukku.
Aku tersentak saat sang dokter mengerem mobilnya mendadak.
"Dasar bocah tengil!" Dokter Afzan mencekal kedua tanganku yang tengah menarik-narik handle pintu mobilnya. Aku menghentikan aksi saat hidung bangir sang dokter menyentuh pipiku. Menciptakan hawa panas yang tak pernah diundang. Apa dia sengaja melakukannya?
Seketika, aku melayangkan tamparan di pipi dokter kurang ajar ini. Membuat dokter begajulan ini meringis.
"Sengaja banget, ambil kesempatan buat cium-cium!" Aku memakinya dengan mata melotot. Tanpa mempedulikan kemarahanku, Dokter Afzan melesatkan mobilnya menuju tempat resepsi pernikahan diadakan.
Aku tersentak saat tiba-tiba sang dokter menggamit lenganku, ketika kami sampai ke tempat resepsi yang digelar secara outdoor, dengan tenda transparan warna putih dan kursi kayu yang berjejer rapi dengan hiasan bunga putih di atas meja.
Dengan langkah kaku, aku mengikuti kemana pun dokter begajulan ini akan membawaku pergi. Sesekali aku terpaksa mengangguk dan tersenyum ramah ketika Pak Dokter mengenalkanku sebagai calon istrinya di hadapan kenalannya.
"Mas Afzan, seriusan kamu jalan sama ABG begini?" Aku dan Dokter Afzan yang tengah menikmati acara, dikejutkan oleh teguran seorang wanita cantik yang menatap sinis padaku yang duduk bersisian dengan sang dokter.
"Bukan cuma jalan, Fik, ini calon istri gue." Tanpa aba-aba, tangan kekar Pak Dokter melingkar di pinggangku, membuatku tersentak dalam seketika. Nampak raut wajah tak suka ditunjukkan gadis itu saat melihat Dokter Afzan merangkul pinggangku. Tanpa kata, gadis itu berlalu dari hadapan kami dengan tampang gusar.
Huft! Apa dokter satu ini benar-benar telah membuatnya jadi gila? Kenapa sampai sewot seperti itu? Ah, betapa tololnya gadis itu karena telah menyia-nyiakan hati untuk jatuh cinta pada dokter tengil satu ini.
"Tangan! Tolong menjauh!" Aku meminta Pak Dokter menjauhkan tangan dari pinggangku melalui isyarat mata dan rahang diketatkan saat berucap. Dengan gugup, Pak Dokter melepas rangkulannya dari pinggangku.
"Hai, Ra! Ke sini sama siapa?" Tak dinyana Alvin—mantan kekasihku juga turut hadir di pesta pernikahan ini. Huh, sudah seperti tengah menghadiri resepsi anak Pak Presiden saja, siapa-siapa boleh masuk.
"Kenalin, Vin, calon suami aku." Aku terpaksa menunjukkan tampang manis saat mengenalkan Dokter Afzan pada Alvin.
"Oh …." Tampak Alvin tersenyum hambar saat Pak Dokter yang pandai berakting melempar senyum ramah padanya.
"Mamas Sayang, aku suapin salad buahnya, ya." Aku menyambar salad buah yang tadi kuambil dan menyuapkannya berkali-kali ke mulut lelaki yang kuakui sebagai calon suami. Dapat kulihat, Alvin menatap tak suka kemesraan yang kureka-reka pada sang dokter.
Sama seperti perempuan cantik tadi, Alvin pun berlalu dengan gusar dari hadapanku dan dokter begajulan yang duduk di sampingku dengan mulut terisi penuh salad buah.
"Kebangetan lu, Lay! Udah kayak ngasih makan whiskas ke anak kucing aja, lu. Sialan!" protes sang dokter yang mulutnya masih terisi penuh oleh salad buah yang kusuapkan.
Sumpah aku sangat ingin tertawa keras melihat pipinya yang sekarang mirip ikan buntal, tapi kok, ya, kasian.
"Cup cup cup, kasiannya, Mamas Sayang." Aku meledeknya yang menatapku dengan tatapan kesal pasca diperlakukan seperti kelinci percobaan olehku.
Hah, Mamas Sayang?